Anak Laki-Laki Makin Rentan Terkena Kejahatan Seksual

JAKARTA – Koordinator Tim Ahli Pengarusutamaan Gender di sembilan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam sekaligus  Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susanto mengatakan, terungkapnya kasus kejahatan seksual terhadap anak di Bogor telah menghebohkan publik.

“Bahkan menurut Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri Brigjen Pol Agung Setya,  saat awal penelusuran pelaku AR, hanya diketahui korbannya sebanyak delapan antara lain terdiri dari tujuh anak. Namun, daftarnya ada 99 anak yang diduga menjadi obyek eksploitasi seksual pelaku dan jaringannya,” katanya, Selasa, (27/9).

Pelaku atau germo yang menjual anak laki-laki di Bogor, ujar Susanto, tampaknya merupakan residivis dan telah mengalami proses hukum yang mirip. Hanya saja, kasus pertama korbannya perempuan, namun kasus terakhir mengalami perbedaan pola. Yakni, pelaku justru mengesploitasi anak laki-laki untuk kaum penyuka sesama jenis.

Kasus tersebut, menurut Susanto, merupakan bagian kecil dari kompleksitas kasus yang ada. Kata dia, masih banyak kasus kejahatan seksual, trafficking,  pornografi, prostitusi, penelantaran dengan modus yang semakin canggih dan selalu bermetamorfosis dari waktu ke waktu, seiring dengan perubahan sosial dan perkembangan teknologi yang semakin pesat.

“Semakin canggihnya modus kejahatan, kerentanan tidak hanya pada perempuan dan anak perempuan. Namun anak laki-laki juga rentan tergantung konteks dan lingkungan sosial berada,” kata dia.

Kejahatan terjadi sangat dinamis. Perempuan, anak, dan kelompok rentan seringkali menjadi obyek kejahatan dengan berbagai modus dan bentuknya. Kejahatan merupakan bentuk nyata dari penyimpangan sosial dan berpotensi mencetak pelaku baru.

Menurut teori pergaulan berbeda (Differential Association) Edwin H. Sutherland, ucap Susanto, penyimpangan perilaku akibat dari pergaulan dengan sekelompok orang yang telah menyimpang bisa terjadi. Penyimpangan diperoleh melalui proses alih budaya (cultural transmission). Melalui proses ini seseorang mempelajari suatu subkebudayaan menyimpang (deviant subculture), sehingga melakukan tindakan yang sama.

Kehidupan dan kegiatan akademik seyogyanya selalu berkembang, bergerak maju bersama dinamika perubahan sosial. Saat masyarakat dihadapkan pada kompleksitas masalah kekerasan berbasis gender, lazimnya budaya akademik menangkap sinyal, bukan justru menjaga jarak dan ekslusif.

Melihat kompleksitas kerentanan perempuan dan anak dari segala bentuk kejahatan, kekerasan, diskriminasi dan marginalisasi, kata dia, maka budaya akademik sangat dinantikan relevansinya. “Perguruan tinggi termasuk Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI), perlu melakukan pengembangan kultur akademik sebagai basis penguatan perspektif, kepekaan dan keterampilan, jika para alumni ingin menjadi bagian dari solusi, bukan menjadi bagian dari masalah,” tandasnya.

Exit mobile version