Jakarta, – Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menegaskan pentingnya negara menjadikan kepentingan terbaik anak sebagai pertimbangan utama dalam sertiap regulasi dan kebijakan hukum. Pesan ini disampaikan dalam audiensi bersama Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kementerian Hukum yang membahas evaluasi tindak pidana kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kantor KPAI, pada (22/09/2025).
Anggota KPAI, Dian Sasmita, menekankan bahwa anak adalah korban yang harus mendapatkan perlindungan penuh tanpa diskriminasi. Negara wajib memastikan hak atas hidup, tumbuh kembang, serta perlindungan dari segala bentuk kekerasan. Kepentingan terbaik anak harus menjadi pertimbangan utama dalam setiap regulasi,” ujarnya.
Pertemuan ini bertujuan mengidentifikasi kendala dalam regulasi dan memperkuat koordinasi antar lembaga agarlahir kebijakan hukum yang responsif, berpihak pada korban dan mampu memperkuat perlindungan perempuan serta anak.
Widya Oesman, Analis Hukum Ahli Madya BPHN menyampaikan hasil evaluasi terhadap 17 peraturan perundang-undangan, (8 undang-undang, 4 peraturan pemerintah, dan 5 peraturan menteri). Hasil awal menemukan sejumlah persoalan serius, diantaranya: penyelesaian kasus kekerasan seksual di luar jalur peradilan, ketidakjelasan definisi penelantaran anak dalam UU Penghapusan KDRT, perbedaan tata cara pengajuan restitusi korban, lemahnya implementasi diversi dalam UU Sistem Peradilan Pidana Anak, korban anak masih menanggung biaya visum et repertum, pendampingan khusus bagi anak berkebutuhan khusus korban kekerasan belum optimal.
Data terkini menunjukkan urgensi persoalan: 20.221 anak korban kekerasan tercatat pada 2023, meningkat menjadi 21.648 anak pada 2024 (SIMFONI PPA). Sementara itu, Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) 2024 mencatat 9 dari 100 anak usia 13–17 tahun pernah mengalami kekerasan seksual sepanjang hidupnya.
KPAI juga menyoroti sekitar 4.000 anak setiap tahun masih berada di LPKA, lapas, atau rutan, sehingga diperlukan kebijakan diversi yang lebih berpihak pada anak tanpa mengabaikan hak korban.
Menurut Dian, penguatan perlindungan anak membutuhkan pendekatan berlapis: primer (pencegahan umum bagi seluruh anak), sekunder untuk kelompok berisiko), dan tersier (penanganan anak korban). “Peraturan perundang-undangan harus benar-benar menginternalisasi prinsip hak anak, agar anak tumbuh dalam lingkungan yang sehat, aman, dan mendukung perkembangan holistik mereka,” tambah Dian.
Kedepan, KPAI dan BPHN berharap analisis dan evaluasi hukun ini dapat menghasilkan rekomendasi regulasi hukum yang komprehensif, sekaligus mempercepat langkah pemerintah dalam memutus rantai kekerasan terhadap perempuan dan anak di Indonesia. (Ed:Kn)