MENGUJI KOMITMEN NEGARA DALAM PERLINDUNGAN ANAK

Pendahuluan
Salah satu isu strategis pasca Perang Dunia I dan Kedua pada awal dan media abad XX adalah masalah anak. Hal tersebut disebabkan karena korban yang paling mengenaskan pasca perang, selain wanita adalah anak-anak. Perang –dan juga aneka bencana– telah melahirkan anak-anak tiba-tiba menjadi yatim piatu, kehilangan orang-orang yang dicintai, mengalami cacat pisik, trauma mental, serta kehilangan harapan akan masa depannya.

Kenyataan itu membawa gerakan untuk melindungi anak (save children movement) dari berbagai kelompok masyarakat. Mereka mendesak kepada organisasi internasional, dan juga pemerintah negara-negara yang terlibat dalam perang untuk lebih memberikan perhatian kepada anak. Sejak tahun 1924, upaya memperhatikan hak-hak dan perlindungan kepada anak terus didesakkan. Tahun 1945, tepatnya tanggal 24 Desember, Deklarasi Hak Azasi Manusia (HAM) ditandatangi oleh para negara pihak, yang dicatat sebagai penandatanganan konvensi paling spektakuler karena menjadi landasan penjaminan hak-hak asasi manusia di seluruh dunia. Tetapi para aktivis hak-hak anak dan perlindungannya tidak mau berhenti sampai di situ. Mereka meminta agar anak bisa lebih memperoleh perhatian tersendiri, sebab dalam prakteknya Konvensi HAM yang ada lebih diperuntukkan bagi oang-orang dewasa, karena merekalah yang bisa menyuarakan nasibnya.

Perjuangan para aktivis perlindungan anak mencapai puncak keberhasilan ketika pada tahun 1989 semua anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa menandatangani Konvensi Hak-hak Anak (Convention on the Rights of the Child).

Pembelaan Anak di Indonesia
SEJAK diintrodusirnya Konvensi Tentang Hak-Hak Anak oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tanggal 20 November 1989, perhatian terhadap dunia anak-anak mengalami kemajuan. Konvensi ini lahir di antaranya, didasarkan pada kesadaran bahwa anak harus dipersiapkan seutuhnya untuk hidup dalam suatu kehidupan individu dan masyarakat, dan dibesarkan semangat cita-cita yang dinyatakan dalam Piagam Perserikatan Bangsa-bangsa, dan terutama dalam semangat perdamaian, kehormatan, tenggang rasa, kebebasan, persamaan dan solidaritas.
Di Indonesia perhatian terhadap anak juga mengalami kemajuan yang signifikan. Berbagai Konvensi lembaga-lembaga internasional, di mana Indonesia menjadi anggotanya dengan cepat meratifikasi dan mengesahkan menjadi hukum positif. Jauh sebelumnya pada tahun 1979, pemerintah Indonesia mengeluarkan UU Nomer 4 tentang kesejahteraan anak. Beberapa tahun kemudian, tepatnya tahun 1997 Indonesia mengeluarkan UU Nomer 3 tentang Pengadilan Anak, kemudian seiring lahirnya era reformasi, tahun 1998 Indonesia mengeluarkan UU Nomer 5 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia. Setahun kemudian kita memiliki UU Nomer 19 tahun 1999 tentang Pengesahan Konvensi ILO Mengenai Kerja Paksa; dan UU nomer 20 tahun 1999 tentang Pengesahan Konvensi ILO Mengenai Usia Minimum Untuk diperbolehkan Bekerja.

Puncak perjuangan hak-hak anak dan perlindungannya di Indonesia mencapai saat yang paling monumental ketika Pemerintah Republik Indonesia berhasil mengintrodusir Undang-Undang Nomer 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Undang-undang ini dianggap ideal karena secara substantif mengacu pada penggabungan antara nilai-nilai dalam KHA dengan nilai-nilai lokal. Perbedaan yang mencolok adalah, apabila dalam KHA hanya mencantumkan hak-hak anak, dalam UU No 23 tahun 2002, selain mencantumkan hak-hak anak juga kewajiban anak sebagaimana tercantum di dalam Pasal 19 UU tersebut.

Substansi UU Perlindungan Anak
1. Hak-hak anak
Anak berhak atas :
– Kelangsungan hidup
– Tumbuh kembang
– Perlindungan
– Berpartisipasi

Hak-hak tersebut terbagi secara rinci meliputi
– Hak sipil dan kebebasan
– Hak perawatan
– Pengasuhan dan pemanfaatan waktu luang
– Hak Kesehatan dan kesejahteraan
– Hak Pendidikan dan kebudayaan

2. Prinsip-prinsip perlindungan anak
– Non Diskriminasi
– Kepentingan yang terbaik bagi anak
– Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan
– Penghargaan terhadap pendapat anak

3. Kewajiban Anak
Setiap Anak berkewajiban untuk ;
– Menghormati orang tua, wali dan guru
– Mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman
– Mencintai tanah air, bangsa, dan negara
– Menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya
– Melaksanakan etika dan akhlak yang mulia.

4. Perlindungan Khusus
Pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggungjawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak-anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban kekerasan, baik fisik dan atau mental, anak yang menyandang cacata, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.

5. Ketentuan Pidana
Hal yang menggembirakan bahwa UU PA menerapkan ketentuan pidana yang cukup berat, jauh lebih berat dibandingkan dengan KUHP. Seseorang yang mengabaikan bahkan melanggar UU PA (tindak kekerasan, ancaman, eksploitasi, perdagangan anak, perkosaan, pembunuhan) selain dihukum juga dikenai denda antara Rp 20 juta hingga Rp 500 juta.

6. Eksistensi KPAI
UU No. 23 tahun 2002 juga memerintahkan kepada Pemerintah untuk membentuk Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), yaitu sebuah lembaga negara independen untuk mengefektifkaan penyelenggaraan perlindungan anak, dengan tugas utama sebagaimana tercantum dalam pasal 76 UU No 23/2002 adalah; melakukan sosialisasi seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak; mengumpulkan data dan informasi, menerima pengaduan masyarakat, melakukan sosialisasi, melakukan penelaahan, pemantauan, evaluasi, dan pengawasan terhadap penyelenggara perlindungan anak. Di samping itu, lembaga ini juga punya tugas untuk memberikan laporan, saran, masukan, dan pertimbangan kepada Presiden dalam rangka perlindungan anak.

Amanat tersebut ditindaklanjuti dengan diterbitkannya Keppres Nomor 77 Tahun 2003 tentang Komisi Perlindungan Anak Indonesia. Sejak tahun 2004, Negara Indonesia resmi memliki lembaga negara yang secara khusus mengawasi penyelenggaraan perlindungan anak. Penyelenggara perlindungan anak adalah negara, masyarakat dan orang tua. Sebagai Komosi baru memang masih memliki sejumlah keterbatasan, tetapi setidaknya hal ini menunjukkan komitmen Indonesia di dalam menyelenggarakan perlindungan anak.

Ke depan, peran KPAI perlu terus dioptimalkan agar sungguh-sungguh bisa berperan dalam mengawasi penyelenggaraan perlindungan anak, mengingat besarnya ekspektasi masyarakat terhadap lembaga ini. Lebih-lebih fakta menunjukkan bahwa nilai-nilai perlindungan anak di Indonesia merupakan nilai-nilai baru harus harus disosialisasikan dan dikawal implementasinya di tengah masyarakat.

Perspektif Anak
Anak adalah amanah Tuhan yaang harus dirawat, diasuh, dididik dan ditumbuhkembangkan agar bisa menjadi khalifah yang meneruskan keberlangsungan kehidupan. Tidak salah bila dikemukakan bahwa Anak adalah Bapak masa depan. Siapapun yang berbicara tentang masa yang akan datang, harus berbicara tentang anak-anak. Jumlah anak di Indonesia saat ini mencapai 30 % dari jumlah penduduk. Oleh sebab itu, menyiapkan Indonesia ke depan, tidak cukup hanya berbicara soal income per capita, pertumbuhan ekonomi, nilai investasi, atau indikator makro lainnya. Sesuatu yang paling dasar adalah, sejauh mana kondisi anak disiapkan oleh keluarga, masyarakat, dan negara.

Membuat perencanaan masa depan tanpa memperhitungkan variabel anak adalah sebuah pikiran amoral dan ahistoris, karena tidak meletakkan manusia sebagai faktor determinan dalam perubahan masyarakat. Bila itu terjadi, maka dalam prosesnya akan dengan mudah melupakan faktor-faktor kepentingan anak, dan lebih untuk menuruti egoisme manusia dewasa yang berfikir hanya untuk kepentingan sesaat.

Anak karena ketidakmampuan, ketergantungan dan ketidakmatangan, baik fisik, mental maupun intelektualnya perlu mendapat perlindungan, perawatan dan bimbingan dari orang tua (dewasa). Perawatan, pengasuhan dan pendidikan anak adalah kewajiban agama dan kemanusiaan yang harus dilaksanakan mulai dari orang tua, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.

Wajah Muram Anak Indonesia
Sayangnya anak-anak Indonesia belum semuanya bisa tertawa gembira dan hidup dengan penuh pengharapan. Sebagian dari mereka hidup dalam suasana muram, penuh tekanan, bahkan ancaman yang menurunkan derajat peradaban kemanusiaan.

Serbuan hedonisme, materialisme, dan kebudayaan yang massif atas nilai-nilai moral dan agama adalah sesuatu yang sesungguhnya sangat mengkhawatirkan bagi tumbuhnya generasi muda yang diharapkan akan membawa negeri ini mencapai peradaban tertinggi. Demikian juga masalah kemiskinan yang belum beranjak pergi, menjadikan persoalan anak belum surut. Dalam situasi kemiskinan, perempuan dan anak-anak adalah kelompok yang paling menderita. Tingkat kesejahteraan mereka menurun, yang berarti hak-hak mereka sebagai anak kurang terlindungi, seperti dalam hal pendidikan dasar, pemenuhan gisi, kesempatan memanfaatkan waktu luang, dan sebagainya.

Data berikut memberikan gambaran bagaimana masih buramnya dunia anak di Indonesia. Berdasarkan hasil Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI), kondisi kesehatan dan gizi adalah;

(a). angka kematian bayi, tahun 2007 sebesar 35/1000 atau terdapat 35 bayi yang meninggal di antara 1000 bayi yang dilahirkan, atau berarti setiap hari ada 430 kematian bayi di Indonesia;

(b). kematian balita, sebesar 46/1000 atau setiap hari ada 566 kematian balita;

(c). status gizi, pada tahun 2005 jumlah anak kurang gizi sekitar 5 juta dan anak gizi buruk sekitar 1,5 juta, dan 150.000 anak menderita gizi buruk tingkat berat (marasmus-kwasiorkor). Jumlah anak yang meninggal akibat gizi buruk tersebut mencapai 286 anak; (d). Air susu ibu (ASI) eksklusif, yakni ibu yang menyusui bayi di atas 4 bulan mengalami penurunan dari 65,1 % pada Susenas 1998 menjadi 49,2% pada Susenas 2001.

Dalam sektor pendidikan; (a).angka partisipasi sekolah, tahun 2004 untuk anak usia 13-15 tahun sebesar 83,4 % sedangkan untuk anak usia 16-18 tahun sebesar 53,4 %; (b). angka mengulang kelas, data tahun 2004/2005 menunjukkan persentase sebesar 5,4 % untuk anak usia SD dan 0,44 % untuk SMP/Mts; (c). angka putus sekolah, tahun 2005/2006 menunjukkan sebesar 2,96 % untuk SD/MI dan 1,6 % untuk SMP/MTs; (d). angka melanjutkan sekolah, tahun 2005/2006 mencatat hanya 72,5 % anak yang melanjutkan pendidikan ke tingkat SMP/MTs.

Aspek perlindungan anak lebih memprihatinkan;
(a). Anak tanpa akta kelahiran, berdasarkan hasil pendataan oleh KPAI awal tahun 2008 angkanya mencapai 60 % atau anak yang sudah memiliki akte kelahiran baru mencapai 40%. Dari 444 Kabupaten/Kota seluruh Indonesia baru 219 yang sudah membebaskan warganya memperoleh akte kelahiran secara Cuma-cuma;

(b). Anak korban kekerasan dan perlakuan salah, menurut laporan kepolisian pada tahun 2002 tercatat 239 kasus dan pada tahun 2003 meningkat menjadi 326 kasus. Selama tahun 2007, KPAI mencatat, dari berita yang mucul pada 19 surat kabar mencapai 555 kasus, 62 % di antaranya korban anak-anak perempuan, sedangkan 38 % korban anak laki-laki. Kekerasan tertinggi adalah pelecehan seksual, baik yang dilakukan oleh orang dewasa maupun oleh sesama anak. Untuk tindak kekerasan seksual, pada umumnya dilakukan setelah orang/ anak menyaksikan tayangan pornografi. Pelaku kejahatan selama tahun 2007 menunjukkan, 11,8 % dilakukan oleh orang-orang di sekitarnya, 11,3 % dilakukan oleh guru. Sedangkan pada tahun 2008, hingga April 2008, tindak kekerasan yang dilaporkan sebanyak 95 kasus, 21 % di antaranya masalah pencabulan, dan 15 5 masalah trafiking. Yang mengejutkan, pelaku kekerasan paruh pertama 2008 ini juga masih dipegang oleh guru, yang persentasenya naik drastis menjadi 39,6 persen atau 23 kasus, jauh mengalahkan pelaku-pelaku kejahatn lainnya. Tentu ini sebuah gejala menarik, karena guru mestinya menjadi sosok yang melindungi anak setelah orang tua di rumah, tetapi malahan menjadi pelaku kekerasan terhadap anak.

(c). Anak jalanan, diperkirakan secara nasional mencapai 60.000-75.000 dan menurut Departemen Sosial 60 % di antaranya putus sekolah;

(d) Anak yang berhadapan dengan hukum, setiap tahun terdapat lebih dari 4.000 perkara pelanggaran hukum yang dilakukan oleh anak di bawah usia 16 tahun. Data lainnya menyebutkan hingga tahun 2002 terdapat 3.722 anak yang menjadi penghuni lembaga pemasyarakatan. Praktek kekerasan juga tidak lepas dari penanganan anak-anak yang berhadapan dengan hukum. Temuan KPAI di Lapas Kota Bumi, lampung Utara misalnya, dari 21 penghuni Lapas`Anak, 18 orang mengaku pernah dipukuli, bahkan ada yang sampai tangannya patah, kaki tak bisa untuk berjalan, pipi lebam, dan sebagainya.

(e) Lebih mengerikan, data di Badan Narkotika Nasional menyebutkan anak korban penyalahgunaan narkoba, 70 % dari 4 juta pengguna narkoba adalah anak berusia 4-20 tahun atau sekitar 4 % dari seluruh pelajar yang ada. Sedangkan kasus AIDS/HIV, hingga Desember 2005 terdapat 4.243 kasus HIV, dan 5.320 kasus AIDS. Dari jumlah tersebut 438 kasus terjadi pada anak usia 0-19 tahun.

(f) Anak terpapar karena rokok. Prevalensi perokok pemula mengalami kenaikan usia yang sangat tajam. Bila pada 2-3 dekade yang lalu anak-anak mulai merokok pada usia belasan tahun, penelitian termutakhir dari beberapa universitas menunjukkan anak mulai merokok antara 5 sampai 9 tahun atau 7 tahun.

Masih banyak lagi persoalan-persoalan yang menyangkut perlindungan anak, seperti korban kerja paksa, trafficking atau perdagangan orang, pelacuran anak, dan anak-anak di pengungsian belum tersedia data yang memadai. Tetapi diyakini, jumlahnya mencapai ribuan anak.

Jalan Penyelamatan
Data di atas sangat jelas menugaskan kepada kita untuk menyelamatkan anak dari berbagai kondisi yang tidak menguntungkan. Dari segi perundang-undangan sesungguhnya telah cukup memadai. Kecuali telah meratifikasi Konvensi Hak-hak Anak Internasional, Indonesia juga telah memiliki Undang-undang Nomer 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Tetapi payung hukum itu rupanya belum cukup efektif membebaskan anak-anak Indonesia dari berbagai masalah fundamental.

Oleh karenanya, sejumlah langkah konkret masih perlu segera dilakukan. Pertama, pencerahan terhadap masyarakat akan pentingnya perlindungan anak melalui sosialisasi berkelanjutan tentang ketentuan perundang-undangan yang berlaku, utamanya pengetahuan tentang hak-hak anak yang harus diperoleh.

Kedua, mendorong aparat hukum untuk melakukan langkah aktif intensif bahkanofensif dalam pembasmian segala bentuk eksploitasi dan kejahatan terhadap anak-anak. Hukuman yang berat harus dijatuhkan kepada mereka yang mengeksploitasi dan merusak masa depan anak utamanya menyakut pelibatan anak dalam perdagangan narkoba, trafficking, pelacuran anak, serta tindakan sejenisnya.

Ketiga, menciptakan model pendidikan alternatif bagi anak-anak bermasalah, serta penyadaran hak-hak anak melalui kurikulum integrated dalam proses belajar mengajar pada lembaga-lembaga pendidikan. Tidak kalah pentingnya adalah pemahaman akan hak-hak anak oleh guru, karena belakangan begitu banyak guru menjadi pelaku kekerasan terhadap anak didiknya.

Keempat, pemerintah baik pusat maupun daerah sudah saatnya untuk menerapkan kebijakan perencanaan pembangunan yang berbasis anak, yakni variabel anak selalu menjadi perhitungan dan pertimbangan dalam membuat visi dan misi, kebijakan strategis, program prioritas, dan alokasi anggaran.

Kelima, perlunya perguruan tinggi banyak melakukan kajian-kajian tentang hak-hak anak dan perlindungannya. Sangat tepat bila setiap Universitas/PT memiliki lembaga studi anak, sehingga persoalan-persoalan perlindungan anak bisa dengan cepat terinternalisasi oleh masyarakat luas yang dumulai oleh kalangan intelektual.

Exit mobile version