Jakarta – Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menegaskan bahwa proses hukum terhadap anak yang terlibat dalam kerusuhan 25–31 Agustus 2025 harus menjunjung tinggi prinsip perlindungan anak. Dari 959 tersangka, terdapat 295 anak yang terlibat, menurut data Polri.
Ketua KPAI, Margareth Aliyatul Maimunah, saat menghadiri konferensi pers yang digelar di Bareskrim pada, Rabu (24/09/2025), menyampaikan bahwa anak memiliki hak menyampaikan pendapat, namun pelibatan anak dalam aksi yang berujung kerusuhan melanggar prinsip perlindungan anak. “Kami mendukung upaya pengamanan dan penegakan hukum, namun tidak boleh keluar dari perspektif perlindungan anak. Anak harus diperlakukan manusiawi, tidak mendapat kekerasan, dipisahkan dari orang dewasa, identitasnya dilindungi, serta hak dasarnya dipenuhi. Pendampingan hukum dalam persidangan juga wajib diutamakan,” tegasnya.
Hasil pengawasan KPAI, menunjukkan sebagian besar anak terlibat karena faktor eksternal, seperti ajakan teman, senior atau alumni, provokasi di media sosial, hingga dugaan mobilisasi.
Dari sisi penegakan hukum, Kabareskrim Polri, Komjen Pol. Syahardiantono memastikan kepolisian memedomani ketentuan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA). Dari 295 anak, 68 anak diproses melalui diversi, sementara lainnya ditempatkan di LPKS atau menjalani proses hukum sesuai ketentuan.
“Penegakan hukum hanya dilakukan terhadap pelaku kerusuhan atau melanggar hukum, bukan terhadap pendemo yang damai. Dalam menangani anak, seluruh jajaran kepolisian memedomani Undang-Undang SPPA” jelasnya.
Selain itu, Kompolnas menegaskan peran pengawas eksternal dan dan mengapresiasi Polri telah mengedepankan prinsip perlindungan anak. Kompolnas memastikan pengawasan berlanjut agar proses hukum sesuai aturan.
KPAI juga menegaskan akan terus melakukan pengawasan, terutama di 11 Polda yang masih menangani perkara anak. Lebih jauh KPAI mendorong keterlibatan keluarga, sekolah, masyarakat, dan pemerintah daerah untuk memperkuat literasi digital serta menyediakan ruang aman bagi anak untuk berpartisipasi melalui forum anak.
“Kami berharap peristiwa ini menjadi pembelajaran bersama. Anak-anak memiliki hak untuk bersuara, tetapi harus dilindungi dari keterlibatan dalam kerusuhan atau aksi kekerasan yang membahayakan mereka,” tutup Margareth. (Ed:Kn)