PARTAI POLITIK DAN CALON ANGGOTA LEGISLATIF BELUM BERPERSPEKTIF ANAK

Hiruk pikuk pesta demokrasi ditahun politik ini nyaris menghabiskan seluruh waktu para politisi dan partai politik dalam 24 jam sehari semalam, untuk mengejar target memenangkan “ pertarungan “ pada 9 April 2014 nanti. Semua partai politik plus caleg beramai- ramai adu jurus untuk menggaet suara konstuen guna meraih suara sebanyak-banyaknya. Karena suara adalah kursi, kursi adalah kekuasaan, begitulah kira-kira logika yang ada dalam benak para politisi kita. Adu jurus, mengobral “dagangan “ istilah janji dalam kampanye disuguhkan kepada masyarakat dalam rangka “pencitraan” yang dilakukan oleh partai politik dan para calegnya sejak satu tahun silam, ketika aturan membolehkan kampanye tertutup sejak satu tahun sebelum dilaksanakannya “pencoblosan”.

Hampir semua partai dan caleg “jualan”; sekolah gratis, sembako murah, kesehatan gratis, peningkatan kesejahteraan PNS, peningkatan kesejahteraan buruh, petani nilayan, penciptaan lapangan kerja dan blaw-blaw, bahkan ada partai yang jualan masa lalu, misalnya ada partai menggunakan taglane “enak zaman mbiyen ”. Dari seluruh partai dan calegnya, menurut pengamatan penulis, mudah-mudahan ini salah, belum ada partai atau caleg yang mengusung isu anak dalam kampanyenya. Dan ini sudah penulis sampaikan saat pembahasan rekomendasi pada Diskusi Kebangsaan yang diselenggarakan Komnas Perempun disalah satu hotel di Jakarta Pusat beberapa waktu lalu. Tampaknya bagi partai politik atau caleg isu anak bukan merupakan isu yang “seksi” untuk dijadikan program kampanye. Hal itu terbukti, saat KPAI menyelenggarakan Fokus Group Diskusi Kampanye Ramah Anak beberapa waktu silam, dari seluruh partai peserta pemilu yang diundang untuk menjadi peserta aktif hanya satu partai yang mengirimkan utusannya, itupun dalam diskusi dia pasif, dan tidak menyampaikan gagasannya terkait kampanye ramah anak.

Padahal jika partai politik dan para calegnya jeli, isu anak jika dikemas dengan “cantik” akan menjadi isu yang sangat “seksi” dan mampu menarik konstuen, yang dengan sendirinya bisa jadi akan mendongkrak suara partai dan calegnya. Bayangkan dari sekitar 245 juta jiwa penduduk Indonesia, sekitar 35% nya atau kurang lebih 85 juta adalah anak-anak. Atau dengan modal pemikiran yang cukup sederhana, hampir setiap orang tua memilki anak, keponakan atau juga cucu yang beusia anak, dan itu adalah lumbung suara. Bukan anaknya yang bisa menjadi lumbung suara, akan tetapi paraorang tua dan keluarga dari anak-anak itu. Partai politik tampaknya juga kurang jeli, bahwa sejak beberapa tahun terakhir semua Kementerian / Lembaga dalam setiap kebijakannya sudah mainstreaming anak. Artinya pemerintah sudah berpersepektif anak dalam menentukan kebijakan pembangunan.

Harus kita sadari selain anugerah dan amanah Tuhan, anak adalah aset bangsa yang kelak diantara mereka diharapkan akan menjadi penerus atau kader partai. Maka sudah semestinya partai politik berperspektif anak, dalam kebijakan – kebijakan politiknya. Karena memperhatikan anak secara tidak langsung juga memperhatikan keberlangsungan hidup partainya. Jika anak tidak menjadi mainstreaming dalam kebijkan – kebijakan pemerintah, maupun partai, bisa jadi akan berdampak terjadinya lost generasi penerus bangsa. Dan ini tidak boleh terjadi. Oleh karenanya seharusnya di tahun politik ini, ada partai atau caleg yang berani memulai mengusung isu anak sebagai program utamanya untuk mendulang suara.

Sesuai data KPAI setiap tahun problematika terkait anak menunjukkakan trend peningkatan disemua bidang. Bidang Anak Berhadapan Hukum, Pengasuhan Alternatif, Traficking, Pornografi, Napza, Kesehatan, Pendidikan, Budaya dan Agama, juga sosial bencana. Artinya, permasalahan perlindungan anak ini, memerlukan perhatian serius dari semua pihak, sebagaimana amanah pasal 20 Undang –Undang Perlindungan Anak, yang mengamanatkan; Orang Tua, Keluarga, Masyarakat, Pemerintah dan Negara berkewajiban dan bertanggungjawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak. Partai Politik sebagai bagian dari negara dan para caleg sebagai bagian dari masyarakat, orang tua dan juga keluarga adalah bagian dari yang mendapatkan amanah untuk memberikan perlindungan terhadap anak. Akan tetapi faktanya hingga saat ini, seperti yang penulis ungkap diatas nyaris belum ada partai politik dan caleg yang secara spesifik menjadikan anak sebagai agenda kampanye dan subjek dari program-program yang hendak dilaksanakan.

Jika saat kampanye saja mereka tidak pernah menyentuh persoalan perlindungan anak, akankah jika mereka nanti menang atau terpilih menjadi wakil rakyat peduli dan mendengar aspirasi anak? Atau justru sebaliknya mereka akan mengabaikan pendapat anak, karena beranggapan bahwa asprasi atau pendapat anak tidak perlu didengar, karena nasib anak tergantung pada orang dewasa. Jika demikian yang terjadi, maka kita bisa bayangkan bagaimana nasib anak –anak kita kedepan. Sementara Undang – undang No. 23 Tahun 2002 pasal 2 secara tegas menyatakan bahwa prinsip – prinsip Perlindungaan Anak itu meliputi; non diskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan serta penghargaan terhadap pendapat anak (aspirasi anak ).

Aspirasi anak merupakan hal yang sangat penting, dan sudah menjadi agenda internasional, sehingga pemerintah dalam hal ini Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, telah menggulirkan program Forum Anak dari tingkat desa hingga Forum Anak Nasional (FAN). Salah satu fungsi forum ini adalah menyampaikan aspirasinya kepada pemerintah dari tingkat desa hingga tingkat nasional bahkan internasional. Oleh karenanya, agak janggal ketika hampir semua partai politik belum menjadikan isu perlindungan anak sebagai isu strategis dalam program-progrmannya.

Alih-alih merespons aspirasi anak dalam agenda politiknya, justru yang terjadi eksploitasi anak dalam kampanye. Dari pengalaman pemilu yang lalu dan mungkin juga musim pemilu tahun ini, hampir semua partai politik peserta Pemilu melibatkan/megeksploitasi anak-anak dalam kampanye. Memang dalam Undang – Undang Pemilu tidak ada larangan membawa anak dalam kampanye, akan tetapi dalam Undang- Undang No. 23 Tahun 2002 pasal 15 mengatur agar anak dilindungi dari penyalahgunaan dalam kegiatan politik, dan yang melanggar sesuai Pasal 87 Undang – Undang Perlindungan Anak, akan dikenakan sanksi hukum berupa pidana maksimal 5 tahun penjara dan denda maksimal 100 juta.

Berkenaan dengan amanat pasal 15 Undang- Undang Perlindungan itulah, KPAI berinisiasi menyelenggarakan pengawasan penyelenggaraan kampanye ramah anak, dengan menggandeng Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), sebagai lembaga yang memilki kewenangan langsung mengawasi pelaksanaan Pemilu. Seberapa efektifkah Bawaslu menekan para caleg dan partai politik agar meninggalkan pola lama, yang memanfaatkan anak untuk kepentingan politik dalam kampanye, baik saat pengerahan masa ataupun pengisi acara dipanggung kampanye. Hal tersebut akan berkolerasi dengan seberapa tegas Bawaslu memberikan sanksi kepada para caleg atau partai politik yang melakukan pelanggaran. Semakin ketat sanksi yang diberikan, maka akan ada secercah harapan bahwa kampanye ramah anak dan pendidikan politik baagi anak akan terwujud, jika yang terjadi justru sebaliknya, Bawaslu longgar dalam memberikan sanksi bagi para pelanggar, maka kampanye ramah anak dan pendidikan politik bagi anak dalam kampanye akan menjadi sekedar cita-cita atau mimpi tak berujung.

Kembali kepada tema minimnya caleg dan partai politik yang berperspektif anak, nampaknya masih perlu perjuangan panjang bagi para penggiat perlindungana anak, agar kepentinagan terbaik bagi anak menjadi bagian dari program partai politik. Sebagaimana saat memperjuangkan kepesertaan perempuan dalam daftar Caleg sebasar 30 % dalam semua tingkatan yang memerlukan waktu yang tidak singkat. Bukan berati anak-anak harus didaftar menjadi pengurus partai politik apalagi menjadi caleg, paling tidak ada political will dari semua partai politik dalam mencanangkan program-program poltiknya. Misalnya setiap partai poltik atau caleg harus memiliki program terkait anak sebanyak 30% dari seluruh programnya, jika tidak maka partai politik beserta calegnya didiskualifikasi. Menurut penulis menarik juga jika hal tersebut dijadikan kajian bersama, kemudian jika memungkinkan hasil kajian itu dikemas menjadi naskah akademik, sebagai masukan kepada DPR RI 2014-2019 untuk revisi Undang – undang Pemilu 2019 yang berpersepektif anak.

Bisa jadi ide dan gagasan diatas baru sebatas cita-cita atau bahkan mimpi disiang bolong, yang tidak menutup kemungkinan menjadi bahan cercaan banyak pihak. Tapi selama kita tidak berani bercita-cita dan bermimpi maka jangan harap ide dan gagasan itu bisa berubah menjadi realita. Oleh karenya marilah kita bercita –cita dan mimpi bersama untuk kepentingan terbaik sekitar 85 juta anak Indonesia, disemua sektor termasuk sektor politik. Harus kita sadari bahwa tidak bisa dipungkiri banyak kebijakan strategis lahir dari proses politik. Wallahu A’lam Bishowaf.

Exit mobile version