PENCULIKAN ANAK GUNA EKSPLOITASI SECARA SEKSUAL

Pada akhir-akhir ini kian marak penculikan yang terjadi pada anak-anak di bawah umur. Penculikan ini dapat terjadi karena dipicu oleh tingkat kesulitan mencari uang sehingga setiap berusaha dengan segala cara baik halal maupun haram untuk mendapatkan uang banyak tanpa bersusah-susah walaupun harus merugikan orang lain khususnya anak di bawah umur.

Penculikan ini dapat dilakukan oleh orang yang tak dikenal atau juga oleh orang terdekat korban sehingga membuat korban tidak curiga. Anak-anak yang diculik pun dapat dieksploitasi secara seksual maupun secara ekonomi. Dalam tulisan kali ini, penulis akan mencoba menelaah kasus penculikan yang mana korban dieksploitasi secara seksual.

Anak dalam Pasal 1 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, didefinisikan sebagai seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Berdasarkan Pasal 59 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dikatakan bahwa, “Pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penclikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.” Sehingga KPAI selaku Komisi Perlindungan Anak, berhak untuk melakukan perlindungan terhadap korban yang masih di bawah umur.

Pasal 59 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ini didukung juga dengan Pasal 66 UU No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak menyatakan:

(1) Perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 merupakan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat.

(2) Perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui:
a. penyebarluasan dan/atau sosialisasi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual;

b. pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi; dan

c. pelibatan berbagai instansi pemerintah, perusahaan, serikat pekerja, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat dalam penghapusan eksploitasi terhadap anak secara ekonomi dan/atau seksual.

(3) Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan eksploitasi terhadap anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Pemaknaan setiap orang ini diartikan secara luas termasuk tetangga korban sebagai pelaku yang menjual anak tersebut. Oleh karenanya, pelaku akan terkena Pasal 88 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang menyatakan bahwa, “Setiap orang yang mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).”

Untuk menghadapi kasus seperti ini, maka yang harus dilakukan oleh korban ialah melaporkan kejadian ini ke kepolisian tempat ia dieksploitasi secara seksual dan melaporkan juga ke KPAI dengan membawa surat pelaporan tersebut, akta lahir korban, identitas pelapor, serta menuliskan kronologis kejadian yang kemudian ditandatangani oleh pelapor. KPAI dalam hal ini bertujuan untuk meningkatkan efektivitas kinerja kepolisian untuk menjalankan prosedur sebagaimana mestinya.

Hal yang harus diperhatikan bagi orang tua yang memiliki anak di bawah umur khususnya anak perempuan ialah memberikan perhatian ektra agar tidak ada orang-orang yang mengambil kesempatan dan melakukan eksploitasi kepada anak-anaknya.

Exit mobile version