INCEST TERHADAP ANAK : BANYAK TERJADI, SEDIKIT TERUNGKAP

Incest sebagai hal yang tabuh merupakan hal yang universal dalam kebudayaan manusia. Melalui kebudayaan manusia yang turun temurun, menjadikan incest sebagai hal yang umum terjadi pada semua struktur sosial. Menurut Levi Strauss, kebudayaan manusia yang turun temurun merupakan dasar adanya kontrak sosial: Mead juga menyatakan tujuan dari tradisi turun temurun dapat menciptakan keteraturan sosial . Dari semua kebudayaan (termasuk budaya di Indonesia), mendasarkan bahwa kekerasan dalam bentuk incest ini tidak selalu dijatuhi hukuman mati, meskipun banyak negara yang menjatuhi hukuman mati untuk kasus incest ini. Hal ini dikarenakan hukuman mati tidak serta merta mengembalikan kesehatan mental si korban incest. Di Indonesia sendiri, menjatuhkan hukuman pidana sebanyak-banyaknya 15 tahun.

Salah satu kejahatan yang sangat meresahkan masyarakat karena bertentangan dengan hukum, penulis tertarik untuk menulis kasus terkait incest yang termasuk dalam golongan perkosaan. Tindakan perkosaan atau kejahatan seksual ini secara umum dialami oleh perempuan yang masih anak-anak atau remaja yang mana pada umumnya, pelaku dan juga korban berasal dari stratifikasi sosial yang rendah. Kekerasan seksual ini dapat terjadi karena faktor lingkungan dan juga latar belakang psikis dari si pelaku di masa lalu sebagai bentuk ketidaksiapan mentalnya, yang kemudian mempengaruhi perilaku pelaku yang kemudian melakukan kekerasan seksual yang terjadi secara spontan karena adanya rangsangan .

Pada saat ini, hal yang paling menyedihkan terjadi yakni perkosaan oleh orang terdekat si korban, yang masih memiliki hubungan darah dengan korban yang seharusnya menjadi pelindung dan pembimbing korban. Banyak sekali kasus yang terjadi antara perkosaan ayah dan anak yang masih di bawah umur, kakak dan adik, bahkan antara ibu dan anak kandungnya sendiri.

Menurut Mulyanah Kusumah berpendapat bahwa pada dasarnya dilihat dari bentuk atau jenis perkosaan yang terjadi di Indonesia, perkosaan tersebut dapat diklasifikasikan kepada 5 (lima) jenis bentuk perkosaan, yakni :
1. Perkosaan sadis (sadistic rape), dalam hal ini pelaku melaksanakan perkosaan dengan mempergunakan kekuatan fisik, dan melakukannya dengan terlebih dahulu menyakiti si korban, seperti memukul, menyiksa korban dan sebagainya. Pada tipe ini, seksualitas dan agresi berpadu dalam bentuk kekerasan yang merusak. Pelaku tidak menikmati kesenangan melalui persetubuhan yang dilakukan tetapi melalui penyiksaan-penyiksaan yang dilakukan terhadap alat kelamin dan tubuh korban.
2. Anger rape, yakni penganiayaan seksual yang bercirikan perasaan geram dan amarah yang tertahan. Menurut para ahli, tindakan ini dilakukan karena adanya rasa jengkel, frustasi, kelemahan dan kekecewaan dalam hidup akibat adanya peningkatan harkat martabat seorang perempuan, di tengah- tengah masyarakat. Perbuatan biasanya dilakukan dengan beramai-ramai oleh sekelompok orang (gang rape). Dengan kata lain disini pelaku ingin menunjukkan kemaskulinannya terhadap seorang perempuan. Tindakan ini juga dilakukan dengan kekerasan yang bersifat fisik.
3. Perkosaan karena adanya dominasi (domination rape), merupakan bentuk perkosaan dimana pelaku mempergunakan kekuasaannya dari segi sosial ekonomidan mendominasi bagian penting kehidupan korban dari aspek keuangan. Disini pelaku mengadakan hubungan seksual dengan korban dengan ancaman kehilangan pekerjaan atau tidak akan diberi gaji atau uang tertentu bila tidak bersedia melakukan persetubuhan dengan pelaku. Misalnya seorang pembantu yang dipaksa melayani kebutuhsn biologis majikannya karena diancam akan berhenti bekerja bila tidak mau melakukan senggama. Pelaku menyakiti korban dari segi bathiniyah dan sekaligus menikmati kepuasan seksual dari persetubuhan yang dilakukan.
4. Exploitation rape, yang mana pelaku dalam hal ini hampir sama dengan domination rape, yakni melakukan perkosaan dengan mempergunakan suatu kekuasaan yang dimilikinya. Dalam hal ini korban sangat tergantung kepada pelaku dari segi ekonomi, sosial dan emosional. Disini pelaku melakukan penekanan dalam setiap kesempatan yang ada untuk dapat melakukan hubungan seksual dengan korban, dengan mengambil kesempatan yang ada dari posisi rawan si perempuan memilih pemikiran rasional untuk menyelamatkan kebutuhan perekonomian hidupnya meskipun untuk itu ia harus mengorbankan dirinya dalam melakukan hubungan seksual. Misalnya pegawai kantor ataupun buruh yang bekerja pada suatu perusahaan dimana ia diancam akan diberhentikan bila tidak mau memenuhi ajakan majikan untuk melakukan hubungan seks.
5. Seductive rape, adalah merupakan salah satu bentuk perkosaan dimana pelaku adalah orang yang dikenal baik oleh korban dan terjadi pada situasi- situasi tertentu yang diciptakan oleh kedua belah pihak. Pada awalnya kedua belah pihak tidak terpikir akan melakukan hubungan badan, tetapi karena suatu hal yang tidak terduga, pelaku merasa terangsang secara spontanitas untuk melakukan perkosaan terhadap korban. Perbuatan tersebut dapat terjadi karena paksaan, dan dapat juga terjadi karena pelaku menimbulkan rangsangan-rangsangan yang dapat menimbulkan birahi sang korban. Misalnya dua sejoli yang sedang bermesraan, si perempuan tidak menyadari bahwa rangsangan yang dilakukan oleh sang pria adalah untuk menimbulkan birahinya, sehingga ia tidak menyadari bahwa pada dasarnya si pria telah melakukan perkosaan tanpa disadari korban. Atau dapat juga seorang guru, dokter, orang tua atau mereka-mereka yang tergolong dekat dengan korban, merasa terangsang tatkala melihat bentuk tubuh sang korban yang didekatnya, dimana hal ini dilanjutkan pelaku dengan jalan perkosaan.

Kasus-kasus yang terjadi dalam hal incest yang dapat digolongan dalan kategori seductive rape sangat banyak terjadi namun hanya sedikit yang terungkap. Pada tahun 2008, di Jambi juga terdapat incest antara ibu dan anak kandungnya sendiri yang mengakibatkan kehamilan pada si ibu. Anak kandung yang melakukan incest dengan ibunya berusia 16 tahun pada waktu itu (ANTARANews, 3 Agustus 2008). Di Bengkulu sendiri pada tahun 2009 sebanyak satu kasus dan pada tahun 2010 terdapat empat kasus incest yang terjadi di Bengkulu (Media Indonesia.com, 8 Maret 2011). Sepanjang tahun 2005-2010, beberapa kasus incest terungkap di Aceh. Tahun 2009, beberapa kasus terungkap di Kecamatan Nisam, Aceh Utara, seorang anak diperkosa dan dibawa lari oleh abang iparnya, Kemudian, di lain tempat (tapi masih di Aceh) ada juga incest yang dilakukan oleh ayah tirinya yang berusia 25 tahun berulangkali pada anak tirinya yang masih berusia 15 tahun, serta ada juga yang memperkosa anak tirinya yang berusia 17 tahun. Pada tahun 2010, di Aceh juga terjadi incest antara ayah tiri (32 tahun) memperkosa anak tirinya yang berusia 14 tahun. Di Sumatera Utara, juga ditemukan incest antara anak di bawah umur dengan ayahnya yang mengakibatkan anaknya hamil hingga 26-28 minggu yang pada akhirnya Terdakwa dijatuhi hukuman 15 tahun penjara dan dikenakan kurungan tambahan 3 bulan penjara atau denda Rp. 60.000.000,00.

Anak dalam Pasal 1 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, didefinisikan sebagai seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Banyak kasus incest terjadi pada anak-anak di bawah 18 tahun, sehingga diproses dengan menggunakan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang jika pelakunya adalah orang dewasa, maka akan dapat diperberat 1/3 hukumannya dari yang sudah diatur dalam Pasal 81 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Menurut UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, perkosaan dapat didefinisikan sebagai perbuatan yang dengan sengaja melakukan kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya, dengan cara berlanjut atau berulang-ulang sebagaimana diatur dan diancam pidana menurut Pasal 81 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Pasal 81 UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa:
(1) Setiap orang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 tahun dan denda paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta) dan paling sedikit Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

Adapun unsur-unsur tindak pidana berdasarkan Pasal 81 ayat (1) UU No.23 Tahun 2002 yakni:
1. Setiap orang
Dimaksud dengan setiap orang ini adalah subjek hukum sebagai pendukung hak dan kewajiban yang dapat dimintakan pertanggungjawaban atas setiap perbuatan yang dilakukan, karena dianggap cakap dalam bertindak dan berpikir.

2. Dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain dipandang sebagai sesuatu perbuatan berlanjut. Bahwa yang dimaksud dengan harus ditafsirkan sebagai kesengajaan dalam segala bentuk, baik sengaja sebagai maksud yang dikehendaki, sengaja bersifat keharusan atau kepastian yang diinsyafi, dan dengan sengaja bersifat kemungkinan yaitu dengan perhitungan bahwa tujuan atau akibat yang dicapai benar – benar tercapai atau tidak tercapai.

3. Dipandang sebagai sesuatu perbuatan berlanjut
Dalam unsur ini, persetubuhan sedarah (incest) dilakukan berulang-ulang bahkan ada yang mengakibatkan kehamilan.

Dari sudut Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), cecara umum tindak pidana perkosaan adalah suatu perbuatan seksual yang dilakukan oleh seorang laki-laki atau beberapa orang laki-laki atas diri seorang perempuan secara paksa dengan tindak kekerasan. Dalam KUHP, tindak pidana perkosaan dirumuskan dalam Pasal 285 KUHP yang menyatakan:

“Barang siapa dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan istrinya bersetubuh dengan dia, dihukum, karena memperkosa, dengan hukum penjara selama -lamanya dua belas tahun.” Dari ketentuan pasal diatas dapat disimpulkan bahwa tindak pidana tersebut hanya mungkin dilakukan oleh seorang laki-laki atas diri perempuan yang dilakukan atas dasar paksaan atau ancaman tertentu yang dilakukan pelaku terhadap korbannya.

Di Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sendiri, kasus incest sangat jarang bahkan hampir tidak pernah ada yang melaporkan kejadian ini. Hal ini dikarenakan sama saja membuka aib keluarga, walaupun ada juga yang melaporkan langsung kepada pihak kepolisian yang kemudian masuk ke dalam proses pengadilan hingga keluarnya putusan Mahkamah Agung. Peran KPAI sendiri yang gunanya melindungi anak korban perkosaan yang dilakukan masih dengan kerabat yang memiliki hubungan darah ini dapat memberikan rujukan atau rekomendasi untuk penanganan psikologis korban incest, apalagi jika harus hamil dalam usia dini.

Pencegahan Tindak Perkosaan di Indonesia
Pencegahan yang dapat dilakukan untuk mengurangi potensi terjadinya perkosaan yang mana perkosaan seringkali terjadi karena adanya pelaku yang potensial, korban yang potensial dan juga lingkungan yang potensial untuk melakukan perkosaan. Pencegahan terhadap perkosaan incest ini dapat dilakukan dengan melalui tiga tahapan, yakni :

1. Tahap Pertama: memberikan pelayanan terpadu pada populasi umum secara objektif yang merupakan target untuk mencegah segala kemungkinan terjadinya perkosaan dalam hal ini incest.
2. Tahap Kedua: memberikan pelayanan terpadu pada kelompok-kelompok rentan yang menjadi target pencegahan untuk mencegah keberlanjutan permasalahan incest.
3. Tahap Ketiga: memberikan pelayanan terpadu pada pelaku serta korban-korban incest yang sudah diketahui untuk mencegah insiden baru terjadi antara pelaku dan korban yang sudah diketahui perbuatan incest-nya.

Pencegahan ini untuk menhindari kekerasan fisik dan penelantaran (setelah incest) melalui ketiga tahapan di atas . Pada tahap pertama, strategi pencegahan tahap pertama termasuk memberikan perhatian khusus, pelayanan hot line darurat untuk menerima pengaduan dari masyarakat, program kunjungan ke rumah-rumah di daerah yang sudah ditargetkan sebelumnya, membuka kelas penuyuluhan kepada orang tua terkait incest ini, dan juga membuat kelompok-kelompok pendukung untuk mendukung gerakan anti incest khususnya pada anak . Usaha-usaha politis yang dapat dilakukan untuk meningkatkan pelayanan sosial jaringan sosial untuk memerangi kerentanan lingkungan pada anak yang harus dihadapi dengan beberapa komponen untuk menghindari perkosaan pada anak . Dengan adanya jaring pengaman sosial, maka diharapkan kehidupan masyarakat akan makmur dan hidup mereka sedikit di atas kemiskinan karena kemiskinan menjadi salah satu penyebab adanya perkosaan khususnya incest.

Strategi pencegahan tahap kedua meliputi pelayanan pendukung dalam hal mengedukasikan kepada orang tua yang berada dalam situasi-situasi signifikan seperti pengawasan remaja oleh orang tua, krisis ekonomi, kekerasan dalam rumah tangga, mulainya tanda-tanda percobaan perkosaan, diisolasi oleh kelompok sosial, atau juga terkait masa lalu orang tua tersebut seperti apakah pernah mengalami kekerasan seksual atau tidak . Tahap kedua ini penting dilakukan karena dengan mengetahui masa lalu atau trauma orang tua di massa kecilnya khususnya dalam hal kekerasan seksual, karena dapat mencegah trauma orang tua dilampiaskan pada anak dengan pengedukasian yang dilakukan oleh tim kerja dari Departemen Sosial.

Strategi pencegahan tahap ketiga, usaha yang dapat dilakukan antara lain menyediakan layanan terapi atau melakukan intervensi untuk mendukung anak-anak yang menjadi kekerasan seksual, incest atau penelantaran . Pencegahan yang dilakukan terhadap anak yang mengalam incest harus diikuti dengan membangun target dengan dasar yang berbeda yang didasarkan pada dua hal kritis terhadap korban-korban yang sekiranya berpotensi unuk incest daripada terhadap korban yang potensial, dan lebih ke arah pencegahan tahap pertama dibandingkan pencegahan tahap kedua atau ketiga .

Tidak seperti perilaku orang dewasa yang dalam kasus sebagi pelaku incest, pencegahan difokuskan terhadap sikap atau perilaku anak korban kekerasan seksual atau yang dilakukan secara incest, melalui penyuluhan atau pengedukasian oleh kelompok-kelompok kerja agar anak baik yang sudah menjadi korban atau belum dapat memahami bagaimana mereka dapat melindungi diri mereka sendiri dari sikap tindak yang dilakukan melalui incest terhadap mereka . Dengan adanya pengedukasian terhadap anak sebagi korban, mereka dapat menghindar dari kekerasan seksual yang dilakukan oleh pelaku, sehingga mereka dapat terhindar dari gangguan psikis .

Mengedukasikan anak-anak untuk melindungi diri mereka sendiri, jika hal ini berhasil maka pendekatan-pendekatan yang dilakukan (pencegahan yang dilakukan melalui 3 tahap) dapat diminimalisir biayanya karena akan lebih sering melibatkan intervensi dari keluarganya pribadi untuk melindungi anak-anaknya dan mengawasi mereka. Setidaknya, jika anak-anak gagal melindungi diri mereka sendiri, dapat dilakukan dengan pencegahan tahap pertama dan kedua pada anak-anak skala besar dengan pengeluaran yang minimum.

Kesulitan Pelaksanaan Program Sukarela Untuk Pemulihan Korban di Negara Berkembang
Pada pelaksanaan pencegahan tahap pertama untuk mencegah incest atau kekerasan seksual yang dilakukan secara sukarela dengan mengedukasi para orang tua yang kurang pengawasan terhadap anak-anaknya sehingga rentan terhadap incest, seringkali keulitan yang terjadi ialah kurangnya minat masyarakat publik untuk mengikutinya atau juga seringkali kurang pendanaannya, berbeda dengan pendanaan publik jika dilakukan guna ditujukan pada pelaku.

Kalaupun dari segi pendanaan berhasil untuk mengadakan penyuluhan pada kelompok rentan atau juga kepada korban, seringkali muncul juga kesulitan dalam hal menjaring korban untuk ikut penyuluhan dikarenakan adanya rasa malu dari pihak individunya dan juga adanya stigma dari masyarakat terhadap orang yang datang penyuluhan tersebut. Hal inilah yang dapat mempengaruhi kesuksesan program. Meskipun ada program terapi bagi korban-korban pelecehan, namun hal ini tidak akan berjalan efektif apabila hanya ada pengawasan yang minim dari orang tua dan minimnya kemampuan anak atau anak sebagai korban incest dalam melindungi dirinya sendiri. Pada beberapa tahun terakhir, hal yang sering dilakukan untuk melindungi korban incest adalah dengan memidanakan pelaku namun, hanya sedikit pihak publik yang memiliki simpatik pada korban .

Pemidanaan dan juga terapi yang dilakukan baik terapi terhadap pelaku maupun korban anak, sebagai hal yang disadari untuk dilakukan pertama kali dalam hal terjadinya kejahatan seksual terhadap anak . Pegedukasian secara sukarela terhadap pelaku diharapkan dapat mengubah sikapnya sehingga dalam proses persidangan, ada hal-hal yang dapat meringankan dirinya untuk jangka waktu pemidanaan. Hal ini bukan hanya untuk mepersingkat waktu pemidanaan, tetapi juga dapat memberikan solusi atas tingkah lakunya supaya ketika keluar dari penjara kelak, tidak melakukan perkosaan secara incest lagi kepada siapapun di keluarganya ataupun pada orang lain . Di samping itu, program terapi untuk anak sebagai korban incest atau perkosaan biasa, seringkali jarang ada relawan mau melakukannya, padahal hal ini adalah hal yang paling penting untuk memulihkan psikis anak sebagai korban untuk dapat menatap masa depan.
Permasalahan pada kekerasan seksual dalam bentuk incest di Indonesia yang rentan terjadi pada anak, seharusnya mendapatkan perhatian yang intensif serta penanganan yang serius dari pihak pemerintah baik daerha maupun pusat. Hal ini dikarenakan anak harus dilindungi dengan perlindungan khususnya perlindungan di bawah hukum. Karena seringkali korban harus dipersulit dengan aturan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana yang mengharuskan adanya dua orang saksi untuk menjadi bukti adanya perkosaan, padahal dalam hal perkosaan tidak mungkin ada yang menjadi saksi sehingga seringkali korban mendapatkan ketidakadilan di sistem peradilan di Indonesia . Padahal, hak korban yang masih anak haruslah dilindungi.

Siapapun orangnya, menjadi korban kejahatan adalah sesuatu hal yang tidak pernah diinginkannya. Dalam kasus kekerasan seksual seringkali pelakunya adalah orang yang dekat dengan kehidupan sehari-harinya. Dengan kata lain sebelumnya telah dikenal oleh si korban, bahkan mungkin sangat dekat sekali atau bisa jadi pelaku adalah salah satu dari anggota keluarganya juga. Menurut Rita Serena Kalibonso, Direktur Eksekutif Mitra Perempuan, Yayasan Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan :

“Jika pelaku memiliki hubungan keluarga dengan korban, apalagi ia adalah ayah korban sendiri, makin sulit untuk menjangkau korban apalagi memprosesnya secara hukum, ibu korban juga sulit diharapkan membantu karena takut kepada suami dan keluarga. Padahal dalam proses hukum seorang anak yang berusia kurang dari 12 tahun harus didampingi orang tua atau wali.”

Situasi diperparah dengan ideologi jaga praja, atau menjaga ketat kerahasiaan keluarga, khususnya dalam budaya jawa “membuka aib dalam keluarga berarti membuka aib sendiri” situasi demikian menurut Harkristuti Harkrisnowo dalam berbagai kesempatan mentebabkan tingginya the dark number karena tidak dilaporkan.

Melihat pada proporsi yang sebenarnya, setiap kejahatan termasuk kekerasan seksual, adalah sebagai hasil interaksi antara pelaku dan korban. Tanpa bermaksud memberatkan atau menyudutkan korban, pada beberapa kejahatan kita sering melihat bahwa korban sering juga berperan memicu terjadinya kejahatan yang menimpanya itu. Perannya ini terlepas dari disadari atau tidak disadari secara langsung maupun tidak langsung. Meskipun demikian, dalam kedudukannya sebagai korban, kita juga dapat melihat bahwa korban adalah pihak yang mengalami penderitaan dan kerugian atas perbuatan yang dilakukan si pelaku kejahatan. Sehubungan dengan itu, untuk mencerahkan permasalahan korban secara utuh guna mencari landasan dalam bersikap dan bertindak terhadap korban, guna mendapatkan solusi yang baik, terlebih pada kasus-kasus kekerasan seksual ini yang korbannya adalah wanita serta anak-anak.

Sebagaimana diketahui dampak dari perilaku kekerasan seksual terhadap anak-anak cenderung merusak mental korban bahkan seringkali mengalami keterbelakangan mental. Misalnya, seorang anak TK berusia lima tahun diperkosa tetangganya, anak tersebut memerlukan waktu berbulan-bulan untuk bisa bekerja sama dengan bantuan konseling psikolpgi dan psikiatri. Setelah bisa diajak kerja sama pun tidak pulih seperti semula. Ada perubahan perilaku suka menggunting rambut dan menolak memakai rok.

Hukum positif di Indonesia saat ini memang sudah mulai mau mengatur secara khusus bentuk perlindungan untuk pencegahan dan penaggulangan kekerasan seksual dalam rumah tangga dan anak – anak. Meskipun demikian, dari sudut hukum acara korban tetap mempunyai kedudukan yang sangat pasif, dan dalam hal ini sebatas diwakilkan kepentingannya oleh jaksa penuntut umum. Disamping itu, tidak sedikit pula terdapat cara pandang hakim dan jaksa yang konvensional terhadap korban kejahatan seksual terutama anak – anak, seperti yang diungkapkan oleh Jaringan Kerja Penanganan Kekerasan Terhadap Perempuan :

“Dalam menangani kasus perkosaan anak sebagai kasus kejahatan atas kemanusiaan yang berdampak serius terhadap masa depan korban, hakim sebaiknya mengubah sikap dan cara pandangnya. Hakim sepatutnya menjatuhkan hukuman seadil-adilnya sesuai hukum yang berlaku kepada pelaku, dengan memperhatikan kepentingan korban.”

Efek Traumatik Dari Incest
Efek luar biasa yang ditakutkan dari adanya incest adalah hal yang paling ditakuti terjadi pada anak sebagai korban. Menurut Weinberg, keberadaan incest di tengah-tengah kehidupan masyarakat makin kian marak terjadi seiring penurunan moral orang tua atau juga dapat disebabkan karena retaknya hubungan kedua orang tua yang mengakibatkan anak menjadi korban. Ketika kedua hubungan orang tua dalam keadaan normal, maka incest tidak akan terjadi . Pendapatnya ada benarnya mengingat kasus-kasus yang terjadi di Indonesia sebagaimana telah disebutkan di atas, terjadi karena keretakan hubungan kedua orang tua.. Sehingga, ada ayah yang melakukan incest dengan anak perempuannya di bawah umur karena telah berpisah dengan ibunya, juga ada ibu yang incest dengan anak laki-lakinya di bawah umur sehingga ibunya hamil, meskipun juga ada incest antara kakak tiri dengan adik tirinya yang mana hal ini karena merasa korban bukan saudara kandungnya. Selain faktor hubungan kedua orang tua yang telah retak, faktor kemiskinan dan juga lingkungan sekitar (tidak ada kebersamaan antara masayarakat sekitar, atau juga karena jarah antar rumah berjauhan) dapat mendukung perbuatan incest ini.
Berdasarkan disorganisasi dalam keluarga, mengakibatkan celah yang dapat digunakan pelaku untuk melakukan incest dengan anggota keluarga lainnya. Posisi anak perempuan dalam keluarga menjadi rentan dalam kondisi disorganisasi keluarga karena hubungannya yang akan tidak berjalan mulus baik dengan ayah kandung, ayah tiri, maupun kakak tiri laki-laki, sehingga anak perempuan berada dalam posisi pasif dan menjadi korban kekerasan. Dalam hal incest terjadi dalam kondisi keluarga demikian akan mengakibatkan sejarah kelam bagi si anak yang akan menimbulkan gangguan mental dan juga fisik . Mengutip dari Hentig dan Viernstein, yang mana mereka mendeskripsikan bahwa satu-satunya jalan bagi ayah sebagai pelaku incest, atau ibu maupun kakak tiri pelaku incest, untuk diisolasikan sejauh mungkin terhadap anak yang menjadi korban incest. Hal ini diperlukan untuk memulihkan mental korban incest agar tidak kembali shock atau takut terhadap pelaku.

Pemidanaan vs Kekeluargaan
Ketika diidentifikasi adanya incest, pemlihan yang biasanya dilakukan didasarkan pada pengadvokasian terhadap korban atau juga berdasarkan sistem kekeluargaan, tergantung pada kebutuhan untuk pemulihan terhadap keadaan korban .

Pengadvokasian terhadap korban yakni anak-anak yang masih rentan, sudah menjadi tanggung jawab pekerja sosial untuk melindungi anak-anak korban tersebut dengan mengusahakan upaya hukum pemidanaan kepada pelaku. Para profesional yang berada di kubu ini yakin bahwa baik anak yang menjadi korban maupun si pelaku harus keluar meninggalkan rumah ittu dan tidak tinggal di rumah tempat kejadian khususnya untuk mengurangi traumatik pada anak yang menjadi korban. Mereka juga meyakini dengan model pemidanaan merupakan penyelesaian inti untuk membuat masalah incest selesai agar anak sebagai korban tidak menyalahkan dirinya sendiri, karena dengan pelaku dipidana, maka jelaslah yang bersalah adalah pelaku, bukan anak yang menjadi korban tersebut. Selanjutnya mereka juga beranggapan bahwa pemidanaan merupakan bentuk tanggung jawab pelaku untuk mempertanggungjawabkan perbuatan incest yang telah dilakukan dan agar pelaku juga mengetahui bahwasanya begitu seriusnya tindakan incest yang ia lakukan . Selanjutnya, mereka juga yakin bahwa anak-anak yang menjadi korban incest itu harus dijauhkan dari orang tua atau kerabat yang menjadi pelaku hingga kasusu di sidang pengadilan. Di pengadilan, barulah kedua pihak dipertemukan untuk dikonfirmasikan keterangan keduanya untuk mengetahui siapa yang harus dipersalahkan. Sehingga, pengadvokasian dan pemulihan berupa terapi antara terhadap korban dan pelaku dipisahkan karena mereka punya proporsinya sendiri, namun yang harus diutamakan adalah terhadap anak sebagai korban karena incest selalu membawa trauma yang mendalam .

Di samping adanya kubu yang menyatakan bahwa pemidanaan adalah hal yang paling tepat untuk menjerakan pelaku, juga ada kubu yang lebih mengarah pada sistem kekeluargaan. Pada sistem kekeluargaan ini, sangat akan banyak perbedaan dengan sistem pemidanaan. Sejak incest menjadi permasalahan akibat disfungsinya keluarga dibandingkan patologi individunya, maka anak-anak yang menjadi korban ini akan sangat rentan karena akan tumbuh di dalam keluarga yang mengalami disfungsi yang akan mengakibatkan trauma tertentu .

Karena incest lebih dilihat karena permasalahan yang muncul dari gangguan dalam keluarga dibandingkan adanya unsur kriminal tertentu, kubu ini lebih mengarahkan model penyelesaiannnya bukanlah dengan pemidanaan namun dengan pemulihan bertahap. Pemidanaan dikatakan pada kubu ini, hanya akan meningkatkan rasa malu si pelaku namun tidak memecahkan masalah. Pemidanaan juga mengakibatkan anak yang menjadi korban merasa bersalah karena telah menceritakan perlakukan incest itu pada dirinya sehingga mengakibatkan kerabatnya dipenjarakan. Penjatuhan hukuman kepada pelaku lebih tepat dengan merehabilitasi pelaku. Dengan ini, akan membuat anak sebagai korban juga akan merasakan peran orang tua yang lengkap sekembalinya pelaku keluar dari rehabilitasi .

Dengan rehabilitasi, maka simptom pada patologi keluarga akan terselesaikan, karena kubu ini percaya bahwa simptom-simptom di keluarga akan membaik ketika patologi keluarga pun terselesaikan. Membawa anak atau pelaku keluar dari rumah bukan hal yang disarankan dalam kubu ini. Karena dengan hal tersebut tidak akan menyelesaikan disfungsi sosial. Ketika trauma sudah tampak pada anak yang menjadi korban incest, dengan tidak menggunakan kekerasan, keluarga sudah berfungsi (tidak disfungsi), meskipun membutuhkan treatment secara individu yang cukup panjang, maka terapi dengan sistem kekeluargaan ini dapat dilakukan dan tidak membutuhkan intervensi pemidanaan di dalamnya .

Penutup
Terhadap anak korban incest, baik sistem pemidanaan terhadap pelaku maupun sistem kekeluargaan untuk mengurangi rasa bersalah anak karena telah memenjarakan pelaku yang masih kerabatnya apalagi orang tuanya, maka pemilihan sistem ini tergantung motif yang terjadi dalam incest itu sendiri .

Di Indonesia sendiri, banyak sekali anak-anak korban incest namun jarang sekali terungkap apalagi meu melaporkan minta perlindungan khususnya ke KPAI, karena merasa aib. Namun sebenarnya, melalui KPAI, anak dapat dirujuk ke LPT-UI untuk pemeriksaan psikologis untuk menghindari gangguan mental yang berlanjut yang dapat merusak hidupnya karena terus diliputi rasa bersalah berlebih. Namun, di Indonesia sendiri, masih condong kepada pemidanaan terhadap pelaku dan memisahkan anak sebagi korban dari pelaku untuk menghindari trauma berlanjut serta melakukan terapi psikologis terhadap anak.

Diharapkan keluarga-keluarga di Indonesia dapat memberikan respon positif kepada anak korban incest. Inilah saatnya keluarga korban berperan penting untuk menguatkan individu sebagai korban sekaligus memulihkan keadaan keluarganya menjadi normal walaupun tanpa pelaku .

Referensi
Bawengan, Gerson W. (1977). Pengantar Psikologi Kriminil. Jakarta: Pradnya Paramita.

Blum, H. (1974). Planning for health: Developmenat and application of social change theory. NewYork: Human Sciences Press.

Claude Levi-Strauss. (1958). The Elementary Structures of Kinship (Boston: Beacon Press, 1969), p. 481; Margaret Mead. “Incest” in International Encyclopedia of the Social Sciences. ed. David L. Sills. New York: Crowell, Collier & Macmillan.

Conte, J. The effects of sexual victimization of children: A critique and suggestions for fu-ture research. Victimology (1985) 10:110-30.

Dixon, K. N., and others. Father-son incest: underreported psychiatric problem? Am.J.Psychiatry135 (July 1978):835-838.

Finkelhor, D., and Zellman, G. Flexible reporting options for skilled child abuse professionals. Child Abuse &Neglect 15 (1991): 335-41.

Freud. “Some Psychical Consequences of the Anatomical Distinction between the Sexes” (1925), “Female Sexuality” (1931), and “Femininity” (1933), all reprinted in ed. Jean Strouse. (1974). Women and Analysis. New York: Viking Press.

Garbarino, J. (1988). The future as if it really mattered. Longmount, C O: Bookmakers Guild.

Gil, D. (1981). The United States versus child abuse. In Social context of child abuse and neglect. L. Pelton, ed. New York: Human Service Press.

G. P. Murdock. (1949). Social Structure. New York: Macmillan.

Greenland, Incest, Delinquency 62 (1958).

Helfer, R. A review of the literature on the prevention of child abuse and neglect. Child Abuse & Neglect (1982) 6: 251-61.

Hentig & Viernstein, Untersuchungen uber den inzest 192 (1925), quoted in Weinberg, Incest Behaviour 125 (1955).

Herbert Maisch. (1973). Incest. London: Andre Deutsch.

Herman, Judith and Hirschman, Lisa. Families at risk for father-daughter incest. Am. J.Psychiatry 138 (Ju ly 1981):967-970.

Kempe, R. and Kempe, C. (1978). Child abuse, In The Developing Child Series. ed. J. Bruner and others. Cambridge, MA: Harvard University Press.

K. Saller. “Zur Bedeutungdes Inzests.” Miinchen Medizine Wochenschrift 107 (1965), pp. 2105-2107.

Kusumah, Mulyanah W. (1986). Kejahatan dan Penyimpangan. Indonesia: Yayasan LBH.

Levine, C. (1988). ed. Programs to strengthen families. Chicago: Family Resource Coalition.

Lutter, Y, and Weisman. (1985). A Sexual victimization prevention project: Campfire Girls. Unpublished final report to the National Institute of Mental Health, Grant R18 MH39549.

M. Kreiselman Slater deserves mention: “Ecological Factors in the Origin of Incest.” American Anthropologist 61 (1959), pp. 1042-1059.

Rukmini, Mien. (2006). Aspek Hukum Pidana dan Kriminologi. Bandung: Alumni.

National Commission on Children. (1993).. Beyond rhetoric: A new American agenda for children and families. Washington, DC: National Commissionon Children.

Parsons, T. “The Incest Taboo in Relation to Social Structurea nd the Socialisation of the Child.” British Journal of Sociology 5 (1954), pp. 101-117.
Parsons, T. (1952). The Social System. London: Tavistock.

Parsons, T. and R. F. Bales. (1956). Family, Socialization and Interaction Process. London: Routledge.

Pelton, L. (1981). Social context of child abuse and neglect. New York: Human Service Press.

Price, J. M. and Valdiserri, E. V. Childhood sexual abuse: a recent review of the literature. J Am. Med. Wom. Assoc 36 (July 1981):232-234.

Ryan, G., and Lane. S. (1991), Juvenile sexual offending. Lexington, MA: Lexington Books.

Schmitt, B. D. (ed.). (1977). The Child Protection Team Handbook. New York, Garland Publishing.

Silber, Austin. Childhoods eduction, parental pathology and hysterical symptomatology: the genesis of an altered state of consciousness. Int.J.Psychoanal 60 (1979) (1):109-116.

Soekanto, Soerjono. (1989). Bebarapa Catatan Tentang Psikologi Hukum. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.

Summit, Roland and Kryso, JoAnn. Sexual abuse of children: a clinical spectrum. Am. J.Orthopsychiatry 48 (Apr. 1978):237-251.

U.S. Advisory Board on Child Abuse and Neglect, Department of Health and Human Services. (1991). Creating caring communities: Blueprint for an effective federal policy on child abuse and neglect. Washington, DC: U.S. Government Printing Office.

Warnat, Die Blutschande, Kriminalistik 3 (1961) pp.53.

Weinberg, Incest Behaviour 225 (1955).

Weiss,H., and Jacobs,E. (1988). eds. Evaluating family programs. New York: Aldine de Gruyter.

Woodling, B. A. and Kossoris, P. D. Sexual misuse: rape, molestation, and incest. Pediatr. Clin. North Am 28 (May 1981):481-499.

Undang-undang
Indonesia. Undang-undang No. 23 Tahun 2002. Undang-undang tentang Perlindungan Anak. LN Tahun 2002 No. 109. TLN No. 4235.

Soesilo. (1990). Indonesia’s Penal Code (Kitab Undang–Undang Hukum Pidana (KUHP)). Bogor: Politeia, Article 285.

Exit mobile version