ARTIS ANAK: BENTUK EKSPOLITASI EKONOMI OLEH ORANG TUA VS. BENTUK PENGEMBANGAN MINAT DAN BAKAT ANAK

Pada saat ini, banyak sekali bermunculan artis anak yang masih berada di bawah umur. Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, anak didefinisikan sebagai seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Kemunculan artis anak ini di media televisi bukan saja pada acara nyanyi tapi juga syuting acara televisi yang tentu sangat memakan banyak waktu lebih dari 3 (tiga) jam). Melihat Pasal 68 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan bahwa,”Pengusaha dilarang mempekerjakan anak.” Namun ketentuan pasal ini dikecualikan berdasarkan Pasal 69, bahwa:

(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 dapat dikecualikan bagi anak yang berumur antara 13 (tiga belas) tahun sampai dengan 15 (lima belas) tahun untuk melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental dan sosial.

(2) Pengusaha yang memperkerjakan anak pada pekerjaan ringan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi persyaratan :
a. izin tertulis dari orang tua atau wali;
b. perjanjian kerja antara pengusaha dengan orang tua atau wali;
c. waktu kerja maksimum 3 (tiga) jam;
d. dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah;
e. keselamatan dan kesehatan kerja;
f. adanya hubungan kerja yang jelas; dan
g. menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a, b, f dan g dikecualikan bagi anak yang bekerja pada usaha keluarganya.

Dalam hal artis anak yang tidak memenuhi syarat umur Pasal 69 ayat (1) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yakni di bawah umur 13 tahun, namun tetap mempekerjakan anak tersebut maka telah melanggar Pasal 68 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan dapat diancam pidana berdasarkan Pasal 185 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan bahwa:

(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 68, Pasal 69 ayat (2), Pasal 80, Pasal 82, Pasal 90 ayat (1), Pasal 143, dan Pasal 160 ayat (4) dan ayat (7), dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 100.000.00,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 400.000.000,00 (empat ratus juta rupah).

(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana kejahatan.

Boleh saja banyak orang tua dari artis anak yang menyatakan bahwa menjadi artis merupakan bentuk untuk mengembangkan minat dan bakat, namun harus kembali lagi pada Pasal 69 ayat (1) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan bahwa harus minimal antara 13 tahun hingga 15 tahun. Jika di bawah umur itu, maka melanggar ketentuan Pasal 68 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Jika sekarang diasumsikan artis anak itu sudah berada antara 13 tahun dan juga 15 tahun yang merupakan batas minimal anak dapat bekerja, namun merujuk Pasal 71 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, bahwa:

(1) Anak dapat melakukan pekerjaan untuk mengembangkan bakat dan minatnya.

(2) Pengusaha yang mempekerjakan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib memenuhi syarat :
a. di bawah pengawasan langsung dari orang tua atau wali;
b. waktu kerja paling lama 3 (tiga) jam sehari; dan
c. kondisi dan lingkungan kerja tidak mengganggu perkembangan fisik, mental, sosial, dan waktu sekolah.

(3) Ketentuan mengenai anak yang bekerja untuk mengembangkan bakat dan minat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.

Permasalahan dari Pasal 71 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ini pun kembali muncul. Adakah waktu kerja syuting atau pembuatan iklan itu tidak lebih dari 3 jam? Pasti membutuhkan waktu lebih dari 3 jam untuk menyelesaikan semuanya itu. Sehingga ketentuan Pasal 71 ayat (2) huruf b sudah tentu dilanggar. Kemudian melihat pada huruf c, yakni kondisi dan lingkungan kerja tidak mengganggu perkembangan fisik, mental, sosial, dan waktu sekolah.

Dalam hal profesi anak sebagai artis, secara pasti akan mengganggu waktu istirahat anak yang akan mengganggu perkembangan fisik anak sebagi artis tersebut. Dilihat dari perkembangan mental dan sosial, maka anak sebagai artis akan kehilangan mental dan sosial dengan teman sebayanya di sekolah. Karena lebih banyak menghabiskan waktu di lokasi syuting yang lebih banyak orang dewasa dibandingkan anak yang sebaya. Selain itu, karena berada dalam waktu kerja yang padat sebagai artis, maka tidak mungkin dapat bermain layaknya anak-anak sehingga pertumbuhan mentalnya kurang berkembang. Dalam hal waktu sekolah, banyak sekali artis anak harus bolos sekolah karena pulang syuting yang larut malam, atau mengejar jam tayang. Selain itu, disayangkan bahwa Keputusan Menteri yang hendak mengatur mengenai anak yang bekerja untuk mengembangkan minat dan bakat ini belum dikeluarkan hingga saat ini.

Berdasarkan Pasal 11 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang mengatur bahwa, “Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri”.

Kalau dalih profesi artis anak ialah untuk mengembangkan minat dan bakat anak namun tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 71 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, maka dapat dikatakan bahwa orang tua dan juga pihak televisi telah melakukan eksploitasi terhadap anak tersebut tanpa mementingkan kepentingan terbaik bagi anak (Pasal 3 ayat (1) Konvensi Hak-Hak Anak). Pelanggaran atas Pasal 71 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ini dapat mengakibatkan bahwa orang tua atau televisi melakukan eksploitasi ekonomi terhadap anak dan dapat dijatuhi pidana berdasarkan Pasal 88 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak bahwa, ”Setiap orang yang mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh tahun) dan atau denda paling banyak Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).” Karena yang melakukan ialah pihak televisi atau korporasi tertentu untuk iklan, film dan sebagainya maka dapat ditambah lagi pidana denda sebesar 1/3 dari pidana denda yang diatur dalam Pasal 88 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Pasal 90 ayat (2) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak).

Selain itu, berdasarkan Pasal 59 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak mewajibkan pemerintah dan lembaga negara lainnya untuk bertanggung jawab memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.

Selanjutnya pada Pasal 69 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyebutkan bahwa:
(1) Perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 merupakan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat.
(2) Perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui :
a. penyebarluasan dan/atau sosialisasi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual;
b. pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi; dan
c. pelibatan berbagai instansi pemerintah, perusahaan, serikat pekerja, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat dalam penghapusan eksploitasi terhadap anak secara ekonomi dan/atau seksual.

(3) Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan eksploitasi terhadap anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Keterlibatan anak-anak dalam aktivitas ekonomi-dalam arti bekerja di sektor publik – apabila dilakukan secara proporsional dan mengikuti aturan hukum yang berlaku barang kali persoalan ini tidak akan terlalu merisaukan. Tetapi yang memprihatinkan meski secara resmi pemerintah telah menerbitkan aturan hukum dan pemerintah telah pula menyadari tentang arti penting perlindungan bagi anak, tetapi dalam praktik berbagai pelanggaran tetap saja terjadi.

Dalam KUHP sendiri, seringkali eksploitasi terhadap anak secara ekonomi dapat dikatakan sebagai penganiayaan karena tidak adanya kategori eksploitasi terhadap anak secara ekonomi. Pasal yang terkait tindak pidana ini antara lain: Pasal 351 sampai dengan 356 KUHP tentang penganiayaan yang terdiri dari penganiayaan berat; penganiayaan ringan; penganiayaan dengan rencana; serta terdapat pemberatan hukum berupa penambahan 1/3 hukuman pidana.

Selanjutnya, dilihat pada Pasal 64 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia bahwa,”Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi ekonomi dan setiap pekerjaan yang membahayakan dirinya, sehingga dapat mengganggu pendidikan, kesehatan fisik, moral. kehidupan sosial, dan mental spiritualnya.” Kemudian dalam Pasal 9 dan Pasal 10 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak bahwa,”Orang tua adalah yang pertama-tama bertanggung jawab atas terwujudnya kesejahteraan anak baik secara rohani, jasmani maupun sosial.” Lalu, Pasal 10 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak bahwa:

(1) Orang tua yang terbukti melalaikan tanggungjawabnya sebagaimana termaksud dalam Pasal 9, sehingga mengakibatkan timbulnya hambatan dalam pertumbuhan dan perkembangan anak, dapat dicabut kuasa asuhnya sebagai orang tua terhadap anaknya. Dalam hal itu ditunjuk orang atau badan sebagai wali.
(2) Pencabutan kuasa asuh dalam ayat (1) tidak menghapuskan kewajiban orang tua yang bersangkutan untuk membiayai, sesuai dengan kemampuannya, penghidupan, pemeliharaan, dan pendidikan anaknya.

(3) Pencabutan dan pengembalian kuasa asuh orang tua ditetapkan dengan keputusan hakim.

(4) Pelaksanaan ketentuan ayat (1), (2) dan (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Dengan demikian, ketika anak sebagai artis didalihkan sebagai untuk mengembangkan minat dan bakat anak tetapi tidak menyesuaikan dengan Pasal 71 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, maka dapat dikategorikan sebagai pengeksploitasian anak secara ekonomi yang mana juga berarti melanggar ketentuan undang-undang lainnya sebagaimana dijelaskan di atas. Penulis berharap, orang tua mementingkan kepentingan terbaik bagi anak meskipun penulis sendiri menyadari bahwa profesi artis memang profesi yang sangat cepat menghasilkan uang banyak.

Exit mobile version