Jakarta – Hasil pengawasan KPAI di Pengadilan Agama Kabupaten/Kota menyatakan bahwa banyak hakim yang terlibat dalam putusan dispensasi kawin, namun belum memiliki sertifikat peradilan pidana anak atau berpengalaman mengadili permohonan Dispensasi Kawin.
Untuk itu, menjadi penting agar sosialisasi Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin terus dilakukan. Sehingga kapasitas hakim meningkat terutama dalam memeriksa perkara permohonan dispensasi kawin yang selaras dengan semangat pencegahan perkawinan usia anak. Asas penghargaan atas harkat martabat manusia, kesetaraan gender, persamaan didepan hukum, keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum harus dipegang oleh hakim.
Harapannya kedepan dengan hasil pengawasan pencegahan perkawinan usia anak ini menjadi pintu masuk dan dapat menjadi evaluasi terkait efektifitas penerapan regulasi tentang pencegahan perkawinan usia anak, ungkap Ketua KPAI Susanto saat membuka Rakornas, Rabu (30/11/2022) di Jakarta.
Rakornas yang membahas tentang Pengawasan Program Pencegahan Perkawinan Anak dipimpin oleh Ketua KPAI Susanto. Pada rakornas tersebut Ketua KPAI didampingi oleh Wakil Ketua KPAI Rita Pranawati, Anggota KPAI Jasra Putra, Kepala Sekretariat KPAI Elita Gafar beserta jajarannya. Hadir sebagai narasumber Anggota KPAI Margaret Aliyatul Maimunah, Sekretaris Dirjen Badan Peradilan Agama MA Arief Hidayat, Asisten Deputi Pemenuhan Hak Anak atas pengasuhan dan lingkungan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Rohika Kurniadi Sari, dan hadir secara online Direktur Keluarga, Perempuan, Anak, Pemuda dan Olahraga Bappenas Woro Srihastuti Sulistyaningrum. Serta hadir peserta dari beberapa stakeholder terkait.
Dalam paparannya, Margaret menyampaikan hasil pengawasan pencegahan perkawinan usia anak di 5 (Lima) wilayah, yakni Kota Tanjung Pinang, Kota Tangerang, Kabupaten Lombok Tengah, Kabupaten Kediri, Kota Banjarmasin. Dari pengawasan tersebut diperoleh beberapa kondisi terkait komitmen dan strategi Pemerintah Daerah dalam mengimplementasikan kebijakan, peraturan, dan program-program terkait pencegahan perkawinan usia anak di seluruh Indonesia. Hal tersebut termaktub di dalam Peraturan Presiden Nomor 25 Tahun 2021 tentang Kebijakan Kabupaten/Kota Layak Anak yang merupakan salah satu pendukung pelaksanaan strategi nasional pencegahan perkawinan anak di Indonesia. Masih minimnya alokasi anggaran untuk strategi dan program terkait dengan pencegahan perkawinan usia anak serta masih lemahnya sinergitas antara instansi dan mitra di daerah tergali dalam pengawasan ini.
Dari perspektif perlindungan anak, pasal revisi peningkatan usia kawin dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan merupakan sebuah langkah progresif pemerintah demi mengurangi angka perkawinan anak di Indonesia. Selain itu, dalam Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2019 Tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin Pasal 15 tersebut saat ini menjadi aturan dasar bagi para hakim yang mengadili perkara dispensasi kawin.
Ada beberapa tantangan dalam upaya pencegahan perkawinan anak antara lain tidak semua anak memiliki resiliensi yang tinggi, perilaku beresiko pada remaja, belum pahamnya orang tua, keluarga, masyarakat, dan tokoh adat/agama/masyarakat tentang hak dan perlindungan anak serta belum optimalnya pelaksanaan peraturan yang mendukung pencegahan perkawinan anak. Hendaknya program upaya pencegahan perkawinan dimulai dengan melibatkan elemen masyarakat desa secara aktif, tutur Rohika dalam paparannya.
Sementara menurut Arief Hidayat, pasca terbitnya UU No 16 Tahun 2019 terjadi peningkatan yang signifikan perkara dispensasi kawin yang diterima Pengadilan Agama. Pendidikan pranikah masih minim, baik dari sisi kuantitas maupun kualitas, serta kultur sebagian masyarakat masih permisif terhadap perkawinan usia anak menjadi penyebab tingginya perkara dispensasi kawin tegasnya.
Ada beberapa rekomendasi yang disepakati dalam Rakornas ini diantaranya adalah (1) Kepala Daerah di Indonesia berkomitmen dalam penguatan regulasi dalam bentuk Rencana Aksi Daerah (RAD), Peraturan Daerah, Peraturan Kepala Daerah/Surat Edaran Kepala Daerah, Pakta Integritas bersama OPD, serta program kerja sama (MoU) bersama lembaga mitra sesuai dengan payung regulasi dan program pemerintah pusat sebagaimana yang tertuang dalam regulasi tentang program Kabupaten/Kota Layak Anak, Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak (Stranas PPA), Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, dan target Sustainable Development Goals (SDGs) (2) Kepala Daerah di Indonesia berkomitmen dalam penguatan program dan anggaran secara serius dalam upaya penurunan angka perkawinan anak menuju target nasional 8,74% pada tahun 2024 (3) Mahkamah Agung berkomitmen dalam pemenuhan sertifikasi Hakim Anak dan pelatihan Konvensi Hak Anak bagi semua hakim yang menangani kasus dispensasi kawin di seluruh Indonesia sesuai dengan mandat Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili Dispensasi Kawin (4) Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung berkomitmen dalam pembuatan kerja sama dengan OPD, UPTD, dan stakeholder di wilayah dalam proses pengajuan permohonan dan pemeriksaan perkara guna memastikan hak dan kesejahteraan pasangan dispensasi kawin sesuai dengan mandat Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili Dispensasi Kawin.
Prinsipnya perkawinan anak ini sebenarnya PR yang sangat complicated baik dari aspek perkawinan yang tercatat maupun yang tidak tercatat. Dari hasil pengawasan KPAI tergambarkan bahwa pondasi untuk kebijakan perlindungan anak khususnya perkawinan anak didaerah itu masih lemah, roadmap dalam penyelesaian isu perkawinan anak juga belum ada. Padahal ini kita menyangkut SDM kita dimasa yang akan datang. Selain itu, penyediaan hakim bersertifikasi kita dorong betul untuk sistem peradilan perdata sekaligus juga lawyer untuk anak yang mandiri, tutur Rita Pranawati sekaligus menutup acara Rakornas. (Kn/Ed:Eg,Ss,Mm)