PELAKU PERCABULAN MENCARI MANGSA, ANAK PUN MENJADI KORBAN

Seringkali perbuatan cabul dilakukan oleh orang-orang yang sudah dewasa (walaupun ada juga yang dilakukan oleh anak di bawah umur) terhadap anak di bawah umur. Perbuatan cabul salah satunya dapat berupa memperlihatkan alat kelamin pelaku terhadap korban, yang bahkan sengaja menyesatkan anak kecil yang masih tidak tahu apa-apa untuk menyentuh alat kelaminnya atau memasukkan pada mulut anak yang dijadikan korban. Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, anak didefinisikan sebagai seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Untuk perbuatan cabul ini sendiri agar menarik anak-anak untuk menuruti kemauannya seringkali diiming-imingi dengan pemberian sejumlah uang, atau barang berupa permen. Dampak psikologis dari korban yang masih anak pun akan terganggu dengan perbuatan cabul pelaku. Oleh karenanya seringkali orang tua korban melaporkan kejadian ini kepada pihak kepolisian (walaupun tidak selalu melaporkan juga).

Perbuatan cabul yang dilakukan dengan sengaja membujuk dengan barang atau uang kepada korban agar mau menuruti keinginannya, maka pelaku dapat dijerat dengan Pasal 82 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak bahwa,”Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).” Bagi pelaku dewasa, maka tambahan pidananya dapat ditambah menjadi 1/3 dari pidana berdasarkan pasal 82 tersebut.

Dampak psikologis yang dapat timbul dari anak tersebut adalah menjadi trauma untuk dekat dengan teman sebayanya yang laki-laki, timbul kecurigaan kepada teman laki-laki sebayanya, menceritakan pengalaman atau tragedi cabulnya kepada teman-temannya, atau bahkan ia dapat membawa ingatan itu hingga dewasa. Oleh karenanya penting sekali untuk dilakukan pemeriksaan psikologis terhadap korban.

Terhadap pelaku, juga sangat dibutuhkan rehabilitasi terhadap kelainannya itu agar setelah pemidanaan selesai, ia tidak kembali lagi menjadi orang yang berbuat cabul, melainkan dapat bertobat dan tidak melakukan hal tersebut lagi. Hal ini penting mengingat yang dijadikan korban ialah anak-anak yang masih di bawah umur yang mampu merekam banyak kejadian dalam dirinya yang mampu dibawanya hingga dewasa kelak.

Exit mobile version