Anak Selundupkan 30 Kg Sabu

JAKARTA—Keterlibatan anak dalam peredaran narkotika kian kronis. Tidak hanya menjadi sasaran konsumen untuk memperluas pasar, bahkan kemarin (5/11) Badan Narkotika (BNN) menangkap seorang anak berusia 18 tahun berinisial A yang menjadi bandar dengan kedapatan membawa 30 kg sabu di Jalan Medan-Banda Aceh, Aceh Tamiang, Aceh.

Sesuai undang-undang nomor 35/2014 tentang perlindungan anak, usia anak dikategorikan hingga 18 tahun. Karena itu, A masih digolongkan seorang anak yang proses hukumnya harus sesuai dengan aturan khusus, sistem peradilan pidana anak (SPPA)

Menurut data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sejak tujuh tahun terakhir ini dari 2011 hingga 2017 terdapat 178 anak yang kedapatan menjadi bandar narkotika. Namun, baru kali ini ada penangkapan anak yang membawa 30 kg sabu. Artinya, anak yang mengedarkan 30 kg sabu ini merupakan yang terbesar.

Deputi Pemberantasan BNN Irjen Arman Depari menjelaskan, sekitar pukul 00.30 tersangka berencana melakukan transaksi, namun lokasinya berpindah-pindah. Begitu lokasi diketahui, petugas melakukan penyergapan. ”Tersangka ini berupaya melarikan diri dengan menggunakan mobil Jazz nopol BK 1200 GO,” terangnya.

Terjadilah kejar-kejaran antara tersangka dengan petugas di jalanan. Di tengah kejar-kejaran itu, mobil pelaku mengalami kecelakaan dengan masuk ke parit. ”Beberapa pelaku berhasil lolos dari sergapan, hanya satu yang berinisial A ini yang tertangkap,” tuturnya.

Saat dilakukan penggeledahan, di dalam mobil itu terdapat 30 kg sabu yang ditaruh dalam sebuah karung. Pelaku berinisial A ini lalu diperiksa, ternyata dia masih sangat muda, berusia 18 tahun dan tinggal di Aceh Timur. ”Kondisi ini sangat mengkhawatirkan,” terangnya.

Dia mengatakan, A diduga merupakan anggota dari sindikat internasional jaringan Malaysia-Aceh. Jaringan A yang lain saat ini masih dilakukan pengejaran. ”Kami masih berupaya menemukan yang lainnya,” ujarnya. 

Memang ada fenomena orang yang menjadi bandar narkotika kian muda. Hal tersebut terlihat dari kasus lain yang ditangani BNN, Sabtu (4/11) seorang pemuda berusia 20 tahun berinisial RA ditangkap karena membawa sabu dengan jumlah yang fantastis, 133 kg dan 8.500 butir ekstasi. Lokasi kejadian masih sama, Aceh.

”Narkotika itu berasal dari Malaysia yang dimasukkan ke Aceh menggunakan kapal nelayan. Begitu sampai ke Aceh, sabu dan ekstasi ini disimpan di rumah pelaku lain berinisial M dengan cara dikubur di pekarangan rumah,” terangnya.

Dia mengatakan, pemberantasan dan pencegahan narkotika memang perlu dilakukan lebih masih. Utamanya, untuk melindungi generasi bangsa yang menjadi sasaran bandar narkotika. ”Pemberantasan narkotika kian urgen,” tuturnya.  Komisioner KPAI bidang kesehatan dan napza Sitti Hikmawatty menuturkan, pada Mei lalu terdapat seorang anak usia 16 tahun yang ditangkap karena membawa 1,6 kg sabu di Parepare, Sulawesi Selatan. Penangkapan kali ini jauh lebih besar dengan 30 kg sabu. ”Ini sungguh mengkhawatirkan,” ujarnya.

Pengaduan adanya anak yang menjadi bandar tiap tahun selalu terjadi. Pada 2011 terdapat 12 anak, 2012 naik menjadi 17 anak, 2013 menjadi 21 anak, kenaikan drastis terjadi pada 2014 dengan 48 anak, untuk 2015 dan 2016 jumlahnya sama 31 anak. Terakhir hingga pertengahan 2017 terdapat 18 anak. ”Jumlah ini hanya yang mengadu, jumlahnya jauh lebih besar sebenarnya,” tuturnya.

Keterlibatan anak dalam peredaran narkotika ini kemungkinan besar memang direncanakan bandar. Sitti menuturkan, saat ini tidak lagi hanya perluasan pasar dengan menyasar anak-anak sebagai konsumen narkotika. Namun, juga dilakukan perluasan marketing bandar narkotika. ”Maka, anak-anak yang dijadikan target menjadi kepanjangan tangan bandar,” keluhnya.

Realitasnya, saat ada anak-anak yang didekati oleh orang dewasa, tentu pihak sekolah dan masyarakat lebih curiga. Mengapa ada orang dewasa yang mendekati anak-anak. Namun, bila anak sebayanya yang menjadi bandar menawarkan narkotika, siapa yang bisa menduga. ”Inilah yang ditargetkan bandar, ini yang kami dapat setelah melakukan diskusi dengan berbagai penegak hukum,” ujarnya.

Menurutnya, kunci utama dalam mencegah anak terlibat dalam narkotika adalah pertahanan keluarga. Keluarga harus membangun komunikasi yang intens untuk bisa mendeteksi kondisi anak. Sekaligus, keluarga harus membangun kepekaan anak terhadap narkotika. ”Anak harus punya kekhawatiran, yang dianggapnya enak seperti narkotika ini berbahaya,” terangnya.

Dia juga menghimbau pada penegak hukum untuk memproses secara khusus sesuai SPPA. Anak tidak boleh disebut sebagai terdakwa dalam persidangan, vonisnya juga harus lebih ringan sesuai dengan aturan. ”Anak masih memiliki jalan yang panjang. Mereka masih bisa diselamatkan,” tegasnya

Exit mobile version