“AKTA KELAHIRAN” HAK ANAK YANG TERABAIKAN

aktaPada umumnya kedudukan hukum seseorang dimulai pada saat ia dilahirkan dan akan berakhir pada saat ia meninggal. Sedangkan peristiwa kelahiran sampai dengan kematian seseorang, akan membawa akibat-akibat hukum yang sangat penting tidak saja untuk yang bersangkutan sendiri, akan tetapi juga bekas isteri atau bekas suami dan anak-anak mereka. Berdasarkan itu, maka sangatlah perlu seseorang itu memiliki dan memperoleh suatu tanda bukti diri dalam kedudukan hukumnya, supaya mudah mendapatkan kepastian tentang kejadian-kejadian tersebut.

Kelahiran merupakan peristiwa hukum yang memerlukan adanya suatu peraturan yang tegas, jelas dan tertulis sehingga tercipta kepastian hukum dalam masyarakat. Oleh karena itu pemerintah mengeluarkan beberapa peraturan diantaranya adalah peraturan mengenai kelahiran. Setiap kelahiran wajib dilaporkan oleh penduduk kepada instansi pelaksana di tempat terjadinya peristiwa kelahiran paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak kelahiran.

Pencatatan kelahiran merupakan hal yang sangat penting bagi orang yang bersangkutan maupun bagi negara, karena dengan adanya pencatatan kelahiran yang teratur maka berbagai persoalan dapat diselesaikan, misalnya dapat diketahui pertambahan penduduk, hal ini akan membantu pemerintah dalam menetapkan kebijaksanaan yang berhubungan dengan masalah kependudukan.

Ada tiga alasan mengapa pencatatan kelahiran itu penting :

  1. Pencatatan kelahiran adalah pengakuan formal mengenai keberadaan seorang anak, secara individual terhadap negara dan status anak dalam hukum.
  2. Pencatatan kelahiran adalah elemen penting dari perencanaan nasional. Untuk anak-anak, memberikan dasar demografis agar strategis yang efektif dapat dibentuk.
  3. Pencatatan kelahiran adalah cara untuk mengamankan hak anak lain, misalnya identifikasi anak sesudah berperang, anak ditelantarkan atau diculik, agar anak dapat mengetahui orang tuanya (khususnya jika lahir diluar nikah), sehingga mereka mendapat akses pada sarana atau prasarana dalam perlindungan negara dalam batas usia hukum (misalnya : pekerjaan, rekruitment ABRI, dalam sistem peradilan anak) serta mengurangi atau kemungkinan penjualan bayi.

Kegagalan orangtua untuk mencatatkan anaknya dalam jangka waktu segera setelah kelahirannya, seharusnya justru mendorong Negara untuk lebih keras melakukan kegiatan proaktif pencatatan kelahiran dan bukannya menambah kesulitan dengan “menghukum” anak tersebut dengan sanksi dan denda untuk mendapatkan hak identitasnya, apapun kesalahan atau kelalaian dari orangtuanya.

Dalam menyongsong rangkaian Hari Anak Nasional Tahun 2013, perlu diketahui bersama bahwa Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) bersama Jaringan Kerja Peduli Akta Kelahiran (JAKER_PAK) sejak tahun lalu sampai saat ini sedang berjuang untuk melakukan Judicial Review terhadap UU Nomor 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (UU Adminduk) kepada Mahkamah Konstitusi karena dianggap bertentangan dengan UUD 1945, terutama salah satu batu ujinya pada Penjelasan Umum UU Nomor 23/2006 (alinea 10, kalimat 3) yang berbunyi Pendaftaran Penduduk pada dasarnya menganut stelsel aktif bagi Penduduk”, dengan tegas menentukan asas Pencatatan Sipil yang membebankan kewajiban pada penduduk untuk mendaftarkan setiap peristiwa penting, termasuk kelahiran anak, merupakan asas yang membebaskan/menghilangkan kewajiban Negara (state obligation) sebagai pihak yang bertanggungjawab untuk menjamin, melindungi dan memenuhi hak konstitusional atas identitas, termasuk hak atas kewarganegaraan (nationality), nama (name) dan hubungan kerabat (family relations).

Sebagai gambaran ancaman kegagalan Negara melakukan pencatatan kelahiran anak terbukti dan telah diakui dengan:

—Pengakuan Pemerintah cq Menteri Dalam Negeri RI, yang dibuktikan dengan diterbitkannya Surat Edaran Surat Menteri Dalam Negeri RI No. 472.11/3444/SJ tanggal 13 September 2011, yang pada pokoknya menentukan bahwa “anak-anak yang lahir setelah UU No. 23/2006 dan belum mengurus akte kelahiran dapat dilayani dan diterbitkan akte kelahirannya tanpa penetapan pengadilan”.

—Pengakuan Mahkamah Agung dengan diterbitkannya Surat Edaran Nomor 06 Tahun 2012 tentang Pedoman Penetapan Pencatatan Kelahiran Yang Melampaui Batas Waktu Satu Tahun Secara Kolektif, tertanggal 6 September 2012.

—“Ancaman sanksi” merupakan bentuk pengalihan keasalahan tanggung jawab pemerintah kepada masyarakat, akibat absennya peran pemerintah untuk pemenuhan HAM  sesuai Pasal 28I ayat (4) UUD 1945 “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan Hak Asasi Manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah”.

—“Ancaman Sanksi” merupakan bentuk kriminalisasi, yang tidak logis karena Negara/Pemerintah justru “tidak berbuat sesuatu” karena adanya kesenjangan masyarakat atas akses pelayanan, geografis sulit terjangkau, kemiskinan ekonomi, sehingga terhalang memperoleh hak akte kelahiran. 

Bahwa berdasarkan data BPS  Susenas 2010 secara kuantitatif jumlah anak yang memiliki akta kelahiran sekitar 54,79 persen, dari jumlah tersebut ternyata 14,57 persen diantaranya tidak dapat menunjukkan akta kelahirannya. Persentase jumlah anak yang tidak memiliki akta kelahiran terhitung masih cukup tinggi, yaitu sekitar 44,09 persen.

Data Penduduk Usia 0-4 Tahun yang Memiliki Akta Kelahiran menurut Provinsi (Sensus BPS, 2005), sebelum UU No. 23 Tahun 2006 disahkan, sebanyak 42,82%. Sedangkan data Penduduk Usia 0-4 Tahun yang Memiliki Akta Kelahiran, (sumber BPS, Susenas 2011), setelah UU Nomor 23/2006 disahkan sebanyak 59%.

Fakta tersebut membuktikan bahwa asas “Stelsel Aktif bagi Penduduk” tidaklah efektif diterapkan dalam pencatatan kelahiran anak sejak ia dilahirkan, karena tidak ada peningkatan siginifikan dalam Pencatatan Kelahiran. Bahkan menjadi bukti bahwa “Stelsel Aktif bagi Penduduk”  kausal yang menghalangi atau menghambat anak untuk memperoleh hak atas akta kelahiran. (sdz/KPAI)

Exit mobile version