MENUJU RESTORATIVE JUSTICE DALAM SISTEM PERADILAN ANAK

“Penjara hanya tepat untuk orang dewasa yang melakukan kejahatan. Anak tidak tepat masuk penjara karena akan mematikan harapan masa depannya. Ia adalah pribadi otonom yang sedang tumbuh, yang dibutuhkan adalah bantuan dan bimbingan. Peradilan yang tepat untuk pelaku delinkuensi anak adalah model keadilan restoratif yang bersifat memperbaiki dan memulihkan hubungan pelaku dan korban sehingga harmoni kehidupan tetap terjaga. Hukuman maksimal yang boleh mereka terima adalah pendidikan paksa. Model ini akan sungguh-sungguh terealisasikan apabila, peradilan anak menjadi peradilan sistem peradilan tersendiri yang bukan menjadi bagian dari sistem peradilan pidana umum”.

Dari banyak kajian dan pengalaman lapangan menanganai anak yang berhadapan dengan hukum, dapatlah dikemukakan pendapat final bahwa paradigma lama tentang peradilan anak di Indonesia tidak bisa dipertahankan lagi karena yang terjadi adalah sebuah proses kriminalisasi anak oleh Negara dan masyarakat. Maka sudah saatnya, kita mengembangkan paradigma baru, yakni paradigma dekriminalisasi anak. Paradigma ini mengharuskan suatu tindakan untuk pembebasan anak dari segala perspektif pidana, sejak pemeriksaan, penyelidikan, penyidikan sampai penyangkaan terhadap anak. Kita harus berani berkata segera mengakhiri paradigma kriminalisasi anak tersebut yang sangat jelas sebagai tindakan pembunuhan masa depan anak yang berhadapan dan atau berkonflik dengan hukum.

Untuk menuju paradigma baru dekriminalisasi anak, penulis berpendapat sudah saatnya kita berani mempraktekkan hukum progresif, yakni hukum yang diperuntukkan bagi manusia dan kemanusiaan, dan bukan sebaliknya manusia dan kemanusiaan mengabdi untuk hukum. Hukum progresif berarti selalu hadir menyesuaikan kebutuhan manusia sesuai dengan semangat zamannya . Negara, masyarakat dan siapa pun tidak perlu sungkan untuk segera mengubah dalil-dalil hukum yang berlaku bila ternyata tidak mendatangkan kemanfaatan bagi peradaban manusia. Lebih-lebih manakala kita sudah yakin, bahwa hukum yang ada bertentangan dengan hak asasi manusia dan peradaban.

Hukum positif yang digunakan untuk mengadili anak sudah jelas bertentangan dengan hak asasi manusia, bertentangan dengan konstitusi dasar, dan sangat membahayakan masa depan anak, maka tidak ada pilihan lain kita harus merombak sistem peradilan dilinkuensi anak di Indonesia. Ia bukan sekedar merevisi Undang-Undang Pengadilan Anak, tidak cukup dengan mengubah aturan-aturan pelaksanaan para aparat penegak hukum di lapangan, tetapi juga paradigma peradilan anak harus diubah.

Paradigma peradilan anak harus berdasarkan perspektif perlindungan anak. Dalam perlindungan anak dikenal 4 prinsip dasar, yaitu: non diskriminasi; kepentingan terbaik bagi anak; kelangsungan hidup,tumbuh dan berkembang, penghargaan terhadap pendapat anak. Dengan demikian, dalam perspektif perlindungan anak, tidak ada pemidanaan terhadap anak dan tidak ada penjara bagi anak. Apapun alasannya, seperti apapun tindakan yang dilakukan oleh anak. proses pemidanaan, apalagi pemenjaraan, hanya untuk orang dewasa.

Bagaimana paradigma tersebut bisa berlangsung?

KEADILAN RESTORATIF (RESTORATIVE JUSTICE)
Sesungguhnya telah cukup lama muncul gagasan penerapan restorative justice atau sekarang lazim diterjemahan sebagai keadilan restoratif . Banyak ahli hukum dan aktivis perlindungan anak yang melakukan kajian-kajian keadilan restoratif, tetapi karena belum ada satu Negara pun di dunia yang mempraktekkan secara utuh, ditambah dengan dominannya model non-restoratif maka beberapa pihak menamakan model ini sebagai sesuatu yang baru. Eva Achjani Zulva dalam disertasi doktornya misalnya, menganggap bahwa pendekatan keadilan restoratif merupakan pendekatan baru dalam upaya penyelesaian perkara pidana yang mengemuka dalam kurun 30 tahun terakhir ini . Hal ini dikarenakan, keadilan restoratif dalam praktiknya berbeda dengan sistem yang sekarang ada, karena pendekatan ini menitikberatkan adanya partisipasi langsung pelaku, korban dan masyarakat dalam proses penyelesaian perkara pidana.
Menurut Eriyantouw Wahid, dewasa ini, di beberapa Negara maju, keadilan restoratif bukan sekedar wacana para akademisi dan praktisi hukum pidana dan kriminologi. Kemajuan tersebut dipicu oleh “ledakan minat” di perempat akhir abad yang lalu, yang kemudian menggelombang ke seluruh penjuru dunia .

Konsep asli praktik keadilan restoratif berasal dari praktik pemelihara perdamaian yang digunakan oleh suku bangsa Maori, penduduk asli Amerika . Menurut Hellen Kowie, keadilan restoratif pada intinya terletak pada konsep komunitas yang peduli dan ingklusif. Bilamana timbul konflik, praktek restoratif akan menangani pihak pelaku, korban, dan para stakeholders dalam komunitas tersebut, dalam kolektif pemecahan masalah, yang tujuannya adalah untuk memperbaiki kerusakan, pemulihan kualitas hubungan dan memfasilitasi reintegrasi para pihak yang terlibat dan terkait. Berlawanan dengan pendekatan ‘’hukuman tradisional’’ terhadap disiplin, praktik keadilan restoratif lebih menekankan kepada para pelaku dan korban sehingga penyelesaian tidak sekedar berhenti pada penghukuman pelaku, tetapi pencapaian kedewasaan pada para pihak terkait untuk memperkuat kualitas hubungan untuk kurun waktu yang lebih panjang.

Jeff Christian, seorang pakar lembaga pemasyarakatan internasional dari Kanada mengemukakan bahwa sesungguhnya peradikan restoratif telah dipraktikkan oleh banyak masyarakat sejak ribuan tahun yang lalu jauh sebelum lahir hukum Negara yang formalistik seperti sekarang ini, yang kemudian disebut sebagai hukum modern . Menurutnya restorative justice adalah sebuah penanganan tindak pidana yang tidak hanya dilihat dari kacamata hukum semata, tetapi juga dikaitkan dengan aspek-aspek moral, sosial, ekonomi, agama, dan adat-istiadat lokal, serta berbagai pertimbangan lainnya.

Ia menunjukkan bahwa dalam masyarakat Inggeris lama, sebelum hukum Negara berlaku, yang digunakan adalah hukum restoratif. Kanada sebagai bekas Negara jajahan Inggeris juga memiliki warisan paradigma keadilan restoratif. Hal yang sama berlaku di Australia, Selandia Baru, bahkan Amerika sendiri memiliki mekanisme untuk mempraktekkan keadilan restoratif.

Pendekatan ini juga telah dipraktekkan di beberapa Negara Eropa lainnya utamanya Negara-negara di kawasan Skandinavia, juga di Amerika Latin seperti Columbia, Chili dan Brazil, dalam berbagai model. Swedia dan Norwegia adalah dua Negara di Eropa yang sedang getol menyeponsori praktik keadilan restoratif di berbagai Negara berkembang, termasuk di Indonesia. “Saya kira model keadilan restoratif memang sebuah pilihan sistem peradilan anak masa depan di seluruh dunia, bila kita ingin melihat anak-anak di dunia bebas dari kekerasan karena tuduhan-tuduhan melakukan tindak pidana. Pengalaman Negara kami yang sudah mempraktikkan model keadilan restoratif untuk anak-anak akan lebih efektif dalam mencapai gagasan kesejahteraan anak”kata Duta Besar Kerajaan Swedia Ms Ewa Polano saat membuka Lokakarya Konsultatif tentang Peradilan Anak di Indonesia yang diselenggarakan oleh The Raoul Wallenberg Institute of Human Right and Humanitarian Law (RWI) dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), di Jakarta akhir Oktober 2009. Dalam perkembangannya Philipina pun telah memasukkan konsep ini dalam Undang-undang Pengadilan Anaknya . Demikian pula halnya dengan Jepang yang telah lama memasukkan ketentuan diversi dalam penanganan pelaku delinkuensi. Hal yang sama diakui oleh Sir Anthony Mason, yang mengungkapkan bahwa model pendekatan ini telah banyak digunakan untuk penanganan tindak pidana yang dilakukan oleh anak dan remaja atau untuk tindak pidana yang berkaitan dengan penduduk di daerah tertentu .

Keadilan restoratif sebagaimana pada dasarnya adalah sebuah pendekatan hukum pidana yang memuat sejumlah nilai tradisional. Hal ini didasarkan pada dua indikator yaitu: nilai-nilai yang menjadi landasannya dan mekanisme yang ditawarkannya. Hal tersebut menjadi dasar pertimbangan mengapa keberadaan keadilan restoratif diperhitungkan kembali. Keberadaan pendekatan ini barangkali sama tuanya dengan hukum pidana itu sendiri. Bahkan beribu tahun, upaya penanganan perkara pidana ditimpakan justru sebagai mekanisme utama bagi penanganan tindak pidana. Sebagaimana dikemukakan oleh Marc Levin, bahwa pendekatan yang dulu dinyatakan sebagai usang, kuno dan tradisional kini justeru dinyatakan sebagai pendekatan baru yang progresif.

Prinsip dasar keadilan restoratif bukan hanya berakar dari kitab-kitab hukum kuno sebagaimana dikemukakan di atas. Beberapa ahli hukum mengulas konsep dasar agama sebagai sumber dari model keadilan restoratif. Landasan filosofis, doktrin, tradisi dan pengalaman praktek penerapan pendekatan keadilan restoratif telah lama ada dan diberlakukan oleh umat Hindu, Buddha, Islam, Yahudi, Sikh, Tao, atau Kristen. Menurut Eva Achjanni Zulva, dalam kepercayaan yang dianut oleh umat Hindu dinyatakan bahwa proses reinkarnasi dari seseorang dalam setiap kehidupan yang dijalaninya merupakan gambaran dari perilaku yang dibuat pada kehidupan sebelumnya. Oleh karenanya perlu dilakukan upaya pemulihan pada setiap dosa atau kejahatan yang terjadi untuk menghindari keburukan dalam kehidupan selanjutnya. Sementara konsep hukum Islam memungkinkan pengubahan hukuman terhadap seorang pelaku tindak pidana (dalam hal ini pembunuhan) bila ada perdamaian dan pemaafan dari ahli waris. Dalam pandangan Kristen, keadilan dan kebenaran dalam Injil Perjanjian Lama merupakan terminologi yang tidak terpisahkan satu dengan yang lain, sama halnya dengan istilah damai, maaf, dan cinta kasih yang merupakan inti dari ajaran Kristiani. Ajaran tersebut juga terdapat dalam ajaran agama Buddha, Tao, dan Confusian .

Indonesia yang di masa lalu komunitasnya di berbagai kepulauan, berbagai daerah, kaya akan adat istiadat, kita yakini memiliki mekanisme penyelesaian hukum yang berdasarkan kearifan lokal (local wisdom). Semangat hidup yang oleh Bung Karno diperkenalkan sebagai “Gotong Royong” dan diyakini sebagai puncak ideologi bangsa, berarti memuat pula nilai-nilai keadilan restoratif. Sila keempat Pancasila juga berbunyi;”Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/Perwakilan”, adalah satu nilai yang sangat memungkinkan untuk mempraktikkan keadilan restoratif, karena musyawarah lebih menekankan jalan terbaik dan kebaikan untuk bersama, bukan jalan menang kalah sebagai cerminan kelompok yang kuat dan kelompok lemah. Sayangnya nilai-nilai Pancasila itu kini telah tergerus dan ditindih oleh semangat kebebasan tanpa batas, penyelesaian demokrasi liberal di semua segmen kehidupan, termasuk akses keadilan bagi masyarakat rentan dan terpinggirkan dan tersisihkan, dalam hal ini makhluk manusia berdefinisi anak. Kalau kita kembali kepada akar filosofis bangsa, dan penghargaan akan eksistensi hukum adat sebagai sumber hukum nasional di Nusantara, implementasi keadilan restoratif tidak akan sulit dilaksanakan, khususnya untuk pelaku delinkuensi anak.

PERBANDINGAN MODEL-MODEL PERADILAN ANAK
Dalam kajian kriminologis dikenal adanya tiga model peradilan anak, yaitu (a) model retributif (retributive model); (b) model pembinaan pelaku perorangan (individual treatment model) dan (c) model restoratif (restorative model). Masing-masing menunjukkan karakteristiknya sendiri-sendiri .

Paulus Hadisuprapto dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar Universitas Diponegoro mengungkapkan bahwa lebih dari satu dekade model pembinaan perorangan (individual t treatment model) dan model retributif (retributive model) telah memberikan perangkat prioritas campur tangan peradilan anak dan menetapkan dengan pasti parameter-parameter kebijakan tentang peradilan anak. Di dalam model pembinaan pelaku perorangan, persidangan anak dilihat sebagai satu agensi quasi kesejahteraan dengan mandat peradilan yang samar-samar, pembinaan dilandaskan pada asumsi model medik terapeutik, tentang sebab-sebab timbulnya delinkuensi anak. Atas dasar asumsi tersebut, delinkuensi anak dipandang sebagai simptomatik dan gangguan, dan hakikat serta tingkat keseriusannya dilihat tidak lebih sebagai persoalan yang membutuhkan pelayanan terapeutik untuk mengkoreksi gangguan-gangguan yang ada sebelumnya. Mengutip Gordon Bazemore (1996), ia menyebutkan bahwa model pembinaan pelaku perorangan di Negara-negara Eropa dikenal sebagai “Model Kesejahteraan Anak”, berangkat dari cara pandang bahwa kejahatan atau delinkuensi anak tidak dipertimbangkan atau dihadapkan pada perangkat nilai-nilai, melainkan lebih dilihat sebagai tanda tidak fungsionalnya sosialisasi. Intervensi adalah sarana untuk mencoba meralat perilaku penyimpangan sosial lewat pemberian sanksi terhadap masalah personal seseorang dan kebutuhan pembinaan anak pelaku delinkuen.

Model pembinaan pelaku perorangan dikritik oleh banyak kalangan sebagai model yang cenderung menstigmasi, paternalistik, mahal, tidak memadai, dan jaminan hukumnya lemah serta diragukan intensitasnya. Model ini dilihat belum berhasil mengarahkan secara formal kebutuhan untuk meningkatkan efektivitas sanksi atau untuk memberikan akibat penuh makna terhadap anak pelaku delinkuen dan gagal untuk menunjukkan keunikan peran peradilan anak dalam kerangka penyelamatan publik. Keputusan bersifat ambivalen dan tidak taat asas serta cenderung menyembunyikan maksud pemidanaan dengan mengatasnamakan keselamatan publik .

Menurut Profesor Paulus, bersamaan dengan pudarnya asas parent patriae di tahun 1970 an, kritik terhadap model pembinaan pelaku perorangan makin hebat, kemudian muncul tuntutan untuk segera mereformasi peradilan anak. Arah reformasi tertuju pada pengaplikasian filosofis “pemberian ganjaran” (just desert philosophy). Aplikasi filosofis itu dimaksudkan sebagai upaya untuk merasionalkan ketidakpastian pembuatan keputusan dalam persidangan anak, dan untuk menegaskan kembali pentingnya fungsi sanksi. Konsekuensi yang muncul kemudian adalah tuntutan akan perlunya mengadopsi pedoman pemberian pidana yang pasti, kitab undang-undang tentang anak tidak lagi menekankan rehabilitasi dan membuang kerangka acuan berorientasi pada keperluan pelaku, memperluas kekuasaan prosecutorial.

Gordon Bazemore menyebutkan, pengaplikasian model tersebut melahirkan sejumlah kritik yang berkenaan dengan (a) pemberian legitimasi baru pada pidana yang menjadi kepentingannya, kebijakan retributif memberikan sinyal pada penuntut umum dan pembuat keputusan lainnya, bahwa itulah jalan terbaik dan tepat untuk memberikan reaksi pada pelaku delinkuensi anak; (b) penempatan secara setingkat sanksi punitif dengan pemberian penderitaan bagi pelaku, legitimasi penghukuman retributif melahirkan semacam pembenaraan penjatuhan pidana yang lebih berat lagi apabila ternyata bahwa tingkatan pidana yang ada tidak mencapai tujuan yang ingin dicapai .

Kondisi memudarnya model pembinaan pelaku perorangan dan meningkatnya tuntutan model retributive sedikit banyak cukup merepotkan kaum professional peradilan anak. Pidana mungkin dapat memuaskan keinginan publik akan pembalasan, tetapi ia dapat pula bersifat “counter detterent”. Pidana menimbulkan permasalahan akan pembenaran dorongan delinkuensi lebih lanjut melalui penggerogotan pengendalian diri, stigmatisasi pelaku anak, memperlemah ikatan konvensional masyarakat lewat prospek pemberian pekerjaan dan hubungan kekeluargaan serta merusak hubungan konvensional antar peer group. Sementara itu pada sisi lain, pembinaan pelaku sering mensyaratkan pelaku untuk berperan serta pada pelayanan konseling atau pengobatan, pada dasarnya fokusnya lebih terarah pada diri pelaku seorang dan tidak tercermin adanya maksud pembinaan rasa tanggung jawab pelaku atas dampak perbuatannya yang menimpa korban atau masyarakat.

Kegelisahan kaum professional peradilan anak pada satu sisi dan pengalaman positif pengimplementasian sanksi reparative (alternative) dan proses penyelesaian konflik secara informal melalui media pelaku dan korban pada sisi lain, memunculkan pemikiran reformatif peradilan anak ke arah model restoratif. Ciri pembeda model restoratif dengan model-model sebelumnya terletak pada caranya memandang perilaku delinkuensi anak. Menurut model restorative, perilaku delinkuensi anak adalah perilaku yang merugikan korban dan masyarakat. Tanggapan peradilan restoratif terhadap delinkuensi terarah pada perbaikan kerugian itu dan penyembuhan luka pada masyarakat. Peradilan restoratif tidak bersifat punitif juga tidak ringan sifatnya. Tujuan utamanya adalah perbaikan luka yang diderita oleh korban, pengakuan pelaku terhadap luka yang diakibatkan oleh perbuatannya dan konsiliasi serta rekonsiliasi di kalangan korban, pelaku dan masyarakat. Ia juga berkehendak untuk merestorasi kesejahteraan masyarakat melalui cara-cara menghadapkan perilaku anak pada pertanggungjawaban atas perilakunya, korban yang biasanya dihalangi ikut berperanserta dalam proses peradilan, kini diberi kesempatan untuk berperan serta di dalam proses. Braithwaite (1989) mengungkapkan cara-cara seperti itu melahirkan perasaan malu dan pertanggung jawaban personal dan keluarga atas perbuatan salah mereka untuk diperbaiki secara memadai.

Peradilan anak model restoratif juga berangkat dari asumsi bahwa tanggapan atau reaksi terhadap perilaku delinkuensi anak tidak efektif tanpa adanya kerjasama dan keterlibatan dari korban, pelaku, dan masyarakat. Prinsip yang menjadi dasar ialah, bahwa keadilan paling baik terlayani, apabila setiap pihak menerima perhatian secara adil dan seimbang, aktif dilibatkan dalam proses peradilan dan memperoleh keuntungan secara memadai dari interaksi mereka dengan sistem peradilan anak.

Hellen Cowie & Dawn Jeniffer (2007), mengidentifikasikan aspek-aspek utama keadilan restorative sebagai berikut:
a. Perbaikan, bukanlah tentang memperoleh kemenangan, atau menerima kekalahan, tudingan atau pembalasan dendam namun tentang Keadilan dengan huruf K besar.
b. Pemulihan hubungan, bukan bersifat hukuman para pelaku kriminal memikul tanggung jawab atas kekeliruan dan memperbaikinya dengan sejumlah cara. Melalui proses komunikasi yang terbuka dan langsung, antara korban dan pelaku kriminal, ia berpotensi untuk mengubah cara berhubungan satu sama lain.
c. Reintegrasi, pada tingkatnya yang terluas, memberikan arena di mana anak dan orang tua dapat memperoleh proses yang adil. Maksudnya agar mereka belajar tentang konsekuensi kekerasan dan kriminalitas serta memahami dampak dari perilaku terhadap orang lain .

Jeff Christian menjelaskan lebih sederhana tentang perbedaan retributive Justice dengan restorative justice tersebut. Pada Retributive Justice pelaku melawan Negara/ratu/pemerintah. Sedangkan pada restorative justice pelaku melawan korban, atau perlawanan antarindividu. Pada model retributif yang dipersoalakan adalah bagaimana menghukum orang yang salah, maka yg terjadi perang antarpengacara. Tetapi pada model restorative justice yang dipersoalkan adalah bagaimana menyelesaikan masalah, sehingga yang dibutuhkan adalah dialog dan kerjasama. Restorative justice lebih pada upaya mencegah hal yang sama atas kejahatan-kejahatan di masa yang akan datang. Model keadilan retributif tidak menjamin bahwa hukuman yang diberikan tidak menjamin bahwa kesalahan yang sama tidak akan terulang. Pada model retributif stigma pelaku akan sulit dibuang bahkan boleh jadi akan memperoleh cap atau labeling selamanya dengan segala konsekuensinya dalam kehidupan, sedangkan pada model restoratif, masyarakat akan menghilangkan/melupakannya. Model ini juga akan sampai pada wilayah di mana pelaku pada akhirnya menyesal dan tidak melakukannya kembali.

Model keadilan Restoratif lebih pada upaya pemulihan hubungan antara pelaku dan korban. Misalnya seorang murid mencuri buku seorang Profesor, proses keadilannya adalah bagaimana cara dan langkah apa agar persoalan bisa selesai sehingga hubungan baik antara murid tersebut dengan professor berlangsung seperti semula tanpa ada yang dirugikan.

Dalam keadilan retributif, masyarakat tidak dilibatkan, karena sudah diwakilkan pada pengacara, sementara dalam keadilan restoratif masyarakat dilibatkan melalui tokoh-tokoh masyarakat yang memiliki kewibawaan dalam lingkungan tersebut, tokoh agama, orang berpengaruh, dan sebagainya. Oleh sebab itu pengembangan kapasitas bukan polisi, jaksa, dan hakim saja, tetapi masyarakatlah yang harus memperolehnya. Yang pertama lekat dengan nilai-nilai indivdualistik, kompetisi pelaku dan lawan, sehingga ada proses tahapan banding dan kasasi dalam proses peradilannya, tetapi pada yang kedua semua pihak diajak kerjasama untuk menyelesaikan persoalan. Yang pertama pelaku hanya obyek, bahkan tidak diakui keberadaannya, yang aktif hanya pengacara, sedangkan yang kedua pelaku maupun korban sama-sama aktif diberi peran untuk menyelesaikan persoalan yang muncul.

Sebagai praktisi, di lapangan Jeff mengaku melihat bahwa dalam setiap pelanggaran hukum yg dilakukan oleh remaja, mereka tidak menyadari apa yang telah dilakukan, karena banyak hal apa yg dilakukan oleh remaja lebih banyak spontanitas. Maka melalui model keadilan restoratif, pelaku-pelaku remaja diajak untuk memahami apa yang telah dlakukan, akibat yang ditimbulkan dan bagaimana mengatasi persoalan yang kemudian muncul .

Pada model keadilan retributif, sebuah kasus hanya dilihat sebagai hukum ansich, maka tindakan dilihat sebagai kejahatan dan hukuman apa yang akan diberikan. Pada keadilan restoratif, pelanggaran terhadap sebuah peraturan juga dilihat dari aspek moral, sosial,budaya, ekonomi, dan sebagainya.

Temuan Jeff yang lain adalah, bahwa tidak ada Negara mana pun di dunia yang mampu memiliki semua unsur-unsur standar internasional dalam waktu yang bersamaan. Semua Negara tidak akan mampu memenuhinya 100 persen parameter-parameter internasional yang telah disepakati. Untuk mencapai praktik keadilan restoratif, menurut Jeff harus dilakukan secara bertahap. Lihatlah apa ketentuan-ketentuan dan indikator standar internasional, hal-hal yang bisa dilakukan, lakukanlah, dimulai dari yang paling muda, paling kecil, dan paling mungkin untuk dilaksanakan.

Muladi (2005) mengungkapkan bahwa dalam keadilan restoratif, korban diperhitungkan martabatnya. Pelaku harus bertanggung jawab dan diintegrasikan kembali ke dalam komunitasnya. Pelaku dan korban berkedudukan seimbang dan saling membutuhkan, karena itu harus dirukunkan . Sementara mantan Ketua Mahkamah Agung RI Bagir manan berpandangan dalam keadilan restoratif, perkara harus diubah, bukan lagi demi kepentingan ketertiban, melainkan demi kepentingan korban beserta pemulihan segi materi dan psikisnya. Intinya, bagaimana menghindarkan pelaku dari pemenjaraan, tetapi tetap bertanggung jawab .

Wachtel dan McCold (2001), yang banyak melakukan praktik keadilan restoratif di lingkungan sekolah mengkonseptualisasikan kerangka kultur yang adil dan setara berdasarkan hubungan yang positif dan penuh kepedulian, sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 1 di bawah ini.

Gambar 1
Pembuatan Kerangka Bagi Praktik Keadilan Restoratif

Dalam gambar tersebut, poros vertical merujuk pada batas yang perlu guna mempertahankan struktur yang baik dalam komunitas (sekolah, masyarakat) seutuhnya, sementara pada poros horizontal merujuk pada dukungan emosi dan pengasuhan yang dibutuhkan komunitas dan individu di dalamnya .
a. Praktek yang kekurangan struktur dan dukungan, dianggap sebagai lalai (tidak melibatkan siapapun ketika terjadi delinkuensi anak).
b. Praktek yang memiliki pengendalian yang tinggi namun dukungan rendah, bersifat menghukum (menerapkan kekuasaan atas orang banyak dengan cara menuduh para peserta dalam kekerasan dan dengan demikian melanggengkan kultur menyalahkan dan mencela aib).
c. Praktek yang pengendaliannya rendah dan dukungannya tinggi dirasakan sebagai sesuatu yang bersifat pasrah (melakukan hal-hal bagi orang namun pada saat sama tidak memberdayakan mereka dan tidak menantang mereka, jadi mereka tidak belajar yang berproaktif dalam menantang kekerasan).
d. Praktik yang mempertahankan standar perilaku dan batasan yang tinggi, dan pada saat bersamaan juga bersifat mendukung, dirasakan sebagai restorative (di sini sekolah bekerjasama dengan orang dan dengan demikian turut menciptakan kultur kerjasama dan memfasilitasi perasaan tanggung jawab dan kepemilikan pada komunitas).

Lebih jauh Cowie dan Dawn Jeniffer menunjukkan hasil penelitiannya di Amerika Serikat terhadap sekolah yang telah mempraktikkan model restoratif justice, ternyata telah terjadi penurunan sebesar 16 % jumlah murid yang melaporkan bahwa mereka pernah dipukul ataupun ditendang oleh murid-murid lain, dan penurunan sebesar 9% dari mereka yang pernah kecurian. Di sekolah yang berbeda telah terjadi penurunan sebesar 14 % jumlah murid yang sering melontarkan istilah berbau rasis dan penurunan sebesar 9 % murid yang dikucilkan oleh murid lain. Sementara di sekolah lainnya lagi, terjadi penurunan sebesar 18 % pemahaman murid bahwa pelecehan merupakan masalah yang serius di di sekolah mereka dan penurunan sebesar 11 % murid yang mengira bahwa menceritakan kepada guru tentang pelecehan adalah perbuatan mengadu. Memang belum terjadi penurunan drastis, tetapi setidaknya model restoratif menunjukkan lebih baik dibandingkan dengan model lainnya, bahwa belum mencapai hasil optimal karena masih merupakan proses awal dan sosialisasi yang masih sangat kurang.

Contoh-contoh penelitian di sekolah saya angkat karena delinkuensi anak sangat banyak yang berawal dan berlangsung did an dari sekolah. Di Indonesia banyak sekali kasus-kasus kenakalan anak di sekolah harus diselesaikan di meja hijau dengan segala konsekuensi logisnya. Ada pengertian sangat salah dari para penyelenggara pendidikan persekolahan, bahwa anak nakal adalah sampah bagi sekolahnya dan karenanya harus disingkirkan. Ketika kenakalan itu menjadi obyek pengaduan korban, kesempatan sekolah untuk membawa ke proses peradilan, tanpa terlebih dahulu melakukan upaya maksimal menyelesaikan dengan cara-cara terbaik. Salah satu kelemahan pendidikan calon guru di Indonesia adalah, tidak ada pengajaran materi penanganan anak-anak nakal. Doktrin yang secara umum dikembangkan adalah bahwa pendidikan merupakan lembaga suci tempat menyemaikan ilmu dan mempersiapkan orang yang berguna bagi pembangunan, oleh karena itu sekolah harus memproduk anak-anak tanpa riwayat kenakalan anak. Kenakalan anak dianggap sebagai promosi jelek, yang akan mengurangi animo masyarakat menyekolahkan di lembaga tersebut. Ketika pendidikan adalah sebuah komoditas, ketika proses pendidikan adalah transaksi uang, maka kenakalan anak akan mengurangi income sebuah lembaga pendidikan, maka daripada repot-repot mengurusi anak nakal lebih baik serahkan saja kepada aparat penegak hukum, dan selesailah urusan sekolah-guru dengan muridnya.

Gagasan praktik keadilan restoratif yang semula berangkat dari kajian-kajian akademis dan wacana para aktivis, akhirnya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menjadikan model ini sebagai pedoman dalam penanganan kejahatan dalam Basic principles on the use of restorative justice programmes in criminal matters tahun 2000. Di dalam Basic Prinsiples ini, antara lain dinyatakan bahwa “Restorative justice programmes may be used at any stage of the criminal system, subject to national law” .
Menurut PBB program keadilan restoratif adalah program apapun yang menggunakan proses restoratif dengan sasaran untuk mencapai hasil yang diinginkan. Bertujuan memulihkan kedamaian dan hubungan yang rusak melalui celaan terhadap perilaku jahat dan menguatkan nilai-nilai yang hidup dalam komunitas. Para korban diperhatikan kebutuhannya dan para pelaku didorong untuk bertanggung jawab .

Sayangnya dari sekian instrument internasional yang mengatur standar minimal pemenjaraan anak tidak ada yang secara radikal mengharuskan Negara-negara Pihak untuk berusaha mencapai proses peradilan tertinggi tanpa pemenjaraan. Selain KHA memang memungkinkan undang-undang nasional mengatur sendiri-sendiri peradilan anak, juga paling-paling PBB selalu diulang-ulang, bahwa pemenjaraan adalah upaya terakhir. Ketika kultur aparat penegak hukum punya dunianya sendiri yang tidak bisa dikontrol masyarakat, maka dalam prakteknya sangat sulit melihat apakah ketika seorang anak dipenjarakan sungguh-sungguh sudah dilakukan berbagai upaya perdamaian namun gagal, ataukah tidak pernah ada upaya alternatif, polisi langsung memproses peradilan anak tersebut. Bagi penulis sudah jelas, saatnya PBB dan para pemimpin di seluruh dunia memastikan bahwa untuk anak, harus menggunakan model restorative justice dalam sistem peradilan nasionalnya, dan tidak ada pemenjaraan untuk semua anak, apa pun alasannya. Hukuman memang boleh ditimpakan, tetapi dengan tindakan. Nah dalam praktik keadilan restoratif inilah tindakan apa yang akan diambil, diputuskan bersama oleh semua Pihak yang terkait termasuk pelaku dan korban.

Di dalam Basic Prinsiples PBB di atas misalnya, disebutkan bahwa dalam penggunaan pendekatan keadilan restoratif dapat menjadi bagian dari sistem peradilan pidana. Memang secara teoritis terdapat tiga model yang menempatkan hubungan keadilan restoratif dengan sistem peradilan pidana secara umum yaitu:
a. sebagai bagian dari sistem peradilan pidana;
b. di luar sistem peradilan pidana melalui lembaga/institusi lain di luar sistem peradilan pidana yang ada;
c. Di luar sistem peradilan pidana dengan tetap melibatkan pihak penegak hukum (sebagai mediator, fasilitator, atau pengawas, terutama pada saat model keadilan restoratif baru mulai dikembangkan)

SKENARIO MENUJU PRAKTIK KEADILAN RESTORATIF
Dari uraian di atas kiranya menjadi jelas tentang kelebihan model keadilan restoratif dalam peradilan anak di Indonesia. Namun jalan menuju ke sana memang tidak mudah karena menyangkut perspektif sistem peradilan itu sendiri. Maka yang pertama sekali harus dilakukan adalah membangunkan hasrat untuk mengubah paradigma yang ada dengan paradigma baru yang lebih beradab atau komitmen untuk melindungi anak dari kekerasan dalam proses peradilan. Beberapa langkah untuk menuju praktik keadilan restoratif harus dilakukan sebagaimana tersebut di bawah ini.

a. Harus lahir sistem peradilan anak. Pastikan namanya Sistem Peradilan Anak, bukan Sistem Peradilan Pidana Anak, karena sejak awal paradigma ini tidak mengenal pemidanaan terhadap anak. Saat ini di Indonesia, ada 4 (tiga) sistem peradilan, yaitu peradilan umum, peradilan agama, dan peradilan militer, dan peradilan tata uaha Negara (TUN). Selama ini, pengadilan anak masuk dalam sistem peradilan umum. Inilah sumber malapetaka anak, karena begitu ia berhadapan dengan hukum, maka ia harus menyesuaikan diri dan dipaksakan untuk menerima dalil-dalil yang dikenakan terhadap orang dewasa. Anak hanya dipandang sebagai orang dewasa dalam bentuk kecil, yang oleh karenanya perlakuan yang diterima adalah perlakuan yang selama ini dikenakan terhadap orang dewasa, baik pada proses penyelidikan, penyidikan, pemeriksaan, dan persidangannya. Kalau pun ada UU, yang ada adalah UU Pengadilan Anak, bukan UU Peradilan Anak. UU Pengadilan Anak, yang harus tunduk kepada sistem peradilan umum. Tak pelak bila pasal-pasal yang tercantum di dalam UU Pengadilan Anak tersebut dalam frame peradilan orang dewasa, yang jauh sekali dari pemihakan akan masa depan anak sebagaimana saya uraikan pada bab IV. Bila nanti lahir sistem peradilan anak berarti ada perubahan radikal di semua instrumen regulasi yang menyangkut aspek hukum anak. Untuk tidak dilupakan, bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, berarti semua instrument hukum nasional tidak boleh ada satu pasal pun yang memberikan peluang untuk kemungkinan seorang anak dikenakan tuduhan pidana.

b. Harus ada persepsi yang sama terhadap semua pilar peradilan anak yakni; masyarakat, polisi, jaksa, hakim, pembela, Balai Pemasyarakatan, dan Lembaga Pemasyarakatan. Masing-masing memiliki peran, tetapi sangat berbeda dengan model retributif.

1) Masyarakat
Di dalam model keadilan restoratif peran masyarakat sangat dominan sejak dari pemahaman sampai pelaksanaan sistem peradilan itu sendiri. Boleh dikatakan, bahwa peradilan restoratif akan gagal apabila masyarakat tidak siap untuk melaksanakan. Maka yang pertama sekali harus dilakukan adalah public education, atau pendidikan publik. Metode pendidikan orang dewasa (andragogy) sebagaimana pernah dikembangkan oleh Paulo Freire di Brazil yang menekankan proses dialog antar jaringan belajar masyarakat saya kira sangat relevan dalam membangun peradilan restoratif. Masyarakat bukan hanya diberi tahu, mendengar pasif atas informasi dari tutor, tetapi juga ada proses penyadaran akan topik yang sedang dibicarakan. Dalam konteks peradilan anak, masyarakat harus sampai pada kesadaran komunal bahwa anak memang bukan obyek pemidanaan, pelampiasan balas dendam, dan subyek yang harus dimintai pertanggung jawaban hukum atas perbuatan delinkuensinya. Dengan kesadaran ini, mereka akan membuat mekanisme informal atas kasus-kasus di mana anak menjadi pelaku pelanggaran hukum, dan sangat mungkin mekanisme itu sangat lokal Mentawai, atau Talaud, atau Sigli, atau Badui Dalam Banten, atau Marapu Sumba, atau Asmat Papua. Kegagalan akan penyadaran masyarakat atas paradigma keadilan restoratif akan menggagalkan semua skenario. Dari tiga Propinsi di Indonesia yang telah mulai mengembangkan model restoratif (walaupun masih dalam sistem peradilan konvensional) yakni Aceh, Jawa Tengah, dan Nusa Tenggara Barat, penulis memperoleh informasi bahwa kehendak aparat kepolisian yang ingin menghentikan peradilan anak justeru dihalang-halangi oleh masyarakat itu sendiri. Setiap pengehentian perkara, atau upaya damai, selalu diartikan bahwa polisi telah menerima suap dari pihak pelaku. Tentu saja masalah ini bisa disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, kesan watak koruptif para polisi di Indonesia yang biasa menerima suap dari masyarakat sehingga ketika polisi melakukan diskresi, betapa pun positifnya diskresi tersebut, masyarakat menilai bahwa itu terjadi karena ada faktor suap. Kedua, masyarakat hanya punya satu referensi bahwa siapa pun yang melakukan pelanggaran hukum harus dipenjara, tidak peduli yang melakukan adalah seorang anak. Kadangkala bahkan masyarakat sangat berlebihan dengan menghakimi secara sepihak terhadap anak yang disangka melakukan tindak pidana. Di daerah Bogor belum lama berselang, seorang anak dipaksa mengaku telah mencuri HP. Ketika anak tetap tidak mengaku, karena memang tidak melakukannya, anak dipukuli hingga tewas .

Melalui para aktor utama seperti tokoh masyaralat, tokoh agama, tokoh adat, orang tua korban, orang tua pelaku, semuanya akan terlibat secara intens dan substantif di dalam penyelesaian delinkuensi anak, yang didahului dengan pemahaman akan model keadilan restoratif yang menjadi pilihan peradilan anak. Box 3 di bawah menggambarkan betapa peran masyarakat menjadi sangat penting karena berkaitan dengan persepsi, mindset dan doktrin komunal.

Box 3
Kasus Pelecehan Seks di Temanggung

Seorang polisi wanita di dari Polres Temanggung bercerita dalam sebuah pertemuan di Semarang, dan dilanjutkan komunikasi via short service massage (sms) sebagai berikut:

Ia menangani sebuah kasus, di mana seorang pelajar laki-laki kelas 2 sebuah SLTA menghamili pacarnya. Keluarga korban menyatakan tidak bisa menerima, dan memproses secara hukum. Polisi lalu memproses laporan, dan memanggil serta memeriksa tersangka. Tanpa kesulitan, tersangka mengakui semua perbuatannya, menyampaikan rasa penyesalannya, namun mengaku siap untuk menanggung segala resiko, termasuk untuk kawin secara sah dengan wanita yang tengah mengandung karena perbuatannya tersebut.

”Tetapi pihak perempuan tidak mau. Mereka menyatakan tidak bisa menerima menantu yang sudah mencemarkan nama baiknya di masyarakat, dan tetap ingin melihat pelaku masuk penjara. Bila kami tidak memproses, ia mengancam akan melaporkan kami ke Komisi Kepolisian. Bila kami proses, hati nurani tidak tega melihat si gadis muda melahirkan anak tanpa ayah. Apa yang harus kami lakukan, karena pelaku dan korban adalah anak-anak? Atasan kami juga tidak memberikan arahan yang jelas. Akhirnya kasus ini terkatung-katung, saya ragu untuk meneruskan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) karena saya yakin, jalan damai lebih baik, si wanita punya suami, bila anak kelak lahir juga memiliki ayah yang jelas. Saya sering mendengar ada jalan hukum ”restorative justice”, tetapi saya tidak yakin akan pilihan ini. Mohon advisnya”kata Polwan tadi dengan nada serius.

2) Polisi
Dalam model keadilan retributive peran polisi sangat dominan. Masyarakat yang mendapati pelaku pelanggar hukum akan melaporkannya kepada polisi. Tiga tugas utama polisi sebagai pelayan masyarakat, pelindung masyarakat, dan penegak hukum, dimanfaatkan secara optimal oleh masyarakat. Proses pengadilan anak baik buruk, diserahkan sepenuhnya kepada polisi, dan masyarakat tahu jadi, tanpa ikut terlibat di dalam prosesnya. Pada model keadilan restoratif yang terjadi adalah kebalikannya, masyarakat dalam posisi mayor, polisi dalam posisi minor. Peran polisi sebatas sebagai mediator, fasilitator, atau pengawas. Polisi menunjukkan pasal-pasal atau dalil ketentuan peraturan perundang-undangan peradilan anak, lalu para aktor masyarakat dipersilahkan untuk mencari jalan keluar terbaik agar terjadi proses perbaikan, pemulihan hubungan, reintegrasi, konsiliasi dan rekonsiliasi antara korban dan pelaku, keluarga korban dan keluarga pelaku, dengan penerimaan masyarakat kembali terhadap pelaku tanpa stigma apapun terhadap pelaku.

3) Jaksa
Pada masa transisi, di mana model keadilan restoratif masih menjadi bagian Sistem Peradilan Umum, peran jaksa cukup penting, yakni memutus apakah sebuah peristiwa pelanggaran hukum harus diterima dan dilanjutkan dalam pengadilan anak ataukah ditolak dan disarankan agar kepolisian melakukan diversi. Namun pada model keadilan restoratif, peran jaksa menjadi sangat kecil, kalaulah tidak ada sama sekali. Kalau peran tetap akan diberikan, maka ia bersama polisi menjadi mediator dan fasilitator proses pengambilan keputusan oleh masyarakat.

4) Hakim
Seperti halnya Jaksa, peran hakim juga sangat sedikit karena prinsip keadilan restoratif sejati tidak mengenal pengadilan anak. Saya menggunakan istilah keadilan restoratif sejati karena walaupun banyak pihak telah berbicara soal keadilan restoratif, tetapi masih bisa dipilah dalam dua pandangan besar. Yang pertama restoratif sebagai salah satu metode dari berbagai metode pemidanaan anak. Pandangan ini menganggap bahwa restorative justice hanya digunakan dalam hal-hal tertentu, katakanlah untuk kasus-kasus yang sangat ringan. Pandangan dari kelompok ini masih bisa menerima pemidanaan terhadap anak, dengan persyaratan beratnya kenakalan yang dilakukan anak dan usia pelaku. Sedangkan pandangan kedua, yang saya istilahkan sebagai keadilan restoratif sejati, menampik sama sekali pemidanaan terhadap anak, apapun alasannya, sepanjang ia belum berusia 18 tahun, ia tidak boleh dipidanakan, ia hanya boleh dikenai tindakan. Karena proses peradilan restoratif diakhiri dengan tindakan, bukan pemidanaan, maka tidak ada pengadilan anak melalui pengadilan apa yang kita kenal selama ini. Pada masa transisi, hakim bisa berperan secara optimal dengan mempertimbangan perspektif anak sehingga hukuman yang dijatuhkan sangat ringan, tidak sampai pemenjaraan. Pada saat keadilan restoratif sejati telah diterapkan, hakim seperti halnya jaksa, bila masih akan diperankan sebatas peninjau, fasilitator, atau pengawas implementasi peradilan anak. Peran maksimalnya sebatas memeberikan justifikasi atas keputusan peradilan restorative sebagai pedoman semua pihak untuk menjaga keputusan tersebut.

5) Pembela atau pengacara
Pengacara adalah pihak yang paling “dirugikan” bila model keadilan restoratif dipraktekkan. Boleh jadi pihak yang paling menentang model ini adalah para pengacara, karena penerapan model ini akan beresiko hilangnya pekerjaan para pembela. Bila pada model yang selama ini kita kenal jasa pengacara sangat penting, maka pada model keadilan restoratif tidak memerlukan pembela atau pengacara. Pelaku dan korban didampingi keluarganya dipertemukan langsung dalam sebuah forum yang dikendalikan oleh aktor-aktor masyarakat. Dalam proses seperti sidang keluarga (family court) pelaku langsung mengemukakan apa yang dipikirkan, demikian juga korban atau keluarga korban mengemukakan apa yang dipikirkan secara langsung. Hukuman tawar menawar secara manusiawi, dan boleh jadi yang menentukan hukuman adalah pelakunya sendiri setelah menyadari perilakunya telah menimbulkan kerugian atau membahayakan bagi pihak lain. Oleh sebab itu tidak ada proses pembelaan, banding, kasasi atau peninjauan kembali. Kalau pun sidang kekeluargaan tidak bisa berlangsung dalam waktu sekali, tetaplah tidak memerlukan jasa pembela atau pengacara. Di sini pengacara kehilangan kesempatan untuk memanage persidangan agar berlangsung lama, alot, dan rumit sehingga bisa melakukan sejumlah trik dalam penyelesaian persoalan delinkuensi anak.

6) Balai Pemasyarakatan
Balai Pemasyarakatan merupakan unit di bawah Kementerian Hukum dan HAM dengan tugas melaksanakan pembimbingan dan pendampingan klien pemasyarakatan. Dalam prakteknya selama ini Bapas kurang berperan. Kecuali jumlah Bapas yang hanya 70 unit berbanding dengan 228 LP 16 di antaranya LP Anak dengan jumlah nara pidana 184 ribu, juga kualitas SDM yang tidak memadai. Sumber penulis di Bapas mengungkapkan, pada dekade yang lalu untuk menjadi seorang pembimbing pemasyarakatan harus mengikuti pelatihan minimal 9 bulan, sekarang hanya 1,5 bulan. Tak pelak bila fungsi penelitian kasus dari para pembimbing tidak berjalan, rekomendasi bersifat “copy paste” atas rekomendasi-rekomendasi sebelumnya. Kondisi ini diperparah dari sikap hakim yang lebih banyak tidak mendengarkan pertimbangan dari Bapas sehingga posisi unit kerja ini sekarang lebih formalitas belaka. Padahal, bila tugas pokok dan fungsi dilaksanakan secara serius, keberadaan lembaga ini bisa mengurangi kriminalisasi anak melalui rekkomendasi-rekomendasi yang diberikan kepada polisi, jaksa, maupun hakim, dan oleh karenanya akan lebih banyak lagi anak yang diselamatkan dari pemidanaan dan pemenjaraan.

Pada model keadilan restoratif yang akan kita bangun, Bapas harus mereformasi diri secara mendasar. Petugas Bapas bukanlah orang-orang birokrat yang bekerja secara mekanis, tetapi para professional yang memiliki tanggung jawab pembimbingan bertanggung jawab menganalisis kasus demi kasus yang pertimbangannya akan menjadi referensi para aktor peradilan restoratif.

7) Lembaga Pemasyarakatan
Lembaga pemasyarakatan atau penjara tidak ada lagi dalam model keadilan restoratif. Jangankan pemenjaraan, sedangkan pemidanaan dalam bentuk lainnya seperti penyidikan, pemeriksaan dan sidang pengadilan anak pun tidak ada tempat lagi.

Dalam beberapa tahun terakhir memang telah terjadi reformasi pelayanan pada beberapa lembaga pemasyarakatan anak. Lembaga Pemasyarakatan Anak Tangerang misalnya telah melakukan berbagai upaya pembaruan dengan menciptakan Lapas Anak bukan sebagai tempat yang menyeramkan; bangunan dicat terang, taman-taman di lingkungan Lapas dibangun, para sipir tidak menggunakan seragam keki tetapi lengan panjang berdasi, anak-anak diajari keterampilan hidup dari pertanian hingga elektronik, mereka yang berbakat diberi ruang ekspresi seperti bermain musik atau olah raga, hak-hak anak tetap diberikan dengan mendatangkan guru-guru professional yang disediakan oleh Kementerian Pendidikan Nasional, sehingga kalau kita keliling bagian dalam Lapas Anak Tangerang, akan mendapati anak-anak yang sedang sibuk dengan berbagai aktivitas, sementara di berbagai sudut ruang kita dapati pajangan karya anak didik berupa lukisan, puisi, maupun karya-karya lainnya. Pembaruan model Lapas Anak Tangerang kini diikuti oleh lapas-lapas anak lainnya, walaupun belum berhasil sepenuhnya.

Namun demikian, betapa pun baiknya Lapas, ia tetaplah penjara, tempat anak dipidanakan, divonis salah, diberi label sebagai nara pidana dengan segala konsekuensi logisnya. Lebih mengerikan lagi sebagaimana saya singgung selintas pada bab terdahulu bahwa penjara penjara-penjara anak di Indonesia mengeneralisir semua penghuninya, tanpa melihat jenis dan derajat laku delinkuensi. Di semua penjara anak di Indonesia, anak-anak yang sekedar mencuri HP, atau berkelahi layaknya dunia anak, di penjara dicampur dengan pelaku pengguna dan pengedar narkoba, pelaku kekerasan dengan pemberatan bahkan pembunuhan. Itulah yang saya kemukakan di banyak kesempatan bahwa penjara adalah sekolah kejahatan dengan biaya APBN, karena anak yang masuk ke lapas hanya karena kenakalannya, setelah keluar boleh jadi akan menjadi penjahat besar dengan referensi perilaku kriminal yang jauh lebih “berkualitas”.

Satu kenyataan bahwa semakin lama anak dipenjara, semakin mungkin seseorang tersebut terprisonisasi. Hal ini sangat relevan seperti yang dikatakan oleh Irwin dan Cressey sebagaimana dikutip oleh Despi Yanti (1998), bahwa budaya umum di penjara terdiri dari tiga sub kultur, yaitu :
a) Sub kultur penjahat, yaitu apabila narapidana mengikuti kehidupan yang ada di penjara;
b) Sub kultur pencuri, yaitu apabila narapidana menghayati kultur jahat dari luar;
c) Sub kultur yang benar, yaitu apabila narapidana mengikuti norma yang benar.

Salah satu kultur prisonisasi yang telah menjadi rahasia umum misalnya soal hubungan senioritas dalam Lapas. Penghuni lama dianggap senior, dan penghuni baru adalah yunior. Senior boleh melakukan apa saja kepada para yuniornya, selain memerintahkan apa yang dimaui, dari perintah ringan mengambilkan sesuatu (benda), membagi jatah makanan dan uang saku, mencuci pakaian, sampai aktivitas pelecehan seksual. Bila yunior menolak maka senior akan melakukan kekerasan kepada yunior. Lebih dari itu, relasi senioritas ini juga digunakan untuk menurunkan (internalisasi) pengetahuan dan pengalaman kejahatan dari senior kepada yunior, sehingga tidak jarang hanya beberapa hari keluar dari penjara, seorang mantan narapidana langsung mempraktekkan “ilmu”yang diperoleh dari seniornya terdahulu .

Kebanyakan Lapas Anak di Indonesia juga jauh dari suasana keramahtamahan dan tidak manusiawi. Sel-sel yang jorok adalah pemandangan riil saat ini. Bayangkan kamar mandi dan WC yang sempit, dan dibatasi tembok satu meter, menyatu dalam sel tahanan. Maka selain tidak sehat, juga menjadi media paling mudah bagi para seniornya untuk melakukan pelecehan seks. Lebih-lebih bila anak tinggal di lapas dewasa, perlakuan yang lebih mengerikan akan sangat mungkin terjadi.

Oleh karenanya, bila semangat kita adalah semangat melindungi anak, semangat menyelamatkan anak, maka tidak boleh ada pemenjaraan terhadap anak di negeri ini apa pun alasannya. Anak-anak penghuni penjara harus dikembalikan kepada orang tuanya, atau ke masyarakat untuk memperoleh tempat yang lebih layak. Kementerian Hukum dan HAM harus mendelete rencana strategis lima tahun ke depan yang saya baca, pada program Ditjen Kemasyarakatan akan membangun Lapas Anak di semua Propinsi. Saya katakan, itu bukan membangun tetapi menghancurkan anak Indonesia. Yang harus dilakukan sekarang adalah menutup Lapas Anak, bukan malahan menambah Lapas Anak. Semakin ditambah lapas anak, dapat dipastikan akan semakin banyak anak dikriminalisasi, semakin banyak para penegak hukum beralasan untuk menjebloskan anak ke dalam Lapas. Saatnya kita memasuki era prison abolition bagi anak yang berkonflik dengan hukum.

Model keadilan restoratif sejati tidak mengenal pidana dan pemenjaraan terhadap anak. Penjara bukan tempat untuk anak. Penjara hanya tempat yang layak untuk para penjahat (orang-orang dewasa). Tempat yang layak untuk anak adalah rumah dan sekolah di mana ia belajar dan bersosialisasi, menjalani kehidupan wajar bersama teman sebaya dalam lindungan orang tuanya.

TINDAKAN TERHADAP PELAKU DELINKUENSI ANAK
Pertanyaan paling banyak bahkan kadangkala berupa bantahan dan sergahan atas gagasan penulis tersebut adalah, apakah kalau begitu anak-anak yang melakukan delinkuensi dibiarkan begitu saja tanpa ada hukuman? Pertanyaan keduanya berbunyi, bagaimana dengan anak-anak yang melakukan pelanggaran hukum berat, bukankah dalam realita kehidupan banyak anak yang terlibat dalam tindak pidana berat seperti kekerasan dengan pemberata, pembunuhan, dan sebagainya. Demikian pula untuk anak pengguna dan pengedar narkoba, kalau mereka tidak dipenjara akan semakin banyak bandar narkoba yang memanfaatkan anak karena tidak terkena hukuman pidana, apakah ini tidak akan mengembangbiakkan tindak kejahatan di dalam masyarakat?

a. Hukuman pelaku delinkuensi
Dalam model keadilan restoratif, hukuman terhadap pelaku delinkuensi tetap ada, tetapi hukuman yang diletakkan sebagai bagian dari proses pendidikan, bukan sebagai balas dendam dan pemidanaan. Hukuman dalam kerangka proses pendidikan bukanlah hukuman yang melemahkan semangat hidup apalagi mematikan masa depan anak, tetapi justeru harus berfungsi mencerahkan secara moral dan mendewasakan sebagai pribadi yang utuh. Oleh karena itu hukumannya bukan pidana (straff), tetapi tindakan (matregel), melalui apa yang disebut pendidikan paksa. Anak memang dipaksa, tetapi dipaksa untuk tumbuh berkembang bebas dan sampai pada kedewasaan diri.

Hukuman berupa tindakan, dilakukan melalui mekanisme yang ditetapkan oleh Undang-Undang Sistem Peradilan Anak di mana pelakunya bukan pilar hukum konvensional, melainkan masyarakat itu sendiri melalui aktor-aktornya. Melalui sidang keluarga yang bersifat rahasia, anak pelaku, korban, orang tua, dan tokoh masyarakat pada posisi yang sejajar saling mengungkapkan isi hatinya, lalu memutuskan tindakan apa yang harus dilakukan oleh pelaku setelah ia memahami betul akan kesalahan yang telah dilakukan. Beberapa pilihan bergantung ringan dan beratnya kenakalan yang dilakukan oleh anak seperti:
1) Pelaku dikembalikan kepada orang tua penuh dengan sejumlah catatan, misalnya pelaku datang ke rumah korban untuk meminta maaf dan memberikan ganti rugi yang dimusyawarahkan dalam posisi sejajar.
2) Pelaku menjalani kerja sosial misalnya menyusun arsip, membuat katalog perpustakaan sekolah, menyortir surat di Kantor Pos atau kerja sosial lainnya yang dilakukan seusai jam sekolah, sesuai tingkatan usia, kondisi kesehatan, lokasi tempat tinggal, kemampuan fisik, dan sebagainya.
3) Pelaku dimasukkan ke lembaga-lembaga pendidikan sosial, panti sosial, dan tempat-tempat lainnya katakanlah lembaga pendidikan khusus yang dibangun dan dipersiapkan untuk mendidik anak-anak yang memiliki kelainan delinkuensi ini.

Pertanyaan lanjutan yang paling banyak diajukan adalah, apakah hukuman seperti ini bisa mendatangkan efek jera? Penulis sering membalas dengan pertanyaan balik, apakah dengan model pemidanaan seperti sekarang ini telah menghasilkan efek jera? Saya kira, target penghukuman bukanlah menghasilkan kejeraan atau tidak, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana pelaku menyadari kekeliruannya, bisa memulihkan hubungan secara damai, dan ia memperoleh kedewasaan diri setelahnya.

Saya sependapat dengan Dr Fahri Bey, bahwa Peradilan Anak semestinya merupakan bagian integral dari proses Pembangunan Nasional. Maka selayaknya acuan utamanya adalah asas-asas nasional dan internasional tentang perlindungan anak dan peradilan khusus anak .

b. Gambaran tempat hukuman
Bila ternyata peradilan restoratif dengan sangat terpaksa memutuskan bahwa pelaku delinkuensi anak harus dihukum di tempat khusus, bagi penulis sesungguhnya tidaklah sulit untuk menempatkan hukuman pada anak yang melakukan delinkuensi berat, atau yang tidak cukup hanya dikembalikan kepada orang tuanya tersebut. Yang dibutuhkan adalah sifat kreatif kita semua untuk menciptakan tempat yang sesuai dengan misi perlindungan anak. Katakanlah untuk nama kita sepakat tidak menggunakan kata “pemasyarakatan”, tetapi katakanlah bernama Lembaga Pendidikan Sosial atau Lembaga Rehabilitasi Sosial atau apapun namanya yang penting tidak menimbulkan labelisasi dan konotasi pada pemidanaan atau pemenjaraan. Prinsip-prinsip yang harus dikembangkan pada tempat ini adalah:
1) Lokasi tidak memungkinkan putusnya komunikasi anak dengan orang tua (jarak lokasi tempat pendidikan khusus dengan orang tua masih dalam radius jangkauan).
2) Memastikan tidak dirampasnya hak pendidikan anak sesuai usia dan atau jenis jenjang pendidikan sebelum anak masuk ke lembaga rehabilitasi sosial.
3) Harus ada klasifikasi jenis delinkuensi yang dilakukan oleh anak. Katakanlah anak korban pengguna narkoba harus dipisahkan dengan anak yang melakukan tindakan asusila, atau anak pelaku kekerasan dengan pemberatan sampai pembunuhan.
4) Program atau silabus yang harus diselesaikan oleh anak pelaku delinkuensi bukanlah kegiatan yang berpotensi menimbulkan praktek kekerasan dan penyiksaan, tetapi bantuan dan bimbingan proses pendewasaan anak sebagai warga masyarakat yang harus saling mencintai, menjaga harmoni sosial, bekerja sama, dan memelihara perdamaian dengan siapapun.
5) Pengelola dan pembimbing utama pada rumah rehabilitasi sosial adalah para pekerja sosial professional yang disiapkan memang untuk membantu pendidikan anak yang berkonflik dengan hukum tersebut. Para pekerja sosial professional ini didampingi para psikolog, guru, rohaniawan, dan lainnya, tetapi bukan petugas yang pekerjaannya mengancam dan menyiksa.
6) Tersedia sarana untuk pengembangan bakat dan minat anak didik sehingga anak merasa memperoleh keterampilan praktis sebagai bekal kehidupannya kelak.
7) Susana kehidupan keluarga dan kekeluargaan harus dibangun sehingga anak tidak merasa ada perampasan kemerdekaan. Anak boleh melakukan apa saja, kecuali tindakan kenakalan yang merugikan, menyakiti, dan membahayakan orang lain.
8) Kepada para anak didik tidak perlu diberikan pakaian seragam khusus, kecuali seragam sekolah.
9) Untuk para pembimbing tidak perlu menggunakan pakaian seragam khusus yang terkesan sebagai birokrat atau petugas ala militeristik, namun cukuplah pakaian yang familier seperti baju casual, batik, atau kemeja lengan panjang, yang bisa menunjukkan keakraban antara pembimbing dengan anak didik.
10) Oleh karena model ini merupakan sistem peradilan yang berdiri sendiri di luar sistem peradilan umum, maka secara hirarkhis struktural, lembaga rehabilitasi sosial khusus ini tidak berada di bawah kementerian Hukum dan HAM tetapi lebih tepat di bawah Kementerian Sosial.
11) Bagi anak didik yang diduga atau diasumsikan bisa membahayakan orang lain, bisa dilakukan pengawasan khusus tetapi ia tidak perlu diisolasi. Betapapun beratnya pelanggaran hukum yang dilakukan, ia adalah anak maka yang dilakukan adalah sebuah tindak kenakalan, bukan kriminal. Dalam perspektif perlindungan anak, walaupun ia pelaku, tetapi sesungguhnya dia adalah korban dari perlakuan dan kebijakan orang dewasa.
12) Lembaga Pendidikan Khusus Anak (atau apapun namanya nanti), tidak boleh menjadi laboratorium bebas di mana semua peneliti, LSM, atau lembaga mana lagi datang bergantian menginterview anak didik silih berganti, karena selain bisa mengganggu proses belajar, juga bisa menimbulkan trauma psikososial karena harus selalu mengingat kembali peristiwa yang tidak menyenangkan dirinya dan berakibat ia harus menjalani kehidupan terpisah dengan keluarga.
13) Pemerintah harus membuat standar pelayanan minimal dari lembaga pendidikan khusus ini, agar di manapun anak memperoleh pelayanan lembaga ini kesenjangannya tidak terlalu jauh.
14) Pada masa transisi, para eks petugas Lembaga Pemasyarakatan Anak yang memenuhi kualifikasi dan memiliki kompetensi khusus bisa ditempatkan pada lembaga pendidikan khusus ini, tetapi eks bangunan Lapas atau Lapas Anak tidak boleh dipergunakan sebagai lembaga pendidikan khusus dalam system peradilan restoratif karena akan menstigma bahwa sesungghnya hanya ganti nama saja, namun intinya anak tetaplah sedang menjadi narapidana.

Bila Indonesia mampu membangun sistem peradilan anak seperti ini, ia akan tampil di barisan paling depan dlam penegakkan hak asasi manusia dan perlindungan anak di dunia. Upayakan hal ini dilakukan atas inisiatif kita sendiri semua komponen bangsa Indonesia, bukan inisiatif dari Negara-negara lain sehingga kesan yang muncul kita berubah karena dirayu orang luar, dan seakan-akan Negara yang menyeponsori kita praktek HAM nya lebih bagus daripada Indonesia.
Sebaliknya, kegagalan Indonesia membangun sistem peradilan anak yang progresif, menjadikan proses demokratisasi yang telah berlangsung sejak tahun 1998 lalu tidak memiliki arti, karena masih menghadirkan kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia.

Dua pilihan itu tergelar di hadapan kita, dan keputusannya ada pada kita sendiri, apakah kita berada dalam pilihan peradaban dengan melindungi anak dari kekerasan dan diskriminasi, ataukah kita dalam pilihan sebaliknya dengan membiarkan jalan lebar bagi anak-anak untuk menuju ruang penjara pembunuhan masa depan.

Seperti apa detail proses peradilan anak adalah tugas para pakar hukum untuk membicarakan lebih lanjut. Penulis yang melihat persoalan ini dari kacamata perlindungan anak hanya ingin menunjukkan bahwa ada sistem yang salah, sembari mengajukan usul alternatif untuk mengganti sistem yang salah tersebut dengan sistem yang jauh lebih berkualitas.

Jika gagasan radikal untuk melakukan prison abolition ini terlaksana, sungguh kehadiran Presiden SBy di Lapas Anak Tangerang tanggal 15 Februari 2010 memiliki arti yang luar biasa. Sebaliknya, bila hanya terjadi sekedar pengurangan masa hukuman bagi para anak didik Lapas. maka kunjungan tersebut tidak memiliki nilai lebih kecuali sebagai bagian dari upaya membangun citra pemerintahan.

MODEL RESTORATIVE JUSTICE DALAM RUU PERADILAN ANAK
Secara umum sudah muncul kehendak dari banyak pihak untuk mengubah sistem peradilan anak di Indonesia. Kosa kata restorative justice sudah lazim muncul dalam setiap pembahasan anak yang berhadapan dengan hukum. Pemerintah dalam hal ini Kementerian Hukum dan HAM RI telah cukup lama melakukan kajian model peradilan anak. Implementasi dari wacara tersebut adalah rencana pemerintah untuk menyusun RUU Peradilan Anak, sekaligus mengganti UU pengadilan Anak, yang dirasakan sebagai banyak kekurangannya. RUU ini saya ketahui sudah berulang kali dilakukan revisi sebelum maju ke DPR RI.

Exit mobile version