PENTINGKAH PELIBATAN ANAK DALAM POLITIK PRAKTIS

Sebenarnya anak yang dijadikan hiasan dalam kampanye terbuka selalu terjadi dihampir setiap pemilu. Hanya aja, pelibatan anak dalam kampanye Pemilihan Umum 2014 kali ini mendapatkan sorotan tajam dan apresiasi yang cukup besar dari berbagai kalangan, untuk tidak melibatkan anak dalam politik praktisnya. Hampir seluruh media massa cetak, elektronik dan radio mengangkat berita-berita pelarangan kampanye partai politik yang melibatkan anak-anak dalam persiapan kampanye terbuka yang akan digelar pada tanggal 16 Maret 2014 ini.

Sebagai respon terhadap beragam penyalahgunaan anak dalam kegiatan kampanye pemilu, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) telah lebih awal melakukan serangkaian antisipasi terkait hal tersebut melalui berbagai cara, baik sosialisasi kepada media massa maupun kepada penyelenggara pesta demokrasi yakni KPU dan peserta pemilunya, untuk tidak segan-segan mengeluarkan larangan terkait pelibatan anak dalam politik praktis termasuk menindak tegas bagi siapa saja yang melanggar ketentuan tersebut. Selain itu bersama mitra strategis perlindungan anak, KPAI juga telah membentuk Gerakan Semesta Perlindungan Anak, yang dilaksanakan pada tanggal 12 Maret 2014 di KPAI. Salah satu komitmen yang dihasilkan forum ini adalah pendeklarasian penguatan jejaring kemitraan demi mensinergikan strategi perlindungan anak dalam menyoroti beberapa persoalan perlindungan anak diantaranya pengawasan pelaksanaan kampanye ramah anak.

Seperti diketahui bersama, bahwa perangkat Peraturan Perundang-Undangan, sebenarnya telah memiliki payung hukum yang kuat untuk menjerat para pelanggar kampanye yang melibatkan anak-anak. Hal ini dapat kita menjumpai di arena kampanye hampir pasti di dalamnya terdapat anak-anak. Melihat kenyataan kejadian seperti itu, mereka para penyelenggara atau orang yang menjadi panitia sebenarnya sudah dapat dijerat hukum, karena yang dapat mendapatkan sanksi adalah perseorangan atau sejumlah orang yang bertindak sebagai penyelenggara. Sayangnya selama ini politisi ataupun elite partai politik selalu cuci tangan, mereka selalu punya alasan sehingga selalu bersih terhindar dari jeratan hukum.

Selama ini kegiatan kampanye pemilu masih dianggap sebagai sesuatu yang penting dalam berpolitik, karena pemilu sesungguhnya merupakan momentum pendidikan politik rakyat yang baik. Hanya saja dalam faktanya, kampanye hanya menjaring simpatik publik yang sesungguhnya diluar arena konsepsi yang sejati, karena hingga kini belum ada konsepsi yang paling mendekati demokratis selain model pemilu. Sehingga pemilu merupakan pilihan untuk meratakan pesta demokrasi sekaligus memastikan adanya kedaulatan rakyat.

Setelah genderang ditabuh Komisi Pemilihan Umum (KPU) tanda dimulainya kampanye terbuka bagi para peserta pemilu, anak sebagai bagian dari komponen bangsa yang sebelumnya ramai dibicarakan sebagai generasi penerus bangsa supaya jangan dilibatkan dalam politik praktis justru sering lenyap perhatiannya dari ingatan publik ketika hingar bingar pesta demokrasi sudah bertebaran dimana-mana sampai seantero nusantara ini. Anak yang seharusnya dilindungi dari penyalahgunaan kegiatan politik justru sering terabaikan dengan berbagai alasan, semua pihak lebih fokus memikirkan bagaimana jalannya pemilu bisa berjalan aman, lancar dan tertib tanpa ada gangguan kemanan maupun kecurangan dalam pelaksanaannya, ketimbang hanya mengurusi anak-anak yang ikut dalam kegiatan politik praktis.

Banyaknya bentuk-bentuk pelanggaran pelibatan anak dalam politik praktis dikarenakan masyarakat kurang tahu, barangkali model sosialisasi hak anak perlu dievaluasi, tetapi jika secara institusi semua Partai Politik sudah mendapatkan peringatan “warning” dari berbagai pihak terutama pemerhati perlindungan anak seperti KPAI, sejatinya bisa dikategorikan sebagai “pembangkangan” dan itu merupakan pelanggaran hak anak berat, karena sangat berbahaya bagi psikologis dan mental anak baik dalam waktu terbatas maupun berkelanjutan.

Menurut Undang-Undang Perlindungan Anak, penyalahgunaan anak dalam kampanye Pemilu melanggar hak anak. Terlebih dalam UU No. 10/2008 pasal 84 ayat 2 huruf j tentang kampanye menyebutkan bahwa dalam penyelenggaraan kampanye dilarang mengikutsertakan warga negara Indonesia yang tidak memiliki hak memilih. Klausul “warga negara Indonesia yang tidak memiliki hak memilih” masih bersifat umum. Bisa saja karena alasan tidak terdaftar, seseorang tidak memiliki hak pilih. Namun sejatinya anak-anak khususnya di bawah 17 tahun merupakan warga negara yang tidak memiliki hak pilih yang berarti bisa dikategorikan masuk dalam klausul tersebut.

Banyak pertimbangan mengapa anak dilarang dilibatkan dalam kegiatan politik, diantaranya; alasan ketidaksesuaian dengan perkembangan psikologis anak, alasan kenyamanan anak, hingga alasan terampasnya waktu anak untuk mengisi waktu luang secara berkualitas. Karena menurut UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, pasal 11 disebutkan “setiap anak berhak beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi dan kreasi sesuai dengan minat, bakat dan tingkat kecerdasannya demi kepentingan diri”.

Namun demikian, masih ada pihak yang merasa keberatan akan hal tersebut, karena menganggap bahwa pelibatan anak dalam kampanye sebenarnya tidak menjadi masalah. Asumsinya bahwa dalam Konvensi Hak Anak (KHA) tidak ada satu pasal pun yang mengatur masalah ini, yang ada adalah pasal-pasal yang mengatur mengenai perlindungan anak dari eksploitasi, kekerasan dan kemungkinan lain dimana anak dijadikan objek bagi keuntungan orang lain, baik secara seksual, ekonomi maupun kepentingan lainnya. Apalagi pasal 15 UU Perlindungan Anak, ayat (a) berbarengan dengan ketentuan untuk melindungi anak dari pelibatan dalam sengketa bersenjata, kerusuhan sosial, peristiwa yang mengandung unsur kekerasan maupun melibatkan anak di dalam peperangan. Sehingga konteksnya dianggap bukan dilarangan terlibat didalam aktivitas politik, tetapi dilindungi dari kegiatan yang diduga ada unsur penyalahgunaan, dan kekerasan yang dapat membahayakan proses tumbuh kembang mereka, terlebih kampanye pemilu dianggap bisa dijadikan media belajar bagi anak.

Sebaliknya, melibatkan anak dalam kampanye pemilu dianggap dapat membahayakan tumbuhkembang anak, karena tidak hanya dapat mengancam anak secara fisik dalam kampanye terbuka maupun arak-arakan kendaraan. Secara psikis juga dianggap dapat mengganggu kejiwaan anak yang belum matang dan belum siap menerima persaingan yang keras dalam berpolitik. Oleh karena itu, keberadaan pasal 15 (ayat a) UU Perlindungan Anak sesungguhnya lebih didasari sebagai tindakan preventif untuk melindungi anak.

Melihat penyebab mengapa anak bisa berada di tengah-tengah kampanye, sebenarnya bisa dengan mudah diketahui pihak mana yang terlibat. Jika seorang anak tampil di panggung kampanye dengan tujuan sebagai penarik massa, sudah pasti keberadaannya karena dengan sengaja dilibatkan oleh partai politik bersangkutan, sehingga partai politik tersebut sebenarnya dapat dituntut dengan menggunakan pasal 15 (ayat a) tersebut, namun jika keberadaannya bersama dengan orang tuanya, patut diduga bahwa anak tersebut sengaja diajak oleh orang tuanya, sehingga orang tuanya lah yang bisa dituntut.

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, adakah keberanian menuntut suatu partai politik, apalagi partai besar yang mempunyai kekuasaan maupun kekuatan? Terlebih partai politik dengan entengnya bisa saja mengelak bahwa keberadaan anak dalam kampanye, bukanlah dimobilisasi oleh partainya, tetapi diajak oleh orang tua atau keluarganya. Bahkan pihak yang menuntut bisa jadi akan dituntut balik dengan tuduhan mengancam jalannya pemilihan umum, atau ditunggangi oleh kepentingan partai politik lawannya. Yang lebih memprihatinkan lagi, jika semua (khususnya Aparat Penegak Hukum) beranggapan, bahwa pelanggaran tersebut lebih baik dibiarkan dengan alasan demi menjaga stabilitas politik nasional dan merawat kesinambungan agenda ketatanegaraan. Jikapun penegakan hukum dilakukan dipastikan hanya akan menyentuh pelanggaran-pelanggaran “kecil” yang tak akan banyak berarti bagi kualitas pemilu, dan tak akan bisa menyentuh elit-elit partai.

Bagaimana jika orangtua yang mengajak anaknya ikut dalam kampanye terbuka?, rasanya hal ini pun akan membawa dilema. Bisa jadi Ayah/Ibu (yang mengajak anaknya ikut kampanye) adalah pencari nafkah tunggal dalam keluarga. Bagaimana jika ayah/ibu tersebut divonis kurungan badan selama 5 tahun penjara? Tentu anaknya akan menjadi korban, karena mungkin terpaksa harus berhenti sekolah karena harus membantu mancari nafkah menggantikan peran ayah maupun ibunya mencari nafkah.

Apa yang bisa kita lakukan? Untuk menghindari pelibatan anak dalam kampanye dan politik praktis, sudah seharusnya dilakukan suatu kampanye jauh-jauh hari sebelum waktu kampanye tiba, dengan target atau sasaran keluarga untuk tidak mengijinkan atau mengajak anak-anak dalam kampanye pemilu. Jika ayah ingin ikut kampanye, sebaiknya anak di rumah saja dengan ibunya, begitu pula sebaliknya. Karena semua berangkatnya dari keluarga. Tanpa ada upaya seperti tersebut, maka pelanggaran kampanye pemilu berupa pelibatan anak dalam politik praktis, sebagaimana pelanggaran pemilu lainnya hanya akan menjadi catatan kritis pemilu yang hanya didokumentasikan tanpa ada ikhtiar perbaikan serius untuk melindungi anak dari eksploitasi yang dapat merugikan tumbuhkembang anak.

Sebagai refleksi dari kegiatan kampanye pada tahun-tahun sebelumnya, banyak kejadian pelibatan politik anak menghadirkan nasib buruk bagi anak. Tidak sedikit kasus akibat ugal-ugalan anak mengalami luka-luka mulai luka ringan hingga meninggal dunia, karena ditabrak oleh teman atau kelompok massa. Kondisi tersebut sebagai pertanda bahwa dalam konteks pelibatan anak dalam pemilu, kepedulian dan pemahaman parpol serta caleg ataupun orang tua terhadap pemenuhan dan perlindungan hak-hak anak sangatlah minim. Semoga kedepan bisa hadir parpol maupun caleg yang ramah anak…!!!

Exit mobile version