JAKARTA – Di luar reli pencalonan dirinya kembali sebagai Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama telah memantik kontroversi seputar berbagai penggusuran yang dilakukannya untuk menertibkan kawasan perkampungan ilegal yang ditengarai rentan menyebabkan banjir.
Kebijakan gubernur yang akrab disapa Ahok tersebut, meskipun harus diakui berdampak positif bagi pembangunan Ibukota, menimbulkan berbagai problema sosial baru. Salah satunya adalah potensi trauma yang dialami oleh anak-anak korban penggusuran.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menilai anak-anak korban penggusuran harus tetap dipantau perkembangan psikisnya serta didata apa saja kemungkinan hak-hak mereka yang terlanggar.
Ketua Divisi Sosialisasi KPAI Erlinda berpendapat apabila pemerintah tidak sengaja melanggar hak-hak anak saat melakukan penggusuran, harus tetap dilakukan pembelaan terhadap anak-anak tersebut secara arif dan bijaksana.
Misalnya saja, memastikan hak anak korban penggusuran untuk dapat tetap bertahan hidup, serta memperoleh akses terhadap pendidikan dan kesehatan. Sebab, hal-hal tersebut merupakan tanggung jawab dan kewajiban pemerintah.
“Kami akan mengecek secara langsung seperti di Kalijodo. Hak apa yang terlanggar dan siapa yang melanggar, semacam itulah,” ujar Erlinda belum lama ini.
Dia juga meninjau kondisi anak-anak yang rumahnya dibongkar di Kampung Ikan, RW 4, Penjaringan, Jakarta Utara. “Jadi, kami sama-sama meminta apakah yang dilaporkan dinas setempat benar. Kami tidak akan lempar batu sembunyi tangan,” imbuhnya.
KPAI memantau sejak dilakukan pembongkaran di kawasan Pasar Ikan, belum ada satupun bantuan dari pemerintah terkait perlindungan hak-hak anak. Bantuan yang sudah ada hanya berupa pendirian Posko Kemanusiaan. Itupun merupakan hasil swadaya masyarakat.
Sementara itu, bantuan berupa Posko Tiga Pilar dari pemerintah hanya berwujud rumah susun (rusun). Belum ada bantuan konkrit dalam bentuk pendampingan untuk anak-anak korban penggusuran.
“Pada kenyataannya, banyak warga yang akhirnya kembali ke lokasi pembongkaran. Hal itu terjadi karena mereka tidak memiliki pekerjaan di tempat baru yang disediakan oleh Pemprov DKI.”
Ketua KPAI Asrorun Niam Sholeh menegaskan bahwa anak-anak korban penggusuran telah kehilangan haknya atas papan. “Jadi mereka butuh alternatif yang sesuai dengan kondisi mereka. Tidak semua orang yang tinggal di itu nyaman.”
TINJAUAN PSIKOLOGIS
Secara psikologis, kebijakan penggusuran memiliki dampak tidak langsung bagi perkembangan anak-anak. Apalagi, di lingkungan pembongkaran kerap terjadi bentrok dan kerusuhan akibat adanya pihak-pihak yang tidak terima dan rela meninggalkan kampungnya.
Psikolog anak Klinik Citra Ardhita Medifarma, Ayoe Sutomo, berpendapat dalam kondisi lingkungan yang penuh konflik, anak adalah pihak yang paling membutuhkan perhatian khusus.
Kuncinya terletak pada orang tua, yang harus dapat melakukan pendekatan intensif kepada anak-anak mereka dan memberikan penjelasan logis mengapa keluarga mereka terpaksa berpindah rumah dan menempati hunian baru.
“Prinsip -nya sama seperti saat akan pindah rumah, atau pindah sekolah. Orang tua harus memberikan informasi kepada anak secara perlahan,” jelasnya.
Lebih lanjut, Ayoe menilai agar orang tua tidak menyampaikan informasi soal kepindahan tersebut secara mendadak kepada anak. Berikanlah informasi jauh-jauh hari sebelum saat penggusuran tiba. Setidaknya, lakukan tiga bulan sebelum proses pembongkaran.
Dengan memberi tahu soal penggusuran sejak jauh-jauh hari, diharapkan anak tidak akan terlalu terkejut dengan proses kepindahannya ke tempat yang baru. Hal itu sekaligus diharapkan mampu meminimalisir pukulan psikologis yang dirasakan anak-anak.
Hal lain yang perlu diperhatikan saat menyampaikan informasi adalah kondisi anak-anak. Menurutnya, anak-anak dalam masa perkembangan cenderung menangkap informasi secara harafiah dan berpikir terlalu konkrit.
Sehingga, pendekatan yang dilakukan orang tua tidak bisa hanya sekadar ‘menceritakan’. Orang tua harus mengajak anak untuk ‘melihat’, serta memberikan gambaran positif mengenai masa depan kampungnya setelah digusur nanti.
Bagaimanapun, pendekatan tersebut hanya dapat tercapai apabila orang tuanya memiliki prespektif positif terhadap kebijakan pemerintah terkait penggusuran. Apabila orang tuanya berpandangan negatif, informasi yang akan disampaikan kepada anak pun akan negatif.
“Kalau pernyataan yang keluar dari mulut orang tuanya bernada negatif, anak-anak akan ketakutan. Sehingga, mereka akan merasa tidak nyaman dan pada akhirnya tidak bisa beradaptasi dengan baik dengan lingkungannya yang baru.”