APLIKASI PSIKOLOGI HUKUM DALAM PUTUSAN HAK KUASA ASUH ANAK

PENDAHULUAN

Pada akhir Tahun 2008 media massa diramaikan oleh pemberitaan tentang Syekh Puji dan Lutfiana di Semarang, yang menikahi perempuan berusia 12 tahun dan masih akan menikahi lagi dua anak perempuan yang berusia 7 dan 9 tahun. Komisi nasional anti kekerasan terhadap perempuan K.H. Husein Muhammad menegaskan, dalam konteks Indonesia tidak lagi tepat mengadopsi pandangan lain kecuali Undang-undang perkawinan. Penetapan batas usia minimal 16 tahun bagi perempuan dapat menikah adalah pandangan fikih yang diadopsi ke dalam hukum negara. Karena itu, di dalam konteks masyarakat saat ini, menikah di bawah usia 16 tahun bagi perempuan dianggap belum siap secara psikologis dan biologis. Dampaknya akan merugikan perempuan, menghasilkan perkawinan yang tidak sehat.

 

Terlepas dari kepentingan yang melatari pemberitaan  di atas, tidak dapat dielakkan lagi  keterlibatan berbagai disiplin ilmu pengetahuan  (filsafat, sosiologi, psikologi, dan hukum), hal ini dapat dilihat melalui komentar dari beberapa psikolog, komnas perlindungan anak dan akademisi lainnya. Munculnya keterkaitan antara disiplin ilmu tersebut  adalah adanya  pengkajian antara sifat, karakter, dan ciri khas manusia jika dibandingkan  dengan makhluk lainnya. Kesadaran manusia yang berpikir (cogito ergo sum) dalam tahap rasional menjadi  jawaban atas kekeliruan dari pencarian jati diri manusia. Pengetahuan yang lahir dari kebiasaan melalui mitos dan penyandaran pada teologi juga ikut meramaikan kelahiran ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan diperoleh melalui uji coba (trial and eror), ternyata tidak terlepas  dari perkembangan peradaban manusia (civilization).

Pokok dari segala pengetahuan dan pekerjaan sebagai defenisi singkat Immanuel Kant tentang filsafat (Prasetyo, 2002:hal.10) merupakan induk dari segala ilmu pengetahuan.  Betrand Russel (1946) dalam Sejarah Filsafat Barat membagi tahapan filsafat dalam tiga buku: filsafat kuno, filsafat katolik, dan filsafat modern. Psikologi  juga terbagi dalam beberapa aliran: psikologi dalam (psikoanalisis, behaviorism, ganzheitpsychologie, psikologi fenomenologis) dan psikologi terapan (Abdul Djamali, 1984:109). ”Demikian juga Ilmu hukum terbagi dalam beberapa aliran: aliran hukum alam, aliran positivisme, aliran utilitas, aliran hukum murni, aliran historis, aliran antropologis, aliran sosiologis, dan aliran realis”. (Achmad Ali: 2002, 256-302).

 

Setiap aliran tersebut, baik filsafat, psikologi, dan hukum tidak berarti ”menempatkan manusia dikelas pinggiran temuan dan ciptaannya” meminjam istilah Schumacher (1985),  sehingga antara ilmu hukum dan ilmu lainnya (sosiologi, ekonomi, antropologi, dan psikologi) masing-masing memiliki keterkaitan (interkoneksitas) dalam pengkajian  terhadap suatu permasalahan. Ilmu hukum mempelajari bagaimana menertibkan individu, maka psikologi mempelajari kecenderungan individu, kenapa tidak taat pada peraturan?.

 

Ilmu pengetahuan belum mampu untuk membedakan objek material  dari ilmu yang lain. Objek material dari ilmu hukum adalah gejala-gejala sosial begitu pula halnya dengan objek material  psikologi dan ilmu sosial lainnya. Jadi kita tidak dapat mengidentifikasi sebuah ilmu apabila kita hanya merujuk kepada objek materialnya. Hal yang mampu untuk membeda-bedakan satu dari yang lain adalah objek formalnya. Dengan mengetahui objek formal suatu ilmu pengetahuan, kita dapat membeda-bedakan dengan ilmu pengetahuan lain. Akan tetapi perbedaan objek formal dari ilmu pengetahuan  tersebut (hukum dan psikologi) tidak menjadi kendala untuk saling mengenal metode-metode pengkajiannya.

 

Ilmu hukum secara kasuistis hanya mempelajari seperangkat peraturan (kumpulan Undang-undang) namun disisi lain ilmu hukum dikenal memiliki pendekatan, menurut Achmad Ali (1998:2-5) pendekatan ilmu hukum dapat dilihat dari beberapa jenis pendekatan:

 

”Kajian normatif, memandang hukum dalam wujudnya sebagai kaidah. Kajian  filsufis,  merupakan kajian yang memandang hukum sebagai seperangkat nilai ideal, yang seyogyanya senantiasa menjadi rujukan dalam setiap pembentukan pengaturan dan pelaksanaan kaidah hukum. Kajian empiris adalah kajian yang memandang hukum sebagai kenyataan, mencakup kenyataan sosial, kenyataan kultur dan lain-lain”.

 

Perkembangan ilmu pengetahuan modern sejak renaisans, tidak hanya disambut baik oleh rasionalisme melainkan juga pengetahuan yang harus bersumber dari pengalaman (empeiria). Dengan pendirian dasar itu, pandangan mereka disebut empirisme. Seperti halnya rasionalisme, empirisme berusaha membebaskan diri dari bentuk spekulasi spiritual yang menandai metafisika tradisional. Lama kelamaan aliran empirisme mempelopori kelahiran ilmu-ilmu kemanusiaan modern yang didasarkan pada observasi empiris yaitu psikologi.

 

Ilmu jiwa yang melahirkan psikologi, berabad-abad yang lalu sebenarnya manusia telah memikirkan tentang hakikat dari jiwa manusia dan jiwa makhluk hidup lainnya. Pikiran itu semula bersifat filsafat dalam arti terutama mencari pengetahuan mengenai dasar-dasar dan hakikat jiwa manusia. Corak pemikiran filsafat waktu itu atomistis, artinya jiwa manusia masih dianggap sebagai sesuatu yang konstan dan tidak berubah, dapat dianalisa ke dalam unsur-unsur tersendiri yang bekerja terpisah antara unsur-unsur itu.

 

Pandangan atomistis terlihat dari hasil pemikiran sejak filsuf Plato kurang lebih 400 tahun sebelum Masehi sampai pertengahan abad XIX. Mereka memandang ilmu jiwa merupakan cabang dari ilmu filsafat. sejak lahirnya experimental psycology pada abad XIX  yang bukan saja berfilsafat mengenai gejala-gejala kejiwaan melainkan juga mencantumkan secara umum dengan menggunakan metode ilmiah yang substantif mungkin, maka lambat laun  lahirlah psikologi isu.

 

Psikolog experimental pada tahun 1875, Wilhelm Wunt terdorong oleh keyakinan bahwa gejala-gejala kejiwaan itu mempunyai sifat dan dalil-dalil  yang khas dan yang harus diteliti oleh sarjana illmu jiwa secara khas. Wilhelm Wunt yang menitikberatkan pergolakan jiwa manusia pada alam sadar, dikembangkan oleh Sigmund Freud bahwa kegiatan dan tingkah laku manusia sangat dipengaruhi oleh pergolakan tak sadar bawah sadar tersebut.

 

Sumbangan yang terbesar Sigmund Freud dalam psikologi  hukum yaitu melalui pidatonya di depan hakim Austria tentang ”keputusan hakim yang dipengaruhi oleh proses-proses tak sadar”. ”Even lain yang membuat para psikolog sadar bahwa ide mereka dapat digunakan untuk mentransformasikan sistem hukum adalah terbitnya buku yang berjudul on the witnes stand oleh Hugo Munstenberg (1907)”  (Constanzo, 2006:4), demikian juga dengan munculnya beberapa penelitian psikologi dalam lapangan ilmu hukum seperti diskriminasi hukum, hukuman berat, pornografi, perilaku seks, dan syarat penahanan seorang untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya menanandai kelahiran psikologi dan hukum.

 

Sejak berakhirnya perang 30 tahun yang ditandai dengan lahirnya Negara modern  dalam  perjanjian Westhpalia (1648) dan keruntuhan sosialisme pasca perang dunia pertama dan perang dunia kedua, melalui forum internasional berkembang isu perdamaian, HAM, ras, dan gender. Isu tersebut menjadi embrio lahirnya piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (united nation charter 1945).  UDHR sebagai salah satu perwujudan   organisasi PBB melahirkan sumber-sumber hukum internasional antara lain: ICCPR (International covenant on Civil and Political Right), ICESCR(International Covenant On Economic, Social And Cultural Right), ICRD(international Convention On The Elimination Of All Forms Of Racial Discrimination), Torcure Convention, dan UCRC(United Nation Convention On The Right Of The Child).

 

Meskipun ada anggapan bahwa hak-hak anak telah cukup dilindungi oleh instrumen hak asasi yang ada, khususnya ICCPR, namun pada tahun 1989, tahun kanak-kanak disepakati  sebuah kelompok kerja CHR menyusun sebuah konvensi (UCRC) yang mencamtumkam hak-hak tertentu yang hanya berlaku untuk anak yang didefenisikan oleh Pasal 2:

 

”Sebagai semua manusia berusia di bawah 18 tahun, kecuali berdasarkan Undang-undang yang berlaku bagi anak itu, kedewasaan dicapai lebih dini. Diantara hak-hak baru yang dilindungi adalah hak atas sebuah nama, hak untuk mengetahui orang tuanya dan diasuh, dipertahankan identitas si anak, kebebasan dari pergaulan buruk seksual dan eksploitasi seksual dari obat-obat dan perdagangan narkotik, sejumlah ketetapan juga mewajibkan negara-negara peserta untuk menjamin, dengan mengambil langkah-langkah yang tepat agar anak-anak dimungkinkan untuk berkembang semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuan mereka”.

 

Perhatian psikologi, hukum dan HAM terhadap hak dan kepentingan anak berdasarkan sejarah singkat psikologi dan hukum dapat dilihat melaluii tulisan hakim agung Sail Warren sebagaimana dikemukakan  oleh Mark Constanzo (2006: 9)

 

”Kebijakan pemisahan ras biasanya diinterpretasikan sebagai pertanda menganggap kelompok Negro sebagai kelompok inferior. Perasaan inferioritas ini mempengaruhi motivasi belajar anak, oleh sebab itu segregasi yang disertai dengan sanksi hukum, memiliki tendensi untuk memperlambat perkembangan dan pendidikan mental anak Negro dan membuat mereka tidak dapat memperoleh keuntungan yang mestinya dapat mereka peroleh di dalam sistem persekolahan yang secara rasial terintegrasi”.

 

Hal tersebut,  Mark Constanzo (2006:15) menyimpulkan :

”Bahwa pemisahan anak kulit hitam semata-mata karena rasnya melahirkan perasaan inferioritas terhadap statusnya di masyarakat, yang dapat mempengaruhi jiwa dan pemikiran mereka sedemikian rupa sehingga tidak akan pernah mungkin dipulihkan”.

Di indonesia, diskriminasi terjadi dalam stratifikasi sosial yaitu antara kelas kaya dan kelas miskin,  kelas kayalah yang lebih banyak memiliki peluang untuk menempuh pendidikan sampai jenjang yang tinggi, hal ini sejalan dengan pertanyaan Mark Galanter (dalam Achmad Ali: 1998) ” why the have come out a head”.

 

Terhadap diskriminasi tersebut dalam dunia pendidikan telah mengetengahkan hak setiap anak untuk menempuh pendidikan, Undang-undang dasar 1945 memberikan kesempatan kepada setiap orang untuk mendapatkan pengajaran dan pendidikan (Pasal 31), demikian juga ditegaskan dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dalam Pasal 49 ”Negara, pemerintah, keluarga, dan orang tua wajib memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada anak untuk memperoleh pendidikan”.

 

Hak-hak anak dalam dunia pendidikan merupakan hak prioritas kedua, setelah mendapat hak pemeliharaan dan pengasuhan yang baik. Negara indonesia  telah meratifikasi UCRC pada tahun 1990, sebagai tingkat keseriusan dalam memperhatikan hak dan kepentingan anak, kemudian diikuti Undang-undang No. 4 tahun 1979 tentang Kesejateraan Anak dan Undang-undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

 

Instrumen hukum tersebut menjadi landasan untuk melindungi hak dan kepentingan hidup anak. salah satu penjabaran dari perlindungan hak-hak anak yaitu setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi  Oleh karena itu Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 menjadi pedoman terhadap Pasal 105 dalam Kompilasi Hukum Islam tentang penentuan hak asuh anak.

 

Kompilasi Hukum Islam tidak menyebutkan secara tegas baik dalam bentuk penjelasan maupun peraturan yang akan mengatur kemudian alasan-alasan yang menyebabkan sehingga anak berhak diasuh oleh ibu atau ayahnya. Dengan demikian hakim harus melakukan penemuan hukum, dimana dihadapkan pada peristiwa konkret atau konflik untuk diselesaikan. Hal ini sejalan dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dalam Pasal 28 ”hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat”.

 

Hakim dalam menciptakan/melakukan penemuan hukum (rechtsvinding) tentunya tidak terlepas dari faktor-faktor nonhukum baik yang terdapat dalam diri hakim maupun sikap dan respon atas pencapaian putusan oleh hakim.

 

Pendekatan Psikologi Terhadap Hukum

Jika seorang hakim laki-laki atau perempuan memutus perceraian.  yang sama-sama menggunakan dasar dan pertimbangan hukum yang sama dalam perceraian, apakah akan sama putusannya? Bagi penganut hukum normatif yang menjadikan Undang-undang sebagai sebagai sumber peraturan belaka (hakim adalah terompet/corong  Undang-undang) maka akan  menjawab “sama saja putusannya”, tapi seorang psikolog akan menganalisis dan mengatakan hal yang berbeda dengan jawaban tersebut, karena kemungkinan hakim perempuan lebih mempertimbangkan masa depan seoarang perempuan yang menjanda dan harus menjadi single parent untuk membesarkan anak-anaknya.

 

Pertimbangan psikolog terhadap pertanyaan tersebut, yaitu dapat dikaji melalui pedekatan psikologi terhadap ilmu hukum.  Dalam psikologi dikenal beberapa pendekatan, menurut Rita L. Atkinson (1983: 7-15) pendekatan itu terbagi atas:

 

a)    Pendekatan Neurobiology

Suatu pendekatan terhadap studi manusia, berusaha menghubungkan perilaku dengan hal-hal yang terjadi di dalam tubuh, terutama dalam otak dan sistem saraf. Pendekatan ini mencoba mengkhususkan proses neurobiologi yang mendasari perilaku dan kegiatan mental. Contohnya seorang ahli psikologi yang sedang mendalami pendekatan neurobiologi, menaruh perhatian pada perubahan yang terjadi dalam sistem saraf karena adanya proses belajar mengenai hal yang baru.

 

 

 

b)     Pendekatan Perilaku

Pendekatan yang mempelajari individu dengan cara mengamati perilakunya sebagi subyek tunggal. Contohnya seseorang makan pagi, naik sepeda, berbicara, memerah mukanya, tertawa, dan menangis.

 

c)     Pendekatan Kognitif

Studi illmiah mengenai proses mental dari persepsi, ingatan, pengolahan informasi  yang memungkinkan seseorang  memperoleh pengetahuan, memecahkan persoalan, dan merencanakan masa depan.

 

d)     Pendekatan Psikoanalitik

Suatu pendekatan yang melihat perilaku sebagai bagian dari proses yang tidak disadari seperti pemikiran, rasa takut, dan keinginan-keinginan  yang tidak disadari seseorang tetapi membawa pengaruh terhadap perilakunya.

 

e)    Pendekatan Fenomenologis

Suatu pendekatan yang lebih menitikberatkan pengertian mengenai kehidupan dalam dan pengertian mengenai pengalaman individu. Contohnya, pengamatan terhadap konsep diri seseorang, perasaan harga diri,  dan kesadaran akan diri sendiri (self awareness).

 

Pendekatan psikologi bertugas menghilangkan kesaksian nilai dengan menetapkan keajegan pernyataan yang telah dibuat mengenai sesuatu yang membentuk dunia ini. Dengan menggunakan metode yang akurat akan melibatkan logika, pengumpulan data untuk memberikan penilaian pembuktian yang obyektif. Hal tersebut  menurut Abdul Djamali (1984) dilakukan dengan melalui proses ilmiah yang dibentuk melalui:

 

1.    Laboratory experimentation

Eksperimen tentang tingkah laku dilakukan dalam laboratorium untuk mendapatkan hasil yang optimal. Secara sistematik digunakan variasi dalam menentukan faktor-faktor yang berpengaruh kepada tingkah laku yang ditelitinya. Selain itu dimungkinkan untuk menutupi situasi eksperimen dan pengaruh luar seperti gangguan suara, kehadiran orang lain yang tidak diperlukan.

2.     Field experimentation

Eksperimen dilakukan dalam lingkungan yang wajar, lazim dan nyata, sehingga hasil penelitian tingkah laku itu berjalan wajar.

3.     Controlled  naturalistic observation

Pelaksanaannya dapat dilakukan dengan:

  1. Mengadakan observasi terhadap tingkah laku dalam bermacam-macam situasi yang dipilih dengan cermat, sehingga mewakili  pelbagai kemungkinan situasi yang kegiatan tingkah laku itu dapat terjadi.
  2. Mengadakan observasi tanpa diketahui kehadiran observatornya yang dilakukan dengan visual seleksi.
  3. Membuat kousiener dan mewawancarai objeknya.
  4. Merekam pembicaraan dengan menyembunyikan alat rekamannya.

4.     Metode klinis

Menggunakan metode klinis dilakukan dengan:

  1. Mengumpulkan secara terperinci sejarah dari masalah.
  2. Prosedur wawancara khusus
  3. Tes intelegensi minat, kepribadian atau aspek lain dari tingkah laku.
  4. Tekhnik analisa impian

 

Pendekatan klinis ini ditujukan untuk menentukan kualitas penyesuain diri individu kepada lingkungan hidup pada umumnya atau lingkungan hidup tertentu dan untuk menambah pengertian mengenai masalah penyesuaian diri.

 

Kajian psikologi diutamakan pada tingkah laku individu, tetapi karena manusia sebagai makhluk individu juga sebagai makhluk sosial, maka psikologi tidak dapat melepaskan kajiannya terhadap individu dalam hubungannya dengan situasi massa dan situasi kelompok yang disebut dengan psikologi sosial.  Menurut Gerungan (2004:47-51) Keterlibatan psikologi dalam pengkajian massa dan kelompok mengunakan metode antara lain:

 

1.     Metode eksperimen

Wilhelm Wundt pertama kali memakai dan mendasarkan metode ini  dengan menetapkan beberapa syarat:

  1. Menentukan dengan tepat waktu gejala yang akan diselidiki.
  2. Mengukur berlangsungnya gejala yang akan diteliti  dari awal hingga akhir  dan harus mengamatinya dengan perhatian khusus.
  3. Setiap observasi harus dapat diulangi dalam keadaan yang sama.
  4. Mengubah-ubah dengan sengaja syarat-syarat keadaan eksperimen.

2.     Metode survey

Metode dimana peneliti mengumpulkan keterangan seluas-luasnya mengenai kelompok tertentu yang akan diteliti dengan menggunakan wawancara, observasi dan angket sebagai alat untuk mengumpulkan keterangan.

3.     Metode diagnostk psikis

Metode penelitian psikologi dengan meminta responden untuk memberikan keterangan yang sejujur-jujurnya dengan memperhalus sebuah daftar pertanyaan.

4.     Metode sosiometri

Metode penelitian terhadap satu kelompok untuk meminta pernyataannya mengenai sikap anggota kelompok lain terhadap kelompoknya.

5.     Metode sosiogram

Hasil penelitian sosiometri untuk mendapatkan hubungan antar kelompok yang satu dengan kelompok yang lain, dan bertujuan untuk memilih siapa yang dapat memimpin beberapa kelompok tersebut.

 

 

Psikologi sebagai alat bantu  dalam ilmu hukum yang dikenal dengan psikologi khusus yaitu suatu cara untuk mendapatkan kebenaran baik secara eksperimen maupun rasional yang memfokuskan pada perilaku manusia yang berkaitan dengan hukum.

 

Kontribusi Psikolog Terhadap Bidang  Hukum

Suatu sistem pembuktian dalam praktik peradilan baik itu hukum acara pidana maupun hukum acara perdata, menggunakan keterangan ahli sebagai dasar pembuktian hakim dalam menjatuhkan keputusan. Psikolog, seringkali digunakan oleh pengacara sebagai salah satu sumber pembuktian, dengan argumentasi yang didasarkan pada keahlian yang teliti dan cermat. Peran yang sering dimainkan  menurut Constanzo (2006:21-27) oleh para psikolog dalam bidang hukum antara lain.

 

a)    Psikolog sebagai penasihat

Diantara kasus yang sering masuk di pengadilan seperti permohonan dispensasi perkawinan, permohonan izin poligami dan  gugatan/permohonan perceraian, hakim hanya selalu memakai pertimbangan Undang-undang (Undang-undang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam), tanpa pernah meminta tanggapan psikolog untuk menentukan alasan yang patut seorang memperoleh dispensasi perkawinan dan izin poligami. Padahal  psikolog dalam kondisi tertentu akan menjadi penasihat dalam perceraian (mediasi perceraian), yang disebabkan oleh perzinahan dan kekerasan dalam rumah tangga. Pecahnya rumah tangga untuk diajukan perceraian di pengadilan, dapat meminta pendapat psikolog, apakah sebuah rumah tangga masih patut dipertahankan?

 

Di negara Amerika pakar psikolog seringkali disewa oleh pengacara untuk membantu pembuktiannya berdasarkan pengetahuan psikologis dalam bersaksi di pengadilan. Sebagai contoh, seorang psikolog klinis pernah bersaksi kompetensi orang tua untuk mendapat hak asuh anak (Child custody). 

 

b)     Psikolog sebagai evaluator

Tanpa disadari seorang hakim yang memutus dengan ketukan palu dalam putusan perceraian, anak-anak dari keluarga yang bercerai akan menjadi anak jalanan, seorang hakim perlu pertimbangan psikologis untuk  memutus perceraian, karena putusan cerai adalah  sama dengan menghancurkan negara kecil. Olehnya itu psikolog dalam pengadilan perlu mengevaluasi kompetensi orang tua dalam hal hak asuh tunggal, mengenai siapa yang layak untuk mengasuh anak tersebut.

 

Dalam penjatuhan pidana, apakah dengan hukuman penjara, seorang kriminal, tidak akan jahat lagi setelah keluar dari tahanan? Apakah dengan menangkap preman juga akan mengurangi angka kejahatan? Apakah pengaruh media (televisi, internet, dan handphone) menyebabkan terjadinya kekerasan seksual? Apakah hubungan seksual di luar nikah tidak melanggar hukum? Apakah perlu ada revolusi hukum (meminjam istilah Lawrence M. Friedman) ketika pelacuran dilokalisir?.  Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan menjadi bahan evaluasi psikolog dalam pembentukan peraturan dan penegakan hukum.

 

c)     Psikolog sebagai pembaharu

Berita setiap tahun setidaknya 150.000 anak Indonesia menjadi korban pelacuran anak dan pornografi. Jumlah tersebut meningkat dua kali lipat dibanding data Unicef tahun 1998 yang berjumlah 70.000 anak, mereka berusia 14-16 tahun, setingkat anak usia SMP.

 

Kasus tersebut akan menjadi koreksi tersendiri bagi para peneliti anak, yang tentunya juga menjadi bahan penelitian psikolog, apakah perlu diadakan perubahan/pembaharuan terhadap Undang-undang perlindungan anak?, ataukah para penegak hukum yang kurang jeli memperhatikan kekerasan yang tejadi dalam dunia anak-anak?.

 

Selain itu psikolog juga dapat megadvokasikan perlunya Undang-undang disahkan berdasarkan temuan-temuan yang diperolehnya melaui penelitian, sebagai contoh  pengesahan Undang-undang pornografi memang perlu, karena media banyak menayangkan tayangan sensual yang akan berpengaruh terhadap pembentukan pikiran dan krakter anak.

 

3.     Respon Anak Terhadap Perceraian

Dalam sebuah forum pengadilan, seorang isteri, suami dan anak perempuannya hadir di persidangan, untuk menyampaikan hasil negosiasi mereka tentang pembagian harta bersama pasca perceraian. Saat hakim bertanya tentang pembagian hartanya, cukup sang suami mengatakan, “semua sudah kami atur bersama, yang telah di mediasi oleh orang tua dan mertua saya”. Tapi kejanggalan ketika hakim menunda sidang untuk meminta bukti tertulis persidangan selanjutnya mengenai hasil negosiasi mereka, mala sang isteri menangis. Saat itu juga suaminya datang menjabat tangan isterinya dan memeluknya, namun anak perempuannya malah tidak mau menjabat tangan ayahnya dan ia keluar dari ruang sidang, tapi sang ayah cukup reda dan tegar, berkata “bahwa ibunya pasti bisa  membujuknya untuk  tetap senang pada ayahnya”.

 

Ilutrasi di atas menggambarkan bahwa anak sangat sulit menerima keputusan ayah atas perbuatan ayah yang pernah menyakiti ibunya, lebih-lebih kalau harus berakhir di pengadilan melaui perceraian. Kondisi emosional pasca perceraian bisa menjadikan anak yang dulunya lembut akan menjadi pemurung dan mudah marah. Menurut Mulyono (1984:54) Peran ayah dan ibu dalam melaksanakan tanggung jawabnya  antara lain sebagai:

 

  1. Sumber kekuasaan dan dasar identifikasi;
  2. Bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan keluarga;
  3. Pelindung ancaman dari luar;
  4. Penghubung dunia luar;
  5. Pendidik dari segi rasional;
  6. Pemberi rasa aman, sumber kasih sayang;
  7. Tempat mencurahkan isi hati;
  8. Pengatur kehidupan rumah tangga;
  9. Pembimbing kehidupan rumah tangga;
  10. Pendidk segi emosional;
  11. Penyimpan tradisi

 

Jika peran ayah dan ibu tidak lagi ia dapatkan seperti di atas, bagi anak yang masih rentan/dibawah umur 18 tahun, dimana sang anak masih pada pencarian identitasnya, maka akan terjadi krisis identitas diri pada anak. Krisis identitas  khususnya kalangan remaja, dapat mengakibatkan rusaknya tatanan sosial yang hidup di dalam masyarakat, seperti meningkatnya jumlah pelacuran, meningkatnya angka kriminalitas, dan  angka kenakalan remaja.

 

a)    Respon positif

Anak yang berkepribadian sehat dan dewasa, sudah mampu menerima keputusan orang tua yang ingin bercerai, dengan alasan tidak ingin membiarkan lagi orang tuanya terus berlarut-larut dalam konflik rumah tangga. Penerimaan perceraian oleh anak, tidak terlepas dari konsolidasi dan saling pengertian antara ayah dan ibu terhadap anaknya, bahwa perceraianlah yang terbaik bagi mereka, dan perceraian tidak menyebabkan hilangnya identitas dan peran orang tua sebagai yang bertanggung jawab terhadap anaknya. Sikap anak yang merespon positif perceraian kedua orang tuanya, juga tidak terlepas dari cara ibu dan ayah mengasuh ketika mereka masih hidup bersama-sama, dalam hal ini mengasuh anak secara demokratis.

 

b)    Respon negatif

Seorang anak biasanya sulit menerima perceraian orang tuanya, jika penyebab perceraian oleh pihak ketiga (perempuan atau lelaki idaman lain) yang berujung pada alasan perceraian karena perzinahan, maka sang anak merespon perceraian sebagai tindakan tercela atas kedua orang tuanya. Bagi anak, bahwa ibu/ayahnya dipandang sebagai orang yang gagal dalam membina rumah tangga. Akibat  respon negatif tersebut, anak akan menjadi cemas, terjadi hubungan yang lemah antara teman sebaya, rasa percaya diri yang menurun dan harus menghadapi lebih banyak penyesuain di sekolah.

Terlepas dari respon positif dan respon negatif anak terhadap perceraian, adalah dituntut peran ayah dan ibu yang tidak boleh berhenti pasca perceraian karena anak sangat intens setelah perceraian antara lain memiliki perasaan kehilangan, keterpisahan, amarah dan depresi memburuk karena harus mengatasi masalah logistik yang terkait dengan tata laksana rumah tangga yang terpisah.

 

Faktor Psikogis yang Mempengaruhi Hakim dalam Menjatuhkan Putusan

Profesi hakim adalah benteng terakhir dalam integrated justice system di negara manapun. Di dalam diri hakim dipersonifikasikan berbagai simbol kearifan. Kode kehormatan hakim (Indonesia) memuat janji hakim untuk menjalankan profesi luhur (officium nobile) ini dengan mengacu pada simbol-simbol: kartika, cakra, candra, sari, dan tirta. Cakra antara lain melambangkan kesungguhan mencari kebenaran dan keadilan dan berpegang teguh pada kepada keyakinan hati nurani, canra bermakna kebijaksanaan dan kewibawaan. Sari menunjukan keluhuran budi, sementara tirta adalah kejujuran, kemerdekaan, keikhlasan, dan ketabahan.

 

Falsafah yang indah tersebut, ditunjang dengan peraturan Undang-undang dan menempat hakim sebagai lembaga yang bersifat mandiri atau terpisah dari kekuasaan lainnya (Montesqieu dalam Jimli Asshidiqi, 2002) untuk menjadikan hakim netral sebagai lembaga judisial.

 

Hakim pada posisi pengemban hukum yang mulia dan  cendikia, jelas bukan hanya ditempatkan sebagai abdi Undang-undang, tetapi juga adalah abdi kemanusiaan dalam lingkaran kebudayaan dan perubahan sosial yang terjadi di dalam struktur sosial (Saks and Kidd, 1986), oleh karena itu putusan hakim akan menjadi kajian dari penstudi hukum eksternal, yang dapat dimainkan oleh psikologi hukum.

 

Psikologi hukum sebagai penstudi atau pengamat hukum (bukan partisipan) melihat hukum dari kacamata psikologi. Hakim yang ditinjau dari kondisi psikologisnya, berarti keadaan jiwa atau mental yang mempengaruhi hakim dalam pembuatan putusan (decision making) atau melaksanakan kebijakan (policymaking) yang telah ditetapkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Menurut Pontier (dalam Munir Fuadi, 2005 dan Achmad Ali 2008) bahwa mustahil penemuan hukum oleh hakim selalu bersifat perspektivistis tapi dia selalu bersifat subjektif, dalam hal ini oleh Cardozo (Achmad Ali, 2006) membenarkan jika hakim dalam putusannya tidak semata-mata berdasarkan hukum, melainkan selalu merupakan kombinasi antara ramuan hukum dan ramuan nonhukum yang diramu di dapur pengadilan. Terjadinya diskriminasi (Donal Black dalam Friedman, 1994) atau Disparitas  (Rahayu, 2000) dapat dikaji melalui faktor-faktor psikologis yang mempengaruhi hakim dalam menerapkan hukum dan menjatuhkan putusan di ruang persidangan. Disparitas bisa terjadi antara beberapa putusan  yang berbeda dalam perkara yang sama pada situasi dan kondisi yang sama (Poernomo, 1998 dalam Rahayu, 2000). Salah satu unsur psikologis yang mempegaruhi terjadinya disparitas adalah pengalaman (Constanzo,2006:266), ”bahwa hakim yang melihat orang-orang yang dituduh pelbagai kejahatan yang mengerikan dari hari kehari, mereka semakin lama semakin keras dan kurang bersimpati kepada terdakwa.”

 

Faktor-faktor psikologis (Azwar, 1988: 17 – 30 dan  Sobur, 2003) tersebut dapat dianalisis melalui struktur sikap (kognitif, afektif, dan perilaku) serta interaksi dengan komponen-komponen sikap yang membentuk sikap (pengalaman, media massa, kebudayaan, pendidikan dan faktor-faktor emosional). Di dalam struktur sikap dan pembentuk sikap tersebut erat kaitannya dengan faktor kecerdasan, usia, jenis kelamin, pengalaman dan kepribadian, yang akan mempengaruhi hakim dalam menjatuhkan putusan atau menerapkan hukum (Rahayu, 2000:113).

 

Disisi lain hakim cenderung bersikap konservatif (John kaplan, 1973 dalam Bartol 1983) dalam pencapaian keputusan. Menurut Bartol (1983: 250) hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor;

 

“There is little doubt that the decisional and policymaking activity of judge is related to certain features of their social background, educational expriences, and past political affiliation. Conservatism in legal matters is taught by law schools and is strongly reinforced by colleagues and in legal practice. Increasing age may also be an element in the conservative orientation, as most judge ere appointed or elected at advanced age.”

 

(Ada sedikit keraguan bahwa putusan dan aktivitas policymaking (pembuatan kebijakan) oleh hakim berkaitan dengan corak tertentu dari latar belakang sosial mereka, pengalaman pendidikan, dan afiliasi (keanggotaan) politik di masa lalu. Konservatisme dalam persoalan hukum diajarkan melalui sekolah hukum dan diperkuat oleh kolega-koleganya di dalam praktik hukum. Bertambahnya umur juga menjadi salah satu unsur dalam orientasi yang konservatif, kebanyakan hakim ditunjuk dan dipilih dengan mengedepankan umur.)

 

Dibawah ini dikemukakan beberapa hal dalam diri hakim yang berpengaruh dalam persidangan (Rahayu, 2003) antara lain:

 

a)    Kemampuan berpikir logis

Kemampuan berpikir logis merupakan kemampuan  kognitif (Azwar, 1988) yang dimiliki oleh  hakim, yang akan melahirkan persepsi atau pernyataan dalam bentuk pertimbangan-pertimbangan yang tertera di dalam putusan.

 

Kemampuan berpikir logis dipengaruhi oleh kecerdasan hakim yang diperoleh sejak menempuh pendidikan seperti kebiasaan melakukan penalaran hukum, merancang surat-surat pengadilan, dan analisis terhadap putusan pengadilan.

 

Dalam kaitannya dengan kemampuan berpikir logis (Hans kelsen dalam Sidharta: 2006) terdiri atas penalaran hukum deduktif dan penalaran hukum induktif. Penalaran hukum deduktif yaitu hakim akan melihat suatu perbuatan hukum/peristiwa hukum dalam suatu kesimpulan khusus berdasarkan pernyataan yang berlaku umum. Sebaliknya penalaran induktif  merupakan proses penarikan kesimpulan yang berlaku umum (universal) dari rangkaian kejadian yang bersifat khusus (partikular).

 

Adapun penalaran yang lain yaitu penalaran abduktif dan penalaran evaluatif. Charlers Pierce (dalam Sobur: 2003, 209) mendefenisikan penalaran abduktif sebagai penalaran yang terjadi dalam merumuskan suatu hipotesis berdasarkan kemungkinan adanya korelasi antara dua peristiwa yang sebelumnya sudah diketahui. Sedangkan penalaran evaluatif  yaitu penalaran yang didasarkan pada kemampuan berpikir kritis, menilai baik-buruknya, tepat atau tidaknya suatu gagasan, dalam hal ini tidak menambah atau mengurangi gagasan, kita menilainya menurut kriteria tertentu (Rakhmat: 1994).

 

b)    Kepribadian

Dalam terminology kepribadian terdapat berbagai istilah, seperti motif , sifat dan tempramen, yang menunjukan kekhasan permanen pada perseorangan (Berry, et al., 1999: 141). Kepribadian merupakan organisasi dinamis dari sistem-sistem psikofisik dalm individu yang turut menentukan  cara-caranya yang unik/khas dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya (Alport 1971 dalam Sobur, 2003, 300).

 

Hakim sebagai pribadi penegak hukum memilki kepribadian otoritarian (Rahayu: 2000) dan kepribadian demokratis (kepribadian berempati tinggi) yang memungkinkan berpengaruh dalam menjatuhkan putusan. Menurut Alteyemer (dalam Rahayu, 2000: 114-130), hakim  yang menjatuhkan putusan dalam kaitannya dengan kepribadian hakim tidak terlepas dari pengaruh otoritas yang ada,  cara berpikir konvensionalisme, kesetian pada otoritas (dalam Erich Fromm: 2004)  dan agresi otoritarian (Krahe: 2005).

 

c)     Jenis kelamin

Perbedaan jenis kelamin, atau gender (dalam krahe: 2005) tampak dalam kajian menempatkan laki-laki memilki  tingkat agresi tinggi, jika dibandingkan dengan perempuan. Salah satu citra yang melekat  pada diri laki-laki “macho” (dalam Piliang, 2004), persepsi bahwa kekerasan itu lambang kejantanan, pandangan bahwa bahaya itu menggairahkan.

 

Sifat yang melekat dalam diri perempuan  ”kelembutan”  dan laki-laki dengan ”kekerasan”, akan berpengaruh terhadap pengambilan keputusan dan pemecahan masalah. Hakim tidak terlepas dari faktor ini, karena salah satu tugasnya adalah mengadili perkara dan menjatuhkan putusan. Thomton (dalam Rahayu, 2000: 129), meneliti  kasus pemerkosaan, hasilnya menunjukan ada perbedaan beratnya putusan antara pria dan wanita, bahwa wanita memberi hukuman yang lebih berat dibanding pria.

 

d)    Usia.

Psikologi perkembangan (pertumbuhan) memandang bahwa semakin tua usia seseorang semakin arif dalam menyikapi permasalahan. John Clause (dalam Bradbury: 1987) bahwa tahap kematangan hakim yaitu pada usia tua, dimana pendapatnya dapat diterima sebagai pesan-pesan yang bajik. Sehingga tak heran jika terkadang putusan hakim  tua lebih berat dan terasa janggal, mungkin hakim melihat sebagai kasus yang mempunyai efek/dampak  yang besar terhadap perbuatan dari siterdakwa.

 

e)     Pengalaman.

Konsistensi hakim dalam menjalankan aturan tidak hanya dapat dilihat pada ruang pengadilan, tetapi juga pada tutur kata, sikap, pergaulan dan tingkah lakunya (Imanuel kant dalam Wulfgaf Friedman, 1990).

 

Ada berbagai faktor yang mempengaruhi proses pembentukan sikap seorang. Pertama, adanya akumulasi pengalaman dari tanggapan tipe yang sama. Seorang mungkin berinteraksi dengan pelbagai pihak yang mempunyai sikap yang sama terhadap suatu hal. Kedua, pengamatan terhadap sikap lain yang berbeda. Seorang dapat menentukan sikap pro atau anti terhadap gejala tertentu. Ketiga, pengalaman buruk atau baik yang pernah dilami. Keempat, hasil peniruan terhadap sikap pihak lain (baik secara sadar atau tidak sadar).

 

Seberapa banyak hakim berpraktik dan belajar dari kesalahan serta mengacu pada hakim senior, merupakan pengalaman yang diperoleh yang akan berpengaruh terhadap berbagai kasus yang dihadapinya.

 

2.     Putusan hak asuh anak

Apabila hakim diajukan perkara kepadanya, maka ia harus menerima perkara tersebut walaupun tidak ada hukum yang mengaturnya (ius curia novit), apabila hakim telah memeriksa suatu perkara yang diajukan kepadanya, ia harus menyusun putusan  dengan baik dan benar. Putusan tersebut diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Putusan hakim tersebut disusun apabila pemeriksaan sudah selesai dan pihak-pihak yang berperkara tidak lagi menyampaikan suatu hal kepada hakim yang memeriksa perkaranya. Menurut Andi Hamzah (1986: 485) putusan adalah hasil atau kesimpulan dari perkara yang dipertimbangkan dengan masak-masak yang dapat berbentuk tertulis maupun lisan. Demikian juga Sudikno Mertokusumo (1988:167-168) mengemukakan bahwa putusan adalah suatu pernyataan oleh hakim sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu dan diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum dengan tujuan untuk menyelesaikan perkara atau sengketa antara pihak yang berperkara. Ditinjau dari segi sifatnya (dalam Abdul Manan: 2006, 297-298), putusan pengadilan terdiri atas:

 

1.    Putusan declaratoir, putusan pengadilan yang amarnya menyatakan suatu kedaan dimana kedaan tersebut dinyatakan sah menurut hukum.

2.     Putusan constitutive, putusan yang bersifat menghentikan atau menimbulkan hukum baru.

3.     Putusan condemnatoir, putusan yang bersifat menghukum pihak yang kalah untuk memenuhi suatu prestasi yang ditetapkan oleh hakim.

 

Putusan hak asuh anak oleh hakim termasuk dalam kategori putusan yang bersifat constitutif yaitu, menciptakan hukum baru/keadaan baru tentang siapa yang berhak untuk mengasuh anak dari para pihak. Para pihak dalam sengketa penentuan hak asuh anak adalah antara ayah dan ibu yang memposisikan diri sebagai tergugat dan penggugat.

 

Berdasarkan hasil analisis psikologi tentang hak asuh anak untuk menentukan siapa yang berhak atas pengasuhan tersebut (dalam Constanzo: 2004, 368),  terbagi atas lima kriteria:

 

 

  1. Keinginan orang tua anak.
  2. Keinginan anak.
  3. Hubungan antara anak, orang tua, sudara kandung dan orang lain yang memberikan pengaruh signifikan pada kepentingan terbaik anak.
  4. Penyesuaian anak di rumah, sekolah, dan masyarakat.
  5. Kesehatan fisik dan mental orang-orang yang terlibat dengan anak.

 

Tetapi yang lebih sering terjadi, pengadilan selalu memakai pertimbangan Undang-undang seperti Kompilasi Hukum Islam yang menetapkan hak asuh anak pada ibu jika anak berada dibawa umur 12 tahun. Padahal hakim dimungkinkan untuk menggali hukum bahkan menciptakan hukum yang baru, karena tidak selamanya hak asuh ibu yang ditetapkan dalam Undang-undang dapat menjamin apa yang terbaik  (the best interes of the children)untuk seorang anak selama bertahun-tahun kedepan.

 

Dalam sistem peradilan  Amerika, pengaturan hak asuh anak dibedakan antara legal custody dan physical custody. Legal custody (hak asuh legal) berhubungan dengan hak dan tanggung jawab orang tua. Sebagai contoh orang tua yang memiliki hak asuh legal memiliki wewenang untuk menentukan wewenang untuk menentukan anaknya harus sekolah di sekolah mana dan, bila perlu penanganan medis seperti apa yang harus diterima anak. Physical custody mengacu pada seberapa lama seorang anak dapat menghabiskan waktu bersama salah satu orang tuanya. Physical custody  menjadi alternatif dasar atas penentuan hak asuh tunggal dan hak asuh bersama. Di dalam hak asuh tunggal, salah satu orang tua memiliki hak asuh legal  dan fisik,  sementara yang lainnya hanya diberi hak-hak terbatas untuk mengunjungi anaknya dengan interval yang teratur. Sedangkan hak asuh bersama yaitu memberikan kesempatan kepada anak untuk menghabiskan waktu yang sama dengan masing-masing orang tuanya.

 

Secara psikologis yang lebih menguntungkan baik bagi anak maupun orang tuanya yaitu hak  asuh bersama, karena dukungan finansial untuk anak lebih stabil dibanding penatalaksanaan hak asuh tunggal, dimana orang tua yang diberi hak asuh harus selalu meminta pembayaran biaya pengasuhan anak dari orang tua yang tidak memiliki hak asuh. Hak asuh tunggal digunakan, jika salah satu orang tua tidak kompeten, seperti mengalami ketergantungan obat, suka menganiaya anak secara fisik dan emosional.

 

Sedangkan negara Indonesia, dalam pengaturan hak asuh anak dapat dilihat pada Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam yaitu :

 

  1. Pemeliharaan anak yang belum Mumayyis atau belum berusia 12 tahun adalah hak ibunya.
  2. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyis diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai hak pemeliharaannya.

 

Berdasarkan Pasal tersebut berarti indonesia, hanya menganut hak asuh tunggal yaitu hak asuh ibu (mother custody) atau hak asuh ayah (father custody), padahal kedua-duanya (ayah dan ibu) tetap mempunyai hak untuk mengasuh dan menjalankan hak/kewajibannya sebagai orang tua dari anak tersebut..

 

Kesimpulan          :

  1. Kontribusi psikologi hukum/psychology in law (specific within the law/practical applying of psychology in law) terhadap penentuan hak asuh anak yaitu dengan mengutamakan kepentingan terbaik pada si anak (the Best Interests of the Children doctrine). Hak asuh jatuh pada si ibu, karena seorang ibu yang dipandang lebih besar perannya (role) dalam mendidik, mengasuh dan melimpahkan kasih sayang serta sifat kelembutan yang dimiliki sang ibu (tender years doctrine).  Sedangkan hak asuh jatuh pada pihak ayah, dengan melihat kedekatan sang ayah yang lebih besar terhadap anak dan  ketidakmampuan ibu (the mother to be an unfit parent) untuk memberikan pengasuhan karena hal subjektif yang ada pada diri ibu.

 

  1. Dalam penentuan hak asuh anak (to dispute of the child custody) oleh hakim/psychology and law (research into the psyco-legal to judge decision), faktor psikologis/internal (aspek kognitif dan emosi) memainkan peran yang penting terhadap putusan yang akan dijatuhkan oleh hakim. Faktor psikologis itu terdiri atas: kecerdasan, kepribadian, jenis kelamin, usia dan pengalaman.

 

Saran :

  1. Untuk mengatasi dampak lebih lanjut perceraian (affect of divorce) terhadap perkembangan dan masa depan si anak (baca: generasi muda), pemerintah seyogyanya mengefektifkan badan-badan yang berfungsi memberikan nasehat seperti badan penasehat perkawinan dan perceraian bukan hanya terbatas karena permintaan saja tetapi juga turut terjun dengan memberikan pengarahan    misalnya      ceramah-ceramah        tentang     dampak perceraian agar muda dijangkau oleh masyarakat luas.

 

  1. Di negara Indonesia, mestinya sudah memiliki mediasi perceraian dan mediasi hak asuh anak sebagai alternatif nonlitigasi.

 

  1. Sudah selayaknya sekarang lembaga peradilan kita menganut hak asuh bersama (join custody)  dalam penetapan hak asuh anak (child custody), yang dapat  menjamin kebutuhan jasmani dan rohani si anak.

 

  1. Hakim di dalam peradilan agama, jika tidak mampu melakukan analisis psikologis tentang kepentingan terbaik anak (the best interest of the children). selayaknya sudah berani menggunakan keterangan  kesaksian ahli dari kalangan psikolog, agar kesaksian saksi ahli dapat dijadikan pertimbangan yang kuat untuk menentukan pihak yang kompeten dalam pengasuhan anak.

 

  1. Hakim pada Pengadilan Agama Makassar, berdasarkan hasil observasi menunjukan bahwa rata-rata hakim dalam bersidang, mengadili perkara 10-25 perkara/hari. Hal ini akan menambah beban psikologis bagi hakim, mereka tidak diberikan ruang gerak untuk berkreasi dan melakukan penalaran hukum. Oleh karena itu perlu ada perekrutan hakim, agar ke depannya hakim minimal dapat mengadili perkara 5 – 7 perkara saja dalam sehari.

 

  1. Perlu digalakkan pelatihan dan pembinaan hakim untuk mengetahui ilmu-ilmu lain (ilmu empirik)  selain ilmu hukum. Seperti pelatihan pembuktian kompetensi hak asuh (verification about competence of custody) dengan melibatkan psikolog anak. Disamping itu perlu  juga dilakukan penguatan hakim, dengan memberikan penyadaran kepada hakim bahwa adakalanya kondisinya tidak benar (baca: bias) yang dipengaruhi oleh kondisi psikologisnya.

 

 

Terima kasih,…..

Exit mobile version