Organ Trafficking: Kanibalisme Modern Terhadap HAM Anak

Di bidang hukum banyak terjadi perkembangan yang kontroversial, di satu pihak produk materi hukum, pembinaan aparatur, sarana dan prasarana hukum menunjukkan peningkatan. Namun, di pihak lain tidak diimbangi dengan peningkatan integritas moral dan profesionalisme aparat hukum, kesadaran hukum, mutu pelayanan serta tidak adanya kepastian dan keadilan hukum sehingga mengakibatkan supremasi hukum belum dapat diwujudkan. Peningkatan produk materi hukum, pembinaan aparatur, sarana dan prasarana hukum belum diikuti langkah-langkah nyata dan kesungguhan pemerintah serta aparat penegak hukum dalam menerapkan dan menegakkan hukum. Terjadinya campur tangan dalam proses peradilan, serta tumpang tindih dan kerancuan hukum mengakibatkan terjadinya krisis hukum di Indonesia.

Kondisi hukum yang demikian mengakibatkan perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia di Indonesia masih memprihatinkan yang terlihat dari berbagai pelanggaran hak asasi manusia, antara lain dalam bentuk tindak kekerasan, diskriminasi, dan kesewenang-wenangan. Hal tersebut kemudian membuat pemberitaan tentang perdagangan manusia, pada beberapa waktu terakhir ini di Indonesia makin marak, baik dalam lingkup domestik maupun yang telah bersifat lintas batas negara. Perdagangan manusia yang menonjol terjadi khususnya yang dikaitkan dengan perempuan dan kegiatan industri seksual, baru mulai menjadi perhatian masyarakat melalui media massa pada beberapa tahun terakhir ini. Tentu saja sama sekali hal ini tidak dapat disimpulkan bahwa sebelumnya fenomenon ini tidak terjadi. Kemungkinan terjadi dalam skala yang kecil, atau dalam suatu kegiatan yang terorganisasi dengan sangat rapih, merupakan sebagian dari alasan yang membuat berita-berita perdagangan manusia ini belum menarik media massa pada masa lalu.

Namun, banyak kasus perdagangan manusia khususnya perdagangan organ tubuh yang masih belum banyak diangkat oleh media yang akan diangkat dalam tulisan ini khususnya perdagangan organ pada anak-anak di Indonesia.

Instrumen Internasional dan Nasional Untuk Tindak Pidana Perdagangan Orang
Perdagangan manusia atau trafficking in persons dalam Fact Sheet No. 14 yang diterbitkan oleh Kantor Komisi Tinggi HAM PBB (Office of the High Commissioner of Human Rights), dirumuskan sebagai:
“…The recruitment, clandestine transport and exploitation of women as prostitutes, and the organized prostitution of children of bots sexes… ”

Sedangkan Pasal 3 sub (a) Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, Especially Women and Children, A/55/383 yang lebih dikenal sebagai Protokol Palermo merumuskannya sebagai berikut :
“…[T]he recruitment, transportation, transfer, harbouring or receipt of persons, by means of the threat or use of force or other forms of coercion, of abduction, of fraud, of deception, of the abuse of power or of a position of vulnerability or of the giving or receiving of payments or benefits to achieve the consent of a person having control over another person, for the purposes of exploitation. Exploitation shall include, at a minimum, the exploitation of the prostitution of others or other forms of sexual exploitation, forced labour or services, slavery or practices similar to slavery, servitude or the removal of organs……”

Berpokok pangkal dari definisi tersebut diatas dalam Pasal (3) sub (a), maka dapat dilihat unsur pokoknya, yaitu :

1. Proses: terdiri dari perekrutan, pengangkutan, pemindahan, penampungan atau penerimaan orang.
2. Cara: ancaman, atau paksaan dengan kekerasan atau dengan cara-cara kekerasan lain, penculikan, penipuan, penyiksaan/penganiayaan, pemberian atau penerimaan pembayaran tertentu untuk persetujuan atau mengendalikan orang lain.
3. Tujuan: Eksploitasi (setidaknya melalui eksploitasi melalui pelacuran, melalui bentuk lain eksploitasi seksual, melalui kerja paksa atau memberikan pelayanan paksa, melalui perbudakan, melalui praktek-praktek serupa perbudakan, melalui penghambaan atau melalui pemindahan organ tubuh) .

Menurut The World Health Organization (WHO), berdasarkan The WHO’s Guiding Principles on Human Organ Transplantation menyatakan bahwa komersialisasi terhadap organ tubuh manusia adalah suatu kekerasan terhadap hak asasi manusia dan martabat manusia. Lebih lanjut, dalam panduan tersebut dibedakan antara transplantasi karena adanya pendonoran secara sukarela dan berdasarkan paksaan. Berdasarkan Resolusi WHA57.18 of 22 May 2004 mengenai Transplantasi Organ dan Jaringan Tubuh Manusia, WHO menyatakan bahwasanya negara-negara yang urgensi terhadap hal tersebut dapat mengambil langkah lebih lanjut untuk melindungi pendudukyang miskin dan kelompok-kelompok rentan untuk dijadikan sasaran dalam objek transplantasi dan penjualan organ dan jaringan tubuh, termsuk memperhatikan isu-isu secara luas terkait masalah Internasional berkaitan dengan eksploitasi organ dan jaringan tubuh manusia. Lebih lanjut, Asosiasi Medikal Dunia (The World Medical Association (WMA)) menyatakan bahwa bahwa negara-negara harus mengambil langkah efektif untuk mencegah komersialisasi terhadap transplantasi organ dan jaringan tubuh manusia.

Selanjutnya, Pasal 3 Protokol Opsional Konvensi Hak Anak mengenai Perdagangan Anak, Prostitusi Anak dan Pornografi Anak (General Assembly Resolution 45/263, annex II) menyatakan pentingnya untuk mengkriminalisasikan pelaku yang menawarkan, mengirimkan, atau menerima anak untuk tujuan transfer organ-organ tubuh anak guna mencari keuntungan .

Sebagai perbandingan dengan Protokol Palermo, maka definisi perdagangan orang menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang adalah ”Tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan hutang atau memberi bayaran atau manfaat sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang terekploitasi.”

Selanjutnya di dalam Pasal 1 ayat (7) Undang-undang Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang disebutkan bahwa, ”Eksploitasi adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik berupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi, atau secara melawan hukum memindahkan atau mentransplantasi organ/ atau jaringan tubuh atau memenfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materiil maupun immateriil.”

Terkait dengan organ trafficking pada anak, maka biasanya yang dilakukan oleh sindikat ialah menculik anak tersebut dan bekerja sama dengan pihak rumah sakit di luar negeri untuk mengambil organ tubuh anak tersebut untuk dijual kepada pihak yang bersedia membelinya dengan harga tinggi (Kasus “Bunga”, Kompas, 13 Januari 2010). Atau juga dapat berkedok pengadopsian anak yang kemudian dijual ke luar negeri dan diambil organ-organ tubuhnya (Kasus di Sinar Harapan, 4 Agustus 2005).

Kasus Organ Trafficking Pada Anak
Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, anak adalah sesorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk juga anak yang masih dalam kandungan. Sedikit melihat ke belakang, pada tahun 2003-2004 ditemukan sedikitnya 80 kasus perdagangan anak berkedok adopsi yang melibatkan jaringan dalam negeri. Dalam beberapa kasus ditemukan adanya bayi yang belakangan diketahui diadopsi untuk diambil organ tubuhnya, sebagaimana diungkapkan oleh mantan Ketua Gugus Tugas Penghapusan Perdagangan Anak dan Perempuan Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan, Rachmat Sentika, yang dimuat dalam Koran Sinar Harapan tanggal 4 Agustus 2005. Beliau juga menyebutkan, sebagian besar bayi yang diadopsi tersebut dikirim ke sejumlah negara di antaranya ke Singapura, Malaysia, Belanda, Swedia dan Prancis.

Sekitar tahun 2010, masih teringat kasus mengenai penculikan anak, Bunga (nama samaran), di Puskesmas Kembangan, Jakarta yang diculik diketahui hilang pada saat berusia 8 tahun berusia yang pada tahun 2010 sudah berusia 12 tahun, yang ditemukan telah kehilangan satu buah ginjal miliknya di salah satu rumah sakit di Tokyo dengan keadaan lidah yang sengaja dipotong untuk menghilangkan jejak pelaku (Kompas, 13 Januari 2010).

Selain itu, pada tahun 2011 sendiri, kejahatan kemanusiaan perdagangan organ ini banyak terjadi di Bangka Belitung. Badan Pemberdayaan Perempuan, Keluarga Berencana dan Perlindungan Anak Bangka Belitung mencatat pada tahun 2010 sampai Mei 2011 ditemukan setidaknya 24 kasus trafficking di Babel. Korban trafficking ini umumnya berusia remaja yang dipekerjakan pada sejumlah lokalisasi yang ada di Bangka Belitung. Kasus-kasus trafficking pada data tersebut bisa jadi hanyalah segelintir yang berhasil terungkap. Para korban lainnya kemungkinan banyak tak melapor ke aparat berwenang karena sudah terlanjur terjerat jebakan ekonomi atau takut mengadukan nasib yang menimpanya.

Kasus-kasus trafficking tersebut kebanyakan bermula dari persoalan kemiskinan. Di tengah himpitan kebutuhan hidup, korban ditipu tawaran pekerjaan dengan berbagai iming-iming manis sebelum akhirnya masuk dalam jebakan penjahat trafficking. Korban yang kebanyakan hidup miskin dan tak memiliki jenjang pendidikan memadai akan sulit melepaskan diri dari perangkap perdagangan manusia.

Trafficking adalah praktik perbudakan di alam modern yang meluas terjadi di seluruh dunia. Secara terorganisir, manusia diincar dan dijadikan korban industri perdagangan manusia. Jejaring komplotan perdagangan manusia ini tak hanya memperdagangkan korbannya secara lintas daerah, bahkan melewati batas-batas negara.

Masalah trafficking saat ini lebih banyak diselesaikan kasus per kasus. Belum komprehensif menyentuh akar pemasalahan dan penindakan secara menyeluruh. Kasus korban trafficking karena prostitusi di Bangka Belitung, misalnya, lebih banyak mengarah pada upaya pemulangan korban ke daerah asal. Sedangkan orang yang mempekerjakannya hanya satu dua saja yang terjaring jerat hukum hingga ke meja pengadilan. (Bangkapos, 16 November 2011).

Perdagangan Organ Anak: Peluang Bisnis Mendunia yang Melanggar HAM Anak

Sejatinya dari perdagangan organ ini sangat kuat hubungannya dengan pembangunan di era globalisasi yang kontemporer dan juga kriminogenik yang asimetris . Asimetri-asimetri ini menghasilkan permintaan akan organ-organ; sebagai komoditi yang seharusnya disadari sebagai hal yang tidak etik atau memalukan di dunia perdagangan . Di sisi lain, perdangan organ ini menimbulkan perasaan tidak bermoral oleh orang-orang yang dapat dianggap sebagai para kanibal modern , dan di sisi yag lain juga, perdagangan organ ini dapat dikatakan sebagai bentuk akibat yang tak dapat dihindari dari pembangunan kapitalis masa kini .

Transformasi dunia politik berubah bukan lagi terkait hubungan antara warga negara yang satu dengan warga negara yang lainnya tapi juga dengan dunia perdagangan . Perekonomian global masa kini menghadapkan ke arah transisi persepsi mengenai anggota tubuh yang dapat secara fleksibel diperdagangkan, bebas, dan tidak terbatas baik jumlah maupun ruang dan waktu . Tubuh dianggap sebagai suatu komoditas yang terus mengalami peningkatan permintaan seakan anggota tubuh dapat dicopot-pasang untuk diperdagangkan. Perdagangan ini kini menjadi perdagangan yang kian diprimadonakan .

Hal ini juga terjadi baik secara nasional maupun internasional, baik di Indonesia maupun di luar negeri seperti Belanda. Baik di Indonesia maupun di Belanda, sama-sama mengiklankan penjualan organ tubuh sehingga para pasien dapat menghubungi mereka guna menegosiasikan harga yang cocok, atau bahkan ada calo yang menggunakan jasa internet untuk penjualan organ tubuh ini namun yang diperdagangkan ialah organ tubuh anak yang bukan keluarganya (misal melalui penculikan) . Sebenarnya, perdagangan organ tubuh ini merupakan hal yang tabuh, namun di dunia internasional, hal ini merupakan hal yang biasa dan sangat diminati yang mana hal ini mendemonstrasikan bertambah tingginya kasus perdagangan organ skala internasional, meningkatnya pertumbuhan banyak rumah sakit dan klinik yang mengiklankan perdagangan organ juga transplantasinya seperti di Israel .

Adanya kesenjangan yang besar antara permintaan dan suplai organ yang dibutuhkan semakin menimbulkan perdagangan organ secara ilegal melalui black market . Hal ini dikarenakan melalui pasar gelap, penyuplaian organ dilakukan secara universal dan menghasilkan keuntungan yang banyak. Selain itu, pasar gelap ini berada di area abu-abu antara legal dan ilegal dari bayang-bayang hukum . Suplai pun dapat dilakukan dengan menyamarkan identitas pasien dan juga korban, sehingga pasar gelap lebih banyak diminati, meskipun di pasar gelap juga akan disamarkan antara korban yang secara sukarela mendonorkan ataupun melalui pemaksaan . Organ tubuh manusia merupakan hak milik bagi pemiliknya yang mana ia pula yang memiliki keputusan untuk mendonorkan atau tidak termasuk oleh anak . Secara singkat, perdagangan organ memiliki pengaruh terhadap pemasukan tiap negara, namun, perbuatan perdagangan organ ini sangat dikecam oleh praktisi-praktisi medis, pembuat kebijakan, dan para ahli yang mengutamakan etik dalam hal perdagangan organ.

Penerapan Hukum Nasional Sebagai Upaya Perlindungan Hukum(?)

Ketentuan mengenai larangan perdagangan manusia pada dasarnya telah diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 297 yang menyatakan, ”Perdagangan wanita dan perdagangan anak laki-laki yang belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun”. Namun, penggunaan Pasal 297 KUHP tersebut sudah tidak berlaku lagi karena sudah diatur lebih lanjut dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (Pasal 65 UU PTPPO). Dalam hal tindak pidana perdagangan orang di lakukan suatu korperasi (korperasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang teroorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum)- selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya juga dipidana denda dan pemberatan 3 (tiga) kali lipat dari pidana denda sebagaimana di atur dalam Pasal (2,3,4,5 dan 6) Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan pencabutan ijin usaha, perampasan kekayaan hasil tindak pidana pencabutan status badan hukum (Pasal (15) ayat (2) Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang).

Disamping di dalam KUHP, perdagangan orang juga telah diatur dalam Pasal 65 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak-hak Asasi Manusia, yang menyatakan ”Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi dan pelecehan seksual, penculikan, perdagangan anak, serta dari berbagai bentuk penyalahgunaan, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya.”

Pada Pasal 64 ayat (2) Undang-undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyatakan bahwasanya transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh dilakukan hanya untuk tujuan kemanusiaan dan dilarang untuk dikomersialisasikan. Bagi yang melanggarnya akan terkena sanksi berdasarkan Pasal 192 Undang-undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kesehatan dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun penjara dan denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Namun, karena dalam konteks penulisan ini adalah organ trafficking pada anak, maka penjatuhan sanksi pidana akan berdasarkan pada Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang akan dijelaskan di bawah ini.

Pada Pasal 47 ayat (2) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa Negara, pemerintah, keluarga, dan orang tua wajib melindungi anak dari perbuatan:
a. Pengambilan organ tubuh anak dan/atau jaringan tubuh anak tanpa memperhatikan kesehatan anak;
b. Jual beli organ dan/atau jaringan tubuh anak; dan
c. Penelitian kesehatan yang menggunakan anak sebagai objek penelitian tanpa seizin orang tua dan tidak mengutamakan kepentingan yang terbaik bagi anak.

Pelanggaran terhadap pasal tersebut, akan dikenakan sanksi berdasarkan Pasal 84 yakni ”Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh anak untuk pihak lain yang dimaksudkan untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).”

Selain itu juga ada Pasal 85 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yakni:
(1) Setiap orang yang melakukan jual beli organ tubuh dan/atau jaringan tubuh anak dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
(2) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan pengambilan organ tubuh dan/atau jaringan tubuh anak tanpa memperhatikan kesehatan anak, atau penelitian kesehatan yang menggunakan anak sebagai objek penelitian tanpa seizin orang tua atau tidak menguatamakan kepentingan yang terbaik bagi anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

Dalam hal ketentuan pidana antara Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kesehatan, penulis ingin mengkritisi bahwasnya pada UU Kesehatan lebih menjerat pelaku lebih tinggi dari segi denda yakni satu miliar rupiah ketimbang dengan UU Perlindungan Anak yang hanya memberikan denda dua ratus juta rupiah. Menurut penulis, anak merupakan aset bangsa sehingga siapapun yang melakukan kejahatan terhadap anak khususnya terkait dengan perdagangan organ dan/atau jaringan tubuh anak, dapat dijerat lebih tinggi daripada UU Kesehatan. Sehingga penulis sangat berharap agar UU Perlindungan Anak dapat segera direvisi khusunya terkait penjatuhan pidana maupun denda agar tidak hanya berkisar 10-15 tahun dan/atau dengan denda dua ratus juta rupiah saja, namun harus lebih tinggi daripada itu. Karena bagaimanapun juga, anak yang sudah diambil organ tubuhnya, tidak akan normal seperti sedia kala dan membutuhkan tanggung jawab berat dari pelaku serta perlindungan khusus baginya oleh negara.

Kerjasama Internasional, Solusi Pencegahan Komersialisasi Tranplantasi Organ (?)

Berdasarkan pengaturan mengenai trasnplantasi organ di Belanda, diketahui bahwasanya tidak ada penanganan hukum yang lebih jauh untuk mengeksekusi terhadap penduduk Belanda yang mengalami trasnplantasi organ jika berada di luar wilayah Belanda. Karena objek transplantasi ini dilakukan tanpa mengenal batas wilayah, dan Undang-undang tentang Donasi Organ di Belanda hanya berlaku di wilayah Belanda saja, maka “pengobjekan” transplantasi (dalam hal ini pembelian organ ilegal meskipun di bawah UU tersebut) tidak dapat dieksekusi .

Meskipun demikian, pelaku-pelaku ilegak tersebut dapat dijerat sesuai dengan hukum yang berlaku di negara dimana organ tersebut dibeli . hal ini menunjukkan pembeli organ secara legal tidak akan dijerat oleh hukum negara dimana organ tersebut dibeli, kecuali dibeli secara ilegal . Jika melihat Pakistan atau Filipina yang merupakan tempat perdagangan organ secara ilegal untuk tjuan komersial, dapat dilakukan tanpa resiko apapun termasuk resiko untuk dijerat hukuman yang tentunya berbeda dengan ketentuan Belanda dan juga negara lainnya seperti Indonesia yang melarang keras jual-beli organ secara ilegal .

Oleh karenanya, sangat diharapkan Indonesia juga dapat bekerja sama dengan negara-negara lain guna menjerat pelaku perdagangan organ secara ilegal . Jika Indonesia memutuskan untuk bekerja sama dengan negara lain (baik yang membebaskan perdagangan organ ataupun yang tidak melegalkan perdaganagn organ) akan hal ini, maka akan mencegah pembawaan warga negara (khususnya anak-anak) Indonesia ke luar negeri untuk dilakukan transplantasi guna komersialisasi, dan hal yang penting sekali dalam hal ini ialah kemana warga begara Indonesia itu pergi ke luar negeri guna melacak sindikat perdagangan organ ini sperti kasus “Bunga” yang dibawa ke Tokyo.

Kooperatif dengan negara lain melalui kerjasama Bilateral antar negara dapat menimbulkan efek bahwa negara yang bersangakutan (baik yang membebaskan perdagangan organ ataupun yang tidak melegalkan perdagangan organ) akan melakukan usaha-usaha yang terbaik untuk mencegah transplantasi ilegal yang dilakukan terhadap warga negara asing di negara tersebut, hal ini guna melindungi warga negara yang hendak dijadikan objek perdagangan organ .

Sebagaimana yang dikatakan sebelumnya yakni dengan melakukan perjanjian kerjasama dengan negara-negara baik yang membebaskan perdagangan organ ataupun yang tidak melegalkan perdagangan organ, khususnya terhadap negara yang melegalkan perdagangan organ, guna untuk mencegah keterlibatan ‘jurisdiction shopping’ oleh pasien-pasien yang membutuhkan organ di pasar gelap negara yang melegalkan perdagangan organ tersebut . Meskipun banyak hasil penelitian menyatakan bahwa kerjasama dengan negara baik yang membebaskan perdagangan organ ataupun yang tidak melegalkan perdagangan organ akan sia-sia, namun selalulah melakukan hal yang terbaik untuk warga negara Indonesia yang dalam artian meskipin penelitian banyak yang menyatakan kurang berhasil, namun tetap harus dicoba .
Namun, bukan berarti kerjasama bilateral ini merupakan solusi terbaik untuk melakukan pencegahan terhadap perdagangan organ dan/atau jaringan tubuh melainkan tetap harus diutamakan hukum yang mengatur dan mengeksekusi secara tegas untuk mencegah kasus mengenai perdagangan organ ilegal di Indonesia sendiri.

Pemidanaan Atau Pencegahan?
Secara notabene, hampir semua orang ingin berkontribusi guna melakukan pencegahan terhadap transplantasi organ (terhadap anak) dan perdagangan organ secara ilegal khususnya terhadap anak, dibandingkan dengan mengimplementasikan pemidanaan terhadap para pelaku , berdasarkan konferensi ‘Organ Transplantation: Ethical, Legal and Psychological Aspects’ (ELPAT) di Rotterdam, April 2007. Salah satu tujuan konferensi ini adalah untuk menindaklanjuti perbedaan penafsiran terhadap aspek-aspek transplantasi organ yang salah satunya ialah terkait perdagangan organ itu sendiri. Hasil dalam konferensi ini tidak ada rekomendasi nyata untuk memerangi perdagangan organ dan “pengobjekan organ”. Hasil yang ada hanyalah memberikan definisi ulang terhadap Pasal 3 Protokol Palermo dengan sedikit pengubahan, yakni:

“This congress condemns without reservation any practice that subverts or violates a potential donor’s human rights or that involves coercion or deception.
a) The transplantation of organs and tissues from executed prisoners should be universally banned by law.
b) The practice of organ and tissue trafficking should be universally banned.
c) Every effort should be made to discourage potential recipients from seeking trafficked organs and tissues.
d) Health care professionals should be banned by law from facilitating organ and tissue trafficking (i.e. referring a patient to a foreign transplant service known to be involved in trafficking).
e) Governments should be encouraged to carry out the necessary surveys to quantify organ and tissue trafficking.”

Definisi yang digunakan untuk perdagangan organ dan hal-hal terkait mengundang banyak implikasi. Salah satunya ialah tidak mengakomodasikan kasus-kasus nyata di lapangan. Berbicara pemidanaan atau pencegahan untuk di Indonesia, merujuk pada pendapat dokter umum di Belanda menyatkan bahwasanya lebih baik mencegah daripada melakukan pemidanaan . Dengan pencegahan, berarti akan mengurangi atau mencegah kesenjangan antara kebutuhan dan kesediaan organ untuk disuplai, dan menurutnya lebih lanjut, lebih mudah untuk memahami teknik mengurapai penyuplaian organ ketimbang melemparkan masalah ini ke dalam kasus hukum terlebih jika sudah terkait sindikat luar negeri dan korban dibawa ke luar negeri juga yang akan memperlama proses hukum itu sendiri. Sehingga, lebih baik mencegah daripada mengobati, lebih baik mencegah daripada melakukan pemidanaan terhadap hal ini. Menurut penulis, hal ini benar adanya, karena dengan pemidanaan juga tidak akan mengembalikan kesempurnaan organ yang dimiliki oleh korban seperti sedia kala, melainkan dengan adanya pencegahan, maka akan mencegah anak untuk kehilangan organnya.

Penutup: Rekomendasi
Terdapat perbedaan bentuk dalam perdagangan organ yang terjadi belakangan ini ketika adanya kebijakan anti perdagangan organ baik secara tertulis maupun berbentuk rekomendasi . Dalam legislasi kebijakan anti perdagangan organ dalam traktat-traktat dan hukum nasional , sedikitnya terdapat perbedaan antara perdagangan organ yang melibatkan organ yang dibekukan dan organ segar langsung dari donor . Perbedaan ini sangat signifikan karena adanya pengaturan bahwa organ yang diambil dari donor diambil secara paksa, dan juga ada organ yang memang diberikan secara sukarela oleh donor tersebut. Perbedaan ini akan mengarah pada perbedaan pemidanaan. Dalam laporan PBB dan Dewan Eropa , mereka tidak membedakan pengaturan antara keduanya dalam rekomendasinya tetapi mengarahkan pada perdagangan organ secara umum yakni bahwa apabila paramedis, pelaku perdagangan organ dan perantara perdagangan yang terlibat akan dipidana. Namun rekomendasi mereka tidak melihat konsekuensi lebih lanjut bahwasanya kriminalisasi perdagangan organ, akan lebih sulit untuk dipatuhi. Namun, sebagaimana dikatakan di atas, pemidanaan bukanlah hal yang terbaik untuk menyelesaikan kasus perdagangan organ baik di Indonesia maupun negara lainnya karena tidak akan membuat keadaan korban seperti semula serta tidak juga setimpal antara hukuman untuk pelaku dan penderitaan yang dialami oleh korban.

Selain itu, pengkriminalisasian sebagai bentuk tanggung jawab pelaku perdagangan organ ini (termasuk yang secara tidak langsung berperan) harus lebih diperinci, seperti supir ambulan yang berperan, suster, dan sebagainya. Mengingat hal bentuk perdagangan organ dalam model pertama yakni secara paksa membutuhkan lebih banyak perhatian khusunya apabila korbannya adalah anak-anak. Sehingga seharusnya dibentuk kepolisian khusus dengan keahlian khusus untuk perdagangan organ guna menginvestigasi kasus-kasus terkait perdagangan organ di tingkat daerah dan juga nasional mengingat jaringan perdagangan organ ini sangat sulit dideteksi dan terorganisir secara rapih . Namun, pengkriminalisasian terhadap pasien atau dokter umum terkait menurut pendapat saya bukanlah hal yang tepat, terlebih kalau pasien tidak mengetahui bahwa organ yang diterimanya adalah melalui pemaksaan (bukan sukarela), karena jika dilakukan demikian, maka bukannya menjerakan pasien ataupun dokter umum tempat pasien berkonsultasi, melainkan akan membuat pihak-pihak tersebut melakukan transplantasi secara diam-diam dan akan dapat semakin melawan hukum.

Memilih untuk tidak memidanakan pelaku/pasien/dokter umum dalam transplantasi, bukan berarti penulis mendukung Indonesia harus melegalkan transplantasi begitu saja tanpa mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak khususnya sebagai korban. Melainkan yang diharuskan ialah para dokter bedah untuk transplantasi khususnya harus berhati-hati dalam melakukan transplantasi, jangan sampai mereka melakukan transplantasi untuk perdagangan organ ilegal .

Lebih lanjut, Indonesia kurang memiliki strategi dalam penanganan kasus perdagangan organ ini. Ketidakefektifan untuk mematuhi peraturan terkait perdagangan organ (hal ini juga terjadi di negara lainnya seperti India), mengakibatkan banyaknya pasien atau sindikat asing perdagangan organ yang berkunjung ke negara yang “bebas” dalam pengaturan perdagangan organ untuk mencari korban guna menguntungkan mereka pribadi . Oleh karenanya, penanganan terhadap para pelaku ini, ialah dengan melakukan kerjasama bilateral bahwasanya warga negara asing yang melakukan pembelian atau perdagangan organ dari Indonesia akan dihukum berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia.

Perlu diingat juga, penjualan organ secara sukarela oleh masyarakat (Indonesia) disebabkan karena kemiskinan dan himpitan hidup , sehingga tergiur dengan penawaran uang dalam jumlah besar, sehingga mereka rela menjual organ mereka tanpa mengetahui dmpak dan akibatnya . Oleh karenanya, perlu penanganan dari pemerintah langsung untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat rentan yang miskin agar terhindar incaran perdagangan organ baik secara ilegal maupun sukarela. Peran Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) juga sangat dibutuhkan dalam hal menyuluhkan masalah perdagangan organ ini.

Refleksi
Pertanyaan yang perlu direnungkan kini ialah bagaimana praktisi medis, para pembuat kebijakan, dan publik secara umum dapat menjadi solusi untuk pencegahan perdagangan organ secara global ini khususnya terhadap regulasi terkait perdagangan organ secara legal atau menurut ketentuan mengenai kepentingan terbaik donor (anak). Harapan besar penulis ialah, tulisan ini dapat menambah wawasan bagi pembacanya terhadap perdagangan organ yang masih diperdebatkan hingga saat ini. Perdagangan organ akan menjadi resiko sosial ,ketika adanya warga negara lain yang “belanja” organ di negara lain khususnya di Indonesia yang kurang ketat dan efektif dalam perdagangan organ, akan menjadi hal penting untuk mengatasi maslah ini dan mengatasi masalah ini dengan solutif.

REFERENSI
Beck, U. (2000). What is globalization?. Cambridge: Polity.
Bruinsma, G. & Bernaso, W. (2004). Criminal groups and transnational illegal markets, in: Crime, Law and Social Change 41: 79-94.
Campion – Vincent, V. (2001). On Organ Theft Narratives. Discussion and Criticism, in: Current Anthropology, Vol. 42. No. 4.
Council of Europe Convention for the Protection of Human Rights and Dignity of the Human Being with regard to the Application of Biology and Medicine: Convention on Human Rights and Biomedicine. From http://conventions.coe.int/treaty/en/treaties/html/164.htm and http://conventions.coe.int/treaty/en/treaties/html/186.htm diunduh tanggal 2 Desember 2011.
Defever, M. (1990). The policies of organ transplantation in Europe: issues and problems, in: Health Policy, 16: 95-103.
Economic and Social Council (2006). Preventing, combating and punishing trafficking in human organs. Report of the Secretary-General. United Nations. Commission on Crime Prevention and Criminal Justice. Vienna, UN.
Elpat. (2007, April 1 – 4). Organ Transplantation: Ethical, Legal and Psychological Aspects. (Congress). Rotterdam. The Netherlands. Organs Watch. (1999). From http://sunsite.berkeley.edu/biotech/organswatch/ diunduh tanggal 2 Desember 2011.
Fijnaut, C. & Paoli, L. (2004). Organised Crime in Europe. Concepts, Patterns and Control Policies in the European Union and Beyond. Place: Springer.
Fligstein, N. (1993). Markets as Politics: A Political-Cultural Approach to Market Institutions. Berkeley: University of California.
Friedlaender, M. (2002). The right to buy or sell a kidney: are we failing our patients? in: The Lancet, Vol. 359(9310): 971-973.
Kant, I. (1998). Groundwork of the Metaphysics of Morals. Edited by Mary J. Gregor. Cambridge University Press.
Karstedt, S. (2000). Comparing cultures, comparing crime: Challenges, prospects and problems for a global criminology, in: Crime, Law and Social Change, Vol. 36: 285-308.
Kennedy, S. E., Shen, Y., Charlesworth, J. A., Mackie, J. D., Mahony, J. D., Kelly, J. J. P., Pussel, B. A., (2005). Outcome of overseas commercial kidney transplantation: an Australian Perspective, in: MJA, Vol. 182, No. 5.
Kishore, R. R. (2005). Human organs, scarcity and sale: morality revisited, in: Journal of Medical Ethics, 31: 362-365.
Koenig, B. A. & Hogle, L. F. (1995). Organ Transplantation (Re)examined? In: Medical Anthropology Quaterly, New Series, Vol. 9, No. 3: 393-397.
Lanier, M. M. & Henry, S. (2004). Essential Criminology. 2nd Edition. Westview Press.
Loader, I. & Sparks, R. (2002). Contemporary Landscapes of Crime, Order and Control. Governance, Risk and Globalization, in: The Oxford Handbook of Criminology (2002). 3rd Edition. Oxford University Press.
Makkai, T. (2003). Workshop on trafficking in human beings, especially women and children. 12th Session on the Commission on Crime Prevention and Criminal Justice, Vienna.
Matas, D. & Kilgour, D. (2007). Bloody Harvest. Revised Report into Allegations of Organ Harvesting of Falun Gong Practitioners in China. http://organharvestinvestigation.net diunduh tanggal 2 Desember 2011.
Mauss, M. (1934). Techniques of the body, in: Economy and Society, 2(1) 70-88.
McMullen, J. (2005). The Realities of the Human Organ Trade. American International School/Dhaka. Senior Project.
Ollus, N. (2002). The United Nations Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, especially Women and Children: a tool for criminal justice personnel. HEUNI. Helsinki, Finland.
Osava, M. (2004). Poor Sell Organs to Trans-Atlantic Trafficking Ring. Interpress Service News Agency. www.ipsnews.net diunduh tanggal 2 Desember 2011.
Paoli, L. (2002) The paradoxes of organized crime, in: Crime, Law and Social Change 37: 51-9.
Passas, N. (2001). Globalization of Transnational Crime: Effects of Criminogenic Asymmetries, in: Combating transnational crime: concepts, activities and responses. London.
Passas, N. (2002). Cross-border crime and the interface between legal and illegal actors, in: P. van Duyne, K. von Lampe and N. Passas (eds.). Upperworld and Underworld in Cross-border Crime.
Nijmegen: Wolf Legal Publishers. Rijken, C. (2003). Trafficking in persons: prosecution from a European Perspective. Tilburg: Univerisity of Tilburg (dissertation).
Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, especially Women and Children, supplementing the United Nations Convention against Transnational Organized Crime. (2000). From http://www.unodc.org/unodc/trafficking_human_beings.html diunduh tanggal 2 Desember 2011.
Roemer, M. I. (1998). Comment: the Globalization of Public Health, in: American Journal of Public Health, 88(5): 744.
Roscam-Abbing, H. D. C. (1990). Organ Donation, the legal framework, in: Health Policy, 16: 105-115.
Rothman, D., Rose, E., Awaya, T., Cohen, B., Daar, A., Dzemeshkevich, S. L., Lee, and et al., (1997). The Bellagio Taskforce Report on Transplantation, Bodily Integrity and the International Traffic in Organs, in: Transplantation Proceedings, 29: 2739-45.
Rothman, D. (2002). The International Organ Traffic. 10th Annual Conference on “The Individual vs. the State”. Budapest. Central European University.
Rothman D. & Rothman, S. M. (2003). The Organ Market, in: The New York Times Review of Books, Vol. 50. No. 16: 2310.
Ruggiero, V. (1997). Criminals and service providers: cross-national dirty economies, in: Crime, Law and Social Change, Vol. 28: 27-38.
Ruggiero, V. (2003). Global Markets and Crime, in: M. Beare (ed.) Critical reflections on transnational organized crime, money laundering and corruption. Toronto: University of Toronto Press.
Scheper-Hughes, N. (1996). Theft of Life: The Globalization of Organ Stealing Rumours, in: Anthropology Today, Vol.12. No.3: 3-11.
Scheper-Hughes, N. (2000). The Global Traffic in Human Organs, in: Current Anthropology, Vol. 41, No.2.
Scheper-Hughes, N. (2001). Bodies for Sale – Whole or in Parts, in: Body & Society, Vol 7(2-3): 1-8.
Scheper-Hughes, N. (2002). The Ends of the Body: Commodity Fetishism and the Global Traffic in Organs, in: SAIS Review, Vol. XXII. No. 1.
Scheper-Hughes, N. (2003). Keeping an eye on the global traffic in human organs, in: The Lancet. 361: 1645-1648.
Scheper-Hughes, N. (2004). Parts Unknown. Undercover ethnography of the organs-trafficking underworld, in: Etnography. Vol. 5(1): 29-73.
The Optional Protocol to the Convention on the Rights of the Child. (2002). From http://www.unhchr.ch/html/menu2/6/protocolchild.htm diunduh tanggal 2 Desember 2011.
The Times. (n.d.). Retrieved June 2, 2007, from, http://entertainment.timesonline.co.uk/tol/arts_and_entertainment/tv_and_radio/article1851853.ece diunduh tanggal 2 Desember 2011.
Truong, T. D. (2001). Human Trafficking and Organised Crime. Working paper 339. ORPAS Institute of Social Studies. The Hague, the Netherlands.
UNOS. (United Network for Organ Sharing). (n.d.). From www.unos.org diunduh tanggal 2 Desember 2011.
Universal Declaration on Bioethics and Human Rights. (2005). From http://portal.unesco.org/shs/en/ev.phpURL_ID=1883&URL_DO=DO_TOPIC&URL_SECTION=201.html diunduh tanggal 2 Desember 2011.
UNTOC. (2003). United Nations Convention against Transnational Organized Crime.Fromhttp://www.uncjin.org/Documents/Conventions/dcatoc/final_documents_2/convention_eng.pdf diunduh tanggal 2 Desember 2011.
Vermot – Mangold, R. G. (2003). Parliamentary Assembly. Council of Europe. Trafficking in Organs in Europe. Doc. 9822.
World Health Organization. (2003). Human Organ and Tissue Transplantation. Report by the Secretariat. Executive Board. 113th Session. http://www.who.int/ethics/en/EB113_14.pdf diunduh tanggal 2 Desember 2011.
WHO. (World Health Organization). (2004). Recommendation on human organs and tissue transplantation. From http://www.who.int/ethics/topics/human_transplant/en/ diunduh tanggal 2 Desember 2011.
WMA. (World Medical Association). (2000). Statement on human organ and tissue donation and transplantation.

Exit mobile version