“Pemenuhan Hak Anak Atas AKTA KELAHIRAN Merupakan Bagian Dari Hak Sipil Yang Harus Dilindungi KONSTITUSI”

1. Pendahuluan
Berdasarkan Konvensi Hak Anak yang disetujui oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tanggal 20 November 1989 dan diratifikasi Indonesia ada tahun 1990, menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan anak adalah setiap orang yang berusia di bawah 18 tahun. Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dalam Pasal 1 juga menyebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

Undang-undang tersebut merupakan bentuk dari hasil ratifikasi Convention on the Rights of the Child (CRC). Konvensi ini merupakan instrumen internasional di bidang hak asasi manusia dengan cakupan hak yang paling komprehensif. CRC terdiri dari 54 pasal yang hingga saat ini dikenal sebagai satu-satunya konvensi di bidang Hak Asasi Manusia khususnya bagi anak-anak yang mencakup baik hak sipil dan politik maupun hak-hak ekonomi, sosial dan budaya.

Anak dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara adalah masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga Negara berkewajiban memenuhi hak setiap anak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, berpartisipasi, perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi. Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak, karena anak dari sisi perkembangan fisik dan psikis manusia merupakan pribadi yang lemah, belum dewasa dan masih membutuhkan perlindungan.

Salah satu hak anak paling yang vital wajib dipenuhi adalah masalah sipil dan kebebasan. Namun, temuan saya di Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) antara tahun 2010-2013, menunjukkan bahwa rendahnya penghormatan, pemenuhan, dan perlindungan terkait hak sipil dan kebebasan anak. Masalah dominan dalam kerangka bidang sipil dan kebebasan yang selama ini terjadi meliputi: hak nama dan kewarganegaraan, hak mempertahankan identitas, hak kebebasan menyatakan pendapat, dan hak akses kepada informasi yang layak.

Lebih lanjut, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 10 tahun 1992 tentang Kependudukan, masalah hak sipil dan kebebasan anak, perlu pendekatan dari 4 (empat) matra, yakni anak sebagai individu/pribadi, anak sebagai penduduk, anak sebagai warga negara dan anak sebagai bagian dari komunitas masyarakat. Masyarakat sebagai lahan tumbuhnya benih-benih individu akan mendorong para anggotanya untuk berinteraksi secara benar serta berprilaku positif. Hal ini bisa terjadi dengan prasyarat jika para individu tersebut tumbuh dalam lingkungan masyarakat yang kondusif bagi perkembangan pribadinya.

Lingkungan yang kondusif untuk anak nampaknya masih jauh dari harapan. Merebaknya berbagai masalah perlindungan anak telah memprihatinkan kita semua. Keluarga sebagai institusi utama dalam perlindungan anak ternyata belum sepenuhnya mampu menjalankan peranannya dengan baik. Kasus perceraian, disharmoni keluarga, perilaku ayah atau ibu yang salah, keluarga miskin sampai kepada upaya pemenuhan hak sipil dan kebebasan anak dalam berbagai permasalahan lainnya menjadi salah satu pemicu terabaikannya hak-hak anak dalam keluarga. Sedangkan anak dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara adalah masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga negara berkewajiban memenuhi hak setiap anak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, berpartisipasi, perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi.

2. Metode Penelitian
Kajian dalam tulisan ini merupakan penelitian pustaka yang memusatkan perhatian pada isu-isu penting seputar perlindungan anak. Kajian ini berangkat dari temuan penulis selama di KPAI antara tahun 2010-2013, tentang masih rendahnya pemenuhan hak sipil dan kebebasan dalam konteks perlindungan anak. Merujuk pada Undang-Undang Nomor 10 tahun 1992 tentang Kependudukan, saya melakukan pendekatan dari matra anak sebagai warga negara. Kewarganegaraan merupakan alat bukti hukum bahwa seseorang adalah warga negara yang akan terkait dengan status, perlindungan dan hak serta kewajiban anak yang bersangkutan. Pertanyaan penelitian saya adalah bagaimana negara memberikan perlindungan terhadap hak anak atas identitas, dalam kerangka bidang hak sipil dan kebebasan?

Dalam rangka menjawab pertanyaan di atas, saya melakukan penelusuran pustaka yang akan dijabarkan dalam beberapa sub bahasan. Pada sub bahasan pertama akan menguraikan hak dasar yang melekat pada setiap anak yang wajib diberikan oleh negara. Bagian ini penting dikemukakan agar kita bisa memahami peran negara dalam memberikan pengakuan terhadap keberadaan seseorang di depan hukum. Akte kelahiran sebagai bentuk indentitas setiap anak akan diuraikan pada bahasan kedua. Diskusi mengenai hal ini terkait erat dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari hak sipil dan politik warga negara. Bagian tiga membahas peran dan tanggungjawab stakeholder dalam menyikapi permasalahan yang terkait dengan pemenuhan hak sipil dan kebebasan anak. Bagian penutup akan berisi catatan pelaksanaan pendaftaran penduduk (Population Administration) dan rekomendasi terkait pemenuhan hak sipil dan kebebasan di Indonesia.

3. Analisis dan Interpretasi Data
3.1 Hak atas nama dan kewarganegaraan sebagai hak dasar setiap anak
Dalam buku Profil Anak Indonesia 2012 yang dikeluarkan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, memotret keadaan anak Indonesia berumur 0-17 tahun pada tahun 2011. Sekitar 82,5 juta (proyeksi penduduk hasil SP 2010) anak Indonesia berumur 6-17 tahun pada tahun 2011 merupakan aset bangsa yang tidak ternilai harganya. Aset tersebut harus disiapkan dengan baik guna menyongsong masa depan bangsa yang lebih cemerlang. Anak Indonesia pada 2011 mencapai sepertiga dari total penduduk Indonesia (33,9 persen). Jika dilihat menurut jenis kelamin, 51,3 persen diantaranya adalah laki-laki dan 48,7 lainnya adalah perempuan.

Dengan melihat anak sebagai aset dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Anak merupakan salah satu modal utama sumber daya manusia, jika dipenuhi semua kebutuhan pangan, sandang, papan, pendidikan dan kebutuhan sosial ekonomi lainnya. Pemenuhan kebutuhan ini akan membentuk anak tumbuh menjadi manusia berkualitas. Sebaliknya jika kebutuhan anak tidak terpenuhi, dikhawatirkan akan menurunkan kualitas hidup anak atau sebagian dari mereka akan menimbulkan masalah bagi keluarga, masyarakat maupun negara.

Perwujudan anak-anak sebagai generasi muda yang berkualitas, berimplikasi pada perlunya pemberian perlindungan khusus terhadap anak-anak dan hak-hak yang dimilikinya sehingga anak-anak bebas berinteraksi dalam kehidupan dilingkungan masyarakat. Sesuai dengan isi Pasal 4 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, bahwa setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Dalam kerangka hukum Hak Asasi Manusia (HAM) internasional, hak atas kewarganegaraan merupakan hak asasi setiap manusia. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) dalam Pasal 15 huruf a menegaskan bahwa setiap orang mempunyai hak untuk memperoleh suatu kewarganegaraan. Kemudian Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik, hak atas kewarganegaraan diatur dalam Pasal 24 ayat 3. Karena setiap anak yang lahir harus didaftarkan sebagai bukti awal kewarganegaraannya, maka Convention on the Rights of the Child (CRC) yang secara spesifik mengatur kebutuhan anak menjadi acuan yuridis untuk menganalisis persoalan ini. Pasal 7 C menyatakan anak akan didaftarkan segera setelah kelahiran dan berhak memperoleh kewarganegaraan. Selanjutnya Pasal 8 menegaskan bahwa negara menghormati hak anak atas kewarganegaraannya.

Dalam perspektif CRC, negara harus memberikan pemenuhan hak dasar kepada setiap anak, dan terjaminnya perlindungan atas keberlangsungan, tumbuh kembang anak misalnya dibidang kesehatan dan pendidikan termasuk hak atas nama dan kewarganegaraan. Hak atas nama dan kewarganegaraan merupakan hak dasar yang melekat pada setiap anak yang wajib diberikan negara. Identitas anak diberikan segera setelah anak itu lahir secara gratis. Negara wajib memberikan identitas anak sebagai bentuk pengakuan dan bukti hukum bahwa seseorang itu ada serta untuk mengenalinya diperlukan nama. Sementara kewarganegaraan merupakan alat bukti hukum bahwa seseorang adalah warga negara yang akan terkait dengan status, perlindungan dan hak serta kewajiban anak yang bersangkutan.

UUD 1945 sendiri mengakui dengan jelas bagaimana hak asasi manusia itu harus dihargai, dijunjung tinggi, dihormati dan negara menjadi pemangku kewajiban dari pemenuhan hak-hak asasi tersebut. Dasar hukum bagi pelaksanaan HAM di negara ini pun sudah cukup jelas dicantumkan dalam setiap hukum positif yang berlaku, UUD 1945, UU Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM, UU Nomor 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM, dan berbagai ratifikasai penegakkan HAM yang sudah diundangkan. Hal itu berarti,dalam undang-undang tersebut secara eksplisit juga menerapkan dan menjunjung tinggi hak asasi manusia termasuk anak sebagai warga negara (masyarakat). Hak ini kemudian dijabarkan lagi dalam Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pasal 5, 27 dan 28; Undang-Undang No. 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan pada pasal 27; serta Undang-Undang No. 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan pasal 5.

3.2 Akte kelahiran sebagai bentuk hak identitas setiap anak
Kepemilikan akte kelahiran juga merupakan salah satu bukti telah terpenuhinya hak memiliki identitas sebagai anak. Pasal 9 konvensi PBB mengenai hak-hak anak menentukan bahwa semua anak harus didaftarkan segera setelah kelahirannya dan juga harus mempunyai nama serta kewarganegaraan. Konvensi ini menghimbau agar dilaksanakan pendaftaran kelahiran gratis bagi semua anak dan merupakan tujuan yang dapat dicapai oleh semua negara. Konvensi itu diratifikasi oleh Indonesia pada tahun 1990. Namun sampai saat ini masih banyak anak Indonesia yang identitasnya tidak atau belum tercatat dalam akta kelahiran, sehingga secara de jure keberadaannya dianggap tidak ada oleh negara.

Hal ini mencerminkan belum terpenuhinya hak anak terhadap identitasnya dan masih lemahnya sistem pendataan atau registrasi kelahiran. Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2011 menunjukkan masih rendahnya kepemilikan akte kelahiran untuk anak 0-4 tahun. Susenas 2011 mencatat hanya sebesar 59 persen dari penduduk 0-4 tahun yang memiliki akte kelahiran dan terdapat 40 persen yang tidak memiliki akte kelahiran, sisanya sebesar 1 persen responden yang ditanya tentang akte kelahiran anaknya menyatakan tidak tahu tentang akte kelahiran. Ketidaktahuan ini, baik tidak tahu cara mengurusnya maupun tidak merasa perlu memiliki akte kelahiran, hal ini memperlihatkan pengetahuan yang kurang pada masyarakat tentang akte kelahiran.

Dengan ketiadaan kepemilikan akta kelahiran ini, menyebabkan ketidakjelasan identitas anak, yang akan membawa sejumlah implikasi seperti diskriminasi, tidak memiliki akses terhadap pelayanan dasar pendidikan dan kesehatan, rawan menjadi korban perdagangan manusia, mudah dijadikan pekerja anak, rawan menjadi korban kejahatan seksual, dan lain-lain. Rendahnya kepemilikan akte menunjukkan kepedulian tentang hak anak oleh orang tua dan pemerintah perlu ditingkatkan.

Meskipun sudah ada upaya untuk mencari jalan keluar atas berbagai hambatan yang terjadi selama ini, misalnya melalui Nota Kesepahamann (MOU) 8 Menteri yaitu Kemendagri, Kemenlu, Kemenhukham, Kemenkes, Kemendikdas, Kemensos, Kemenag, dan KPP&PA pada tahun 2010 tentang Percepatan Kepemilikan Akta Kelahiran Dalam Rangka Perlindungan Anak, namun dilapangan Nota Kesepahaman ini belum tersosialisasi dengan baik, bahkan ada juga daerah yang memilih jalan aman dengan tetap mengacu kepada prosedur standar yang banyak menghambat bahkan cenderung mendiskriminasi hak-hak anak.

Fakta yang terjadi di era desentralisasi dewasa ini, akte kelahiran justru menjadi salah satu sumber pendapatan asli daerah (PAD). Hasil Monev yang dilakukan KPAI terhadap pemenuhan Akte Kelahiran tahun 2011, ditemukan bahwa; Pertama, sebagian daerah memiliki peraturan daerah terkait akte kelahiran namun belum secara umum memandatkan gratis. Kedua, sebagian daerah belum memiliki peraturan daerah terkait pemenuhan akte kelahiran, dampaknya layanan akte kelahiran kurang berjalan secara sistematis dan terencana. Ketiga, paradigma layanan pemenuhan akte kelahiran cenderung menggunakan pendekatan tertib administrasi, dari pendekatan berbasis hak. Keempat, pola layanan akte kelahiran dari Dinas Pencatatan Sipil secara umum cenderung pasif daripada aktif. Kelima, akses publik untuk mendapatkan layanan akte kelahiran, terutama penduduk yang tinggal di daerah yang terkendala masalah kondisi geografis, sangat memperihatinkan, karena pengurusan akte bisa hingga 1 bulan lebih.

Jalan keluar untuk mengatasi kerumitan tersebut kelihatannya hanya bisa dicairkan melalui revisi berbagai Peraturan Perundang-undangan yang berlawanan dengan semangat Perlindungan Anak. Salah satu ganjalan utamanya adalah interpretasi yang seringkali sepihak oleh pihak Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil dengan mendasarkan diri kepada UU Adminduk (UU No. 23 Tahun 2006) dan peraturan turunannya seperti Peraturan Pemerintah (PP) No. 37 Tahun 2007, Perpres No. 25 Tahun 2008 dan berbagai Peraturan Menteri Dalam Negeri. Disamping itu target pencatatan akta kelahiran semua anak tercatat kelahirannya pada tahun 2015 bagi usia 0-18 tahun sebagaimana yang dicanangkan dalam Program Nasional Bagi Anak Indonesia (PNBAI) 2006-2015 juga dianggap gagal dalam memenuhi percepatan kepemilikan akta kelahiran anak.

Selama ini pembuatan akte kelahiran diatur dalam UU No. 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Dalam beberapa pasal dalam UU ini ditegaskan bahwa pencatatan kelahiran diwajibkan kepada warga negara melalui sistem stelsel aktif penduduk. Penduduk yang harus pro aktif mencatatkan kelahirannya agar bisa memiliki akte kelahiran. Hal ini tercantum dalam Pasal 3, 4, 27 ayat 1, 29 ayat 1 dan 4, 30 ayat 1 dan 6, 32 ayat 1 dan 2, 90 ayat 1 dan 2 serta penjelasan Umum UU 23 tahun 2006 tentang Administrasi kependudukan. Pasal-pasal tersebut mengatur keharusan setiap warga negara melaporkan kelahirannya sampai sanksi denda bagi siapa yang melanggar.

Pasal-pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28B ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (4), Pasal 28H ayat (2), Pasal 28I ayat (1), Pasal 28I ayat (2), dan Pasal 26 ayat (1) UUD 1945. Memiliki akte kelahiran adalah hak setiap anak Indonesia. Kewajiban pencatatan kelahiran seharusnya dibebankan kepada negara dan bukan kepada warga negara (stelsel aktif negara, bukan stelsel aktif penduduk). Apalagi selama ini pengurusan akte kelahiran terkendala banyak hal seperti jarak yang jauh, pengurusan yang berbelit, hingga denda yang tidak mampu dibayar warga negara.

Kenyataan menunjukkan sampai saat ini secara kuantitatif jumlah anak Indonesia yang memiliki akta kelahiran sekitar 54,79 persen, dari jumlah tersebut ternyata 14,57 persen diantaranya tidak dapat menunjukkan akta kelahirannya. Akibat tidak terpenuhinya hak anak untuk memperoleh akta kelahiran ini, maka hak atas akta kelahiran semakin tidak terpenuhi bagi anak-anak di pedesaan/pedalaman. Semakin berada di pedalaman, semakin tidak terpenuhi hak mereka atas akta kelahiran. Terbukti bahwa kesenjangan akses menjadi sebab anak kehilangan hak atas akta kelahiran.

3.3 Peran dan tanggungjawab stakeholder dalam upaya perwujudan perlindungan anak Indonesia
Banyak permasalahan terkait perlindungan anak yang terjadi berpangkal dari manipulasi identitas anak. Semakin tidak jelas identitas seorang anak, maka semakin mudah terjadi eksploitasi terhadap anak seperti anak menjadi korban perdagangan bayi dan anak, tenaga kerja dan kekerasan. Oleh karenanya perlu terobosan untuk mempercepat pemenuhan hak identitas anak, untuk memberikan perlindungan terbaik bagi anak dan mencegah munculnya segala bentuk eksploitasi bagi anak.

Beban tugas kepada pemerintah tidaklah mudah dan harus melibatkan semua pihak oleh karenanya harus ada kerjasama dan koordinasi yang sinergi untuk melahirkan kebijakan-kebijakan yang terbaik bagi anak-anak di Indonesia. Fakta ini menunjukkan bahwa upaya penanganan perlindungan anak melalui percepatan kepemilikan akta kelahiran bersifat multi-sektoral dan memerlukan partisipasi dan koordinasi antar satuan kerja pemerintah baik pusat maupun daerah.

Salah satu upaya penanganan masalah diatas dilakukan oleh para komisioner KPAI. Mereka berasal dari unsur pemerintah, tokoh agama, tokoh masyarakat, organisasi sosial, organisasi kemasyarakatan, organisasi profesi, lembaga swadaya masyarakat, dunia usaha, dan kelompok masyarakat yang peduli pada perlindungan anak. Komposisi itu sama seperti yang dimandatkan pada Pasal 75 Ayat 2 UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Semuanya mengupayakan perwujudan perlindungan anak Indonesia.

Dalam kiprahnya, KPAI sudah banyak mencoba mewujudkan hal tersebut. Mereka menyosialisasikan seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak. Mereka juga mengumpulkan data dan informasi, menerima pengaduan masyarakat, melakukan penelaahan, pemantauan, evaluasi, dan pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan anak. Dan, yang pasti, mereka memberikan laporan, saran, masukan, dan pertimbangan kepada Presiden dalam rangka perlindungan anak (lihat Pasal 76 UU Nomor 23 Tahun 2002).

Tiga tahun terakhir, mereka proaktif dalam merespons persoalan aktual di masyarakat. Sebut saja mereka mengadvokasi bocah yang dihukum penjara karena mencuri sandal. KPAI memprakarsai Gerakan 1.000 sandal. Mereka juga tambah aktif dalam mengadvokasi pemerintah (nasional dan daerah) untuk mempercepat atau menerapkan akta kelahiran gratis buat seluruh anak Indonesia.

Di bidang pencegahan, dalam tiga tahun belakangan ini, KPAI juga melakukan kerja sama dengan sejumlah lembaga negara untuk hal perlindungan anak, misalnya dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Termasuk mengembangkan Gerakan Anak untuk Kejujuran serta menjalin komunikasi dan jaringan dengan 154 link data mitra. Yang jelas juga, setidaknya dalam dua hingga tiga tahun terakhir, komisioner di KPAI sering dijadikan rujukan oleh media dalam memonitor kasus-kasus terkait perlindungan anak.

Berdasarkan hasil pertemuan workshop KPAI terkait Focused Group Discussion (FGD) masalah Akta Kelahiran Anak di Bogor bersama Jaringan Kerja Peduli Akta Kelahiran (JAKER_PAK), dirumuskan beberapa rekomendasi terkait pentingnya melakukan Judicial Review UU Adminduk ke Mahkamah Konstitusi sebagai langkah kongkrit dalam merubah persepsi dan regulasi terkait pemenuhan hak anak atas identitas, diantaranya menginisiasi untuk meninjau seluruh peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan semangat UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak khususnya terkait dengan pemenuhan akta kelahiran, disamping itu segera menyampaikan surat permohonan kepada Ketua Mahkamah Agung bahwa pencatatan kelahiran yang terlambat lebih dari 1 (satu) tahun bukan merupakan perkara/sengketa, tetapi dimohonkan untuk bisa diproses penetapan dengan hukum acara cepat, serta seluruh proses pemenuhan akta kelahiran harus gratis sebagai bentuk konsistensi terhadap realisasi UU Perlindungan Anak dan realisasi MOU 8 Menteri yang perlu meningkatkan sosialisasi percepatan pemenuhan akta kelahiran, karena dianggap sampai saat ini belum efektif.

KPAI dan JAKER_PAK juga mengapresiasi keputusan Mahkamah Konstitusi sebelumnya yang telah membatalkan pasal 32 ayat 2 UU No. 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan. Pasal tersebut mengharuskan pencatatan kelahiran yang melampaui batas 1 (satu) tahun mesti melalui Pengadilan Negeri. Dengan dibatalkan pasal tersebut masyarakat tidak perlu lagi mengurus Akte Kelahiran ke pengadilan meskipun sudah lewat 1 (satu) tahun.

Namun KPAI dan JAKER_PAK menilai pembatalan pasal tersebut belum cukup untuk menjamin terpenuhinya hak identitas warga negara sebagaimana dicantumkan dalam UUD Dasar 1945. Keseluruhan semangat pembuatan akte kelahiran melalui sistem stelsel aktif penduduk yang dicantumkan dalam Undang-Undang inilah yang harusnya dibatalkan dan menyatakan bahwa pencatatan kelahiran adalah kewajiban negara. Negara yang mestinya aktif mencatatkan kelahiran warga negaranya, bukan warga negara yang aktif mencatatkan kelahirannya (stelsel aktif negara, bukan stelsel aktif penduduk).

Adapun respon dan langkah Komisi Perlindungan Anak Indonesia dalam menyikapi permasalahan yang terkait dengan pemenuhan hak sipil dan kebebasan anak, dilakukan melalui : KPAI intens melakukan pemantauan dan penelaahan atas kebijakan dan pelayanan akte kelahiran diseluruh daerah di Indonesia, bersama unsur masyarakat jaringan kerja peduli akte kelahiran KPAI sedang mempersiapkan kelanjutan sidang Judisial Review atas pasal-pasal UU Administrasi Kependudukan yang cenderung bernuansa diskriminatif dan tidak ramah anak ke-Mahkamah Konstitusi, khususnya terkait dengan stelsel aktif bagi Penduduk dan stelsel pasif negara dan pemberian sanksi bagi penduduk yeng terlambat mengurus akte kelahiran; Memberikan masukan kepada Kementerian Dalam Negeri agar pemerintah memberikan layanan akta kelahiran secara gratis dan ramah anak; kemudian KPAI intens dalam memantau perkembangan layanan informasi dan hiburan di media dengan perspektif perlindungan anak; serta KPAI melakukan pemantauan perkembangan partisipasi anak dalam pengambilan kebijakan publik.

4. Penutup
4.1 Kesimpulan
Bahwa banyak persoalan yang terkait dengan masalah pelaksanaan prinsip pendaftaran penduduk (Population Administration) yang tidak sejalan dengan prinsip pencatatan sipil, khususnya mengenai makna pemberian status hukum otentik kepada anak yang juga merupakan bagian tidak terpisahkan dari perlindungan anak baik ditegaskan oleh KHA maupun UU Perlindungan Anak). Salah satu ganjalan utama adalah interpretasi yang seringkali sepihak oleh pihak Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil dengan mendasarkan diri kepada UU Adminduk (UU No. 23 tahun 2006) dan peraturan turunannya (seperti PP No. 37 Tahun 2007, Perpres No. 25 Tahun 2008 dan berbagai Peraturan Menteri Dalam Negeri).

Meskipun sudah ada upaya untuk mencari jalan keluar atas berbagai hambatan yang terjadi selama ini, misalnya melalui Nota Kesepahaman 8 Menteri, namun dilapangan Nota Kesepahaman ini belum tersosialisasi dengan baik, bahkan ada juga daerah yang memilih jalan aman dengan tetap mengacu kepada prosedur standar yang banyak hambatannya kepada anak tersebut. Dengan demikian upaya terpenting yang perlu dilakukan adalah merevisi Peraturan Perundang-undangan yang ada sebagai prioritas, mengingat pelaksana di lapangan cenderung menerapkan aturan secara kaku sesuai dengan bidang masing-masing tanpa mengacu peraturan perundang-undangan yang bersifat prinsip.

Secara umum, nomenklatur sudah tidak menjadi permasalahan karena sudah diseragamkan, namun yang lebih dperlukan adalah penambahan fasilitas perpanjangan tangan untuk menjangkau derah-daerah yang selama ini mengalami kesulitan transportasi ataupun juga penambahan tenaga yang kualifikasinya penuh, yang bisa disesuaikan dengan kondisi daerah masing-masing, yaitu menyediakan seksi khusus bagi registrasi di setiap kelurahan/desa (bila daerah itu mampu dan tenaganya cukup), atau menyediakan unit bergerak (mobil keliling) sesuai waktu tertentu yang bisa menjangkau seluruh kelurahan/desa khususnya di daerah yang relatif luas, atau setidaknya memungkinkan adanya pelaksana unit penjemputan yang bisa dicangkokkan kepada system yang sudah berjalan selama ini.

Selama ini program atau kegiatan yang dilakukan belum fokus kepada masalah pemenuhan hak anak dan perlindungannya, karena itu segenap upaya harus dilakukan, mulai dari sosialisasi hingga tingkat masyarakat terbawah, pengadaan kegiatan untuk mengatasi hambatan persyaratan dan prosedur, dan lebih khusus lagi adalah crash program untuk memungkinkan semua anak bisa mendapatkan akta kelahirannya tanpa kecuali, tanpa dihambat oleh masalah kependudukan orang tuanya atau status kerentanan apapun yang dihadapinya.

4.2 Saran
Melihat sejumlah gambaran masalah tersebut, maka upaya yang penting dapat dilakukan sebagai rekomendasi terkait pemenuhan hak sipil dan kebebasan adalah sebagai berikut:
1) Pertama, Perlu meninjau ulang seluruh peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan semangat Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak khususnya terkait dengan pemenuhan akta kelahiran;
2) Kedua, Kementerian Dalam Negeri perlu merespon secara cepat terhadap Peraturan Daerah yang masih memungut biaya dalam pemenuhan akta kelahiran dan perlu mendorong inovasi daerah dalam percepatan layanan kepemilikan akta kelahiran;
3) Ketiga, Pemerintah dan Pemerintah Daerah perlu melakukan penyederhanaan persyaratan dalam pemenuhan akta kelahiran;
4) Keempat, Pemerintah dan Pemerintah Daerah perlu mendekatkan layanan pemenuhan akte kelahiran hingga Kecamatan atau jika memungkinkan sampai ke-tingkat Kelurahan/Desa;
5) Kelima, Dalam hal saksi, perlu penegasan definisi bahwa saksi adalah orang yang menyaksikan langsung, mengetahui atau membantu persalinan yang keberadaannya dapat dipertanggungjawabkan secara hukum;
6) Keenam, Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil serta masyarakat perlu sama-sama dalam posisi aktif ikut serta mendorong mempercepat kepemilikan akta kelahiran.
7) Ketujuh, Seluruh proses pemenuhan akte kelahiran harus gratis sebagai bentuk konsistensi terhadap realisasi Undang-Unddang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
8) Kedelapan, Sebagai bentuk realisasi MOU 8 Menteri, perlu meningkatkan sosialisasi percepatan kepemilikan akta kelahiran.
9) Kesembilan, Perlu menyelaraskan kebijakan terkait pembebasan biaya penerbitan akta kelahiran dan pembuatan surat/kutipan keterangan lahir di Perwakilan Republik Indonesia bagi anak yang lahir di Luar Negeri.
10) Kesepuluh, Perlu dibuat Forum Koordinasi Daerah untuk mengadakan pertemuan rutin dan menjembatani hambatan birokrasi yang terjadi selama ini, baik antar SKPD maupun juga dengan kelompok-kelompok masyarakat sehingga pemetaan terhadap penyebab dan pemecahannya dapat dilakukan secara tuntas dan segera. Beberapa hal yang perlu diperdalam misalnya mengenai masalah anggaran, dokumen dan prosedur alternatif, dan lebih khusus lagi adalah juga melatih para tenaga pencatatan sipil untuk memahami bagaimana yang disebut pemenuhan hak anak dan perlindungannya, sehingga tidak terjebak ke dalam teknis administrasi belaka, namun juga memahami bagaimana kewajibannya untuk menjamin hak-hak anak tersebut terpenuhi tanpa adanya kendala.

———————————————————
Daftar Pustaka

Aulia, Maulidatul, “Hukum Perdata Akta Kelahiran Sebagai Asal Usul Anak”, makalah hukum, UNEJ Jember, 2012.

Anonim, “Perlindungan Anak Bidang Hak Sipil dan Kebebasan”, Laporan Presiden, KPAI, Jakarta, 2013.

Hakim, Abdul, “Pekerjaan Rumah Komisi Perlindungan Anak Indonesia”, Koran Jakarta, 25 Oktober 2013.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPP&PA) & Badan Pusat Statistik (BPS), Profil Anak Indonesia 2012, CV. Miftahur Rizky, Jakarta, 2012.

Middlemas, Natha, “Pendaftaran Kelahiran dan Pencapaian Hak-hak Anak: Studi Kasus Kota Malang”, laporan penelitian, UMM Malang, 2011.

Exit mobile version