PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK KORBAN KEJAHATAN PERKOSAAN DALAM PEMBERITAAN MEDIA MASSA

Anak merupakan generasi penerus bangsa yang menbutuhkan perlindungan hukum khusus yang berbeda dari orang dewasa, dikarenakan alasan fisik dan mental anak yang belum dewasa dan matang. Perlindungan hukum anak diartikan sebagai upaya perlindungan hukum terhadap kebebasan dan hak asasi anak yang berhubungan kesejahteraanya. Pemberitaan media massa dihiasi oleh banyaknya tindak pemerkosaan yang terjadi. Berita yang diambil wartawan memperlihatkan identitas anak yang menjadi korban tindak pidana perkosaan. Pemberitan tersebut menimbulkan dampak terhadap anak.

Anak korban perkosaan hendaknya diberikan perlindungan dari media massa. Kenyataanya sering sekali dijumpai media massa memberitakan berita anak korban perkosaan. Pemberitaan media massa tersebut menimbulkan dampak yang kurang baik terhadap anak korban perkosaan. Adapun permasalahannya adalah bagaimana perlindungan hukum terhadap anak korban perkosaan dalam pemberitaan media massa, bagaimana upaya pencegahan terhadap anak korban kejahatan perkosaan dari pemberitaan media massa.

Perlindungan hukum terhadap anak korban kejahatan perkosaan dalam pemberitaan media massa menurut undang-undang diatur dalam Pasal 64 Undang-Undang 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Pasal 48 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, Pasal 14 dan 29 Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standart Program Siaran (P3SPS) Tahun 2012, Pasal 5 Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, dan Pasal 4 dan 5 Kode Etik Jurnalistik Tahun 2006.

Upaya pencegahan terhadap anak korban kejahatan perkosaan dalam pemberitaan media massa dengan cara memberikan pemahaman kepada jurnalis atau wartawan dalam memahami produk hukum, peraturan tentang anak, hak dasar anak. Jurnalis harus diberikan pelatihan khusus dalam mewawancarai anak korban perkosaan. Adanya kerjasama yang baik antara lembaga negara seperti KPAI, KPI, Dewan Pers dan Kepolisian dalam penanganan perlindungan hukum pencegahan stigmatisasi terhadap anak korban kerjahatan.

PENDAHULUAN
Anak-anak membutuhkan perlindungan dan perawatan khusus termasuk perlindungan hukum yang berbeda dari orang dewasa. Hal ini didasarkan pada alasan fisik dan mental anak-anak yang belum dewasa dan matang. Anak perlu mendapatkan suatu perlindungan yang telah termuat dalam suatu peraturan perundang-undangan. Setiap anak kelak mampu memikul tanggung jawab tersebut, maka ia perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal baik fisik, mental, sosial, berakhlak mulia perlu di dilakukan upaya perlindungan serta untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa dikriminatif.

Tindak kekerasan pada anak Indonesia masih sangat tinggi. Salah satu penyebabnya adalah paradigma atau cara pandang yang keliru mengenai anak. Hal ini menggambarkan seolah-olah kekerasan terhadap anak sah-sah saja karena anak dianggap sebagai hak milik orang tua yang dididik dengan sebaik-baiknya termasuk dengan cara yang salah sekalipun.

Media massa makin dihiasi oleh banyaknya tindak perkosaan yang terjadi di seluruh penjuru negeri. Tak hanya wanita dewasa, anak-anak perempuan yang masih di bawah umur pun turut menjadi korban.Banyaknya kasus kekerasan anak yang terjadi di Indonesia dianggap sebagai salah satu indikator buruknya kualitas perlindungan anak. Keberadaan anak yang belum mampu untuk hidup mandiri tentunya sangat membutuhkan orang lain sebagai tempat berlindung.

Berdasarkan catatan yang ada, tindak pemerkosaan paling banyak dilakukan oleh orang dekat seperti immediate family (ayah, paman, atau kakak), tetangga, teman sekolah dan kekasih yang memiliki intensitas interaksi yang cukup sering dengan korban. Namun tak jarang tindak tersebut dilakukan oleh orang asing bahkan oknum aparat.

Pemberitaan di televisi maupun media cetak sering menayangkan peristiwa kekerasan yang dalami oleh anak-anak. Berita wartawan sering memperlihatkan identitas dan wajah anak yang menjadi korban tindak pidana perkosaan.

Tindak pidana perkosaan seperti fenomena gunung es, angka perkosaan bisa jadi lebih besar karena korban tidak berani lapor ke pihak yang berwajib. Penyebabnya adalah korban dan keluarga takut akan stigmatisasi lingkungan dan pencitraan oleh media massa. Dalam media massa sering diberitakan berita-berita perkosaan diberitakan dengan judul vulgar. Tanpa disadari, baik media massa maupun masyarakat melakukan gang rape pada korban. Dimana media massa maupun masyarakat seperti tidak memahami perasaan korban dan keluarganya dalam pemberitaan4. Selain sudah menjadi korban perkosaan, korban tersebut masih harus menghadapi wawancara-wawancara yang tentu saja membuka lukanya, dan ditambah lagi dengan stigma atau pandangan mencemooh yang diberikan masyarakat sebagai orang yang sudah tercemar. Pihak keluarga pun kadang melakukan tindakan yang kurang bijaksana, demi menghindari aib keluarga korban justru menikahkan korban dengan pelaku. Bukannya menyelesaikan masalah, hal ini malah berpotensi memperburuk trauma korban.

Indonesia telah membentuk Undang-Undang Nomor 23 Nomor 2002 tentang Perlindungan Anak sebagai bentuk perhatian serius dari pemerintah dalam melindungi hak-hak anak. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak telah ditentukan adanya perlindungan terhadap pemberitaan identitas anak sebagai korban kejahatan. Penyimpangan atau pelanggaran terhadap
hak anak banyak terjadi. Terbukti dengan banyaknya kasus-kasus kriminalitas di televisi ataupun koran yang tidak melakukan perlindungan terhadap identitas anak sebagai korban kejahatan.

Perlindungan hukum terhadap anak korban kejahatan perkosaan dalam pemberitaan media massa Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Sebagaimana yang disebutkan pada pasal 1 angka (2) Ketentuan Umum Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, perlindungan anak adalah segala kegiatan yang menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh berkembang dan berpartisipasi, secara optimal sesuai harkat dan martabat kemanusiaan, serta medapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Tujuan perlindungan anak menurut undang-undang adalah untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskrimisasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera.

Di dalam pasal 59 Undang-Undang Perlindungan Anak, disebutkan bahwa perlindungan khusus wajib diberikan kepada anak yang berhadapan dengan hukum. Dalam pasal 64 ayat 1 dan 2 menyebutkan bahwa anak-anak yang berhadapan dengan hukum adalah anak-anak yang berkonflik dengan hukum dan anak korban kejahatan.

Perlindungan anak secara nasional telah memperoleh dasar pijakan yuridis diantaranya Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusional serta Pasal 21 sampai 24 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Adapun pengertian anak menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Pasal 17 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak juga mengatur bahwa “setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan. Selain itu, Pasal 64 ayat (2) huruf g juga mengatur “Perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi”.

Berdasarkan konteks Pasal 17 ayat (2) dapat diartikan bahwa kerahasiaan identitas anak tidak hanya ditujukan kepada pelaku kekerasan seksual, namun juga kepada korban kekerasan seksual serta setiap anak yang berhadapan dengan hukum. Perlindungan terhadap anak sebagai korban, maupun pelaku atau yang 10 Pasal 3 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak berhadapan dengan hukum diberikan secara merata terhadap semua jenis perkosaan.

Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban perkosaan sangat berkaitan dengan perlindungan identitas si anak dari pemberitaan media massa. Hal itu diatur dalam Pasal 64 ayat (3) butir b yang berbunyi, “upaya perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi”. Adapun yang dimaksud dengan labelisasi adalah tindakan yang memberikan image atau kesan tersendiri dari masyarakat yang akan menimbulkan suatu penilaian dari masyarakat terhadap anak korban perkosaan, misalnya si A adalah anak korban perkosaan, ketika nama dan wajah si A ditayangkan di media massa sebagai salah satu korban perkosaan, maka pandangan masyarakat terhadap si A akan berubah drastis. Masyarakat akan menganggapnya sebagai korban perkosaan, bahkan tak jarang dianggap sebagai orang yang kotor. Penilaian masyarakat ini akan terus mengikuti anak tersebut bahkan hingga si anak dewasa.

Dalam Pasal 59 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak diatur perihal kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dan lembaga negara lainya, untuk memberikan perindungan khusus kepada :

a. Anak dalam situasi darurat;
b. Anak yang berhadapan dengan hukum;
c. Anak dari kelompok minoritas dan terisolasi;
d. Anak tereksploitasi secara ekonomi dan atau atau seksual ;
e. Anak yang diperdagangkan;
f. Anak anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (NAPZA);
g. Anak korban penculikan, penjualan, dan perdagangan;
h. Anak korban kekerasan, baik fisik dan atau atau mental;
i. Anak yang menyandang cacat; dan
j. Anak korban perlakuan salah dan penelantaran.

Pasal 17 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak menyebutkan bahwa:

1. Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk:
a. Mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa;
b. Memperoleh bantuan hukum atau bantan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya yang berlaku; dan
c. Membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum.
2. Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan korban hukum berhak dirahasiakan.

Khusus untuk anak yang berhadapan dengan hukum, menurut Pasal 64 ayat (1) Undang-Undang tentang Perlindungan Anak, diarahkan pada anak-anak yang berkonflik dengan hukum dan anak korban tindak pidana. Berdasarkan Pasal 64 ayat (2) Undang-Undang tentang Perlindungan Anak, perlindungan bagi anak yang berhadapan dengan hukum dilaksanakan melalui:

a. Pelaksanaan hak secara manusiawi dengan martabat dan hak-hak anak.
b. Penyediaan sarana dan prasarana khusus;
c. Penyediaan petugas pendamping khusus bagi anak sejak dini;
d. Pemantauan dan pencatatan terus-terusan terhadap perkembangan anak yang berhadapan dengan hukum;
e. Pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua atau keluarga ; dan
f. Perlindungan dari pemberian identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi.

Menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, Pers mempunyai arti , yaitu pers dalam arti sempit yaitu yang menyangkut kegiatan komunikasi yang hanya dilakukan dengan perantaraan barang cetakan. Sedangkan pers dalam arti luas ialah yang menyangkut kegiatan komunikasi, baik yang dilakukan dengan media cetak maupun media elektronik seperti radio, televisi, maupun internet.

Pasal 3 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, menentukan bahwa fungsi pers ialah sebagai berikut :

1. Pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial.
2. Disamping fungsi-fungsi tersebut ayat (1), pers nasional dapat berfungsi sebagai lembaga ekonomi.

Adapun fungsi pers antara lain:
a. Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui menegakkan nilai nilai dasar demokrasi dan mendorong terwujudnya supremasi hukum dan hak asasi manusia.
b. Sebagai pelaku Media Informasi
c. Fungsi Pendidikan
d. Fungsi Hiburan
e. Fungsi Kontrol Sosial
f. Sebagai Lembaga Ekonomi

Kontrol masyarakat terhadap pers dimaksud adalah dengan dijaminnya setiap orang untuk menggunakan Hak Jawab dan Hak Koreksi. Menurut Pasal 1 ayat (11) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers, Hak Jawab adalah seseorang atau kelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya. Sedangkan menurut Pasal 1 ayat (10) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers, Hak Tolak adalah hak wartawan karena profesinya untuk menolak mengungkapkan nama dan atau identitas lainnya dari sumber berita yang harus dirahasiakannya.

Perlindungan terhadap korban kejahatan sebenarnya sudah diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers. Kode Etik Jurnalistik juga memiliki peran untuk melindungi anak korban perkosaan dari pemberitaan media massa. Hal ini terdapat dalam pasal 4 dan 5 Kode Etik Jurnalistik.

Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran mengatur bahwa jasa penyiaran yang dikenal dalam UU penyiaran ini adalah jasa peyiaran televisi dan jasa penyiaran radio.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran pada BAB V Pasal 48 mencantumkan mengenai Pedoman Perilaku Penyiaran, antara lain:

1. Pedoman perilaku penyiaran bagi penyelenggara siaran ditetapkan oleh KPI.
2. Pedoman perilaku penyiaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disusun dan bersumber pada:
a. Nilai-nilai agama, moral, dan peaturan perundang-undangan yang berlaku, dan;
b. Norma-norma lain yang berlaku dan diterima oleh masyarakat umum dan lembaga penyiaran.
3. KPI wajib menerbitkan dan mensosialisasikan pedoman perilaku penyiaran kepada Lembaga Penyiaran dan masyarakat umum.
4. Pedoman pelaku penyiaran menentukan standar isi siaran yang sekurangkurangnya berkaitan dengan :
a. Rasa hormat terhadap nilai-nilai agama;
b. Kesopanan dan kesusilaan;
c. Perlindungan terhadap anak-anak, remaja dan perempuan;
d. Pelarangan dan pembatasan adegan seks, kekerasan dan sadisme;
e. Penggolongan program menurut usia khalayak ;
f. Rasa hormat terhadap hak pribadi;
g. Penyiaran program dalam bahasa asing;
h. Ketetapan dan kenetralan program berita;
i. Siaran langsung;
j. Siaran iklan;
5. KPI memfasilitasi pembentukan kode etik penyiaran.

Peraturan yang dibuat KPI dalam rangka memberikan perlindungan terhadap anak-anak adalah peraturan Komisi Penyiaran Indonesia Tentang Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) Tahun 2012 yakni di dalam Pasal 14 dan pasal 29. Dalam Pasal 31 tentang Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) Tahun 2012 diatur tentang aturan melakukan wawancara terhadap narasumber yaitu: Lembaga penyiaran dalam menyiarkan wawancara atau perakapan langsung dengan penelepon atau narasumber wajib mengikuti keentuan sebagai berikut:

1. Memperoleh dan menyiman identitas nama, alamat, dan nomor telepon penelepon atau narasumber sebelum percakapan atau wawancara disiarkan; dan
2. Memiliki kemampuan untuk menguji kebenaran identitas penelepon atau narasumber tersebut.

Dalam peraturan KPI tentang Standart Program Siaran (SPS) tahun 2012 pada Pasal 18 dan 19 mengatur tentang pelarangan dan pembatasan seksualitas.

Dalam Pasal 43 peraturan KPI tentang Standart Program Siaran (SPS) Tahun 2012 pada butir d sampai f mengatur tentang perlindungan anak yang dalam penyiaran yaitu:

d. Tidak memberitakan secara terperinci reka ulang kejahatan meskipun bersumber dari pejabat kepolisian yang berwenang dan/ atau fakta pengadilan.
e. Tidak menayangkan reka ulang pemerkosaan dan/ atau kejahatan seksual.
f. Menyamarkan gambar wajah dan identitas pelaku, korban, dan keluarganya, serta orang yang diduga pelaku kejahatan seksual dan keluarganya.

Pasal 8 Undang-Undang Nomor 2002 ayat 2 butir d salah satu wewenang KPI adalah memberikan sanksi terhadap pelanggaran peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standard program siaran. Sanksi yang dapat dikenakan kepada Lembaga Penyiaran terdapat dalam Pasal 34 ayat 5 butir f Undang-Undang penyiaran yaitu berupa sanksi administratif, antara lain:

a. Teguran tertulis
b. Penghentian sementara mata acara yang bermasalah setelah melalui tahap tertentu
c. Pembatasan durasi dan waktu siaran
d. Denda administratif
e. Pembekuan kegiatan siaran untuk waktu tertentu
f. Tidak diberi perpanjangan izin penyelengaaan penyiaran
g. Pencabutan izin penyelengaraan penyiaran

Sanksi tersebut diatas akan dijatuhkan kepada penyelenggara siaran jika melanggar sekian pasal-pasal yang disebutkan pada Pasal 55 ayat (1) yang salah satu pasal yang ditunjuk ayat ini adalah pasal 34 ayat (5) huruf f.

Upaya pencegahan terhadap anak korban kejahatan perkosaan dalam pemberitaan media massa Upaya pencegahan terhadap anak korban kejahatan perkosaan dalam pemberitaan media massa dapat berasal dari beberapa lembaga yang terkait dengan perlindungan anak seperti:
a) Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)
Sebuah lembaga negara independen yang berdiri sesuai amanat Pasal 74 sampai dengan 76 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak bertugas untuk:

a. Melakukan sosialisasi seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak, mengumpulkan data dan informasi, menerima pegaduan masyarakat, melakukan penelaahan, pemantauan, evaluasi, dan pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan anak.
b. Memberikan laporan, saran, masukan, dan pertimbangan kepada Presiden dalam rangka perlindungan anak.

Dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak disebutkan “Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat, martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.”

Selain itu, dalam Pasal 17 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak disebutkan bahwa “Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan.”

Dalam Pasal 64 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak disebutkan bahwa,: Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui :
a. Perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak-hak anak;
b. Penyediaan petugas pendamping khusus anak sejak dini;
c. Penyediaan sarana dan prasarana khusus;
d. Penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan yang terbaik bagi anak;
e. Pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap perkembangan anak yang berhadapan dengan hukum;
f. Pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua atau keluarga; dan
g. Perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi.”

b) Dewan Pers
Melihat fenomena ini, berbagai upaya pun dilakukan untuk melindungi hak anak korban kekerasan seksual dari pemberitaan media massa yang seringkali menyudutkan dan memperburuk trauma yang sudah diderita anak korban kejahatan pemerkosaan. Dewan Pers yang terdiri dari 29 organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers Indonesia juga membuat Peraturan Dewan Pers Nomor 6 Tahun 2008 Tentang Kode Etik Jurnalistik yang berlaku bagi seluruh wartawan yang dalam Pasal 5 menyebutkan bahwa “Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan. “ Dalam penafsiran disebutkan bahwa:
a. Identitas adalah semua data dan informasi yang menyangkut diri seseorang yang memudahkan orang lain untuk melacak.
b. Anak adalah seorang yang berusia kurang dari 16 tahun dan belum menikah.

Selain diatur diatas, dalam pemberitaan wartawan juga terikat pada Pasal 4 Peraturan Dewan Pers Nomor 6 Tahun 2008 Tentang Kode Etik Jurnalistik yang berbunyi, “Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.”

c) Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)
Undang-Undang No 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran Pasal 48 ayat (4) Pedoman perilaku penyiaran menentukan standar isi siaran yang sekurangkurangnya berkaitan dengan:
a. rasa hormat terhadap pandangan keagamaan;
b. rasa hormat terhadap hal pribadi;
c. kesopanan dan kesusilaan;
d. pembatasan adegan seks, kekerasan, dan sadisme;
e. perlindungan terhadap anak-anak, remaja, dan perempuan;

Undang-Undang Dasar 1945 Tahun mengamanatkan, setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Dalam upaya perlindungan tersebut wartawan memegang peranan penting dalam posisinya untuk mengupayakan agar hak-hak anak dapat terpenuhi dan terlindungi melalui pemberitaan media massa seperti:

Prinsip
1) Wartawan menaati sepenuhnya Kode Etik Jurnalistik (KEJ)
2) Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
3) Wartawan wajib memahami martabat dan hak setiap anak dalam semua situasi.
4) Wartawan wajib melindungi kepentingan terbaik anak dalam setiap upaya advokasi maupun sosialisasi hak anak.
5) Wartawan wajib menghargai hak anak untuk memberikan pandangan sesuai dengan usia dan perkembangan anak.
6) Wartawan tidak boleh menempatkan cerita atau berita yang dapat membahayakan anak.

Peliputan
1) Sebelum melakukan wawancara sebaiknya wartawan membangun pendekatan kepada anak, baik sebagai korban, pelaku maupun saksi dalam tindakan kekerasan, serta keluarga atau wali korban kekerasan.
2) Wartawan wajib memperkenalkan diri sebagai wartawan kepada anak, baik sebagai korban, pelaku maupun saksi dalam tindak kekerasan, serta keluarga atau wali korban kekerasan.

3) Selama wawancara anak wajib didampingi keluarga, orangtua/wali atau orang dewasa yang ia percayai dan dipilih sendiri.

4) Dalam wawancara, perhatian khusus wajib diberikan pada hak priasi dan kerahasiaan anak, pendapat anak termasuk hak partisipasi mereka dalam menentukan setiap keputusan pemberitaan yang berdampak pada anak harus dihargai.

5) Wartawan menghinari pertanyaan atau komentar yang menghakimi dan menyuruh melakukan reka ulang peristiwa kekerasan yang dapat menempatkan anak dalam keadaan bahaya, atau yang dapat menimbulkan trauma.

Pemberitaan
1) Gunakan inisial nama untuk anak baik sebagai korban, pelaku atau saksi dalam tindak kekerasan atau yang terindikasi/terangkit penyakit yang menimbulkan stigma buruk.
2) Tidak menggunakan bahasa yang vulgar/porno.
3) Hindari pemuatan/penayangan foto, grafis dan audio visual terhadap anak sebagai korban, pelaku, atau saksi, terkecuali mendapat persetujuan tertulis dari anak dan orang tua/wali.
4) Tidak mengeksploitasi anak untuk kepentingan media.
5) Mengadvokasi pemenuhan hak anak sebagai korban, pelaku atau saksi.
6) Membuat pemberitaan yang menghasilkan efek pencegahan agar orang tidak melakukan tindak kejahatan terhadap anak.
7) Gunakan istilah Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH) untuk sebutan anak yang berstatus sebagai tersangka, terdakwa maupun terpidana sedang istilah Anak Yang Dilacurkan untuk sebutan anak yang dipekerjakan sebagai pekerja seks.

d) Polri
Adanya Telegram Rahasia Kabareskrim POLRI: TR/1124/XI/2006 Tanggal 16 November 2006 Tentang Pedoman Penanganan dan Perlakuan Terhadap Anak Berhadapan Dengan Hukum, Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. Pol. : 10 Tahun 2007 Tentang pembuatan Organisasi Dan Tata Kerja Unit Pelayanan Perempuan Dan Anak (Unit PPA ) serta turut menandatangani Surat keputusan Bersama antar 6 instansi, yakni Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Menteri Hukum Dan Ham Republik Indonesia, Menteri Sosial Republik Indonesia, Dan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Tentang Penanganan Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum.

PENUTUP :
1. Perlindungan hukum terhadap anak korban kejahatan perkosaan dalam pemberitaan media massa diatur dalam beberapa peraturan yaitu :
a. Undang-Undang 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, diatur dalam Pasal 64.
b. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, dalam melakukan penyelenggaraan penyiaran, setiap penyelenggara harus memenuhi BAB V Pedoman perilaku penyiaran pada pasal 48.
c. Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standart Program Siaran (P3SPS) tahun 2012 yang dimuat dalam pasal 14 dan pasal 29.
d. Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers,diatur secara umum dalam pasal 5.
e. Kode Etik Jurnalistik yang diatur dalam surat keputusan dewan pers nomor: 03/SK-DP/III/2006 yakni dalam pasal 4 dan pasal 5.

2. Upaya pencegahan terhadap terhadap anak korban kejahatan perkosaan dalam pemberitaan media massa:
a. Adanya kerja sama yang baik antara instansi pemerintah dalam melindungi anak dalam pembeitaan media massa seperti Polri, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)) , Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan dewan pers.
b. Wartawan wajib menaati sepenuhnya Kode Etik Jurnalistik (KEJ).
c. Wartawan wajib memahami martabat dan hak setiap anak dalam setiap situasi.
d. Wartawan wajib melindungi kepentingan terbaik anak dalam setiap upaya advokasi maupun sosialisasi hak anak.
e. Wartawan wajib menghargai hak anak untuk memberikan pandangan sesuai usia dan perkembangan anak.
f. Selama wawancara anak wajib didampingi keluarga, orang tua / wali atau orang dewasa yang ia percayai dan dipilih sendiri.
g. Gunakan inisial nama untuk anak baik sebagai korban, pelaku atau saksi dalam tindak kekerasan atau yang terindikasi/terangkit penyakit yang menimbulkan stigma buruk.
h. Tidak menggunakan bahasa yang vulgar/porno.
i. Hindari pemuatan/penayangan foto, grafis dan audio visual terhadap anak sebagai korban, pelaku, atau saksi, terkecuali mendapat persetujuan tertulis dari anak dan orang tua/wali.
j. Tidak mengeksploitasi anak untuk kepentingan media.
k. Mengadvokasi pemenuhan hak anak sebagai korban, pelaku atau saksi.
l. Membuat pemberitaan yang menghasilkan efek pencegahan agar orang tidak melakukan tindak kejahatan terhadap anak.
m. Gunakan istilah Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH) untuk sebutan anak yang berstatus sebagai tersangka, terdakwa maupun terpidana sedang istilah Anak Yang Dilacurkan untuk sebutan anak yang dipekerjakan sebagai pekerja seks.

SARAN :
Berdasarkan kesimpulan tersebut, maka saran yang dapat diberikan untuk memberikan perlindungan terhadap anak korban perkosaan dalam pemberitaan media massa adalah:

1. Perlunya kerjasama yang baik antar lembaga seperti: Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Polri, dan Dewan Pers dalam memberikan perlindungan terhadap anak korban perkosaan dalam pemberitaan media massa. Perlunya sosialisasi yang aktif antara Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Dewan Pers terhadap lembaga penyiaran di daerah untuk mencegah terjadinya stigmatisasi terhadap pemberitaan anak korban perkosaan dalam pemberitaan media massa.

2. Perlunya sosialisasi yang aktif antara Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), dan Dewan Pers terhadap lembaga penyiaran di daerah untuk mencegah terjadinya pemberitaan media massa terhadap anak korban kejahatan perkosaan.

Exit mobile version