Jakarta, – Kekerasan seksual terhadap anak kembali menjadi perhatian serius di Indonesia, terutama dalam penegakan hukum. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sebagai lembaga pemantauan pelaksanaan UU TPKS memberikan atensi khusus untuk memastikan terpenuhinya akses keadilan bagi korban anak pada perkara yang melibatkan terdakwa Fajar Lukman, mantan Kapolres Ngada, di PN Kupang, NTT.
Dalam persidangan tanggal 16 September 2025, hadir saksi ahli dari Fakultas Hukum Universitas Cendana yang menyatakan bahwa anak yang melacurkan diri belum diatur dalam Undang-Undang sebagai korban. Menanggapi hal itu, KPAI menegaskan pentingnya meluruskan pemahaman publik agar perspektif hukum tetap berpihak pada perlindungan anak.
Anak adalah Korban.

Anggota KPAI Dian Sasmita menegaskan bahwa pendekatan hukum dan hak anak harus berpijak pada kenyataan bahwa anak belum memiliki kapasitas psikologis, emosional, maupun sosial yang memadai untuk memberikan persetujuan bebas atau inisiatif terhadap aktivitas seksual komersial.
Ketika seorang anak terlibat tidak lahir dari pilihan yang otonom, melainkan karena adanya paksaan, manipulasi, tekanan ekonomi, atau relasi kuasa orang dewasa. Anak tidak pernah benar-benar memiliki kebebasan memilih ketika berhadapan dengan orang dewasa yang lebih berkuasa secara fisik, ekonomi, sosial, atau otoritas.
“Jika anak tampak seolah-olah setuju, itu sebenarnya lahir dari posisi ketidakberdayaan dan hubungan yang tidak setara. Maka, yang perlu digarisbawahi adalah tindakan dan motif orang dewasa yang memanfaatkan situasi tersebut. Sehingga tindakan anak tersebut bukan pilihan yang otonom dan ‘persetujuan’ anak tidak sah menurut hukum.
Hak anak korban atas Perlindungan dan Pemulihan.
KPAI menekankan bahwa setiap anak korban kekerasan seksual berhak atas perlindungan dan pemulihan menyeluruh. Hal ini ditegaskan dalam Konvensi Hak Anak(KHA) yang diratifikasi Indonesia melalui Keppres 36/1990 menegaskan hak anak bebas dari segala bentuk kekerasan, termasuk eksploitasi atau perlakuan salah lainnya. Pasal 34 KHA menyebutkan bahwa Tiap anak berhak dilindungi dari eksploitasi dan penganiayaan seksual, termasuk prostitusi dan keterlibatan dalam pornografi.
Negara berkewajiban menjamin hak tersebut dengan regulasi, kebijakan, sumber daya, dan penegakan hukum yang memadai. Perlindungan tidak hanya berupa pencegahan, tetapi juga penanganan yang profesional dan pemulihan komprehensif.
Hak pemulihan anak korban juga tercantum dalam UU TPKS dan Pasal 20 PP No. 78 Tahun 2021 tentang Perlindungan Khusus Anak, yang meliputi:Rehabilitasi medis dan sosial, Bantuan hukum dan sosial, Restitusi bagi korban, Pemulangan dan reintegrasi ke lingkungan yang aman. Semua layanan pemulihan harus mengedepankan prinsip kepentingan terbaik bagi anak, serta menjamin martabat, kesehatan, dan harga diri anak.
KPAI mengingatkan bahwa dalam perkara kekerasan dan eksploitasi seksual, anak selalu dalam posisi rentan dan mengalami penderitaan. Oleh karena itu, penegakan hukum harus diarahkan pada pelaku dewasa yang menyalahgunakan kuasa, bukan pada anak.
“Negara, aparat hukum, keluarga, dan masyarakat harus bersinergi memastikan anak-anak terlindungi dari segala bentuk kekerasan dan eksploitasi. Perlindungan dan pemulihan anak korban adalah tanggung jawab bersama,” tutup Dian. (Ed:Kn)