Pendidikan Politik dan Pengawasan KAMPANYE RAMAH ANAK

Mengingat pesta demokrasi pemilihan umum (Pemilu) 2014 akan segera digelar, lazimnya sebuah pesta massal memang akan sulit dibatasi siapa saja yang hendak turut merayakan. Namun dalam hal ini Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) berpandangan bahwa gelora dan semarak pesta rakyat lima tahunan tersebut, mengingatkan kepada seluruh peserta pemilu untuk tidak melibatkan anak-anak untuk kepentingan politik, misalnya dalam kampanye terbuka ada lontaran yel-yel dengan nada menghujat, umpatan, fitnah dan kampanye hitam merupakan hal-hal yang sering terjadi dalam kampanye, artinya anak sudah disalahgunakan dalam kegiatan politik.

Sesuai Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD pada pasal 77, Kampanye pemilu merupakan bagian dari pendidikan politik masyarakat dan dilaksanakan secara bertanggung jawab. Menurut KPAI, seharusnya momen kampanye dilakukan sebagai sarana partisipasi politik warga negara dan kewajiban peserta pemilu adalah memberikan pendidikan politik kepada warga negaranya. Namun pada praktiknya, seringkali kampanye melibatkan anak-anak secara aktif, memolitisasi dan menyalahgunakan mereka untuk kepentingan politik.

Anak dalam Konteks Pemilu;
Melibatkan anak-anak di bawah umur dalam kampanye politik, bertentangan dengan Undang-Undang (UU) Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Secara khusus anak yang dimaksud dalam pengawasan penyelenggaraan Pemilu adalah anak yang belum memiliki hak pilih dalam pemilu, yakni yang belum berusia 17 tahun atau belum menikah. Hal ini berbeda dengan pengertian anak secara umum sebagaimana disebutkan dalam UU Perlindungan Anak pasal 1 ayat 1 yakni “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”.

Kampanye terbuka sering melibatkan anak di bawah umur hingga kakek dan nenek. Keberhasilan kampanye memang dilihat dari seberapa banyak massa yang dikerahkan. Tetapi hal itu jangan dijadikan pembenaran untuk melibatkan anak di bawah umur. Saat masa kampanye, banyak partai politik berusaha keras menggalang massa. Terkadang, segala cara dihalalkan, termasuk melibatkan anak-anak.

Saat masa kampanye terbuka 2014, setiap hari akan ada empat papol yang menggelar kampanye terbuka baik di tingkat pusat, provinsi, kabupaten dan kota. KPAI berharap, peserta pemilu baik parpol maupun caleg, tak mengabaikan aturan larangan melibatkan anak-anak dalam kampanye.

Beragam cara ditempuh partai politik (Parpol) agar bisa meraup suara terbanyak dalam proses Pemilu. Bahkan, dengan melibatkan anak-anak di bawah usia pemilih. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengungkapkan sejumlah temuan terkait upaya Parpol memanfaatkan anak-anak. Padahal, cara ini melanggar aturan. Setidaknya ada 15 modus pelanggaran kampanye yang kerap dilakukan Parpol yang melibatkan anak-anak berdasarkan temuan lapangan dan laporan masyarakat kepada KPAI. Ke-15 modus pemanfaatan anak-anak demi kepentingan Parpol merup suara terbanyak itu ialah Memanipulasi data anak yang belum berusia 17 tahun dan belum menikah agar bisa terdaftar sebagai pemilih. Menggunakan tempat bermain anak, tempat penitipan anak, atau tempat pendidikan anak untuk kegiatan kampanye terbuka. Memobilisasi massa anak oleh partai politik atau caleg. Menggunakan anak sebagai penganjur atau juru kampanye untuk memilih partai atau caleg tertentu. Menampilkan anak sebagai bintang utama dari suatu iklan politik. Menampilkan anak di atas panggung kampanye parpol dalam bentuk hiburan. Menggunakan anak untuk memasang atribut-atribut partai politik.

Selanjutnya menggunakan anak untuk melakukan pembayaran kepada pemilih dewasa dalam praktek politik uang oleh parpol atau caleg. Mempersenjatai anak atau memberikan benda tertentu yang membahayakan dirinya atau orang lain. Memaksa, membujuk atau merayu anak untuk melakukan hal-hal yang dilarang selama kampanye, pemungutan suara, atau penghitungan suara. Membawa bayi atau anak yang berusia di bawah 7 tahun ke arena kampanye terbuka yang membahayakan anak. Melakukan tindakan kekerasan atau yang dapat ditafsirkan sebagai tindak kekerasan dalam kampanye, pemungutan suara, atau penghitungan suara (seperti kepala anak digunduli, tubuh disemprot air atau cat). Melakukan pengucilan, penghinaan, intimidasi atau tindakan-tindakan diskriminatif kepada anak yang orang tua atau keluarganya berbeda atau diduga berbeda pilihan politiknya. Memprovokasi anak untuk memusuhi atau membenci caleg atau parpol tertentu. Menggunakan anak menjadi pemilih pengganti bagi orang dewasa yang tidak menggunakan hak pilihnya. Melibatkan anak dalam sengketa hasil penghitungan suara.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menilai, bukan hanya parpol yang bisa dituntut bertanggungjawab. Orangtua juga bisa ikut dihukum apabila melibatkan anak-anak di bawah umur. Parpol kerap melibatkan anak-anak di bawah umur untuk ikut kampanye terbuka. Meskipun, dalam aturan jelas hal tersebut dilarang karena membahayakan keselamatan. Keterlibatan anak bukan melulu karena ajakan pengurus parpol. Tetapi ada juga karena ajakan orangtuanya sendiri untuk mengikuti kampanye. Mengikutsertakan anak dalam kampanye terbuka, berbahaya dari sisi psikologis dan kesehatan. Kondisi anak secara psikologis, bisa terganggu karena parpol sering menggunakan bahasa provokasi dalam kampanye.

Sesuai pernyataan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) dalam beberapa kampanyenya, bahwa akan memberikan sanksi bagi partai politik (parpol) atau penyelenggara kampanye yang memobilisasi anak-anak dalam aktivitas kampanye. Terkait sanksi pidana yang dikenakan, Bawaslu akan berkoordinasi dengan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).
Pemilu memang sebagai salah satu sarana mencerdaskan pendidikan politik bagi masyarakat, termasuk bagi anak. Dalam hal ini, KPAI mengharapkan dalam pesta demokrasi Pemilu 2014 tahun ini dapat mewujudkan pemilu yang ramah anak dengan menghindari bentuk-bentuk penyalahgunaan anak dalam pemilu seperti yang sudah disampaikan diatas.

Bentuk pelibatan semacam itu jelas melanggar Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, terutama pasal 15 huruf (a) yang menyebutkan “bahwa setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari penyalahgunaan kegiatan politik”, selain itu pasal 87 juga menyebutkan “bahwa setiap orang yang secara melawan hukum merekrut atau memperalat anak untuk penyalahgunaan dalam kegiatan politik dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan atau denda paling banyak seratus juta rupiah”.

Pendidikan politik sering disebut dengan istilah political forming atau politische bildung. Disebut forming karena di dalamnya terkandung intensitas untuk membentuk insan politik yang menyadari status, kedudukan politiknya di tengah masyarakat, sedangkan disebut bildung (pendidikan diri sendiri) karena istilah ini menyangkut aktivitas membentuk diri sendiri dengan kesadaran penuh tanggung jawab untuk menjadi insan politik (Khoiron, dkk. 1999 : 4). Pendidikan politik pada hakikatnya adalah sebagai bagian dari pendidikan orang dewasa, karena hal ini menyangkut relasi antar individu, atau individu dengan masyarakat di tengah medan sosial, dalam situasi-situasi konflik yang ditimbulkan oleh bermacam-macam perbedaan dan kemajemukan masyarakat.

Pendidikan politik sejak usia dini dinilai sangat penting untuk dilakukan. Cara ini diyakini akan memberikan dampak positif sangat besar bagi generasi penerus bangsa. Hal ini penting, bahwa negara harus mengenalkan politik kepada setiap warga negara sejak dini. Bagaimanapun negara sudah menjamin hak-hak semua warga negara sejak dalam kandungan.

Dari hasil berbagai penelitian yang dimuat berbagai media massa, Indonesia menempati peringkat terendah di negara ASEAN dalam hal kualitas sumber daya manusia (SDM). Hal ini terjadi karena selama ini perhatian kita terhadap pendidikan politik, khususnya pendidikan bagi anak usia dini demikian rendah. Padahal pengembangan kualitas sumber daya manusia haruslah dimulai sejak dini. Pendidikan politik secara dini diharapkan mampu memberikan pembelajaran kepada generasi penerus bangsa dalam hal berparlemen dan bisa mengembangkan bakat, kemampuan diri secara benar dan tepat, serta bagaimana caranya untuk menyatakan pendapat di muka umum. Jadi anak-anak itu bisa tahu bagaimana dia menyuarakan aspirasi teman-temannya, kawan-kawan, ataupun orang tua dalam sebuah forum.

Adapun, hal lain yang juga diperoleh anak-anak dengan pendidikan politik sejak dini adalah mereka akan paham bagaimana tidak bersikap curang. Seorang politikus sejati, harus mampu mengimplementasikan sikap-sikap politiknya tanpa harus merugikan pihak lain meskipun tujuannya tetap harus tercapai. Ini menjadi penting guna pendidikan politik yang minimal dia bisa pahami bahwa mengelola negara itu tidak boleh culas, tidak boleh curang, dsb.

Hal terpenting yang harus diberikan kepada anak-anak terkait pendidikan berpolitik itu sendiri adalah tentang sikap mental dan moral. Misalnya dalam lingkungan, dia harus bisa peduli pada lingkungannya. Dia harus bisa memberi pertolongan bagi yang membutuhkan. Itu menjadi penting untuk mereka terus kembangkan. Terutama adalah kejujuran alami yang sekarang mereka masih miliki dan harus terus dipupuk. Ini yang paling penting buat pembelajaran.

Sedangkan fungsi pendidikan bagi anak usia dini tidak hanya sekedar untuk memberikan berbagai pengalaman belajar seperti pendidikan pada orang dewasa, tetapi juga berfungsi mengoptimalkan perkembangan kapabilitas kecerdasannya. Pendidikan di sini hendaknya diartikan secara luas mencakup seluruh proses stimulasi psikososial yang tidak terbatas pada proses pembelajaran yang dilakukan secara klasikal. Artinya pendidikan dapat berlangsung dimana saja dan kapan saja.

Upaya KPAI dalam Pengawasan Kampanye Ramah Anak;
Dalam upaya untuk meminimalisir bentuk-bentuk pelanggaran dalam penyelenggaraan kampanye pemilu 2014 terhadap perlindungan anak, KPAI melakukan langkah-langkah sebagai berikut : Melakukan sosialisasi tentang bentuk-bentuk penyalahgunaan anak dalam Pemilu, serta aturan dan sanksinya sesuai UU Perlindungan Anak. Membuka Posko Pengaduan “Penyalahgunaan Anak dalam Pemilu”. Mengumpulkan data dan informasi terkait kasus dan modus penyalahgunaan anak dan eksploitasi anak dalam setiap tahapan pemilu. Serta melakukan pengawasan, monitoring dan evaluasi dan telaah kajian terhadap penyalahgunaan dan ekploitasi anak dalam setiap tahapan pemilu.

Selain itu, dengan fungsi pengawasan dan sosialisasi yang dimiliki, KPAI akan melakukan penindakan atas temuan pelanggaran-pelanggaran tersebut. Yang pertama dengan fungsi pengawasan, KPAI dapat menyampaikan rekomendasi dan berkoordinasi dengan institusi yang punya kewenangan langsung untuk melakukan penindakan. Misalnya untuk permasalahan pelanggaran anak dilibatkan dalam kampanye, menyampaikan Bawaslu agar Bawaslu melakukan penindakan, menyampaikan ke KPU agar KPU mengambil langkah-langkah, dsb. Selanjutnya yang kedua dengan fungsi sosialisasi, tentu KPAI bisa menyampaikan kepada publik, untuk mensosialisasikannya, bahwa hal tersebut dilarang dan sangat bertentangan dengan UU Perlindungan Anak.

Exit mobile version