PENINGKATAN JANGKAUAN DIVERSI DI INDONESIA: DARI KEPOLISIAN KE SELURUH TAHAP PROSES PERADILAN

Kronologi Kasus
1. Versi Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)
27 Mei 2011
AAL dituduh mencuri sandal di kos-kosan anggota Brimob Polresta Palu. Pukul 20.00-23.00 WITA, AAL datang ke kos Brimob atas perintah penghuni kos.

AAL pulang ke rumah pukul 23.00 WITA diantar JUL, salah seorang anggota Brimob. Saat itu keluarga AAL belum sadar bahwa AAL dianiaya oleh anggota Brimob Briptu Simson dan Briptu Ahmad Rusdi. Lalu keluarga AAL mendatangi kos-kosan Brimob untuk menyelesaikan secara kekeluargaan. Sesampainya di kos-kosan Brimob, bapak dan ibu AAL diminta bertanggung jawab atas pencurian tersebut. Bapak AAL menanyakan mana buktinya. Lantas dijawab oleh Briptu Ahmad Rusdi dan Briptu Simson bahwa di kos-kosan tersebut sering kehilangan sandal. Kemudain mereka minta ganti 3 sandal merek Eiger yang hilang. Harga 1 sandal Rp 85 ribu x 3 sandal sehingga keluarga AAL harus mengganti Rp 255 ribu. Bapak AAL akan mengganti dengan uang tapi Briptu Rusdi tidak mau. Mereka meminta saat itu juga harus ada sandalnya. Tetapi malam itu sandal tidak bisa didapatkan karena toko sudah tutup. Lalu KTP bapak AAL diminta paksa untuk jaminan oleh Briptu Ahmad Rusdi cs. Lantas bapak-ibu AAL pulang ke rumah. Sesampainya di rumah ibunya baru sadar AAL dianiaya. Dada, wajah dan punggung dianiaya dengan tangan dan benda tumpul. AAL juga didorong hingga masuk got. Nasib serupa menimpa teman AAL, FD dan PR.

28 Mei 2011
Keluarga AAL lapor ke Propam Polda Sulteng di Palu. Briptu Amhad Rusdi marah hingga akhirnya langsung melapor balik ke Polsek setempat. Di Polsek, AAL hanya 2 kali diperiksa dan langsung jadi tersangka.

20 Desember 2011
AAL diajukan ke PN Palu dengan agenda pembacaan dakwaan. Jaksa Penuntut Umum (JPU) mendakwa AAL melanggar pasal pencurian dengan ancaman hukuman 5 tahun penjara.

28 Desember 2011
Polda Sulteng menghukum Briptu Ahmad Rusdi tahanan 7 hari dan Briptu Simson J Sipayang 21 hari karena terbukti menganiaya AAL.

3 Januari 2012
Kepala Divisi Humas Mabes Polri Irjen Pol Saud Usman Nasution menjelaskan kasus ini bisa masuk ke pengadilan karena orangtua AAL ingin kasus tersebut diproses secara hukum. Kasus ini berawal dengan sering hilangnya sandal milik Briptu Ahmad Rusdi Harahap dan Briptu Simson.

4 Januari 2012
Sidang pembacaan putusan AAL.

2. Versi Mabes Polri
27 Mei 2011
Di salah satu rumah kontrakan, Briptu Rusdi dan Briptu Simson, sering kehilangan sandal. Dari keterangan salah satu anak, pelaku yang mengambil sandal ada tiga orang, AAL (17), FD(14), MSH (16). Ketiga anak ini oleh anggota lantas diinterogasi. Kepada mereka, AAL mengaku pernah mengambil sandal, FD dan MSH juga mengakui. Kemudian diduga karena emosi, terjadi insiden ‘dorongan’, dilakukan oleh dua Briptu tersebut dan menyebabkan anak-anak terjatuh. Beberapa waktu kemudian, orang tua diminta datang dan menasihati serta menjemput anak masing-masing. Datanglah orang tua FD dan MSH menjumpai Rusdi dan Simson. Kemudian mereka menegur anaknya dan masalah dianggap selesai.Tidak berapa lama, sekitar 20 menit setelah itu, datang orang tua AAL atas nama EML, dan dijelaskan duduk perkaranya. Saat itu, persoalan juga dianggap selesai dan tidak berlanjut ke proses hukum.

28 Mei 2011
Orang tua AAL mendatangi kedua orang Briptu dan menjelaskan bahwa yang bersangkutan sudah melaporkan keduanya ke Propam Polda karena tidak terima perlakuan pada anaknya. Pada saat itu, EML minta agar kasus diproses hukum.

Karena didorong oleh hal itu, dua Briptu akhirnya membuat laporan pengaduan pada tanggal 28 Mei 2011. Setelah itu, penyidik menjelaskan pada orang tua bahwa AAL masih di bawah umur. Prosesnya bukan melalui jalur hukum tetapi melalui upaya pembinaaan. Kemudian datang pengacara orang tua AAL, Elvis yang menanyakan perkembanghan kasus. Dia lantas meminta kasus tersebut dibawa ke pengadilan sehingga ditetapkan JPU dan masuk ke pengadilan. Menurut Saud, dua anggota tidak menarik laporan karena tidak terima balik.

Hak Asasi Anak
Anak dalam Pasal 1 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, didefinisikan sebagai seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Karena AAL masih berusia 15 tahun, maka masih tergolong anak.

Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang mendapat jaminan dan perlindungan hukum internasional maupun hukum nasional, yang secara universal pun dilindungi dalam Universal Declaration of Human Right (UDHR) dan International on Civil and Political Rights (ICPR).

Pembedaan perlakuan terhadap hak asasi anak dengan orang dewasa, diatur dalam konvensi-konvensi internasional khusus. Sebagaimana diutarakan dalam Deklarasi Hak-Hak Anak :

“…the child, by reasons of his physical and mental immaturity, needs special safeguards and care, including appropriate legal protection, before as well as after birth…” Deklarasi Wina tahun 1993 yang dihasilkan oleh Konferensi Dunia tentang Hak-Hak Asasi Manusia (HAM), kembali menekankan prinsip “First Call for Children”, yang menekankan pentingnya upaya-upaya nasional dan internasional untuk memajukan hak-hak anak atas “survival protection, development and participation.”

Di Indonesia telah dibuat peraturan-peraturan yang pada dasarnya sangat menjunjung tinggi dan memperhatikan hak-hak dari anak yaitu diratifikasinya Konvensi Hak Anak (KHA) dengan keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990. Peraturan perundangan lain yang telah dibuat oleh pemerintah Indonesia antara lain, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Secara substansinya Undang-Undang tersebut mengatur hak-hak anak yang berupa, hak hidup, hak atas nama, hak pendidikan, hak kesehatan dasar, hak untuk beribadah menurut agamanya, hak berekspresi, berpikir, bermain, berkreasi, beristirahat, bergaul dan hak jaminan sosial.

Dibuatnya aturan-aturan tersebut sangat jelas terlihat bahwa Negara sangat memperhatikan dan melindungi hak-hak anak. Hak-hak anak tersebut wajib dijunjung tinggi oleh setiap orang. Namun sayangnya dalam pengaplikasiannya masalah penegakan hukum (law enforcement) sering mengalami hambatan maupun kendala baik yang disebabkan karena faktor internal maupun faktor eksternal.

Namun terkait masalah sistem pemidanaan, sampai sekarang terkadang masih memperlakukan anak-anak yang terlibat sebagai pelaku tindak pidana itu seperti pelaku tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa. Anak ditempatkan dalam posisi sebagai seorang pelaku kejahatan yang patut untuk mendapatkan hukuman yang sama dengan orang dewasa dan berlaku di Indonesia.

Padahal pemidanaan itu sendiri lebih berorientasi kepada individu pelaku atau biasa disebut dengan pertanggungjawaban individual / personal (Individual responsibility) dimana pelaku dipandang sebagai individu yang mampu untuk bertanggung jawab penuh terhadap perbuatan yang dilakukannya. Sedangkan anak merupakan individu yang belum dapat menyadari secara penuh atas tindakan / perbuatan yang dilakukannya, hal ini disebabkan karena anak merupakan individu yang belum matang dalam berpikir. Tanpa disadari hal tersebut tentu saja dapat menimbulkan dampak psikologis yang hebat bagi anak yang pada akhirnya mempengaruhi perkembangan mental dan jiwa dari si anak tersebut. Oleh sebab itu dengan memperlakukan anak itu sama dengan orang dewasa maka dikhawatirkan si anak akan dengan cepat meniru perlakuan dari orang-orang yang ada di dekatnya.

Kenakalan anak atau dalam istilah asingnya disebut dengan Juvenile Deliquency, yakni suatu tindakan atau perbuatan pelanggaran norma, baik norma hukum maupun norma sosial yang dilakukan oleh anak-anak usia muda . Dikaitkan dengan kasus AAL, dapat dikatakan dirinya telah melakukan Juvenile Deliquency, yang mana Jaksa Penuntut Umum mendakwakan dengan Pasal 362 KUHP dengan ancaman hukuman lima tahun penjara, hal ini dirasakan cukup berat bagi AAL yang masih 15 tahun dan masih harus meneruskan pendidikannya.

Di Indonesia sendiri dalam rangka mewujudkan suatu peradilan yang benar-benar memperhatikan kepentingan anak perlu diwujudkan peradilan yang terbatas bagi anak untuk menjamin kepentingan anak melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak,yang disahkan oleh Pemerintah pada tanggal 3 Januari Tahun 1997. Peradilan khusus bagi anak diadakan guna mengatasi permasalahan tindak pidana yang dilakukan oleh mereka yang masih termasuk golongan anak-anak, semuanya wajib disidangkan dalam peradilan bagi anak yang ada pada pengadilan di lingkungan peradilan umum.

Undang-Undang tentang Pengadilan Anak akan memberikan landasan hukum yang bersifat nasional untuk perlindungan hukum bagi anak melalui tatanan peradilan anak. Selain itu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, yang ditujukan sebagai perangkat hukum yang lebih mantap dan memadai dalam melaksanakan pembinaan dan memberikan perlindungan hukum terhadap anak yang bermasalah dengan hukum maupun penegakan hak-hak anak dan hukum anak untuk mewujudkan prinsip kepentingan yang terbaik bagi anak (the best interest of the child). Ketentuan yang ada dalam UU No. 3 Tahun 1997 mengenai Pengadilan anak telah sebagian mengacu pada rambu-rambu semacam ini. Namun, jika dikaitkan kasus AAL, apakah pemidanaan 5 tahun penjara sesuai dengan prinsip kepentingan yang terbaik bagi anak (the best interest of the child)?

Pemidanaan vs. Restorative Justice
Menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Pasal 22, terhadap anak nakal hanya dapat dijatuhkan pidana atau tindakan. Adapun pidana yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal adalah :

(1) Pidana pokok dan pidana tambahan.
(2) Pidana pokok yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal adalah :
a. Pidana penjara
b. Pidana kurungan
c. Pidana denda
d. Pidana pengawasan
(3) Selain Pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) terhadap anak nakal dapat juga dijatuhkan pidana tambahan berupa perampasan barang-barang tertentu dan atau pembayaran ganti rugi.
(4) Ketentuan mengenai bentuk dan tata cara pembayaran ganti rugi diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Ada pembedaan ancaman pidana bagi anak yang ditentukan oleh Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dimana dalam penjatuhan pidanannya ditentukan paling lama ½ dari ancaman maksimum terhadap orang dewasa, sedangkan penjatuhan pidana mati dan pidana penjara seumur hidup tidak diberlakukan terhadap anak-anak. Sanksi yang dijatuhkan terhadap anak dalam Undang-undang juga ditentukan berdasarkan umur, yaitu bagi anak yang berumur 8 sampai 12 tahun hanya dikenakan tindakan, sedangkan anak yang telah berusia 12 sampai 18 tahun baru dapat dijatuhi pidana.

Dalam Undang-undang Pengadilan Anak pada Pasal 40 juga menyatakan bahwa hukum acara yang berlaku dalam acara pengadilan anak ialah Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini. Dengan demikian, hukum acara yang berlaku bagi children involved with the system of juvinele justice administration di Indonesia adalah KUHAP dan Undang-undang Pengadilan Anak.

Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, mempunyai relevansi dengan children involved with the system of administration of juvenile justice. Dalam Pasal 6 tersebut menyatakan sebagai berikut :

(1) Anak yang mengalami masalah kelakuan diberi pelayanan dan asuhan yang bertujuan menolongnya guna mengatasi hambatan yang terjadi dalam masa pertumbuhan dan perkembangannya.
(2) Pelayanan dan asuhan, sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1), juga diberikan kepada anak yang telah dinyatakan bersalah melakukan pelanggaran hukum berdasarkan keputusan hakim.
Seperti yang tercantum dalam Pasal 44 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 ayat (1) bahwa untuk kepentingan penyidikan, Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) dan ayat (3) huruf a, berwenang melakukan penahanan terhadap anak yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Yang perlu diperhatikan disini berdasarkan Pasal 45 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997, ada dua alasan penahanan terhadap para pelaku pidana yang masih dibawah umur, yaitu :

a. Untuk kepentingan anak
b. Untuk kepentingan masyarakat

Dan kedua hal tersebut harus dinyatakan dengan tegas dalam surat perintahpenahanan. Dengan disebutkannya secara tegas pada Pasal 45 tersebut bahwa salah satu alasannya melakukan penahanan memperhatikan juga kepentingan dan hak anak, maka dapat diambil kesimpulan bahwa kepentingan anak tetaplah menjadi pertimbangan utama dalam melakukan penahan. Penahanan merupakan upaya terakhir yang ditempuh dan diambil oleh hakim dalam menyelesaikan kasus Anak Nakal. Artinya sebagai upaya terakhir adalah sebagai berikut :

“penahanan lebih sering banyak mudarat daripada manfaatnya. Ini bertentangan dengan semangat untuk merehabilitasi anak dan bertentangan dengan salah satu prinsip utama dalam hak anak, yakni “kepentingan terbaik bagi anak” (UU 23/ 2002 tentang Perlindungan Anak, Pasal 2 (b)).

Dalam Konvensi tentang Hak-Hak Anak (Convention on the Rights of the Child), Resolusi No. 109 Tahun 1990 menyebutkan bahwa tidak seorang anak pun dapat dirampas kemerdekaannya secara tidak sah atau sewenang-wenang, menjadi sasaran penyiksaan atau perlakuan/ penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat, hukuman mati, atau hukuman seumur hidup. Penangkapan, penahanan atau pemenjaraan seorang anak harus sesuai dengan hukum dan hanya sebagai upaya terakhir dan untuk jangka waktu yang sesingkat-singkatnya.

Oleh karenanya, berdasarkan kasus AAL ini, maka upaya hukum adalah upaya terakhir dan mengutamakan kepentingan terbaik sang anak yang harus melanjutkan pendidikannya. Mengutip dari perkataan Kak Seto bahwa cara yang tepat menghukum anak tidak dengan cara tangan besi tapi dengan kekuatan cinta dan kasih sayang. Prinsip penjara bukan untuk anak, harus menjadi pegangan semua masyarakat. Menurutnya juga, jika mendidik dengan cara-cara kekerasan seperti penjara, maka anak-anak lambat laun bisa jadi pelaku kriminal sejati (Detiknews, 3 Januari 2012). Penulis sependapat dengan pendapat Beliau, karena dalam penjara maka anak akan berbagi pengalaman dengan terpidana lainnya yang mana dari berbagi pengalaman itu akan membuat anak yang tadinya tidak tahu soal kriminal, akan menjadi ahli kejahatan karena cerita-pengalaman sesama terpidana lainnya. Berbeda dengan pemidanaan dengan prinsip restorative justice.

Pada (Rule 14-18); United Nation Standard Minimum Rules For The Administration of Juvenile Justice (Beijing Rules) disebutkan bahwa penempatan anak di dalam lembaga koreksi (penjara) hendaknya ditempatkan sebagai usaha terakhir, itupun hanya untuk jangka pendek. Penahanan anak semata-mata karena alasan penundaan sidang dihindarkan. (Rule 21-23); Anak setelah melalui proses ajudikasi, pada akhirnya dapat ditempatkan di lembaga atau mungkin di luar lembaga untuk dibina. Pelaksanaan pembinaan anak di luar lembaga dipersiapkan matang dengan cara melibatkan suatu lembaga yang independen, misalnya Parole, Probation, Lembaga-lembaga Kesejahteraan Anak dengan petugas yang berkualitas, ditunjang dengan fasilitas yang memadai dalam kerangka rehabilitasi anak. Penahanan anak bukan merupakan jalan utama dalam rangka perbaikan moral anak. Pidana perampasan kemerdekaan terhadap anak hanya memberikan efek trauma yang mendalam pada diri anak. Suatu klausula yang paling relevan disini ialah tentang pidana perampasan kemerdekaan institusional, yang menurut Beijing Rules sebaiknya diterapkan setelah mempertimbangkan dua hal pokok: (a). sebagai the last resort; atau sebagai upaya terakhir dan tidak dapat dielakkan lagi (sehubungan dengan keseriusan tindakan yang dilakukan seorang anak); dan; (b). for the minimum necessary period, atau dalam waktu yang sesingkat mungkin .

Oleh sebab itu, melalui restorative justice pemidanaan yang dijatuhkan oleh hakim pun bukan hanya semata–mata pemidanaan, namun hukuman tersebut juga memperhatikan kepentingan anak. Agar anak tersebut tidak hanya jera namun juga mempunyai nilai manfaat bagi perkembangan anak kelak yang bersifat edukatif. Seperti yang tertera dalam perumusan rancangan KUHP nasional tentang tujuan pemidanaan. Pasal 50 Rancangan KUHP Nasional, menentukan bahwa tujuan pemidanaan adalah: (1) untuk mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat; (2) memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan, sehingga menjadi orang yang baik dan berguna; (3) menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; (4) membebaskan rasa bersalah pada terpidana .

Formulasi pemidanaan yang mengedepankan edukasi, hendaknya mulai diperhatikan dan dipertimbangkan oleh para aparat penegak hukum. Seperti yang tercantum di dalam Pasal 24 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, tindakan yang dijatuhkan kepada anak bukan hanya mengembalikan kepada orang tua, wali atau orang tua asuh karena terjadinya kenakalan anak biasanya sebagian besar dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya. Kejahatan sebagai masalah sosial yang memerlukan gejala yang dinamis selalu tumbuh dan terkait dengan gejala dan struktur kemasyarakatan lainnya yang sangat kompleks, yang merupakan suatu masalah sosial politik .

Beberapa hal yang patut diperhatikan dalam pemasyarakatan anak sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 26 Beijing Rules adalah bahwa :
1. Tujuan dari pembinaan dan latihan bagi anak dalam lembaga adalah untuk memberikan perawatan, perlindungan, pendidikan dan keterampilan, dalam usaha untuk membantu mereka menempati peran yang konstruktif dan produktif dalam masyarakat kelak;
2. Anak-anak dalam lembaga harus dipisahkan dari terpidana dewasa (sedapat mungkin dalam bangunan yang terpisah);
3. Orang tua atau wali seorang anak, demi kesejahteraan dan kepentingan anak, harus memiliki akses dalam lembaga;
4. kerjasama antar departemen dan antar lembaga perlu digalang untuk dapat memberikan latihan keterampilan dan pendidikan bagi anak, dengan maksud agar mereka yang berada di dalam lembaga tidak dirugikan pendidikannya.

Menurut Howard Zehr dilihat dengan kacamata keadilan yang restoratif, tindak pidana adalah suatu pelanggaran terhadap manusia dan relasi antar manusia. Tindak pidana menciptakan suatu kewajiban untuk membuat segala sesuatunya menjadi lebih baik dengan melibatkan korban, pelaku dan masyarakat dalam mencari solusi untuk memperbaiki, rekonsiliasi, dan menentramkan hati .

Berdasarkan dari hal tersebut konsep yang digunakan bagi penanganan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum dapat dilakukan dengan metode pendekatan yang murni mengedepankan kesejahteraan anak dan pendekataan intervensi hukum. Maka model penghukuman yang bersifat restoratif atau disebut restorative justice saat ini lebih layak diterapkan dalam menangani pelaku tindak pidana anak. Keadilan restoratif adalah suatu proses dimana semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama memecahkan masalah bagaimana menangani akibat di masa yang akan datang .

Restorative Justice berlandaskan pada prinsip due process, yang merupakan eksplorasi dan perbandingan antara pendekatan kesejahteraan dan pendekatan keadilan, yang sangat menghormati hak-hak hukum tersangka dan sangat memperhatikan kepentingan korban. Sasaran peradilan restorative adalah mengharapkan berkurangnya jumlah anak yang ditangkap, ditahan dan divonis penjara serta menghapuskan stigma pada diri anak dan mengembalikan anak menjadi manusia yang normal sehingga dapat berguna dikemudian hari.

Proses restorative justice merupakan proses keadilan yang sepenuhnya dijalankan dan dicapai oleh masyarakat. Proses yang benar-benar ditujukan untuk mencegah dilakukannya kembali tindak pidana. Hal ini menjadikan keadilan sebagai sesuatu yang penuh dengan pertimbangan dalam merespon kejahatan dan menghindar terjadinya stigmatisasi . Dengan restorative justice, maka akan lebih diarahkan pada pemidanaan yang edukatif seperti dikembalikan ke orang tuanya untuk dididik kembali agar tidak mengulangi kesalahannya seperti AAL ini jika hal ini memang hal yang terbaik bagi AAL. Pada tanggal 4 Januari 2012, dibacakan juga putusan AAL yakni dibebaskan ke pihak orang tua. Namun, yang dipermasalahkan kini ialah AAL tetap dinyatakan bersalah meskipun bukan sandal milik Briptu AR. Seharusnya, AAL layak untuk bebas murni, karena bukti sandal yang ada tidak cocok dengan ukuran miliknya, berarti hal tersebut bukan sandal yang dianggap oleh Briptu AR. Selain itu, sandal yang dianggap hilang juga merek Eiger bukan sandal Ando butut yang dijadikan bukti.

Dengan putusan bersalah ini, akan mengakibatkan AAL mendapatkan labelling yang akan melekat seumur hidup AAL, padahal dari segi barang bukti, saksi-saksi dan hasil investigasi telah membuktikan bahwa AAL tidak bersalah. Hal ini dapat mempengaruhi perkembangan mental AAL karena telah dianggap sebagai “maling”. Sehingga diharapkan Hakim dapat memutuskan AAL bebas murni.

Diversi menjadi bentuk restorative justice
Program diversi dapat menjadi bentuk restoratif justice jika mendorong anak untuk bertanggung jawab atas perbuatannya; memberikan kesempatan bagi anak untuk mengganti kesalahan yang dilakukan dengan berbuat kebaikan bagi si korban; memberikan kesempatan bagi si korban untuk ikut serta dalam proses; memberikan kesempatan bagi anak untuk dapat mempertahankan hubungan dengan keluarga; memberikan kesempatan bagi rekonsiliasi dan penyembuhan dalam masyarakat yang dirugikan oleh tindak pidana; Polisi, penuntut umum atau badan-badan lain yang menangani perkara-perkara remaja akan diberi kuasa untuk memutuskan perkara-perkara demikian, menurut kebijaksanaan mereka, tanpa menggunakan pemeriksaan-pemeriksaan awal yang formal, sesuai dengan kriteria yang ditentukan untuk tujuan itu didalam sistem hukum masing-masing dan juga sesuai dengan prinsip-prinsip yang terkandung di dalam peraturan-peraturan ini.

Adapun bentuk-bentuk diversi adalah dapat berupa non intervensi; peringatan informal; peringatan formal; mengganti kesalahan dengan kebaikan/Restitusi; pelayanan masyarakat; pelibatan dalam program keterampilan; rencana individual antara polisi, anak, dan keluarga; rencana yang diputuskan oleh pertemuan tradisional rencana yang didasarkan pada hasil pertemuan kelompok keluarga; pengalihan apapun yang melibatkan perujukan kepada pelayanan–pelayanan masyarakat atau pelayanan lain akan memerlukan persetujuan remaja itu, atau orang tua walinya dengan syarat keputusan merujuk perkara tersebut tergantung pada kajian dari pihak berwenang yang berkompeten atas permohonan tersebut.

Diversi memiliki prinsip – prinsip dasar, yang dapat menjadi acuan sebagai berikut :
1. Anak tidak boleh dipaksa untuk mengakui bahwa ia telah melakukan tindakan tertentu;
2. Program Diversi hanya digunakan terhadap anak yang mengakui bahwa ia telah melakukan suatu kesalahan. Namun tidak boleh ada pemaksaan;
3. Pemenjaraan tidak dapat menjadi bagian dari Diversi. Karena mekanisme dan struktur Diversi tidak membolehkan pencabutan kebebasan dalam segala bentuk;
4. Adanya kemungkinan penyerahan kembali ke pengadilan (perkara harus dapat dilimpahkan kembali ke sistem peradilan formal apabila tidak ada solusi yang dapat diambil);
5. Adanya hak untuk memperoleh persidangan atau peninjauan kembali. Anak harus tetap dapat mempertahankan haknya untuk memperoleh persidangan atau peninjauan kembali;
6. Tidak boleh ada diskriminasi.

Sehingga pada perkembangannya sekarang tidak semua kasus harus diselesaikan lewat jalur hukum tapi dapat dilakukan Diversi (pengalihan). Yang dimaksud dengan Diversi adalah pengalihan penanganan kasus-kasus anak yang diduga telah melakukan tindak pidana dari proses formal dengan atau tanpa syarat. Diversi dilakukan pada perkara yang sifatnya ringan dan dilakukan dengan melibatkan orang tua / wali, sekolah, masyarakat, LSM, BAPAS dan Departemen Sosial. Diversi adalah satu bentuk pembelokan atau penyimpangan penanganan anak pelaku delinkuen di luar jalur yustisial konvensional seperti dinyatakan dalam Commentary Rule 11 Resolusi PBB 40/33, UN Standard Minimum Rule for the Administration of Juvenile Justice .

Dilakukannya Diversi sendiri adalah bertujuan untuk :
1. Menghindari penahanan
Dengan adanya Diversi, anak-anak diharapkan dapat terhindar dari penahanan dan kasusnya dapat diselesaikan dengan tidak mengorbankan kepentingan anak.
2. Menghindari cap / label atau stigmatisasi, sehingga tidak mempengaruhi perkembangan mental anak.
3. Meningkatkan keterampilan hidup bagi pelaku, karena dengan adanya Diversi memberikan kesempatan kepada pelaku untuk terlibat dalam proses.
5. Pelaku dapat bertanggung jawab terhadap perbuatannya
6. Mencegah pelaku untuk mengulangi tindak pidana
7. Memajukan intervensi-intervensi yang diperlukan bagi korban dan pelaku tanpa harus melalui proses formal.

Dengan adanya program Diversi akan menghindarkan anak dari proses sistem peradilan Diversi akan menjauhkan anak-anak dari pengaruh-pengaruh dan implikasi negatif dari proses peradilan tersebut.

Menurut standar Internasional Diversi dapat dilakukan pada setiap tahapan proses peradilan, mulai dari tahap penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di persidangan, dan pelaksanaan putusan hakim. Namun dalam ketentuan hukum di Indonesia, pelaksanaan Diversi hanya dimungkinkan ditingkat penyidikan artinya hanya merupakan kewenangan dari kepolisian, sementara di lembaga lain seperti Kejaksaan, Kehakiman, atau Lembaga pemasyarakatan belum ada aturan yang mengaturnya. Hal ini yang harusnya mulai dipikirkan oleh pemerintah agar penerapan Diversi ini dapat berjalan dalam semua tahap proses peradilan .

Keberadaan Diversi ini sangat diperlukan, sebab melalui Diversi tersebut penuntutan pidana gugur dan criminal track record anakpun serta stigmatisasi anak tidak terjadi.

Penutup
Sejak di Kepolisian, AAL seharusnya sudah diterapkan sistem diversi yakni pengalihan atas tindak pidana yang dilakukan kepada AAL seperti pengembalian pada orang tuanya atau diikutsertakan juga LSM, LAPAS, yang berguna untuk mendidik keterampilan anak sifatnya, bukan pemidanaan layaknya orang dewasa. Namun, dari pihak kepolisian Palu justru melimpahkan kepada pengadilan. Sehingga, pihak Kepolisian Palu telah menyimpang sistem Diversi ini. Kemudian mari lihat dakwaan Jaksa Penuntut Umum di Pengadilan Negeri Palu yang mendakwakan dengan Pasal 362 KUHP dengan hukuman penjara 5 tahun penjara. Hal ini tentu saja akan membuat AAL menjadi trauma dan apabila hakim memutuskan sesuai dakwaan Jaksa Penuntut Umum, maka Hakim telah melanggar kode etiknya untuk menjunjung tinggi keadilan yang seharusnya melihat keadilan bagi AAL yang masih memiliki masa depan panjang yang harus diisi dengan pendidikan formal. Oleh karena itu, dari segi Jaksa Penuntut Umum sudah tidak mencerminkan restorative justice bagi AAL, maka sangat diharapkan Hakim yang menangani kasus AAL dapat menjatuhkan putusan bebas murni meskipun menyerahkan kepada orang tuanya sudah tepat. Berdasarkan prinsip kepentingan terbaik bagi anak, untuk mencegah perusakan perkembangan anak, maka seharusnya Hakim menjatuhkan putusan bebas murni mengingat putusan menyatakan bersalah akan mencap AAL sebagai “maling” seumur hidupnya, padahal barang bukti, saksi, dan hasil investigasi menyatakan AAL positif tidak bersalah.

REFERENSI
Achmad, Ruben, Upaya Penyelesaian Masalah Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum Di Kota Palembang, Simbur Cahaya No. 27 Tahun X Januari 2005, Hal. 5-6.

Gultom, Maidin, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak Di Indonesia, PT Refika Aditama, Bandung, 2008, hal 124-125.

Meliala, Adrianus, Mamik Sri Supatnu, Santi Kusumaningrum, Kismi Widagso, Fikri Somyadewi,

Harkrisnowo, Harkristuti, Tantangan dan Agenda Hak-Hak Anak, Newsletter Komisi Hukum Nasional, Edisi Februari 2002, Jakarta, Hal 4.

Restorative Justice System: Sistem Pembinaan Para Narapidana Untuk Pencegahan Resedivisme, http://152.118.58.226-227/ diunduh tanggal 3 Januari 2012.

Muchtar, Fathuddin, Situasi Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum Di Daerah Istimewa Yogyakarta & Semarang, Samin: Yayasan SETARA, 2006, Hal. 142.

Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 1995, Hal. 7.

Musa, M., Peradilan Restoratif Suatu Pemikiran Alternatif Sistem Peradilan Anak di Indonesia, www.peradilanrestorative.com, diunduh tanggal 3 Januari 2012.

Soetodjo, Wagiati, Hukum Pidana Anak, PT Refika Aditama Bandung, Hal.11.

Sumitro, Irma Setyowati, Aspek Hukum Perlindungan Anak, Bumi Aksara, Jakarta, 1990, Hal.19.

Sutoyo, Johannes, Anak dan Kejahatan, Jurusan Kriminologi FISIP Universitas Indonesia dan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia, Jakarta, 1993, Hal. 63.

Exit mobile version