IMPLEMENTASI PENDIDIKAN AGAMA DI SEKOLAH DAN SOLUSINYA

REGULASI PEMENUHAN HAK AGAMA
Pendidikan pada hakekatnya merupakan proses pendewasaan manusia menjadi manusia seutuhnya. Manusia seutuhnya meliputi keseluruhan dimensi kehidupan manusia: fisik, psikis, mental/moral, spiritual dan religius. Pendidikan dapat berlangsung secara formal di sekolah, informal di lembaga-lembaga pendidikan dan pelatihan dan nonformal dalam keluarga. Pendidikan agama di sekolah sebagai salah satu upaya pendewasaan manusia pada dimensi spiritual-religius. Adanya pelajaran agama di sekolah di satu pihak sebagai upaya pemenuhan hakekat manusia sebagai makhluk religius (homo religiousus). Sekaligus di lain pihak pemenuhan apa yang objektif dari para siswa akan kebutuhan pelayanan hidup keagamaan. Agama dan hidup beriman merupakan suatu yang objektif menjadi kebutuhan setiap manusia.

Pelaksanaan pelajaran agama di sekolah selama ini sudah berjalan. Sekolah-sekolah di Indonesia memberlakukan/memasukkan pelajaran agama dalam kurikulum. Pelajaran Pendidikan Agama merupakan salah satu pelajaran ‘wajib’, harus ada dan diterima oleh para siswa. Di Indonesia persekolahan-persekolahan swasta umum dengan ciri keagamaan tertentu menerapkan pelajaran agama sesuai dengan diri khas keagamaannya. Kenyataan di lapangan penerapan pelajaran agama di sekolah baik negeri dan swasta memuncukan dialektika atau bahkan menimbulkan problematika.

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS, pasal 12, ayat (1) huruf a, mengamanatkan: “Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama.” Bukan hanya di sekolah negeri, juga di sekolah swasta, bahwa setiap siswa berhak mendapatkan pelajaran agama sesuai dengan agamanya harus dipenuhi, maka pemerintah berkewajiban menyediakan / mengangkat tenaga pengajar agama untuk semua siswa sesuai dengan agamanya baik sekolah negeri maupun swasta. Pasal 55, ayat (5) menegaskan: “Lembaga pendidikan berbasis masyarakat dapat memperoleh bantuan teknis, subsidi dana dan sumber daya lian secara adil dan merata dari pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah.

Penyelenggaraan sekolah umum dengan ciri keagamaan merupakan hak masyarakat. UU No. 20 Tahun 2003, pasal 55 menegaskan: “Masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat pada pendidikan formal dan nonformal sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan sosial, dan budaya untuk kepentingan masyarakat.” Penyelenggaraan pelajaran agama di sekolah sesuai dengan ciri keagamaan merupakan hak sekaligus kewajiban sekolah yang diselengarakan oleh masyarakat. PP No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan, pasal 3 menegaskan: “Setiap satuan pendidikan pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan wajib menyelenggarakan pendidikan agama.” Hal mendapatkan pelajaran agama memang hak orang tua dan siswa Hak-hak sebagai warga Negara harus dijamin oleh pemerintah.

Dalam sejarah dan data pendidikan di Indonesia, persekolahan yang diselenggarakan oleh masyarakat, lembaga keagamaan, ataupun personal dan organisasi begitu banyak jumlah, melebihi sekolah-sekolah negeri yang ada dan telah memberikan kontribusi yang besar bagi perkembangan Indonesia. Maka pemerintah berkewajiban memperhatikan keberadaan sekolah swasta sama dengan sekolah negeri termasuk pelajaran agama. Bukan suatu keniscayaan di sekolah swasta umum dengan ciri khas keagamaan tertentu, pelajaran agama diberikan untuk semua siswa sesuai dengan agamanya, dan oleh guru agama yang seagama.

Selama ini masih berlaku sekolah dengan basis keagamaan hanya memberikan pelajaran agama sesuai dengan ciri khas keagamaan sekolah tersebut. Di sekolah negeri tidak menjadi persoalan, walaupun pemerintah belum sepenuhnya secara merata menyediakan pengajar dan fasilitas yang memadai. Memang konsekuensinya adalah sekolah menyediakan guru agama sesuai dengan agama siswanya, menyediakan fasilitas pelajaran agama, dsb. Apakah harus ada rumah ibadah macam-macam agama di sekolah swasta? PP. No. 55 Tahun 2007, pasal pasal 4, ayat (7) menegaskan: “Satuan pendidikan yang berciri khas agama tertentu tidak berkewajiban membangun rumah ibadah agama lain selain yang sesuai dengan ciri khas agama satuan pendidikan yang bersangkutan.”

Dalam konteks otonomi sekolah, setiap sekolah umum keagamaan berhak hanya menawarkan pelajaran agama sesuai dengan ciri khasnya. Misalnya sekolah Katolik berhak hanya menawarkan pelajaran agama Katolik. Sekolah Kristen hanya menawarkan pelajaran agama Kristen, sekolah Islam hanya menawarkan pelajaran agama Islam. Akan tetapi sekolah tidak berhak mewajibkan siswa-siswanya dari agama lain mengikuti pelajaran agama sesuai dengan cirri khas keagamaan sekolah yang bersangkutan. Misalnya apabila sekolah Kristen atau Katolik menerima siswa bukan Kristen-Katolik, sekolah tersebut tidak berhak mewajibkan atau menekan orangtua untuk mengizinkan anak mereka yang bukan Kristiani mengikuti pelajaran agama Kristen-Katolik. Dalam konteks pluralisme, apabila sekolah swasta dengan ciri khas keagamaan memutuskan untuk membuka pintu bagi anak dari pluralitas agama, pendirian orangtua mereka masing-masing wajib dihormati. Itulah yang namanya pluralisme. Maka tidak menjadi masalah, kalau sekolah dengan basis keagamaan tertentu menerima pelajaran dan guru agama lain.

Menurut hemat penulis, hadirnya pelajaran agama dan guru agama yang tidak sesuai dengan ciri khas keagamaan sekolah tersebut tidak menghilangkan ciri khas dan otonomi keagamaan sekolah. Adanya beberapa guru agama yang berbeda dapat membuka peluang untuk saling berinteraksi, berdialog dan berbagi ajaran dan pengalaman iman dalam suatu kelompok rumpun mata pelajaran agama. Pelajaran dan pendidikan agama semakin diperkaya dengan adanya pelbagai perbedaan. Adagium: “kesatuan dalam kepelbagaian” menjadi hal yang bukan mustahil diwujudkan. Suasana ini akan mendorong perilaku inklusif untuk bertoleransi dan membangun sikap saling menghormati perbedaan.

Nilai-nilai pluralitas dapat berkembang yang pada akhirnya dihindari perilaku fanatisme sempit, bahkan dapat dihindari perilaku radikalisme keagamaan. Sistem ini bukan merupakan seuatu kemunduran atau ancaman. Akan tetapi justru merupakan suatu langkah bijaksana dan maju menuju sikap beriman yang inklusif dalam suatu tatanan komunitas beriman yang sejati. Sekolah swasta umum dengan ciri keagamaan memiliki hak otonomi untuk menentukan ataupun menerima guru agama yang akan mengampuh mata pelajaran agama. Misalnya sekolah katolik menerima guru agama Islam, Kristen, Hindhu, dan Budha. Demikian sebaliknya. Sekolah berhak menilai dan membina serta memperhatikan isi (konten) materi pelajaran yang diberikan. Kepentingan sekolah swasta keagamaan adalah guru agama tersebut berwawasan inklusif, humanis, memenuhi kecerdasan yang memadai dan membantu proses pembentukan sikap dan perilaku hidup keagamaan dan kemanusiaan para siswa. Sekolah memastikan terjaminnya isi ajaran dan proses pembelajaran agama mendorong pembentukan sikap dan perilaku nilai-nilai kemanusiaan yang luhur, yang dibutuhkan untuk kesejahteraan dan ketenteraman hidup bersama.

Kedudukan Agama Dalam Pendidikan Nasional
Agama memiliki kedudukan yang penting dalam pendidikan nasional. Pertama, tujuan pendidikan nasional: “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.” (UU 20/2003, pasal 3).

Kedua, pengembangan kurikulum: Kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan: (a) peningkatan iman dan takwa, (b) peningkatan akhlak mulia, (c) peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik, (d) keragaman potensi daerah dan lingkungan, (e) tuntutan pengembangan daerah dan nasional, (f) perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni, (g) agama, (h) dinamika perkembangan global, (i) persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan.” (UU 20/2003, pasal 36).

Ketiga, pendidikan agama merupakan bagian tak terpisahkan dari pembaharuan dan pembangunan pendidikan nasional: “Pembaharuan sistem pendidikan nasional memerlukan strategi tertentu. Strategi pembangunan pendidikan nasional dalam undang-undang ini meliputi: (1) pelaksanaan pendidikan agama serta akhlak mulia, (2)…”(Penjelasan umum UU 20/2003).

Keempat, kelembagaan pendidikan agama. Selain pendidikan agama, di dalam sistem pendidikan nasional pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dapat menyelenggarakan pendidikan keagamaan yang berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama. (UU 20/2003, pasal 30/2).

Kelima, pendidikan agama merupakan mata pelajaran wajib di dalam kurikulum pendidikan dasar, menengah dan tinggi.

“(1) Kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat: (a) pendidikan agama, (b) pendidikan kewarganegaraan, (c) bahasa, (d) matematika, (e) ilmu pengetahuan alam, (f) ilmu pengetahuan sosial, (g) seni dan budaya, (h) pendidikan jasmani dan olah raga, (i) keterampilan/kejuruan, dan (j) muatan lokal. (2) Kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat: (a) pendidikan agama, (b) pendidikan kewarganegaraan, (c) bahasa.” (UU 20/2003, pasal 37/1-2).

“Kurikulum untuk jenis pendidikan umum, kejuruan dan khusus pada jenjang pendidikan dasar dan menengah terdiri atas: (a) kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia, (b) kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian, (c) kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi, (d) kelompok mata pelajaran estetika, (e) kelompok mata pelajaran jasmani, olah raga, dan kesehatan.” (PP. 19/2005, tentang Standar Nasional Pendidikan, pasal 6).

“Kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia pada SD/MI/SDLB/Paket A, SMP/MTs/SMPLB/Paket B, SMA/MA/SMALB/Paket C, SMK/MAK, atau bentuk lain yang sederajat dilaksanakan melalui muatan dan/atau kegiatan agama, kewarganegaraan, kepribadian, ilmu pengetahun dan teknologi, estetika, jasmani, olah raga, dann kesehatan.” (PP. 19/2005, pasal 7/1).

Sistem Pendidikan Agama Dalam Pendidikan Nasional
(1) Pengertian pendidikan agama.
Pendidikan agama adalah pendidikan yang memberikan pengetahuan dan membentuk sikap, kepribadian dan keterampilan peserta didik dalam mengamalkan ajaran agamanya, yang dilaksanakan sekurang-kurangnya melalui mata pelajaran/kuliah pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan.” (Pasal 1/1, PP. 55/2007, tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan).

(2) Fungsi dan Tujuan Pendidikan Agama.
1. Pendidikan agama berfungsi membentuk manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berkhlak mulia, dan mampu menjaga kedamaian dan kerukunan hubungan intern dan antar umat beragama.”

2. Pendidikan bertujuan untuk berkembangnya kemampuan peserta didik dalam memahami, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai agama yang menyerasikan penguasaannya dalam ilmu pengetahuan, teknologi dan seni.” (PP. 55/2007, pasal 2/1-2).

(3) Sistem pembelajaran agama.
(a) ”Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak: (a) mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama…. “ (UU 20/2003, pasal 12/1).“Pendidik dan/atau guru agama yang seagama dengan peserta didik difasilitasi dan/atau disediakan oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah sesuai kebutuhan satuan pendidikan…” (Penjelasan UU 20/2003 pasal 12 (1) a). Pendidikan agama dilaksanakan sesuai Standar Nasional Pendidikan. (b) Pendidikan agama diajarkan sesuai dengan tahap perkembangan kejiwaan peserta didik. (c) Pendidikan agama mendorong peserta didik untuk taat menjalankan ajaran agamanya dalam kehidupan sehari-hari dan menjadikan agama sebagai landasan etika dan moral dalam kehidupan pribadi, berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. (d) pendidikan agama mewujudkan keharmonisan, kerukunan, dan rasa hormat diantara sesama pemeluk agama yang dianut dan terhadap pemeluk agama lain. (e) Pendidikan agama membangun sikap mental peserta didik untuk bersikap dan berperilaku jujur, amanah, disiplin, bekerja keras, mandiri, percaya diri, kompetitif, kooperatif, tulus, dan bertanggung jawab. (f) Pendidikan agama menumbuhkan sikap kritis, inovatif, dan dinamis, sehingga menjadi pendorong peserta didik untuk memiliki kompetensi dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan/atau olah raga. (g) Pendidikan Agama diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, mendorong kreativitas dan kemandirian, serta menumbuhkan motivasi untuk hidup sukses. (PP. 55/2007, pasal 5).

Kewajiban Satuan Pendidikan:
(a) Setiap satuan pendidikan pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan wajib menyelenggarakan pendidikan agama. (b) setiap satuan pendidikan menyediakan tempat menyelenggarakan pendidikan agama, (c) satuan pendidikan yang tidak dapat menyediakan tempat menyelenggarakan pendidikan agama dapat bekerjasama dengan satuan pendidikan yang setingkat atau menyelenggarakan pendidikan agama di masyarakat untuk menyelenggarakan pendidikan agama bagi peserta didik. (d) Setiap satuan pendidikan menyediakan tempat dan kesempatan kepada peserta didik untuk melaksanakan ibadah berdasarkan ketentuan agama yang dianut oleh peserta didik. (e) Tempat melaksanakan ibadah agama dapat berupa ruangan di dalam atau di sekitar lingkungan satuan pendidikan yang dapat digunakan peserta didik menjalankan ibadahnya. (f) satuan pendidikan yang berciri khas agama tertentu tidak berkewajiban membangun rumah ibadah agama lain selain yang sesuai dengan ciri khas agama satuan pendidikan yang bersangkutan. (PP. 55/2007, pasal 4).

Pendidik Pendidikan Agama :
(a) Pendidik pendidikan agama pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah disediakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah sesuai kewenangan masing-masing berdasarkan ketentuan perundang-undangan. (b) pendidik pendidikan agama pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat disediakan oleh satuan pendidikan yang bersangkutan. (c) dalam hal satuan pendidikan tidak dapat menyediakannya, maka Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah wajib menyediakan sesuai dengan kebutuhan. (PP. 55/2007, pasal 6).

Praktik Pendidikan Agama di sekolah.
Walaupun ketentuan tentang sistem pendidikan agama sudah sangat jelas, dalam praktiknya penyelenggaraan pendidikan agama berbeda-beda. Perbedaan model/sistem pendidikan agama disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: (a) faktor teologis, (b) faktor kelembagaan, (c) faktor sosial/budaya, (d) strategis politis.

Secara umum, terdapat empat praktik / model penyelenggaraan pendidikan agama di sekolah, yakni :
(1) Praktik/model sebagaimana ketentuan sistem pendidikan nasional. Peserta didik mendapatkan pendidikan agama sesuai agamanya dan diajarkan oleh guru yang seagama. Model ini diselenggarakan di sekolah negeri/swasta yang tidak memiliki misi agama tertentu dan sebagian swasta yang berciri khas agama tertentu.
(2) Model pendidikan relijiusitas. Dalam model ini peserta didik mempelajari agama-agama secara bersama-sama di bawah bimbingan guru agama satuan pendidikan yang bersangkutan. Peserta didik yang menganut agama sesuai dengan satuan pendidikan mendapatkan pendalaman materi dari guru agama. Yang lainnya cukup mendiskusikan ajaran agama dan pengalaman beragama sesuai dengan keyakinannya. Model ini diselenggarakan di lembaga pendidikan Katolik di bawah Keuskupan Agung Semarang.
(3) Praktik/Model pendidikan agama dimana peserta didik dari semua agama hanya menerima pendidikan agama sesuai dengan agama satuan pendidikan dan diajarkan oleh pendidikan agama satuan pendidikan. Biasanya model ini dilakukan dengan persetujuan orang tua peserta didik sebelum diterima di satuan pendidikan yang bersangkutan. Sebagian besar satuan pendidikan swasta berciri khas agama tertentu menyelenggarakan model ini.
(4) Praktik/model pendidikan agama dimana peserta didik menerima pendidikan agama sebagaimana ketentuan pemerintah dengan pelajaran tambahan tentang ciri khusus keagamaan satuan pendidikan yang bersangkuta. Model ini antara lain dikembangkan di sekolah Nahdlatul Ulama (NU) atau Muhammadiyah dimana peserta didik mendapatkan pendidikan agama sesuai ketentuan Pemerintah dan tambahan pendidikan Ke NU an atau Kemuhammadiyahan.

Problem Pendidikan Agama di Sekolah.
Problem pendidikan agama di sekolah terkait dengan empat pokok masalah, yaitu:
(1) Problem teologis yang terkait dengan sistem pendidikan agama Konfesional yaitu pendidikan agama yang bertujuan untuk membentuk/menjadikan (learning to be) peserta didik sebagai pemeluk agama yang bertakwa. Dengan sistem ini, pendidikan agama dimaknai dan berfungsi sebagai media/alat “misi dakwah” agama, termasuk satuan pendidikan berciri khas agama tertentu.
(2) Problem politis yang terkait dengan “pengakuan” agama oleh pemerintah. Secara resmi Pemerintah mengakui enam agama: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Kong Hucu. Problem dialami oleh pemeluk agama selain enam agama tersebut. Karena alasan praktis/pragmatis peserta didik dipersilakan memilih pendidikan agama yang diselenggarakan di satuan pendidikan atau mengikuti agama satuan pendidikan. Alasan pemilihan seringkali karena “kemudahan/kemurahan” nilai/skor.
(3) Problem administratif-paedagogis dimana pendidikan agama tidak diajarkan oleh pendidik/guru agama. Sesuai dengan ketentuan, kewenangan mengajar pendidikan agama anya oleh pendidik/guru agama. Karena kekurangan guru, seringkali pendidikan agama diajarkan oleh tokoh agama/guru bidang studi lain yang dinilai menguasai agama. Problem “mis-match” ini disebabkan oleh kurangnya guru agama dan sebaran guru agama.
(4) Problem kurikuler dimana pendidikan agama tidak/kurang memberikan perspektif/pengenalan terhadap agama lain karena faktor muatan dan metode pendidikan. Problem ini ditengarai menjaci pemicu rendahnya sikap toleransi internal dan antar umat beragama. Kekerasan keagamaan sebagiannya dipicu oleh sikap tertutup dan tidak toleran terhadap pemeluk keyakinan lain.

Solusi Pendidikan Agama di Sekolah
Alternatif solusi yang bisa dilaksanakan untuk pelayanan pendidikan agama anak di sekolah:
(1) Solusi hukum dimana Pemerintah dan Pemerintah Daerah memastikan satuan pendidikan mematuhi perundang-undangan kependidikan yang berlaku (PP. 55/2007, pasal 7). Problem pendidikan agama sebagiannya disebabkan oleh lemahnya pengawasan dan pembinaan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
(2) Solusi Kurikuler dimana materi dan metode pendidikan agama dapat mengenalkan mengenai agama lain, bukan dalam bentuk perbandingan isi ajaran agama tetapi memahami secara sosiologis pemeluk agama lain. Pendidikan agama perlu memberikan pengalaman kepada peserta didik untuk berinteraksi dengan pemeluk agama lain baik di dalam lingkungan sekolah maupun di masyarakat.
(3) Solusi kultural dimana Pemerintah dan masyarakat secara bersama-sama mendorong terjadinya dialog dan kemungkinan kerjasama umat beragama dalam masalah-masalah sosial, moral, dan kebangsaan. Peserta didik perlu mendapatkan pengalaman bekerjasama bagaimana menyelesaikan masalah sosial seperti tawuran, kekerasan, penyalahgunaan narkoba, korupsi, pornografi, dll.

TELAAH KRITIS
Pendidikan agama disekolah sudah diatur sejak tahun UU No. 4 tahun 1950, kemudian UU No. 12 tahun 1954 hingga saat UU No. 20 Tahun 2003, akan tetapi sering kali persoalan hak bergama bagi anak berbenturan dengan persoalan sarak. Dalam kerangka Perlindungan dan pemenuhan hak anak, semua pihak dituntut lebih arief dalam menyikapi problem tersebut jangan sampai persoalan hak beragama bagi anak dibenturkan dengan persoalan sarak. KPAI berkepentingan agar semua anak mendapatkan hak agamanya.

Seperti diungkap diatas walaupun pendidikan agama telah diatur dalam berbagai bentuk regulasi termasuk dalam UU No. 20 Tahun 2003 dan PP No. 55 Tahun 2007, tapi dalam prakteknya masih sering terjadi pelanggaran. Problem yang belakangan mengemuka , ada satuan pendidikan agama tertentu,yang berani pasang bandan dan menolak untuk memeberikan ajaran agama bagi siswa yang tidak seagama dengan lembaga penyelenggara pendidikan berbasis agama tersebut. Perlu disadari bahwa problem agama dalam satuan pendidikan sejatinya merupakan isu lama, sejak sebelum UU Sisdiknas dan hampir menimpa semua agama termasuk pendidikan Katolik dan Kristen.

Dalam konteks problem isu agama di satuan pendidikan, ada dua (2) katagori lembaga satuan pendidikan. Satuan pendidikan tertutup ( menerima siswa seagama) dan satuan pendidikan terbuka (meneriama siswa dari berbagai macam agama). Satuan Pendidikan terbuka, terikat oleh UU No. 20 tahun 2003 dan PP No. 55 Tahun 2007 Pasal 7 , mereka wajib memberikan agama sesuai dengan agama siswanya, dengan argumentasi sekolah terbuka membuka layanan publik.

Sekalipun Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) / MTs/MA, jika kemudian mendeklarasikan sebagai sekolah terbuka dan kemudian ada siswa non muslim (sesuai UU / Peraturan Pemerintah), maka dia wajib menyediakan dan memberikan hak beragama bagi siswa yang berbdeda agama tersebut.

Sebagai contoh kasus salah satuan pendidikan di Blitar (Katolik), dimana 70% siswanya muslim, akan tetapi mereka tidak mau menyediakan guru agama Islam. Jika merunut terhadap UU No. 20 Tahun 2003 dan PP No. 55 Tahun 2007, hal tersebut jelas sebuah pelanggaran apapun argumentasinya.

Hal lain yang perlu menjadi perhatian adalah pertama, penyajian pelajaran agama masih formalistik-ritual. Oleh banyak ahli pelajaran agama di Indonesia meragukan efek positifnya. Pelajaran agama masih sering disajikan secara formalisti-ritual belaka, tanpa usaha membangun sikap-sikap keterbukaan dan tanggung-jawab etis. Lebih memprihantinkan lagi, adanya keluhan bahwa banyak guru agama yang memiliki paradigma eksklusif, berpikiran sempit dan tertutup. kedua, kekurangan atau tidak tersedianya tenaga pengajar agama. Di satu pihak pemerintah dengan regulasi-regulasi yang ada, ‘mewajibkan’ setiap siswa mengikuti pelajaran agama sesuai dengan agamanya. Namun kenyataan bahwa banyak siswa yang menerima pelajaran agama tidak sesuai dengan agamanya, disebabkan tidak tersedianya guru agama (ataupun guru agama yang kompeten). Tidak jarang guru mata pelajaran lain mengajar pelajaran agama. Tentunya ini baik juga, namun tidak ideal. Masih banyak juga guru agama yang tidak memiliki kapasitas dan kompetensi mengampuh mata pelajaran agama.

Program-program pemerintah untuk penyediaan tenaga pengajar agama dan peningkatan kualitas pengajar agama (dengan program sertifikasi dan pelatihan-pelatihan) belum menjangkau seluruh guru. ketiga, fasilitas pelajaran agama yang kurang/tidak representatif. Kenyataan di lapangan pelajaran agama yang tidak ada sekolah-sekolah negeri, khususnya siswa yang jumlahnya lebih sedikit sering tidak mendapatkan tempat/ruang dan jadual yang representatif untuk pelajaran agama.

Dari paparan dan telaah diatas dapat direkomendasikan sebagai berikut:
1. Semua pihak harus menghormati dan melaksanakan kesepakatan bersama antara Menteri Agama dan Menteri Pendidikan, bahwa pendidikan agama menjadi tanggung jawab Menteri Agama.
2. Semua satuan pendidikan hendaknya tunduk terhadap UU No. 20 Tahun 2003 dan PP No. 55 tahun 2007.
3. Pola pembelajaran pendidikan agama perlu dikembangkan secara sistematis dan terukur agar anak tidak hanya mengetahui dan memahami ajaran agama tetapi juga melekat dalam kepribadian setiap manusia.
4. Perlu memperkuat sinergisitas antara Kementerian Agama dan Kementerian pendidikan dan Kebudayaan dalam hal pengembangan pendidikan agama.
5. Dalam rangka pemenuhan hak anak, Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan harus bertindak tegas kepada satuan pendidikan yang jelas melangar UU N0. 20 Tahun 2003 dan PP No. 55 Tahun 2007.

Exit mobile version