Perkawinan Gading dan Gisella Retak, Penting Pahami Psikis Anak

JAKARTA – Kabar gugatan cerai yang diajukan Gisella Anastasia kepada suaminya, Gading Marten ramai diperbincangkan masyarakat. Sidang perdana perceraian Gading Marten dan Gisella Anastasia akan digelar pada pekan kedua Desember 2018. Selain urusan harta, perceraian juga berdampak pada anak.

Kuasa Hukum Gisel, Andreas Sapta Finandy mengatakan bahwa Gisel dan Gading tidak mempersoalkan siapa yang akan mendapat hak perwalian. Sebab keduanya telah sepakat untuk saling mengasuh buah cinta mereka Gempita. Menurut Andreas, saat ini kedua belah pihak punya wewenang, tapi kalau perwalian memang ke Gisel karena Gempi masih di bawah umur,” kata Andreas Senin 26 November 2018.

Walau begitu, Andreas menjamin Gading bisa bertemu anaknya kapan saja. “Mas Gading bisa bertemu Gempi kapan aja, Mba Gisel tidak akan menghambat jalan untuk bertemu Gempi,” lanjut Andreas.

Perceraian pasangan suami istri terkadang tidak dapat dielakkan. Namun demikian, orang tua perlu mempelajari bagaimana dampak psikologis anak. Susanto, Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), mengatakan perceraian berakibat kompleks bagi anak. Kerap kali tumbuh kembang anak terhambat akibat kondisi tersebut. Kondisi psikis anak cenderung akan terganggu setelah terjadi perpisahan dengan orang tuanya. “Ini kompleks buat anak, belum lagi ada sejumlah kasus, pendidikan anak juga tidak berlangsung dengan baik (setelah perceraian orang tua),” katanya kepada Bisnis, Senin 26 November 2018.

Gisella Anastasia bersama suami, Gading Marten, dan putrinya Gempita Nora Marten. Instagram.com/@gise_la

Menurutnya, sebelum orang tua memutuskan berpisah, biasanya pertikaian yang terjadi ikut menyeret anak. Di beberapa kasus, kata Susanto, saat keluarga mulai retak, anak bisa saja menjadi korban kekerasan baik secara fisik, psikis maupun kekerasan verbal yang dialami dari orang tua. “Titik tekannya tidak semata-mata cerainya, tetapi saat konflik rumah tangga terjadi, anak akan rentan terdampak,” katanya.

Berdasarkan data yang dihimpun KPAI, anak korban perebutan hak kuasa asuh dialami 76 anak laki-laki dan 84 anak perempuan sepanjang 2018. Selain itu, kasus anak sebagai korban pelarangan akses bertemu orang tua terjadi pada 78 laki-laki dan 98 anak perempuan pada tahun yang sama. Dua kasus ini rentan terjadi pada anak setelah kedua orang tua memilih jalannya masing-masing.

Dia mengatakan seharusnya orang tua bisa membangun relasi positif satu sama lain. Hubungan antara suami dan istri semestinya juga perlu ditingkatkan. Menurut Susanto, hal tersebut harus dilakukan untuk menghindari keretakan dalam rumah tangga yang berdampak kompleks bagi masa depan anak. “Pertama, semua keluarga Indonesia harus menguatkan ikatan keluarga dengan baik. Hindari keretakan rumah tangga, apalagi berakhir cerai. Kedua, pastikan relasi dengan kerabat dan sanak famili terus dikuatkan. Jika ada potensi retak, keluarga dan famili bisa saling membantu untuk mencegahnya,” kata Susanto.

Exit mobile version