Kajian Analisis Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan terhadap UUD 1945

Perlu dipahami bersama, bahwa kalau tanah dan rumah dicatat oleh negara, apakah alasan tak mencatatkan anak sebagai manusia. Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan dinilai gagal mengoptimalkan pencatatan kelahiran. Buktinya? Sesuai sambutan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak pada pertemuan forum koordinasi percepatan kepemilikan akta kelahiran menyampaikan, bahwa “Kemendagri awal tahun 2012 angka cakupannya baru mencapai sekitar 50% secara nasional, sedangkan BPS menyebutkan kompilasi angka kepemilikan nasional baru sekitar 64% berdasarkan survey tahun 2011 yang diterbitkan pada pertengahan tahun 2012 lalu. Bahkan dari angka 64% tersebut sepertiganya tidak bisa menunjukkan keberadaan akta kelahirannya, artinya dari lebih 83 juta anak Indonesia saat ini, masih lebih dari 40 juta anak yang belum mendapatkan akta kelahiran yang menjadi haknya”.

Padahal akte kelahiran adalah bentuk identitas setiap anak yang menjadi bagian tidak terpisahkan dari hak sipil dan politik warga negara. Hak atas identitas merupakan bentuk pengakuan negara terhadap keberadaan seseorang di depan hukum. Akibat banyaknya anak yang tidak memiliki akte kelahiran, mereka kehilangan haknya untuk mendapat pendidikan maupun jaminan sosial lainnya. Dalam penanganan perkara Anak yang berhadapan dengan Hukum (ABH), anak juga kerap dirugikan dan kehilangan haknya karena penentuan usia di proses peradilan berdasarkan akte kelahiran.

Hak identitas bagi seorang anak dinyatakan tegas dalam pasal 5 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pasal tersebut menyebutkan bahwa “Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan”. Kemudian hal ini juga ditegaskan pada pasal 27 ayat (1) dan (2) yang menyatakan, ayat (1) “Identitas diri setiap anak harus diberikan sejak kelahirannya”, dan ayat (2) berbunyi “identitas sebagaimana dimaksud ayat (1) dituangkan dalam akte kelahirann”. Sementara itu UUD 1945 Pasal 28 D ayat (1) menyatakan bahwa“setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Selain itu UUD 1945 juga memberikan jaminan atas status kewarganegaraan sebagaimana diatur dalam 28 D ayat (4) yang menyatakan, “setiap orang berhak atas status kewarganegaraan”.

Dalam kenyataan pemenuhan hak anak atas identitas sangatlah memprihatinkan, berdasarkan fakta di daerah bahwa masih rendahnya tingkat kesadaran masyarakat akan kepemilikan akta kelahiran disebabkan beberapa hal, diantaranya : pengutan liar, pungutan resmi dengan dalih biaya cetak/kas daerah (PAD), diskriminasi terhadap orang tua yang tinggal di daerah yang dianggap “liar”, proses tidak transparan, tidak ada standar pelayanan dan tidak ada pengawasan terhadap pelayanan, serta sosialisasi yang minim dan luasnya wilayah Indonesia. Meskipun sudah ada upaya untuk mencari jalan keluar atas berbagai hambatan yang terjadi selama ini, misalnya melalui Nota Kesepahamann (MOU) 8 Menteri yaitu Kemendagri, Kemenlu, Kemenhukham, Kemenkes, Kemendikdas, Kemensos, Kemenag, dan KPP&PA pada tahun 2010 tentang Percepatan Kepemilikan Akta Kelahiran Dalam Rangka Perlindungan Anak, namun dilapangan Nota Kesepahaman ini belum tersosialisasi dengan baik, bahkan ada juga daerah yang memilih jalan aman dengan tetap mengacu kepada prosedur standar yang banyak hambatannya kepada anak.

Jalan keluar untuk mengatasi kerumitan tersebut kelihatannya hanya bisa dicairkan melalui revisi berbagai Peraturan Perundang-Undangan yang berlawanan dengan semangat Perlindungan Anak. Salah satu ganjalan utamanya adalah interpretasi yang seringkali sepihak oleh pihak Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil dengan mendasarkan diri kepada UU Adminduk (UU No. 23 Tahun 2006) dan peraturan turunannya seperti Peraturan Pemerintah (PP) No. 37 Tahun 2007, Perpres No. 25 Tahun 2008 dan berbagai Peraturan Menteri Dalam Negeri. Disamping itu target pencatatan akta kelahiran semua anak tercatat kelahirannya pada tahun 2015 bagi usia 0-18 tahun sebagaimana yang dicanangkan dalam Program Nasional Bagi Anak Indonesia (PNBAI) 2006-2015 juga dianggap gagal dalam memenuhi percepatan kepemilikan akta kelahiran anak.

Bahwa hak atas pengakuan di hadapan hukum dijamin oleh UUD 1945. Yang mana hak tersebut diatur dalam pasal 28 D ayat (1) yang menyatakan bahwa “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Bahwa selain jaminan atas kepastian hukum, UUD 1945 juga memberikan jamin atas status kewarganegaraan sebagaimana diatur dalam 28D ayat (4) yang menyatakan, “setiap orang berhak atas status kewarganegaraan”.

Identitas merupakan hak asasi manusia dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari Hak Sipil dan Politik. Hak atas identitas merupakan bentuk pengakuan Negara terhadap keberadaan seseorang di depan hukum. Pasal 6 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia mengatakan bahwa “Setiap orang berhak atas pengakuan di depan hukum sebagai manusia pribadi di mana saja ia berada”.

Untuk menjamin dan mengimplementasikan hak atas identitas, Negara Indonesia kemudian mensahkan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dalam Pasal 3 ayat (2) UU No. 39 Tahun 1999 menyebutkan bahwa “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum”. Kemudian pasal 5 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 menyebutkan bahwa “Setiap orang diakui sebagai manusia pribadi yang berhak menuntut dan memperoleh perlakuan serta perlindungan yang sama sesuai dengan martabat kemanusiaannya di depan hukum”. Hal mana semakin dipertegas oleh pasal 29 ayat (2) UU No. 39 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas pengakuan di depan hukum sebagai manusia pribadi di mana saja ia berada”.

Hak atas identitas tersebut merupakan hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun, sebagaimana diatur dalam pasal 28I ayat (1) UUD 1945, yang berbunyi “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. Hal ini diperkuat pula dalam pasal 4 UU No. 39 Tahun 1999, yang menyatakan bahwa hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun.

Pada tahun 2005, melalui Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005, Indonesia meratifikasi Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik. Dalam pasal 16 Kovenan tersebut dinyatakan bahwa “Setiap orang berhak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum di mana pun ia berada”.

Negara Indonesia mengakui hak asasi anak, sebagaimana diatur dalam pasal 28B ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi: “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Kemudian diatur pula dalam pasal 52 ayat (2) UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia yang berbunyi: “Hak anak adalah hak asasi manusia dan untuk kepentingannya hak anak itu diakui dan dilindungi oleh hukum bahkan sejak dalam kandungan”.

Untuk menjamin terwujudnya hak-hak anak, pada tahun 1990, melalui Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990, Indonesia meratifikasi Konvensi Internasional Hak-hak Anak. Dan pada tahun 2002, untuk memperkuat komitmen dalam perlindungan anak, Indonesia mensahkan Undang-undang No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan Anak.

Hak identitas bagi seorang anak dinyatakan dengan tegas dalam pasal 5 UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, yang menyebutkan bahwa “Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan”.

Salah satu cara untuk mendapatkan hak atas identitas, seorang anak yang baru lahir wajib didaftarkan segera setelah kelahirannya, yang mana hal ini diatur di dalam pada pasal 24 ayat (2) Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik yang berbunyi “Setiap anak harus didaftarkan segera setelah kelahirannya dan harus memperoleh suatu nama”. Hal ini juga diatur di dalam Pasal 7 ayat (1) Konvensi Internasional Hak-Hak Anak yang berbunyi: “Anak harus didaftarkan segera sesudah kelahiran dan harus mempunyai hak sejak lahir atas suatu nama, hak untuk memperoleh kewarganegaraan, dan sejauh mungkin, hak untuk mengetahui dan dirawat oleh orangtuanya”. Kemudian hal ini juga ditegaskan kembali pada pasal 27 ayat (1) yang menyatakan sebagai berikut “Identitas diri setiap anak harus diberikan sejak kelahirannya”.

Untuk memperoleh pengakuan tersebut, identitas seoarang anak yang dilahirkan harus dituangkan ke dalam akta kelahiran, yang mana hal ini juga diatur dalam pasal 27 ayat (2) Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, yang berbunyi “Identitas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dituangkan dalam akta kelahiran”;

Akta Kelahiran adalah sebuah akta yang wujudnya berupa selembar kertas yang dikeluarkan Negara berisi informasi mengenai identitas anak yang dilahirkan, yaitu nama, tanggal lahir, nama orang tua serta tanda tangan pejabat yang berwenang;

Anak merupakan kelompok rentan, untuk itu mereka harus memperoleh perlakuan dan perlindungan hak asasi secara khusus. Pasal 24 ayat (1) Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi melalui UU No. 12 tahun 2005 berbunyi sebagai berikut “Setiap anak berhak untuk mendapat hak atas langkah-langkah perlindungan karena statusnya sebagai anak di bawah umur, terhadap keluarga, masyarakat dan Negara tanpa diskriminasi berdasarkan ras, warna, jenis kelamin, bahasa, agama, asal-usul kebangsaan atau sosial, kekayaan atau kelahiran”. Perlakuan khusus juga diatur di dalam pasal 28H ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi: “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”;

Perlindungan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia, merupakan kewajiban negara (state obligation), yang di dalamnya terdapat kewajiban negara untuk melakukan pemajuan (to promote), pemenuhan (to fulfil), dan perlindungan (to protect) terhadap hak asasi manusia;

Tanggung Jawab Negara dalam bidang hak asasi manusia diatur dalam pasal 28I ayat (4) UUD 1945, yang berbunyi “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah”. Kemudian, untuk mengimplementasikannya, mengenai kewajiban negara dalam hal hak asasi manusia, diatur pula dalam pasal 8 UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia yang berbunyi “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia terutama menjadi tanggung jawab Pemerintah”, Pasal 71 UU No. 39 Tahun 1999, yang berbunyi “Pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakan, dan memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam Undang-undang ini, peraturan perundang-undangan lain, dan hukum internasional tentang hak asasi manusia yang.diterima oleh negara Republik Indonesia”, semakin menegaskan bahwa Pemerintah adalah pihak utama yang bertanggung jawab dalam hal perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia;

Tanggung jawab pemerintah terkait hak asasi anak juga dinyatakan secara tegas dalam pasal 2 ayat (1) dan (2) Konvensi Internasional Hak-Hak Anak yang berbunyi:

1. Negara-negara Pihak harus menghormati dan menjamin hak-hak yang dinyatakan dalam Konvensi ini pada setiap anak yang berada di dalam yurisdiksi mereka, tanpa diskriminasi macam apa pun, tanpa menghiraukan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat politik atau pendapat lain, kewarganegaraan, etnis, atau asal-usul sosial, harta kekayaan, cacat, kelahiran atau status yang lain dari anak atau orang tua anak atau wali hukum anak;

2. Negara-negara Pihak harus mengambil semua langkah yang tepat untuk menjamin bahwa anak dilindungi dari semua bentuk diskriminasi atau hukuman atas dasar status, aktivitas, pendapat yang diutarakan atau kepercayaan orangtua anak, wali hukum anak atau anggota keluarga anak.

Bahwa di dalam Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, tanggung jawab Pemerintah dalam hak anak untuk mendapatkan identitas juga dinyatakan tegas dalam pasal 28 ayat (1), yang berbunyi: Pembuatan akta kelahiran menjadi tanggung jawab pemerintah yang dalam pelaksanaannya diselenggarakan serendah-rendahnya pada tingkat kelurahan/desa.

Kenyataannya sampai saat ini secara kuantitatif jumlah anak yang memiliki akta kelahiran sekitar 54,79 persen, dari jumlah tersebut ternyata 14,57 persen diantaranya tidak dapat menunjukkan akta kelahirannya. Persentase jumlah anak yang tidak memiliki akta kelahiran terhitung masih cukup tinggi, yaitu sekitar 44,09 persen (Data : Susenas BPS 2010). Akibat tidak terpenuhinya hak anak untuk memperoleh akta kelahiran, maka hak atas akta kelahiran semakin tidak terpenuhi bagi anak-anak di pedesaan/pedalaman. Semakin berada di pedalaman, semakin tidak terpenuhi hak mereka atas akta kelahiran. Terbukti bahwa kesenjangan akses menjadi sebab anak kehilangan hak atas akta kelahiran.

Dalam hal ini perlu kita sikapi bahwa pencatatan kelahiran merupakan tanggung jawab negara, terutama Pemerintah, sebagai manifestasi terhadap pemenuhan dan perlindungan hak asasi anak, untuk memperoleh identitas dan pengakuan dari Negara sebagai pribadi di hadapan hukum. Menyikapi hal ini Negara harus segera melakukan perubahan terkait pemenuhan hak anak atas akta kelahiran, diantaranya bisa melalui Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal konstitusi (guardian of constitution) dan penafsir konstitusi (the Sole Interpreter of the Constitution) berwenang melakukan sinkronisasi norma undang-undang termasuk UU Nomor 23 Tahun 2006 sehingga tidak lagi terjadi pelanggaran hak konstitusional dan hak asasi manusia, dalam hal ini hak konstitusional atas pencatatan kelahiran dan akta kelahiran.

Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 24 ayat (2) Perubahan Ketiga UUD 1945 yang menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi;

Bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 juncto Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang RI Nomor 24 tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi (“UU MK”), menyatakan bahwa :

“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir, yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”;
Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mengatur bahwa secara hirarkis kedudukan Undang-Undang Dasar 1945 lebih tinggi dari Undang-Undang. Oleh karenanya, setiap ketentuan Undang-Undang tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945. Dengan demikian, jika terdapat ketentuan dalam Undang-Undang yang bertentangan dengan UUD 1945 maka ketentuan tersebut dapat dimohonkan untuk diuji melalui mekanisme Pengujian Undang-Undang;

Terkait uraian tersebut di atas jelaslah bahwa pencatatan kelahiran merupakan tanggung jawab negara, terutama Pemerintah, sebagai manifestasi terhadap pemenuhan dan perlindungan hak asasi anak, untuk memperoleh identitas dan pengakuan dari Negara sebagai pribadi di hadapan hukum.

Selama ini pembuatan akte kelahiran diatur dalam UU No. 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Dalam beberapa pasal dalam UU ini ditegaskan bahwa pencatatan kelahiran diwajibkan kepada warga negara melalui sistem stelsel aktif penduduk. Penduduk yang harus pro aktif mencatatkan kelahirannya agar bisa memiliki akte kelahiran. Hal ini tercantum dalam Pasal 3, 4, 27 ayat 1, 29 ayat 1 dan 4, 30 ayat 1 dan 6, 32 ayat 1 dan 2, 90 ayat 1 dan 2 serta penjelasan Umum UU 23 tahun 2006 tentang Administrasi kependudukan (isi pasal terlampir). Pasal-pasal tersebut mengatur keharusan setiap warga negara melaporkan kelahirannya sampai sanksi denda bagi siapa yang melanggar.

Alasan-alasan bahwa Penjelasan Umum UU Nomor 23/2006 pada alinea 10, kalimat ketiga yang berbunyi “Pencatatan Sipil pada dasarnya juga menganut stelsel aktif bagi Penduduk”, bertentangan dengan Pasal 28B ayat (2) UUD 1945.

1. Bahwa Penjelasan Umum UU Nomor 23 Tahun 2006 pada alinea 10, kalimat ketiga yang berbunyi “Pencatatan Sipil pada dasarnya juga menganut “stelsel aktif bagi Penduduk”, adalah asas hukum dalam UU Nomor 23 Tahun 2006 yang menjadi rujukan bagi perumusan norma-norma hukum UU Nomor 23 Tahun 2006;

2. Bahwa karena itu Penjelasan Umum UU Nomor 23 Tahun 2006 pada alinea 10, kalimat ketiga yang berbunyi “Pencatatan Sipil pada dasarnya juga menganut “stelsel aktif bagi Penduduk”, dengan tegas menentukan asas Pencatatan Sipil yang membebankan kewajiban pada Penduduk untuk mendaftarkan setiap Peristiwa Penting, termasuk kelahiran anak;

3. Bahwa asas “stelsel aktif bagi Penduduk” tersebut merupakan asas yang membebaskan/menghilangkan kewajiban Negara (state obligation) sebagai pihak yang bertanggungjawab untuk menjamin, melindungi dan memenuhi hak konstitusional atas identitas, termasuk hak atas kewarganegaraan (nationality), nama (name) dan hubungan kerabat (family relations);

4. Bahwa hak atas akta kelahiran (yang dimulai dengan pencatatan kelahiran), adalah jelas dan terang merupakan hak anak (rights of the child) dan bukan kewajiban anak. Namun kewajiban Negara untuk memenuhi hak anak atas akta kelahiran kemudian ditransformasikan menjadi kewajiban penduduk (baca: orangtua);

4.1. Hak atas akta kelahiran dan pencatatan kelahiran, sebagai bagian dari hak anak, yakni hak atas tumbuh dan berkembang anak, dan hak perlindungan anak yang merupakan hak konstitusional yang dijamin dalam Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”;

4.2. Hak atas akta kelahiran dan pencatatan kelahiran adalah hak permulaan yang terkait dan tidak terpisahkan sebagai satu kesatuan dengan hak atas status kewarganegaraan. Dalam Pasal 28D ayat (4) UUD 1945 secara ekplisit disebutkan bahwa “Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan”. Oleh karena Pasal 28D ayat (4) menganut asas kewarganegaraan sebagai hak, maka dengan demikian hak atas akta kelahiran dan pencatatan kelahiran adalah hak anak dan karenanya merupakan kewajiban Negara (state obligation), bukan kewajiban anak atau kewajiban yang ditranformasi menjadi kewajiban orangtua;

4.3. Hak anak atas akta kelahiran dan pencatatan kelahiran semenjak dilahirkan, terintegrasi dan berada dalam satu tarikan nafas dengan hak atas nama (sebagai hak identitas) dan hak atas kewarganegaraan, sudah merupakan hak universal yang diakui dan bahkan dimasukkan ke dalam pasal yang sama dalam berbagai konvensi HAM internasional yang utama (major internastional human rights instrument), yakni:
(a) Konvensi PBB tentang Hak Anak (KHA) Pasal 7 ayat (1) dan Pasal 8 ayat (1), yang sudah diratifikasi Indonesia dengan Keppres Nomor 36 Tahun 1990;
 Dalam Pasal 7 ayat (1) KHA: Anak berhak didaftarkan kelahirannya segera setelah kelahiran (immediately after birth).
 Dalam Pasal 7 ayat (1) KHA: Anak sejak kelahirannya berhak atas sebuah nama (name), dan sebuah kewarganegaraan (nationality).
 Dalam Pasal 8 ayat (1) KHA: Negara peserta menghormati hak-hak anak mempertahankan identitasnya termasuk kewarganegaraan (nationality), nama (name) dan hubungan kerabat (family relation).
(b) Kovenan Hak Sipil dan Politik Pasal 24 ayat (2) dan (3) yang juga sudah diratifikasi dengan UU Nomor Tahun 2005.
(c) Dalam ilmu Hukum Tata Negara, keberadaan hukum internasional yang sudah diratifikasi atau telah berlaku sebagai hukum kebiasaan internasional, merupakan sumber Hukum Tata Negara. Selain hukum internasional atau konvensi internasional tersebut, diakui pula (1) Nilai-nilai konstitusi yang Tidak Tertulis (2) Undang-Undang Dasar, Pembukaannya dan Pasal-pasalnya (3) Peraturan Perundang-undangan Tertulis (4) Jurisprudensi Peradilan (5) Kebiasaan Ketatanegaraan atau Constitutional Conventions (6) Doktrin ilmu hukum yang telah menjadi ius comminis opinion doctorum. [vide Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H., “Hukum Pengujian Undang-undang”, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta, 2006, hal.17].

5. Bahwa berdasarkan Pasal 28D ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan “Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan”, Ketentuan ini memberii penafsiran secara eksplisit bahwasanya persoalan pemberian status kewarganegaraan berada dalam penguasaan dan/atau kendali negara, oleh karena warna Negara adalah hal yang penting dan esensi bagi terbentuknya Negara; Demikian pula halnya dengan akte kelahiran yang tak terpisahkan dan satu tarikan nafas dengan hak konstitusional atas kewarganegaraan yang dijamin dalam Pasal 26 ayat (1) UUD 1945, sehingga negara secara aktif menentukan kewarganegaraan penduduk asli;

6. Bahwa pengertian berada dalam penguasaan dan/atau kendali negara haruslah dimaknai secara luas, yang meliputi tanggung jawab negara untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad) dan pengawasan (toezichthoudensdaad), termasuk dalam hal kewarganegaraan dan status pribagi orang dengan memberikan akte kelahiran sebagai hak asasi dan hak konstitusional, dan sebaliknya merupakan kewajiban Negara (state obligation) memastikan pemenuhan hak atas akte kelahiran dimaksud;

7. Bahwa dalam proses pembuatan akte kelahiran sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 Tentang Administrasii Kependudukan (“UU Nomor 23/2006”), tanggungjawab negara hanya sampai pada proses pembuatan kebijakan (beleid) semata. Negara kemudian tidak menjalankan fungsinya untuk melakukan tindakan aktif guna pengurusan (bestuurstaad) hak asasi dan hak konstitusional atas akte kelahiran itu, oleh karena Negara melalui Pemerintah telah salah dan mengabaikan hak konstitusional dan hak asasi atas akte kelahiran, justru membebankan tanggungjawab pembuatan akte kelahiran ditangan warga negaranya sebagaimana dimaksud dalam Penjelasan Umum UU Nomor 23/2006 pada alinea 10, kalimat ketiga yang berbunyi “Pencatatan Sipil pada dasarnya juga menganut stelsel aktif bagi Penduduk”;

Asas “stelsel aktif bagi Penduduk” dalam UU Nomor 23/2006 sedemikian, merupakan pengingkaran pada tugas Negara sebagai Negara kesejahteraan (welfare state), dalam hal ini hak atas akte kelahiran sebagai bagian dari anasir kesejahteraan rakyat. Dengan adanya asas “stelsel aktif bagi Penduduk”, dimana Penduduk aktif mendaftarkan status pribadinya kepada Negara merupakan norma yang eksis dan membuktikan Negara hanya berpangku tangan seperti penjaga malam yang dikenal dalam konsep Nachwaker-staat yang sudah usang dan ditinggalkan. Konsep Negara hukum dalam Pembukaan UUD 1945 bukanlah Negara hukum dalam arti formal sebagai penjaga malam atau nachwakerstaat melainkan Negara hukum dalam arti materil atau paham Negara kesejahteraan.

Dalam Pembukaan UUD 1945 negara Republik Indonesia adalah Negara berdasarkan atas hukum (rechtstaat) dalam arti Negara pengurus (verzorgingsstaat) sebagaimana alinea ke-empat Pembukaan UUD 1945. Dengan diembannya tugas Negara menyelenggarakan kesejahteraan umum, maka Negara turut campur tangan dalam mengurusi kesejahteraan rakyat dalam bidang hukum, sosial, politik, ekonomi, budaya, lingkungan hidup, serta pertahanan dan keamanan [vide Maria Farida Indriati S, “Ilmu Perundangt-undangan (1) – Jenis, Fungsi dan Materi Muatan”, Penerbit Kanisius, 2007, Jakarta, hal.1];

8. Bahwa oleh karena itu, terhadap Penjelasan Umum UU No. 23/2006 yang mewajibkan warga negara aktif melakukan tindakan pengurusan dalam proses pembuatan akte kelahiran, bertentangan dengan amanat konstitusii dan merupakan bentuk nyata kegagalan negara dalam menjalankan fungsinya.

Tidak hanya melawan konstitusi, bahkan Penjelasan Umum UU Nomor 23/2006 pada alinea 10, kalimat ketiga yang berbunyi “Pencatatan Sipil pada dasarnya juga menganut stelsel aktif bagi Penduduk”, terang benderang bertentangan dengan filosofi UU Nomor 23/2006 itu sendiri, yakni Konsideran “Mengingat” huruf a UU Nomor 23/2006 berbunyi:

“bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada hakikatnya berkewajiban memberikan perlindungan dan pengakuan terhadap penentuan status pribadi dan status hukum atas setiap Peristiwa Kependudukan dan Peristiwa Penting yang dialami penduduk Indonesia yang berada di dalam dan/atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia”;

9. Bahwa selain itu dengan asas “stelsel aktif bagi Penduduk” dalam Penjelasan UU Nomor 23/2006 tersebut adalah menegasikan kewajiban Negara (state obligation) sebagai Negara Paripurna, oleh karena tugas Negara bukan selesai hanya dengan membuat regulasi atau peraturan perundang-undangan, atau bertindak sebagai negara penjaga malam saja namun mencakup dan terintegrasi secara utuh dengan pelaksanaan/penegakan (to enforce), pemenuhan (to fulfill), perlindungan (to protect), pemajuan (to promote), bahkan penghargaan (to respect). Dalil ini bersesuaian dengan UUD 1945:
(a) Pasal 28I ayat (4) UUD 1945 yang berbunyi “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggungjawab Negara, terutama pemerintah”.
(b) Konsep Negara hukum dalam Pembukaan UUD 1945 bukanlah Negara hukum dalam arti formal sebagai penjaga malam atau nachwakerstaat melainkan Negara hukum dalam arti materil atau paham Negara kesejahteraan. Dalam Pembukaan UUD 1945 negara Republik Indonesia adalah Negara berdasarkan atas hukum (rechtstaat) dalam arti Negara pengurus (verzorgingsstaat) sebagaimana alinea ke-ermpat Pembukaan UUD 1945. Dengan diembannya tugas Negara menyelenggarakan kesejahteraan umum, maka Negara turut campur tangan dalam mengurusi kesejahteraan rakyat dalam bidang hukum, sosial, politik, ekonomi, budaya, lingkungan hidup, serta pertahanan dan keamanan [vide Maria Farida Indriati S, “Ilmu Perundang-undangan (1) – Jenis, Fungsi dan Materi Muatan”, Penerbit Kanisius, 2007, Jakarta, hal.1].
(c) Dengan mengambil alih pertimbangan MK dalam perkara Nomor 002/PUU-I/2003 Jo. Putusan Nomor 36/PUU-X/2012 (halaman 98), khususnya berkaitan tugas Negara paripurna dalam konstitusi yang relevan dengan pemenuhan hak atas akte kelahiran. Pendapat MK tersebut adalah:

“Rakyat secara kolektif itu dikonstruksikan oleh UUD 1945 memberi mandat kepada Negara untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad), dan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”;

10. Bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XI/2013, dalam memutuskan permohonan uji materil Pasal 32 ayat (1) dan (2) UU Nomor 23/2006, Mahkamah Konstitusi berpendapat antara lain:

10.1. Proses memperoleh akta kelahiran yang membutuhkan prosedur administrasi dan waktu yang panjang serta biaya yang lebih banyak dapat merugikan penduduk. Karena itu, Pasal 32 ayat (2) UU Adminduk selain bertentangan UUD 1945, hal tersebut juga bertentangan dengan prinsip keadilan. Karena keadilan yang tertunda sama dengan keadilan yang terabaikan (justice delayed, justice denied).
10.2. Mahkamah Konstitusi mengutip Pasal 28 ayat (1) UU 23/2002 tentang Perlindungan Anak menyebutkan pelayanan akta kelahiran merupakan kewajiban pemerintah di bidang administrasi kependudukan yang diselenggarakan dengan sederhana dan terjangkau.
10.3. Keterlambatan melaporkan kelahiran melebihi satu tahun yang harus dengan penetapan pengadilan memberatkan masyarakat. Baik yang tinggal jauh di daerah pelosok, maupun di perkotaan. Lagipula, proses di pengadilan bukanlah proses yang mudah bagi masyarakat awam, sehingga dapat mengakibatkan terhambatnya hak-hak konstitusional warga negara terhadap kepastian hukum.

11. Bahwa hak atas pencatatan kelahiran dan akta kelahiran segera setelah kelahirannya (immediately after birth), menurut Implementation Handbook for the Convention on the Rights of the Child, adalah:

(a) Pencatatan kelahiran merupakan pengumuman resmi pertama dari Negara terhadap keberadaan seorang anak (the State’s first official acknowledgement of the child’s existence). Hal itu merupakan suatu pengakuan Negara terhadap tiap-tiap anak, dan pengakuan stataus hukum anak (child’s status under the law).
(b) Pencatatan kelahiran suatu elemen esensial bagi perencanaan nasional untuk anak.
(c) Pencatatan kelahiran dimaksudkan untuk mengamankan hak-hak anak.

12. Bahwa akta kelahiran dan pencatatan kelahiran merupakan hak anak dan hak setiap penduduk, secara filosofis bersesuaian pula dengan konsideran UU Nomor 23 Tahun 2006 dan Penjelasan Umum alinea pertama UU Nomor 23 Tahun 2006 yang berbunyi:

“bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada hakikatnya berkewajiban memberikan perlindungan dan pengakuan terhadap penentuan status pribadi dan status hukum atas setiap Peristiwa Kependudukan dan Peristiwa Penting yang dialami oleh Penduduk Indonesia yang berada di dalam dan/atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia”.

Oleh karena itu, maksud asli (original intens) dan landasan filosofis dari UU nomor 23 Tahun 2006 adalah bahwa akta kelahiran dan pencatatan kelahiran bagi anak adalah hak anak, bukan kewajiban anak ataupun kewajiban penduduk.

Dengan demikian asas “stelsel aktif bagi Penduduk” tersebut adalah:
(a) Tidak sesuai dan bertentangan dengan hak atas tumbuh dan berkembang, dan hak perlindungan anak yang merupakan hak konstitusional anak yang dijamin dalam Pasal 28B ayat (2) UUD 1945;
(b) Tidak sesuai dan bertentangan dengan hak atas akta kelahiran dan pencatatan kelahiran anak (sebagai bagian integral dan tidak terpisahkan dari hak atas kewarganegaraan yang dijamin dalam Pasal 28D ayat (4) UUD 1945);
(c) Menyimpang dan tidak konsisten dengan maksud asli dan landasan filosofis UU Nomor 23 Tahun 2002 yang tertera dalam Konsideran “Menimbang” huruf a, dan Penjelasan Umum (alinea pertama) UU Nomor 23 Tahun 2006;

13. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas Penjelasan Umum UU Nomor 23 Tahun 2006 pada alinea 10, kalimat ketiga yang berbunyi “Pencatatan Sipil pada dasarnya juga menganut stelsel aktif bagi Penduduk”, bertentangan dengan Pasal 28B ayat (2) UUD 1945.

14. Bahwa oleh karena itu, asas “Stelsel Aktif bagi Penduduk” dalam Penjelasan UU Nomor 23 Tahun 2006 tersebut yang menjadi dasar UU Nomor 23/2006 mewajibkan setiap penduduk (obligation of every peoples) melaporkan Peristiwa Kependudukan, termasuk kelahiran anak, yang secara formil dituangkan ke dalam norma Pasal 3 dan Pasal 4 UU Nomor 23 Tahun 2006.

Dengan demikian asas “Stelsel Aktif bagi Penduduk” dalam Penjelasan UU Nomor 23/2006 tersebut bertentangan dengan Pasal 28B ayat (2) UUD 1945, dan juga bertentangan dengan hak konstitusional Pasal 28D ayat (4) UUD 1945;

15. Bahwa asas “Stelsel Aktif bagi Penduduk” tersebut, yang kemudian dituangkan ke dalam norma-norma UU Nomor 23 Tahun 2006 (termasuk Pasal 3 dan Pasal 4), mengakibatkan anak-anak tidak dengan serta merta dapat dicatatkan kelahirannya segera setelah ia dilahirkan, dan karena itu ia tidak memperoleh hak atas akta kelahiran, oleh karena:
15.1. Adanya kesenjangan kesempatan, kemampuan, lokasi/tempat yang terisolasi dan sulit terjangkau/menjangkau, serta berbagai bentuk disparitas antar penduduk warga Negara Indonesia yang masih memiliki kesulitan khusus;
15.2. Adanya kesenjangan antar daerah dan kesempan/kemampuan tersebut, merupakan kenyataan yang notoir feiten sehingga tidak semestinya diperlakukan sama dalam penerapan asas “Stelsel Aktif bagi Penduduk” tersebut;
15.3. Adanya biaya-biaya (resmi dan tidak resmi) yang pada kenyataannya mesti dikeluarkan penduduk saat melaporkan kelahiran atau mengurus akta kelahiran anak, merupakan konsekwensi logis dari persyaratan formil pencatatan kelahiran menurut UU Nomor 23 Tahun 2006, yang mesti dipersiapkan Penduduk dalam melaporkan Peristiwa Penting, termasuk kelahiran anak yang dituangkan ke dalam Peraturan-peraturan Daerah;
15.4. Kegagalan UU Nomor 23 Tahun 2006 sebagai sarana perekayasaan sosial dan ketidakefektifan Stelsel Aktif bagi Penduduk melahirkan kegagalan Negara melakukan pencatatan kelahiran anak sebagaimana yang diamanatkan oleh UU Nomor 23 Tahun 2006. Hal tersebut secara terang dan jelas dapat dapat dilihat melalui:
(a) Pengakuan Pemerintah cq Menteri Dalam Negeri RI, yang dibuktikan dengan diterbitkannya Surat Edaran Menteri Dalam Negeri RI No. 472.11/3444/SJ tanggal 13 September 2011, yang pada pokoknya menentukan bahwa “anak-anak yang lahir setelah UU No 23 Tahun 2006 dan belum mengurus akta kelahiran dapat dilayani dan diterbitkan akta kelahirannya tanpa penetapan pengadilan” ;
(b) Pengakuan Mahkamah Agung dengan diterbitkannya Surat Edaran Nomor 06 Tahun 2012 tentang Pedoman Penetapan Pencatatan Kelahiran Yang Melampaui Batas Waktu Satu Tahun Secara Kolektif, tertanggal 6 September 2012;
(c) Nota Kesepahaman Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri, Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia, Menteri Kesehatan, Menteri Pendidikan Nasional, Menteri Sosial, Menteri Agama, Dan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak Tentang Percepatan Kepemilikan Akta Kelahiran Dalam Rangka Perlindungan Anak, yang dibuat pada tahun 2011;
15.5. Bahwa berdasarkan data BPS Susenas 2010 secara kuantitatif jumlah anak yang memiliki akta kelahiran sekitar 54,79 persen, dari jumlah tersebut ternyata 14,57 persen diantaranya tidak dapat menunjukkan akta kelahirannya. Persentase jumlah anak yang tidak memiliki akta kelahiran terhitung masih cukup tinggi, yaitu sekitar 44,09 persen
Fakta tersebut membuktikan bahwa asas “Stelsel Aktif bagi Penduduk” tidaklah efektif diterapkan dalam pencatatan kelahiran anak sejak ia dilahirkan. Bahkan menjadi bukti bahwa “Stelsel Aktif bagi Penduduk” kausal yang menghalangi atau menghambat anak untuk memperoleh hak atas akta kelahiran;
15.6. Bahwa akibat kesenjangan akses untuk memperoleh akta kelahiran, sebagaimana ditunjukkan di dalam data di bawah ini, maka hak atas akta kelahiran semakin tidak terpenuhi bagi anak-anak di pedesaan/pedalaman. Semakin berada di pedalaman, semakin tidak terpenuhi hak mereka atas akta kelahiran. Terbukti bahwa kesenjangan akses menjadi sebab anak kehilangan hak atas akta kelahiran. Kausal semua itu karena asas “Stelsel Aktif bagi Penduduk” dalam UU Nomor 23 Tahun 2006.

Menurut data Susenas, Badan Pusat Statistik tahun 2010, secara persentase jumlah anak yang dapat menunjukkan akta kelahiran di daerah perkotaan lebih banyak dibandingkan daerah perdesaan. Sebanyak 48,50 persen anak yang tinggal di perkotaan dapat menunjukkan akta kelahirannya.

Sedangkan anak perdesaan hanya 32,06 persen anak yang dapat menunjukkan akta kelahirannya. Hal ini dikarenakan setiap anak di perkotaan yang akan masuk sekolah diharuskan melampirkan akta kelahiran sebagai bagian dari syarat untuk masuk sekolah (data murid);

Tabel 2.4 Persentase Anak menurut Tipe Daerah dan Status Kepemilikan Akte Kelahiran, 2010
Tipe Daerah Mempunyai Akte Kelahiran dari
Kantor Catatan Sipil Jumlah
Ya, Dapat Ditunjukkan Ya, Tidak Dapat Ditunjukkan Tidak Punya Tidak Tahu
(1) (2) (3) (4) (5) (6)

Perkotaan 48,50 18,40 32,31 0,80 100,00
Perdesaan 32,06 10,78 55,72 1,44 100,00
Perkotaan+ Perdesaan 40,22 14,,57 44,09 1,12 100,00
Sumber : Susenas 2010, BPS

16. Bahwa dengan demikian, lahirnya UU Nomor 23/2006 yang menganut “Stelsel Aktif bagi Penduduk”, bukan saja telah gagal sebagai sarana perekayasaan sosial dalam pencatatan kelahiran anak dan memberikan hak anak atas akta kelahiran, akan tetapi bertentangan dengan rasio, filosofis dan maksud konstitusi (dalam hal ini dan utamanya Pasal 28B ayat (2), dan Pasal 28D ayat (4) UUD 1945), yang menganut paham bahwa pencatatan kelahiran dan akta kelahiran merupakan hak anak dan karenanya merupakan Kewajiban Negara, bukan justru ditransformasikan menjadi kewajiban penduduk sebagaimana yang dirumuskan dalam Penjelasan Umum (alinea 10) dan Pasal 3 dan Pasal 4 UU Nomor 23 Tahun 2006;

17. Bahwa dengan anak tidak memperoleh akta kelahiran yang disebabkan oleh penerapan “Stelsel Aktif bagi Penduduk” dalam UU Nomor 23 Tahun 2006 (termasuk Pasal 3 dan Pasal 4), berarti telah menimbulkan kerugian konstitusional bagi anak yang secara faktual menyebabkan anak-anak tidak dapat memasuki dunia sekolah, karena akta kelahiran dijadikan syarat memasuki dunia sekolah untuk semua jenjang pendidikan. Selain berdampak pada hak atas pendidikan, akta kelahiran juga berdampak pada pemenuhan hak atas jaminan sosial anak sebagai warga Negara Indonesia;

18. Bahwa dengan anak tidak memperoleh akta kelahiran yang disebabkan oleh penerapan “Stelsel Aktif bagi Penduduk” dalam UU Nomor 23 Tahun 2006 (termasuk Pasal 3 dan Pasal 4), berarti telah menimbulkan kerugian konstitusional bagi anak yang secara faktual menyebabkan hal-hal antara lain:

18.1. Anak-anak tidak dapat memasuki dunia sekolah, karena akta kelahiran dijadikan syarat memasuki dunia sekolah untuk semua jenjang pendidikan. Selain berdampak pada hak atas pendidikan, akta kelahiran juga berdampak pada pemenuhan hak atas jaminan sosial anak sebagai warga Negara Indonesia;
18.2. Di dalam prakteknya muncul sejumlah uang yang melebihi kemampuan penduduk tersebut sehingga membuat penduduk yang terlambat melaporkan tidak dapat mendapatkan akta kelahirannya.
18.3. Akibat dari prinsip stetsel aktif bagi penduduk maka pemohon yang berbadan hukum harus ikut menanggung tanggung jawab negara atas pemenuhan akta kelahiran dengan mendampingi warga untuk mendapatkan akta kelahirannya dikarenakan kewajiban untuk mendapatkan akta kelahiran dititikberatkan pada keaktifan penduduk, tanpa mempertimbangkan kemampuan penduduk tersebut;
18.4. Anak-anak pemohon indivudal kehilangan haknya untuk mendapatkan pengakuan secara hukum oleh negara termasuk didalamnya pemenuhan terhadap hak lainnya seperti hak untuk mendapatkan pendidikan, dan hak untuk mendapatkan jaminan sosial lainnya;
18.5. Tidak adanya perlakuan khusus di dalam pemenuhan hak atas akta kelahiran, maka pemohon badan hukum harus menanggung beban tanggung jawab negara dalam memenuhi hak atas kelahiran bagi penduduk yang memiliki kesulitan pada akses untuk mendapatkan akta kelahiran;
18.6. Tidak adanya perlakuan khusus ini membuat pemohon indivudal yang tidak memiliki akses untuk mendapatkan akta kelahiran semakin terpinggirkan atas haknya, dan berujung pada kehilangan haknya untuk mendapatkan akta kelahiran tersebut. Jikapun pemohon mendapatkan akta kelahirannya, itupun didampingi oleh lembaga non profit;
18.7. Dengan adanya sanksi untuk pemohon yang terlambat melaporkan kelahirannya membuat pemohon yang berbadan hukum menjadi kesulitan untuk membantu penduduk mendapatkan akta kelahiran, terutama bagi penduduk yang lemah dalam hal akses, sedangkan bagi pemohon indvidual, sanksi ini jelas sangat merugikan karena putusan dari kepala instansi pelaksana seringkali menjatuhkan denda administrasi dengan jumlah yang sangat besar tanpa mempertimbangkan alasan terlambat melaporkan dan kemampuan ekonomi mereka.
18.8. Dalam praktik, baik penyidik maupun penuntut umum, dalam menerapkan peraturan perundang-undangan terkait dengan tindak pidana anak mengacu pada akta kelahiran. Dengan tidak memiliki akta kelahiran, anak-anak yang berhadapan dengan hukum (ABH), baik sebagai korban maupun sebagai pelaku tindak pidana, akan kehilangan hak-haknya untuk memperoleh perlindungan. Setidaknya ada tiga situasi dimana hak-hak ABH sebagaimana diatur dalam Undang-undang Perlindungan Anak dan Undang-undang Pengadilan Anak terlanggar:

18.8.1. Anak Pelaku Tindak Pidana:
a. Untuk menerapkan Undang-undang Peradilan Anak kepada anak yang menjadi pelaku tindak pidana, Penyidik maupun Penuntut Umum merujuk pada bukti formil, yaitu akta kelahiran. Jika penyidik maupun Penuntut Umum tidak memiliki bukti formil berupa akta kelahiran, sementara secara fisik anak pelaku tindak pidana tidak menunjukkan sebagai seorang anak, maka penyidik maupun Penuntut Umum akan menggunakan mekanisme peradilan umum (KUHAP), sekalipun secara faktual pelakunya adalah seorang anak.
b. Dalam peradilan umum jelas tidak mengatur tentang tindak pidana anak. Artinya anak anak pelaku tindak pidana tidak mendapatkan previlage sebagai seorang anak sebagaimana diatur dalam UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, antara lain: hak untuk diancam pidana paling lama ½ (satu per dua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa dan masa penahanan yang jauh lebih singkat di setiap tahapan pemeriksaan jika dibandingkan penahanan bagi orang dewasa.
c. Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1/PUU-VIII/2010 terkait dengan batas usia anak yang dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana, bahwa berdasarkan Putusan tersebut batas usia anak yang dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana adalah minimal 12 tahun; (Putusan MK Nomor 1/PUU-VIII/2010).
d. Putusan aquo tidaklah efektif jika seorang anak pelaku tindak pidana tidak dapat membuktikan secara formil bahwa dirinya belum 12 tahun. Penyidik maupun penuntut umum tetap akan melanjutkan perkaranya, sekalipun secara faktual usianya belumlah genap 12 tahun.

18.8.2. Anak Korban Tindak Pidana:
a. Untuk menerapkan apakah sebuah tindak pidana masuk dalam ranah kejahatan terhadap anak atau bukan, penyidik dan penuntut umum merujuk pada bukti formil dari korban berupa akta kelahiran. Jika bukti formil berupa akta kelahiran tidak ada, penyidik maupun penuntut umum menggunakan bukti formil lainnya berupa buku rapot atau ijasah. Persoalannya adalah jika yang menjadi korban kejahatan adalah anak-anak yang tidak terjangkau oleh sekolah atau tidak memiliki kesempatan untuk bersekolah, seperti anak-anak dari suku-suku pedalaman atau anak jalanan, dimana mereka tidak memilki akta kelahiran juga dokumen pendidikan. Dengan bukti formil apa mereka membuktikan bahwa usia mereka adalah usia anak;
b. Jika anak yang menjadi korban tindak pidana tidak dapat membuktikan bahwa dirinya adalah seorang anak, maka penyidik dan penuntut umum akan memproses perkaranya menggunakan undang-undang pidana umum (KUHP), yang mana ancaman pidananya jauh lebih ringan dibandingkan jika diterapkan Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;

19. Bahwa dengan mengacu kepada konsiderans “Menimbang” huruf (a), maupun Penjelasan Umum (alinea pertama) UU Nomor 23 Tahun 2006, yang berbunyi:

“bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada hakikatnya berkewajiban memberikan perlindungan dan pengakuan terhadap penentuan status pribadi dan status hukum atas setiap Peristiwa Kependudukan dan Peristiwa Penting yang dialami oleh Penduduk Indonesia yang berada di dalam dan/atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia”.

Dengan demikian maka:
(a) Landasan filosofis UU Nomor 23 Tahun 2006 itu sendiri mengakui dan menganut asas bahwa penentuan status pribadi dan status hukum Penduduk, termasuk atas peristiwa kelahiran anak, adalah merupakan KEWAJIBAN NEGARA.
(b) Landasan filosofis UU Nomor 23 Tahun 2006 itu sendiri menganut asas kewajiban negara atas pencatatan kelahiran dan pemenuhan hak atas akta kelahiran anak, sehingga penggunaan asas “Stelsel Aktif bagi Penduduk” dalam UU Nomor 23 Tahun 2006 adalah keliru dan bertentangan dengan landasan filosofis UU Nomor 23 Tahun 2006 itu sendiri.
(c) Adanya inkonsistensi, ketidaksinkronan serta saling bertentangan antara Landasan Filosofis dengan Penjelasan Umum UU Nomor 23 Tahun 2006 yang menerapkan asas “Stelsel aktif bagi Penduduk”. Keadaan ini mengakibatkan tidak adanya kepastian hukum yang adil yang dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
(d) Mahkamah Konstitusi berwenang menafsirkan dan tidak membiarkan inkonsistensi norma dan ketidaksinkronan antara landasan filosofis UU Nomor 23/2006 dengan Penjelasan Umum UU Nomor 23/2006 yang menerakan asas “Stelsel Aktif bagi Penduduk”. Secara teori dan praktek Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal konstitusi (guardian of constitution) dan penafsir konstitusi (the Sole Interpreter of the Constitution) berwenang melakukan sinkronisasi norma undang-undang termasuk UU Nomor 23 Tahun 2006 sehingga tidak lagi terjadi pelanggaran hak konstitusional dan hak asasi manusia, dalam hal ini hak konstitusional atas pencatatan kelahiran dan akta kelahiran.
Berdasarkan jurisprudensi MK diperoleh pendapat bahwa “…Mahkamah sesuai dengan kewenangan konstitusionalnya, tidak akan membiarkan adanya norma dalam Undang-undang yang tidak konsisten dan tidak sesuai dengan amanat perlindungan konstitusional yang dikonstruksikan oleh Mahkamah” [vide, pertimbangan Mahkamah Konstitusi, pada Putusan Nomor 1/PUU-VIII/2010, hal. 153].
(e) Dalam teori maupun praktik, Mahkamah Konstitusi menggunakan dan mengacu kepada landasan filosofis dari suatu Undang-undang. Karena itu dalam hal adanya inkonsistensi dan tidak sinkron antara landasan filosofis UU Nomor 23 Tahun 2006 dengan Penjelasan Umum UU Nomor 23 Tahun 2006 yang menerapkan asas “Stelsel Aktif bagi Penduduk”, memilih dan mengacu kepada landasan filosofis UU Nomor 23 Tahun 2006 sebagai ruh dan nilai-nilai dasar suatu norma Undang-undang.

20. Bahwa hak atas akta kelahiran, yang dengan UU Nomor 23 Tahun 2006 dimulai dengan perbuatan melaporkan kelahiran, merupakan hak anak sebagai bagian dari hak atas identitas anak, selain juga hak atas nama, hubungan kerabat dan kewarganegaraan. Dengan demikian, hak atas akta kelahiran merupakan kewajiban negara (state obligation), dan karenanya bukan kewajiban penduduk bangsa Indonesia. Oleh karena itu, sama seperti halnya hak atas kewarganegaraan maka:

(a) Negara melalui Pemerintah selaku eksekutif wajib menyelenggarakan pencatatan kelahiran terhadap anak bangsa Indonesia, yang tidak lain adalah Warga Negara Indonesia;
(b) Kewajiban Negara melalui Pemerintah selaku eksekutif menyelenggarakan pencatatan kelahiran terhadap anak bangsa Indonesia. Oleh karena itu keliru dan bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 28D ayat (4) UUD 1945 penerapan asas “Stelsel Aktif bagi Penduduk” dalam Penjelasan Umum (alinea peratama) UU Nomor 23 Tahun 2006;
(c) Oleh karena Pencatan Kelahiran dan Akta Kelahiran merupakan kewajiban Negara, maka sebenarnya maksud yang terkandung dalam konstitusi adalah asas “Stelsel Aktif bagi Pemerintah” dalam pelaporan Peristiwa Kelahiran anak dan Pencatatan Kelahiran.

21. Bahwa hak anak atas akta kelahiran–sebagai serangkaian daripada hak identitas bersamaan dengan hak atas nama, hubungan kerabat dan kewarganegaraan – bermula dari hak (seluruh) anak Indonesia atas pencatatan kelahiran, yang merupakan kewajiban dan tanggung jawab Negara oleh karena:

(a) anak-anak (yang baru dilahirkan) tidak mungkin mencatatkan diri sendiri, namun kedudukannya sebagai subjek hukum dijalankan oleh orangtua dan Negara. Oleh karena konteks perlindungan dan pelaksanaan hak anak (protection and implementation on the rights of the child) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, maka semestinya pencatatan kelahiran dan pemberian hak atas akta kelahiran merupakan kewajiban Negara.

Sebaliknya, tidak logis membebankan perlindungan dan pemenuhan hak anak sebagai HAM dan juga hak konstitusional kepada penduduk atau orangtua si anak, oleh karena pengemban HAM dan hak konstitusional adalah Negara yang dijalankan Pemerintah selaku eksekutif.

(b) anak-anak (yang baru dilahirkan) sebagai warga negara Indonesia, maka Negara berkewajiban mencatatkan warga negaranya yang dimulai dengan wajib mencatatkan kelahiran anak. Oleh karena, terhadap penduduk bangsa Indonesia berlaku Stelsel Pasif Penduduk untuk menjadi warga negara Indonesia. Seperti halnya stelsel pasif warga negara, maka terhadap pencatatan kelahiran dan hak atas akta kelahiran anak, maka Negara wajib secara aktif mencatatkannya;

Dengan alasan tersebut diatas maka “Stelsel Aktif bagi Penduduk” dalam Penjelasan Umum (alinea 10, kalimat ketiga) UU Nomor 23 Tahun 2006, adalah tidak berdasar dan bertentangan dengan hak konstitusional penduduk atas kewarganegaraan yang dijamin dalam Pasal 26 ayat (1) UUD 1945;

22. Bahwa hak atas pencatatan kelahiran dan akta kelahiran bagi anak, yang dimulai dengan kewajiban pelaporan berdasarkan “Stelsel Aktif bagi Penduduk” tersebut, ternyata telah gagal dalam memenuhi hak anak atas pencatatan kelahiran dan akta kelahiran, yang terbukti dengan:

(a) Berdasarkan data, Anak Indonesia yang memiliki akta kelahiran sekitar 54,79 persen, dari jumlah tersebut 14,57 persen tidak dapat menunjukkan akta kelahiran, sedangkan jumlah anak yang tidak memiliki akta kelahiran 44,09 persen (Susenas 2010, BPS)., lihat http://www.kotalayakanak.org/index.php?option=com_content&view=article&id=1662:laporan-indonesia-pelaksanaan-konvensi-hak-anak&catid=60:laporan-kha&Itemid=76.

(b) Berdasarkan data dan pernyataan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Linda Agum Gumelar menyampaikan bahwa terdapat 50 juta anak dari 80 juta anak Indonesia belum terlindungi identitasnya atau belum memiliki akta kelahiran.

(c) Faktanya diakui lebih dari 90% (sembilan puluh persen) anak jalanan di Jakarta tidak memiliki akta kelahiran. Jumlah ini berdasarkan data dari Kementerian Sosial Republik Indonesia, (vide, http://megapolitan.kompas.com/read/2012/07/04/23115964/90.Persen Anak Jalanan di Jakarta Tak Punya Akta Kelahiran.

(d) Kepala Subbidang Pembangunan Kesejahteraan Sosial Anak Telantar Kementerian Sosial Rahmad Kusnadi mengatakan, jumlah anak jalanan saat ini diperkirakan 230.000 orang. Setiap tahun, rata-rata jumlahnya bertambah 1000 anak. Sebanyak 90 persen anak jalanan ini tanpa akta kelahiran. Jumlah terbesar berada di Jakarta, sekitar 8000 anak jalanan, Lihat :
http://megapolitan.kompas.com/read/2012/07/04/20065655/Bantuan.Akta.Kelahiran.Setengah.Hati.

(e) Tidak adanya perubahan dan kenaikan signifikan dalam pencapaian pencatatan kelahiran dan akta kelahiran semenjak dijalankannya UU Nomor 23 Tahun 2006, oleh karena secara kuantitatif jumlah anak yang memiliki akta kelahiran hanya 54,79 persen, dan karenya hampir separuh anak-anak Indonesia masih belum dicatatkan kelahirannya. Dengan demikian, penerapan asas “Stelsel Aktif bagi Penduduk dalam UU Nomor 23 Tahun 2006 telah terbukti gagal mencatatkan kelahiran anak dan karenanya melanggar hak konstitusional anak atas identitas;

(f) Terbukti pula dengan pengakuan Pemerintah cq Menteri Dalam Negeri RI perihal kegagalan stelsel aktif pada Penduduk, dengan diterbitkannya Surat Edaran Menteri Dalam Negeri RI No. 472.11/3444/SJ tanggal 13 September 2011, yang pada pokoknya menentukan bahwa “anak-anak yang lahir setelah UU No 23/2006 dan belum mengurus akta kelahiran dapat dilayani dan diterbitkan akta kelahirannya tanpa penetapan pengadilan”.

Penerbitan Surat Edaran Menteri Dalam negeri RI tersebut merupakan bukti notoir feiten bahwa “Stelsel Aktif bagi Penduduk” yang dianut dalam UU Nomor 23/2006 telah gagal menjalankan fungsi hukum sebagai sarana perekayasa sosial (law as a tool of social enginerring), oleh karena asas dan norma yang terkandung dalam “stelsel aktif pada Penduduk” dalam UU Nomor 23 Tahun 2006 itu, tidak sesuai dengan hak konstitusional anak yang diatur dalam Pasal 28B ayat (2) UUD 1945.

Norma hukum yang tidak berjalan tersebut adalah akibat dari pembentukan (sistem) norma yang gagal memahami kebutuhan dan keadaan empiris kehidupan masyarakatnya. Keadaan hukum seperti itu menurut Roberto M. Urger sebagai “hukum tidak memiliki kharakteristik universal kehidupan sosial” [Roberto M. Urger, “Teori Hukum Kritis – Posisi Hukum dalam Masyaakat Modern”, Nusa Media, Bandung, 2008, hal. 65];

Dalil-dalil di atas secara terang dan tegas membuktikan bahwa penggunaan asas “Stelsesl Aktif bagi Penduduk” dalam UU Nomor 23 Tahun 2006 tidak efektif dalam pelaksanaan pencatatan kelahiran penduduk.

23. Bahwa gagalnya pencatatan kelahiran anak dengan UU Nomor 23 Tahun 2006, menjadi bukti bahwa hak konstitusional anak terlanggar, dan kausalnya adalah asas “stelsel aktif bagi Penduduk” yang dianut dalam UU Nomor 23/2006. Jika dibanding dengan data kependudukan tahun 2005, pencatatan kelahiran setelah disahkannya UU Nomor 23 Tahun 2006 bisa dikatakan gagal. Karena tidak ada kenaikan signifikan dalam pencatatan kelahiran anak yang menggunakan asas “Stelsel Aktif bagi Penduduk”, sebagaimana data berikut ini:
 Data Penduduk Usia 0-4 Tahun yang Memiliki Akta Kelahiran menurut Provinsi (Sensus BPS, 2005), sebelum UU No. 23 Tahun 2006 disahkan, sebanyak 42,82%.
 Sedangkan data Penduduk Usia 0-4 Tahun yang Memiliki Akta Kelahiran, (sumber BPS, Susenas 2011), setelah UU Nomor 23/2006 disahkan sebanyak 59%.

Oleh karena itu dengan penerapan asas “Stelsel Aktif bagi Penduduk” dalam UU Nomor 23/2006 tidak ada peningkatan siginifikan dalam Pencatatan Kelahiran.

24. Bahwa dengan adanya fakta dan data serta pengakuan Pemerintah sebagaimana Bukti: P-15 s.d Bukti: P-21, serta dalil-dalil pada butir 1 s.d 23 diatas, maka terbukti penerapan asas “Stelsel Aktif bagi Negara” menghalangi perlindungan dan pemenuhan hak anak atas akta kelahiran, yang merupakan bagian integral dari hak konstitusional anak atas tumbuh kembang (development rights) yang dijamin dalam Pasal 28B ayat (2) UUD 1945;

25. Bahwa hak tumbuh kembang anak sebagai hak konstitusional yang dijamin dalam Pasal 28B ayat (2) UUD 1945, adalah hak anak yang pertama, oleh karena implikasinya menyangkut pemenuhan hak-hak anak lainnya, termasuk hak atas pendidikan, hak atas jaminan sosial, hak atas perlindungan hukum, yang merupakan hak anak (rights of the child) selain juga merupakan hak konstitusional anak.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhammad Nuh menyatakan, “Diperkirakan sekitar 70% anak yang belum berakta itu berstatus anak usia sekolah”, Lihat http://www.kopertis12.or.id/2012/06/02/ayo-percepatan-kepemilikan-akte-kelahiran-dalam-rangka-perlindungan-anak.html.

26. Bahwa dengan tidak diperolehnya hak atas akta kelahiran sebagai kausal dari penerapan asas “Stelsel Aktif bagi Penduduk”, maka menimbulkan pencideraan hak anak atas perlindungan (protection rights of the child), yakni perlindungan sebagai penduduk atau warga Negara Indonesia, yang dijamin dalam Pasal 28B ayat (2) UUD 1945;

27. Bahwa hak anak atas kelangsungan hidup (survival right of the child), hak tumbuh kembang (development right of the child), dan hak perlindungan (protection rights of the child), bersesuaian dengan Konvensi PBB tentang Hak Anak (KHA), demikian juga Pasal 2 UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang mengandung asas pokok, yakni:
(a) Non diskriminasi;
(b) Kepentingan terbaik bagi anak;
(c) hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan, dan;
(d) penghargaan terhadap pendapat anak.

28. Bahwa selain itu hak konstitusional tumbuh kembang anak yang bersesuaian pula dengan Konvensi PBB tentang Hak Anak (UN’s Convention on the Rights of the Child), yang telah diratifikasi Pemerintah Indonesia, secara hukum dimaksudkan sebagai wujud kepatuhan konstitusional sebagai negara hukum (recht staat).

UUD 1945 telah meresepsi prinsip-prinsip dasar HAM sebagai salah satu syarat dari negara hukum, khususnya prinsip dasar HAM yang terkait dengan hidup dan kehidupan dan merupakan simbol atau ikhtiar bangsa Indonesia dalam konteks menjadikan UUD 1945 menjadi UUD yang makin modern dan makin demokratis; [Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hal 144, diterbitkan oleh Sekretariat Jenderal Majelis Pemusyawaratan Rakyat, Jakarta, 2005];

29. Bahwa hak anak atas pencatatan kelahiran dan hak anak atas akta kelahiran, terkait langsung dan satu rangkaian dengan hak atas kewarganegaraan sebagai hak identitas, dan karenannya merupakan kewajiban Negara sebagaimana tertuang dan dijamin dalam Pasal 28D ayat (4) UUD 1945. Hak atas identitas merupakan hak anak dan HAM, sehingga perlindungan dan pemenuhannya merupakan kewajiban dan tanggung jawab Negara.

30. Bahwa berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, maka terang dan jelas bahwa “Penjelasan Umum UU Nomor 23 Tahun 2006 pada alinea 10, kalimat ketiga yang berbunyi “Pencatatan Sipil pada dasarnya juga menganut stelsel aktif bagi Penduduk”, bertentangan dengan hak konstitusional anak yakni hak atas tumbuh dan berkembang serta hak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, yang dijamin dalam Pasal 28B ayat (2) UUD 1945;

Exit mobile version