Jakarta, 12 Agustus 2025 – Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menegaskan pentingnya pengawasan berkelanjutan terhadap Program Sekolah Rakyat (SR) untuk memastikan pemenuhan hak pendidikan anak yang berkeadilan, inklusif, dan bebas dari stigmatisasi. Penegasan ini disampaikan dalam Focus Group Discussion (FGD) yang melibatkan Kementerian Sosial, Kementerian Pendidikan, Kementerian PPPA, Kementerian Agama, UNICEF, JPPI, Komnas HAM, Komnas PA, IGI, PLAN Indonesia, dan sejumlah pemangku kepentingan lainnya.
Program Sekolah Rakyat, yang menyasar anak dari keluarga miskin dan tidak bersekolah, saat ini baru mampu menampung sekitar 0,33% dari 2,98 juta anak putus sekolah akibat faktor ekonomi. Data JPPI menunjukkan 8 dari 10 anak miskin menolak masuk SR, dengan alasan stigma, jarak, dan pemaksaan sistem asrama yang dinilai tidak cocok untuk semua anak.
Anggota KPAI sekaligus pengampu klaster pendidikan, Aris Adi Leksono, menegaskan pendekatan berbasis hak anak dengan prinsip akuntabilitas, partisipasi, universalitas, dan perlindungan. “Negara tidak hanya wajib memenuhi hak anak, tetapi juga memastikan akuntabilitas dan kapasitas anak untuk menuntut haknya. Anak harus terlindungi dari kekerasan, diskriminasi, dan stigma,” ujarnya
Koordinator Nasional JPPI, Ubaid Matraji, mengkritisi keterbatasan daya tampung dan model yang terlalu seragam. “Sejak awal, SR bermasalah jika hanya eksklusif untuk anak miskin dan memaksakan sistem asrama. Jangan sampai layanan hak anak berubah menjadi bantuan sosial. Modelnya harus beragam, fleksibel, berbasis komunitas, dan relevan dengan kearifan lokal,” tegasnya
Perwakilan UNICEF, Zubaedy Koteng, menyoroti pentingnya mekanisme perlindungan anak yang jelas dan keterlibatan anak dalam pengambilan keputusan. “Sekolah Rakyat harus memiliki child safeguarding yang kuat, disiplin positif, dan layanan pengaduan yang aman bagi anak. Kurikulum, fasilitas, dan metode pengasuhan harus disesuaikan dengan kebutuhan anak, agar lingkungan belajar benar-benar aman dan mendukung perkembangan mereka,” jelasnya.
FGD ini mengidentifikasi sejumlah tantangan utama, antara lain:
- Daya tampung terbatas – hanya menampung 0,33% anak putus sekolah.
- Stigmatisasi dan sistem asrama – SR dianggap “sekolah untuk si miskin” dan model asrama yang tidak sesuai untuk semua anak.
- Kurikulum dan metode – perlu adaptasi sesuai kebutuhan anak, kearifan lokal, dan potensi komunitas.
- Perlindungan anak – butuh standar child safeguarding, pencegahan kekerasan, mekanisme pengaduan aman.
- Kapasitas pengelola dan pengajar – wajib paham hak anak, disiplin positif, dan fasilitas memadai.
Rekomendasi FGD:
- Inklusivitas dan keterjangkauan untuk semua anak.
- Satu sistem penerimaan murid yang menjamin hak pendidikan.
- Desain fleksibel berbasis komunitas, tidak seragam (one size fits all).
- Kemitraan luas memanfaatkan sumber daya lokal.
- Penyesuaian kurikulum dengan kebutuhan anak dan kearifan lokal.
KPAI akan melakukan pengawasan berkelanjutan dengan fokus pada tiga dimensi: hukum dan kebijakan, kapasitas, dan akuntabilitas. Langkah ini diharapkan memastikan SR benar-benar menjadi solusi bagi anak-anak yang tidak terjangkau pendidikan, tanpa menciptakan diskriminasi baru. Selain itu, KPAI mendorong pemerintah, dan pengelola SR memastikan kepentingan terbaik anak, dan menjamin pendidikan serta pengasuhan yang aman dan berkualitas. Pengawasan akan dilakukan berkelanjutan agar Sekolah Rakyat benar-benar menjadi solusi, Kemerdekaan Semakin Nyata, Bebas dari Putus Sekolah, pungkas Aris. (Ed:Kn)
Media Kontak Humas KPAI,
Email : humas@kpai.go.id
WA. 0811 1002 7727