Ternate – Penyelenggaraan perlindungan anak di Provinsi Maluku Utara membutuhkan respon cepat dan kolaboratif dari stakeholder terkait. Tentunya ketimpangan kondisi geografis, sosial ekonomi dan sarana prasarana masih menjadi permasalahan dalam kemajuan pembangunan perlindungan anak.
Berdasarkan data Indeks Perlindungan Anak (IPA) 2023, Maluku Utara menjadi salah satu provinsi dengan kondisi IPA yang berbeda, dimana Indeks Pemenuhan Hak Anak (IPHA) menempati urutan kelima terendah, sedangkan Indeks Perlindungan Khusus Anak (IPKA) menempati urutan ketiga tertinggi secara nasional, setelah Kepulauan Riau dan DKI Jakarta.
“Kondisi ini seharusnya dapat menjadi prioritas, artinya ketika indeks perlindungan khususnya tinggi namun pemenuhan hak sangat rendah, tentu anak-anak di Maluku Utara memiliki resiko besar dalam layanan hak dasarnya,” ucap Dian Sasmita, Anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dalam kunjungannya di Maluku Utara, pada Selasa (28/07/2025).
Salah satu masalah mendasar adalah rendahnya capaian kepemilikan akta kelahiran yang menempatkan Maluku Utara pada posisi ke 30 secara nasional dalam pemenuhan hak sipil anak. Seharusnya, setiap anak mampu memiliki akta kelahiran sebagai akses terhadap pemenuhan hak dasar lainnya, sehingga layanan hak pendidikan dan kesehatannya tidak terhambat.
Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2024 mencatat bahwa jumlah anak di Maluku Utara mencapai sekitar 484.300 jiwa atau 35,7% dari total penduduk. Namun demikian, perlindungan terhadap anak-anak belum optimal dan Simfoni PPA mencatat pada tahun 2024 ada 274 anak yang menjadi korban kekerasan.
“Mengingat ada 10 kabupaten/kota di Maluku Utara ini, besar kemungkinan jumlah kekerasan terhadap anak lebih dari 274. Tentu banyak anak korban yang belum melapor maupun belum adanya layanan seperti Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan Anak (UPTD PPA),” pungkas Dian. Dian juga menegaskan bahwa ketersediaan UPTD PPA di setiap kabupaten/kota dapat menjadi pintu pertama sebagai lembaga layanan pelaporan, pendampingan, hingga rehabilitasi bagi korban.
Sejak 2022, Maluku Utara telah melakukan aktivasi sebagai Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA) dalam mewujudkan komitmen pemerintah daerah untuk memastikan pemenuhan hak dan perlindungan khusus anak dari segala bentuk kekerasan. Salah satunya melalui pembentukan Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) di sekolah yang kini telah terbentuk hingga 85,82% di seluruh satuan pendidikan yang ada di Maluku Utara.
Pencegahan kekerasan sangat penting untuk memastikan semua anak di Maluku Utara dapat terbebas dari segala bentuk kekerasan. Diperlukan upaya stakeholder, yakni seluruh Perangkat Daerah (PD), lembaga kemasyarakatan, komunitas, dan masyarakat yang bekerjasama untuk memastikan anak-anak di Maluku Utara dapat tumbuh dan berkembang dengan optimal.
“Sekolah harus menjadi tempat aman bagi anak. Kekerasan di ruang pendidikan harus dihentikan melalui sistem perlindungan yang efektif,” kata Dian.
KPAI juga membangun sinergi dengan Ombudsman Perwakilan Maluku Utara, Save the Children Indonesia, Stimulant Institute dan Wahana Visi Indonesia untuk berkolaborasi dalam mendorong percepatan program Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA) melalui penguatan kapasitas kelembagaan, regulasi, maupun layanan langsung kepada anak.
Stimulant Institute dan Wahana Visi Indonesia merupakan pelaksana program KREASI (Kolaborasi untuk Edukasi Anak Indonesia), program hasil dukungan Global Partnership for Education (GPE) yang dijalankan oleh Save the Children Indonesia. Program ini difokuskan di Pulau Morotai dan Halmahera Utara dengan tujuan meningkatkan literasi, numerasi, pendidikan karakter, serta sistem perlindungan anak.
“Anak-anak hari ini adalah pemimpin Maluku Utara masa depan. Mereka harus dibesarkan dalam lingkungan yang aman, penuh cinta, dan bebas dari kekerasan,” tutup Dian.