MEMBANGUN INDONESIA LAYAK ANAK

Ada adegan yang sangat menarik dan sungguh realis dalam film “Garuda Di Dadaku”, garapan sutaradara muda Ifa Irfansyah, ketika tokoh Bayu loncat jendela, kemudian berlari-lari menendang bola di gang-gang sempit tempat tinggalnya, hingga akhirnya menemukan tanah lapang di tengah kuburan sebagai home base latihan kerasnya untuk menjadi yang terbaik. Itulah potret faktual kondisi anak-anak Indonesia; terabaikan dan tidak terlindungi.

Memang ada anak-anak Indonesia yang beruntung, tetapi dalam persepektif hak asasi manusia, bukan banyak atau sedikit jumlahnya, tetapi setiap (manusia) anak harus memperoleh hak-haknya. Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 ayat 2 b sangat gamblang menyebutkan:”Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.

Tanpa menampik berbagai upaya yang dilakukan pemerintah untuk memenuhi hak anak, kita masih melihat wajah buram dan kondisi yang tidak layak bagi anak-anak Indonesia. Untuk hak sipil dan kebebasan misalnya, dari 80 juta anak baru 40 % yang tercatat oleh Negara dalam bentuk akta kelahiran, dan baru 219 Kabupaten/Kota dari 495 Kabupaten/Kota yang memiliki kebijakan penerbitan akta kelahiran gratis bagi anak-anak.

Pada hak pengasuhan, jutaan anak menjadi anak terlantar, 200 ribu di antaranya hidup di jalanan; keras, liar, dan menjadi obyek penertiban tidak manusiawi petugas Satpol Pamong Praja di banyak Pemda Kabupaten/Kota. Dari sisi kesehatan lebih menyedihkan lagi di mana kematian bayi masih 31/1000, sebuah angka yang tinggi karena masih jauh dari target MDGS 2015 yang harus menmcapai angka 17/1000. Belum lagi dengan tingkat angka kematian balita, angka kematian ibu, dan penyebaran penyakit menular yang grafiknya terus naik. Masih ada 4,5 juta anak-anak yang mengalami gisi buruk, anak-anak yang mendapati lingkungan hidup yang penuh asap rokok, sanitasi jelek, ancaman masifnya peredaran narkoba, virus HIV/ADS, dan sebagainya. Dalam bidang pendidikan pun, data wajar Dikdas memiliki sisi buram, karena masih ada sekitar 1 juta anak SD/MI dan 2,5 siswa SMP/MTS yang drop out.

Dalam hal perlindungan khusus bahkan saya berani katakan bahwa Negara telah gagal melindungi anak-anak dari perlakuan salah, eksploitasi, kekerasan dan diskriminasi. Bagaimana tidak, dari data Depsos, dari tahun ke tahun pemerintah tidak berhasil menekan secara signifikan angka-angka anak jalanan yang tidak pernah kurang dari kisaran 200.000 orang, dan anak terlantar sebanyak 5,4 juta dan hampir terlantar 12 juta orang. Untuk anak yang dipekerjakan ILO mencatat masih ada 4,05 juta orang, anak yang dilacurkan dan anak diperdagangkan tidak pernah ada angka pasti tetapi bisa dipastikan mencapai puluhan ribu anak. Demikian pula anak yang menjadi korban kekerasan dan diskriminasi, anak yang berhadapan dengan hukum, anak-anak yang dipenjarakan dan sebagainya angkanya selalu menunjukkan sisi gelap anak Indonesia. Merekalah anak Indonesia yang kurang beruntung, korban perlakuan salah, korban kekerasan, tereksploitasi dan terdiskriminasi.

Mengapa bisa seperti itu? Bukankah dari segi instrumen regulasi komitmen Negara sudah cukup memadai. Indonesia termasuk Negara paling awal meratifikasi Konvensi Hak Anak (Convention on the Right of the Child), UUD 1945 hasil Amandemen keempat tahun 2002 menyebutkan kewajiban negara menjamin hak tumbuh kembang anak dan melindungi setia anak dari kekerasan dan diskriminasi. Puncak komitmen negara adalah dengan diintrodusirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Soalnya adalah, bahwa instrumen regulasi tidak akan berhasil membawa perubahan kondisi manakala gagal dalam implementasinya. Dan itulah yang kini sedang menimpa penyelenggaraan anak di negeri ini. Begitu banyak ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang anak, begitu banyak sektor pemerintahan yang menggarap isu perlindungan anak, tetapi itu tidak menghentikan sisi buram perlindungan anak.

Maka kini saatnya, sebagai sebuah bangsa, kita mencanangkan bersama untuk membangun Indonesia yang layak anak, yaitu di mana anak dijamin hak-hak dasarnya, teresedia lingkungan yang bisa membantu tumbuh kembang anak, tersedianya lembaga pendidikan yang ramah anak, terlindunginya anak dari segala bentuk kekerasan dan diskriminasi, serta tersedianya ruang ekspresi anak yang luas di semua komunitas.

Bersama 190 negara lainnya, Indonesia adalah peserta Special Session untuk Anak pada Sidang Umum PBB pada bulan Mei 2002, yang melahirkan dokumen “Dunia yang layak bagi anak-anak”. Oleh karena itu kewajiban para penyelenggara perlindungan anak di negeri ini, untuk melaksanakan seruan tersebut, dengan menjadikan Indonesia sebagai negeri yang layak anak.
Karena fungsi-fungsi perlindungan anak berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan ada pada Kabupaten/Kota, maka pada jajaran Pemda Kabupaten/Kotalah kita menaruhkan harapan. Kalau setiap Bupati/Walikota mencanangkan dan berusaha betul mewujudkan Kabupaten/Kota layak anak, maka seluruh Indonesia menjadi wilayah Negara yang layak anak.

Untuk mencapai tataran tersebut ada persyaratan yang harus dipenuhi oleh semua Pemda Kabupaten/Kota. Pertama, lahirnya kebijakan pemerintah yang memihak anak yang terlihat dari pemenuhan hak dan perlindungan khusus. Kedua, pemerintah memiliki program-program yang jelas untuk menjamin setiap anak bisa memperoleh hak-haknya dan terlindungi dari perlakuan penuh keras dan diskriminasi. Ketiga, keberadaan kelembagaan yang secara khusus menangani isu perlindungan anak secara memadai. Keempat, tersedianya anggaran yang cukup untuk menopang penyelenggaraan perlindungan anak secara optimal.

Untuk bisa mewujudkan keempat hal tersebut, sangat bergantung pada sensitifitas Bupati/Walikota terhadap perspektif perlindungan anak. Bukan berarti Pemerintah Pusat dan Propinsi tidak penting, tetapi de facto, pada era otonomi daerah ini, yang memiliki wilayah dan rakyat adalah Bupati atau Walikota. Maka sesitifitas dan responsibilitas Bupati/Walikota sangat menentukan implementasi penyelenggaraan perlindungan anak.

Tentu saja kerjasama dengan berbagai pihak dalam membangun Indonesia layak anak merupakan prasyarat mutlak karena pemenuhan hak dan perlindungan anak sangat kompleks dan berat. Tanpa aliansi dan sinergitas, target-target akan berjalan lambat, malahan boleh jadi yang satu membangun, yang lain merusak, di satu pihak bekerja keras, di lain pihak bertindak destruktif, menebar teror dan bom untuk mematahkan harapan dan menghancurkan kegembiraan anak.

Yang pasti, harus diingat, bahwa pengelolaan atas anak yang salah pada hari ini, akan menjadi persoalan bangsa yang besar di masa yang akan datang.

Maka sebelum persoalan besar itu datang, kelolalah anak dengan baik. Pastikan mereka memperoleh hak-haknya, pastikan setiap anak memperoleh perlidungan dari kekerasan dan diskriminasi. Itulah saat di mana, kita memberikan lingkungan kehidupan yang layak bagi setiap anak Indonesia.

Exit mobile version