Sidang HAM Ke-2: ‘Membongkar Kekerasan’

cegah

2-12-12, tanggal yang unik kata banyak orang. Hari itu ratusan  aktifis hak asasi manusia (HAM) dari seluruh Indonesia, termasuk kalangan Pemerintah dan Pemerintah Daerah, institusi HAM ASEAN, lembaga internasional  berkumpul di auditorium  Pusat Perfilman Usmar Ismail, Kuningan, Jakarta.  Hari itu digelar hajat Sidang HAM Ke-2, yang diselenggarakan 3 lembaga HAM nasional (national humanrights institution/NHRI): Komnas HAM, Komnas Perempuan dan KPAI. Temanya? Pemenuhan Hak Korban atas Kebenaran, Keadilan dan Pemulihan.

Sepekan sebelum Sidang HAM Ke-2 itu, saya diminta KPAI menjadi pakar penanggap Laporan KPAI bertitel “Kekerasan terhadap Anak di Sekolah: Tanggungjawab Negara dan Peran Non-State Actors dalam Mewujudkan Sekolah Ramah Anak”. Undangan yang menggairahkan.  Dua pakar lain, Marzuki Darusman (mantan ketua Komnas HAM) dan Saparinah Sadeli  (mantan Ketua Komnas Perempuan) menanggapi laporan Komnas HAM dan Komnas Perempuan.

Sidang itu memang bertemali  dengan hari HAM 10 Desember.   Sidang HAM  itu dikemas padat, mulai mendengar Laporan 3 NHRI, tanggapan korban dan pendamping korban, institusi publik, pakar, Pemerintah dan DPR. Di ujung acara dirumuskan rekomendasi tindak lanjut kepada berbagai pihak. Suasana,  format acara dan tata tertib Sidang HAM itu dirancang seperti Sidang HAM di PBB. Para pembicara penanggap berpidato singkat:  5 s.d 10 menit, lengkap  dengan lampu penanda hijau, kuning, merah di mimbar, yang menentukan tanda pembicara mulai, siaga dan selesainya jatah waktu bagi tetiap pembicara.

Saya kebagian jadwal di tengah acara, sesi ke-6, sekitar pukul 13.30 WIB setelah pidato Marzuki Darusman dan Saparinah Sadeli. Karena waktu cuma 10 menit, saya mengambil siasat. Tak semua dibacakan, namun utuh, tidak monoton dengan mencukupkan intonasi dan irama kata.  Tahun lalu, saya juga diminta berpidato dalam Sidang HAM Ke-1, dengan tema “Penundaan Ekstrak Putusan Anak Berkonflik dengan Hukum”.

Saya menyiapkan naskah pidato bertitel “Dekonstruksi Kekerasan terhadap Anak di Sekolah”, dengan pembuka kata mengutip sebagian titah Mahatma Gandhi. “Akar kekerasan: …, pengetahuan tanpa karakter, …ilmu tanpa kemanusiaan”.

Berikut ini, untuk website www.advokatmuhammadjoni.com dikutip secara utuh naskah tanggapan saya untuk laporan KPAI:

Kekerasan terhadap anak adalah frasa yang mengandung ironi, bahkan ironi yang berakar besar. Kekerasan itu adalah ekspresi yang menggunakan kekuatan atau kekuasaan yang saling berhadap-hadapan, saling konflik. Kekerasan atau violence berasal dari kata latin  violentus yang berasal dari kata “vi” atau “vis” yang berarti kekuasaan.  Kekerasan itu “vis a vis”.

Menurut Collins Dictionary of Sociology, kata violence dimaknakan penggenaan derita/luka/kerusakan fisik terhadap tubuh manusia atau harta benda, atau properti, dengan kekuatan fisik, menggunakan anggota tubuh, senjata atau benda lain. Kalau dalam ajang perjuangan politik ide penggunaan kekerasan dimulai  dengan “anarcho syndicalism”  dari pemikiran Geoge Sorel. Dalam hubungan  sosial, kekerasan adalah permainan kekuasaan dan otoritas [Erlyn Indarti, Dr., S.H., “Demokrasi dan Kekerasan: Sebuah Tinjauan Filsafat Hukum”. Diunduh dari http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/21082335.pdf.].

Akankah itu memiliki tempat bagi perjuangan pendidikan? Mempunyai tempat di lingkungan sekolah dalam membenihkan peradaban? Sungguh, pendidikan dan kekerasan bukan gagasan yang sama. Jika Alexis de Tocqueville, bertitah bahwasanya demokrasi kompatibel dengan kemerdekaan. Maka, pendidikan tidak kompatibel dengan kekerasan.  Pendidikan itu vis a vis dengan kekerasan.  Kekerasan tidak etis  berkolaborasi dengan pendidikan atau mengatasnamakan pendidikan. Tak elok keadaban pranata pendidikan menjadi lipu, remuk dan kusam disebabkan noda kekerasan.

Inti dari demokrasi adalah pengakuan terhadap kemajemukan dan keragaman. Inti dari kekerasan? Tiadanya pengakuan atas kemajemukan dan keberagaman. Inti kekerasan terhadap anak di sekolah? Tidak diakuinya anak sebagai  subjek individual bernilai  intrinsik dan unik, bukan “sampah” yang bau dan gagal menyerap kurikulum. Sehingga pranata  pendidikan merasa pongah dan sok mulia, pun merasa pantas menderakan kekerasan pada anak/siswa yang dimanipulasi sebagai edukasi, dijargonkan atas nama pendidikan. Pandangan dan kenyataan ini harus dibongkar.

Kaum Critical Legal Studies (CLS) menyerukan deconstracting reality,  membongkar  pemikiran hukum yang sudah terbentuk, membongkar hegemoni dan  delegitimasi hirarkhi/relasi  untuk pembentukan kembali (reconstraction)  pemikiran hukum baru [Donald H. Gjerdiner, “The Future of Legal Scholarship and the Search for a Modern Theory of Law”, Buffalo Law Review, Vol. 35, No. 2 Spring, 1986. Juga  Brian Bix, “Jurisprudence – Theory and Context”, Second Edition, Sweet & Maxwell, London,1999].

Sangat sahih dan waras (“norm and logic”) setakat  KPAI berteriak keras tatkala  kekerasan bersemi di sekolah, yang dikuatirkan   menjadi toleran pada kekerasan di sekolah, dan  menurut KPAI “dianggap biasa dan menjadi budaya di sekolah-sekolah tertentu” [vide Laporan KPAI pada Sidang HAM Ke-2,  “Kekerasan terhadap Anak di Sekolah: Tanggungjawab Negara dan Peran Non-State Actors dalam Mewujudkan Sekolah Ramah Anak”, 2012, h. 7].

Lima Ironi: Kerangka Analisis

Membaca Laporan KPAI pada Sidang HAM ke-2 itu, saya membatin dan menyembulkan beberapa kegundahan kekerasan terhadap anak di sekolah. Ada 5 ironi yang menjadi kerangka analisis-konseptual mengapa wajib membuat intervensi serius, termasuk Kepala Negara [vide “Laporan KPAI pada Sidang HAM Ke-2”, h.6].

Pertama:  Pranata pendidikan dan institusi sekolah adalah simbol peradaban dan kemajuan moral bangsa. Bukankah pendidikan tidak kompatibel dengan kekerasan.  Pendidikan itu vis a vis kekerasan.  Kekerasan tidak etis  berkolaborasi dengan pendidikan atau mengatasnamakan edukasi. Dengan nilai, gagasan dan tesis seperti itu maka kekerasan di sekolah menjungkirbalikkan inti gagasan pendidikan.  Kebanggaan apa yang hendak diraih jika sekolah mengadaptasi nilai, rules dan tindakan kekerasan. Bukankah sekolah hendak memuliakan manusia.

Dalam kasus konkrit, tak semestinya ada pelecehan seksual di sekolah, hukuman badani (corporal punishment),  pemecatan siswa yang menjadi korban pemerkosaan, tawuran dan segala bentuk kekerasan fisik maupun psikis.  Locus atau tempat terjadi kekerasan, menelusup masuk ke pranata pendidikan sangat mungkin karena   pemeberian  kekuasaan dan otoritas di luar otoritas akademis, atau gegabah mengatasnamakan otoritas pendidikan.

Kedua:  Kekerasan adalah ekspresi menggunakan kekuasaan dan kekuatan, yang paling kuno.  Pun dalam hubungan  sosial, kekerasan adalah permainan kekuasaan dan otoritas. Namun, tidak sepatutnya relasi sosial antara anak/siswa dengan sekolah dalam pola relasi kekuasaan dan otoritas, apalagi pola hubungan sosial yang vulgar dan liar beringas yang maujud sebagai kekerasan.  Akan tetapi semestinya mengedepankan keteladanan dan kemajuan pemikiran.

Sungguh tak terbayangkan kekerasan terhadap anak di sekolah masih saja terjadi di zaman digital, bukan di zaman batu yang mengandalkan kekerasan untuk mempertahankan kehidupan dari seleksi alam (survival of the fittest). Tempus atau saat terjadinya kekerasan ternyata tak mengenal masa/zaman, tak pupus dalam sejarah tetapi senantiasa berubah bentuk bahkan kerapkali tak terbayangkan.

Ketiga: Kekerasan itu terjadi pada subjek anak/siswa yang sedang dalam evolusi kapasitas (evolving capacities). Anak bukan orang dewasa dalam ukuran mini, dia  membutuhkan 2 (dua) tugas ganda orang dewasa yakni memandu  (guiding) dan mengarahkan (directing) anak.

Kekerasan terhadap anak sebagai subjek yang belum mandiri meenciptakan efek meniru (duplikatif) dan mengulangi (repetitif), sehingga kekerasan akan berlangsung  sebagai sejarah berlanjut.  Akibatnya,  kekerasan terhadap anak  terjadi dalam bentuk dan modus yang tidak terbayangkan. KPAI mendalilkan kekerasan menjadi akar persoalan mengapa anak berhadapan dengan hukum atau children in conflict with the law [vide,  “Laporan KPAI pada Sidang HAM Ke-2”, h.7].

Keempat: Kekerasan terhadap anak tak bisa dibantah termasuk pelanggaran hak-hak anak (rights of the child).  Karena  hak anak adalah hak asasi manusia (child’s rights are human rights), namun  hak-hak anak selalu diabaikan dan dianggap urusan sosial biasa, bukan hal ihwal hak asasi manusdia (HAM).  Keliru jika mengasumsikan hak anak hanya sebagai “HAM Kecil” yang tidak terlalu penting, dan tidak seksi dibandingkan dengan urusan “HAM Besar”.

Implikasinya, urusan hak anak  diposisikan sebagai urusan  patologi sosial semata atau ihwal penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS), bukan ihwal  HAM itu sendiri.  Bukankah esensi Negara Hukum adalah HAM itu sendiri. Bukankah Konstitusi  telah mengakui hak-hak konstitusional anak dalam Pasal 28B ayat (2) UUD 1945. Implikasinya, kekerasan terhadap anak dianggap masalah sekunder.

Kelima: Kekerasan terhadap anak di sekolah masih terjadi, walaupun secara juridis konstitusional sudah ada  Pasal 28B ayat (2) UUD 1945, suatu  kemajuan   konstitusional anak yang dilindungi dari kekerasan dan diskriminasi. Namun, amanat konstitusi itu belum sepenuhnya mampu memberikan perlindungan anak dari kekerasan.  Di lingkungan sekolah, kekerasan masih dialami anak.  Frekuensinya tak bisa dipandang enteng, karena sebanyak 87,6%  anak mengaku mengalami kekerasan di lingkungan sekolah [vide, “Laporan KPAI pada Sidang HAM Ke-2”, h.8].

Ibarat tamsil, jika datang ombak pantai berubah, maka kedatangan Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 sepatutnya mengubah keadaan yang menghapuskan kekerasan terhadap anak. Dalam setarikan nafas Negara mesti memosisikan ihtiar mengatasi kekerasan terhadap anak di sekolah sebagai tanggungjawab konstitusional, tanggungjawab inti bukan sambil lalu. Bukankah hak anak adalah HAM itu sendiri. Pasal 28I ayat (4) UUD 1945 menegaskan “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggungjawab Negara, terutama Pemerintah”. Karena itu tepat  KPAI meminta perhatian serius Kepala Negara [vide, “Laporan KPAI pada Sidang HAM Ke-2”, h.6].

KTA: Berbagai Lokus dan Aktor

Merujuk kepada Laporan KPAI,  Kekerasan terhadap anak (KTA) masih kasat mata.  KTA terjadi kapan saja, di mana saja, dan bisa dilakukan siapa saja. KTA terjadi   setiap masa (dulu dan kini), setiap tipikal lingkungan (domestik dan publik), dan dilakukan segala aktor  [kerabat domestik, lingkungan,  bahkan (aparatur dan kebijakan) negara].

Kekerasan mengintai anak-anak dalam  segala tempat (lokus). KPAI melaporkan KTA terjadi di lingkungan keluarga (91%), di lingkungan sekolah (87,6%), lingkungan masyarakat (78,3%) [vide “Laporan KPAI pada Sidang HAM Ke-2”, h.8].   Dapat  didalilkan,  keluarga/rumah tangga  belum “fit” untuk anak-anak. Komunitas (sekolah dan masyarakat)  belum aman (“save”) untuk anak. Kebijakan dan tindakan negara  belum sensitif  hak anak. Dari bentuk KTA, yakni  kekerasan fisik, kekerasan seksual dan kekerasan psikis.  Dalam berbagai kasus, bentuk kualitatifnya  justru  agresif dan tak terbayangkan,  seperti kasus “Is” di Bekasi, dan kasus “Ag” di Tangerang.

Data yang diungkapkan KPAI hanya “fenomena gunung es”.  Masih banyak kasus KTA tidak dilaporkan dan tidak tercatat (under/non reporting cases).  Malahan, kekerasan seksual pada anak dianggap aib keluarga ataupun sekolah yang harus ditutupi dan  tidak diproses hukum.  Dalihnya  melindungi “nama baik” keluarga.

Intervensi  terhadap  anak  masih abai. Rehabilitasi korban (medis, psiko-sosial, pendidikan)   belum  total dan menyeluruh namun masih kasuistis.   Dalam  banyak kasus, terjadi kesenjangan  antara  proses hukum  dengan rehabilitasi anak.   Korban berani melaporkan kasus KTA,  utamanya kekerasan seksual,  bukan keberanian yang otonom.  Tetapi  berkat dukungan, fasilitasi,  dan advokasi pihak eksternal, baik dari  keluarga, pendamping, NGO, ataupun media massa.  Memperkuat dan mendampingi korban menjadi agenda penting melawan KTA.  Walaupun,  tidak banyak  warga  yang rela menjadi “peniup pluit” kasus KTA.

Tawuran pelajar dan tindakan bullying yang diungkap KPA dalam Laporan Sidang HAM ini, tak bisa hanya dipandang sebagai  maujud perbuatan kekerasan di lingkungan sekolah. Namun, bermula dari pandangan dan sub kultur yang tersembunyi di alam bawah sadar  pelakunya. Tawuran bukan hanya  kekerasan fisik sebagai tindakan, tawuran tidak terjadi reaksi spontan  tetapi menyimpan sumbu api di alam bawah sadar yang meledak kala di sulut  amarah yang membara.

Tawuran pelajar sebagai pikiran bawah sadar itu  harus dilakukan “denormalisasi”, bila  enggan menyebut “deradikalisasi”. Kritik yang sulit dibantah, mengapa tawuran pelajar terjadi di lingkungan sekolah yang merupakan pranata pendidikan? Kejadian itu berlangsung sebanyak 196  kali selama tahun 2010 s.d 2012, dengan korban sebanyak 307 orang.

Entah karena benih kompetisi dari luar sekolah atau terbentuk  “chauvisme”  dalam sekolah, namun tawuran pelajar senantiasa bertemali  dengan label sekolah, sehingga tak berlebihan jika soal ini bertemali dengan kegagalan sekolah secara dini membungkam benih tawuran. Bukankah pendidikan tak hanya sekadar mesin transfer kongitif.

Sekolah sebagai unit analisis dari hal ihwal tawuran mesti diberdayakan dan didukung dalam melakukan denormalisasi tawuran. Intervensi penanganan  tawuran ini mesti menyentuh aspek nilai, rules dan tindakan.

SRA: Keharusan Sejarah, Amanat Konstitusi

Mengatasi KTA di sekolah tidak akan selesai dengan mengedepankan hukuman atau pemidanaan. Pendidikan semakin gagal andai membiarkan kekerasan tetap terjadi tanpa penganggulangan utuh. Gagasan Sekolah Ramah Anak atau SRA selain mengatasi kekerasan di sekolah, juga membekali sekolah dengan nilai dan konsep serta rules yang memosisikan anak/siswa (yang menjadi pelaku ataupun korban KTA) bukan “sampah” atau residu dari proses pendidikan. Tiap-tiap individu anak  adalah sumber daya manusia yang  unik,  istimewa dan lebih bernilai dari sumber daya alam dan energi apapun.  Bukankah Tuhan menjadikan tiap-tiap manusia begitu spesifik, tak ada sidik jari atau retina mata manusia yang sama walaupun kembar siam identik.

Kua juridis-konstitusional, konsepsi SRA mempunyai justifikasi, dan kua juridis-konstitusional  tidak semestinya anak-anak mengalami kekerasan di sekolah.  Mengapa? (1) Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 menjadi  landasan konstitusional perlindungan anak dari kekerasan dan diskriminasi.  (2) Pasal 28I ayat (4) UUD 1945, perlindungan HAM atas anak dari kekerasan di sekolah merupakan tanggungjawab Negara utamanya Pemerintah. (3) Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 menjamin anak-anak memperoleh hak kemudahan dan perlakuan  khusus, terhadap anak-anak yang mengalami trauma atau membutuhkan perlindungan khusus (special protection) seperti korban perkosaan, dengan menyediakan  pendidikan/sekolah layanan khusus.

Dengan argumentasi juridis konstitusional itu, maka SRA dan sekolah layanan khusus tak memadai hanya dijembatani dengan usulan  kebijakan nasional dan regulasi  setingkat Peraturan Menteri PP dan PA Nomor 2 Tahun 2011 [vide “Laporan KPAI pada Sidang HAM Ke-2”, h. 19 dan 28],  akan tetapi diintegrasikan dalam Undang-undang. Sangat kuat alasan mengintegrasikan SRA ke dalam amandemen UU Sistem Pendidikan Nasional, dan bukan hanya amandemen UU Perlindungan Anak sebagaimana usulan KPAI [vide “Laporan KPAI pada Sidang HAM Ke-2”, h.20].

Dengan  dasar juridis konstitusional itu pula, maka kuat alasan mewajibkan Pemerintah Daerah (Propinsi dan Kabupeten/Kota) membuat Peraturan Daerah (Perda) tentang Perlindungan Anak, sebagai konsekwensi dari kepatuhan organ negara (Gubernur dan Bupati/Walikota) kepada konstitusi. Kecenderungan daerah membagun fisik gedung dan material, tanpa membangun manusia dengan pendidikan tak akan menjamin kemajuan daerah itu bahkan bisa menjadi beban nasional. Bukankah kemajuan daerah akan menyumbang sumber daya manusia dan pemimpin untuk kemajuan nasional dan kejayaan bangsa? Bukankah dalam sejarah justru dari daerah-daerah  justru menyumbangkan para figur dan tokohnya sebagai founding fathers Negara Indonesia?

Dengan SRA dan sekolah layanan khusus  sebagai gagasan yang didorong masuk ke dalam UU Sistem Pendidikan Nasional, mesti diberikan substansiasi, institusionalisasi, dan operasionalisasi sebagai bagian integral sistem pendidikan nasional. SRA diharapkan menjadi instrumen menjamin anak/siswa termasuk anak-anak korban kekerasan, ataupun anak-anak pelaku kekerasan (tawuran, bullying) tidak lagi dipandang sebagai “sampah” atau residu dari proses pendidikan yang  enggan di bina dan disingkirkan dari proses pendidikan.

Sekolah yang otentik bukan hanya mendidik anak/siswa menjadi “mesin” pendidikan yang meneransfer kognitif, akan tetapi mengubah keadaan anak/siswa dari keadaan semula yang dianggap destruktif menjadi menjadi sumber daya manusia yang kemilau dan berguna. Secara bersamaan, SRA juga sebagai tesis yang akurat mendekonstruksi nilai-nilai, rules dan tindakan destruktif anak (tawuran, bullying) dan menghapuskan kekerasan terhadap anak itu sendiri.

Anak-anak adalah pelanjut kelangsungan bangsa, dan mereka adalah putra-putri kehidupan. Jika BPS “dengan data membangun bangsa”, maka jargon yang pas untuk melaksanakan Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 adalah “melindungi anak, membangun bangsa”.

Jakarta, 12 Desember 2012.

Selamat Hari HAM.

Exit mobile version