PERLINDUNGAN TERHADAP ANAK KORBAN MALPRAKTIK

Tuntutan terhadap malpraktik kedokteran seringkali kandas di tengah jalan karena sulitnya pembuktian. Dalam hal ini pihak dokter perlu membela diri dan mempertahankan hak-haknya dengan mengemukakan alasan-alasan atas tindakannya. Baik penggugat dalam hal ini pasien, pihak dokter maupun praktisi (hakim dan jaksa) mendapat kesulitan dalam menghadapi masalah malpraktik kedokteran ini, terutama dari sudut teknis hukum atau formulasi hukum yang tepat untuk digunakan. Masalahnya terletak pada belum adanya hukum dan kajian hukum khusus tentang malpraktik kedokteran yang dapat dijadikan pedoman dalam menentukan dan menanggulangi adanya malpraktik kedokteran di Indonesia. Untuk itu perlu dikaji kembali kebijakan formulasi hukum pidana yang dapat dikaitkan dengan kelalaian atau malpraktik kedokteran khususnya di dalam memberikan perlindungan hukum terhadap korban malpraktik khususnya adalah anak.

Hubungan Dokter Pasien
Hubungan antara dokter dan pasien secara yuridis dapat dimasukkan ke dalam golongan kontrak. Suatu kontrak adalah pertemuan pikiran (meeting of minds) dari dua orang mengenai suatu hal. Pihak pertama mengikatkan diri untuk memberikan pelayanan, sedangkan pihak kedua menerima pemberian pelayanan tersebut. Pasien datang kepada dokter untuk diberikan pelayanan pengobatan sedangkan dokter menerima untuk memberikannya.

Dengan demikian maka sifat hubungannya mempunyai 2 ciri:
1. Adanya suatu persetujuan (consensual agreement),atas dasar saling menyetujui dari pihak dokter dan pasien tentang pemberian pelayanan pengobatan.
2. Adanya suatu kepercayaan (fiduciary), karena hubungan kontrak tersebut berdasarkan saling percaya mempercayai satu sama lain.

Tinjauan tentang Malpraktek Oleh Tenaga Medis
Malpraktek Medis adalah suatu tindakan medis yang dilakukan oleh tenaga medis yang tidak sesuai dengan standartd tindakan sehingga merugikan pasien, hal ini di kategorikan sebagai kealpaan atau kesengajaan dalam hukum pidana. Malpraktek medis menurut Kamus besar Bahasa Indonesia adalah praktik paktek kedoteran yang dilakukan salah atau tidak tepat menyalahi undang-undang atau kode etik .
Malpraktek medis menurut J. Guwandi meliputi tindakan-tindakan sebagai berikut :
1. Melakukan sesuatu yang seharusnya tidak boleh dilakukan oleh seorang tenaga kesehatan.
2. Tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan atau melalaikan kewajiban.
3. Melanggar suatu ketentuan menurut perundang-undangan.

Selanjutnya dari beberapa pendapat pakar Guwandi memberikan pengertian bahwa malpraktek dalam arti luas dibedakan antara tindakan yang dilakukan :
1. Dengan sengaja (dolus, vorsatz, intentional) yang dilarang oleh Peraturan Perundang-undangan, seperti dengan sengaja melakukan abortus tanpa indikasi medis, euthanasia, memberikan keterangan medis yang isinya tidak benar.
2. Tidak dengan sengaja (negligence, culpa) atau karena kelalaian, misalnya menelantarkan pengobatan pasien, sembarangan dalam mendiagnosis penyakit pasien.

Selanjutnya dikatakan perbedaan antara malpraktek murni dengan kelalaian akan lebih jelas jika dilihat dari motif perbuatannya sebagai berikut :
1. Pada malpraktek (dalam arti sempit), tindakannya dilakukan secara sadar, dan tujuan dari tindakan memang sudah terarah pada akibat yang hendak ditimbulkan atau tidak peduli terhadap akibatnya, walaupun ia mengetahui atau seharusnya mengetahui bahwa tindakannya adalah bertentangan dengan hukum yang berlaku.
2. Pada kelalaian, tindakannya tidak ada motif atau tujuan untuk menimbulkan akibat. Timbulnya akibat disebabkan kelalaian yang sebenarnya terjadi di luar kehendaknya.

Dengan demikian di dalam malpraktek medis terkandung unsur-unsur kesalahan yang tidak berbeda dengan pengertian kesalahan didalam hukum pidana, yaitu adanya kesengajaan atau kelalaian termasuk juga delik omissi yang menimbulkan kerugian baik materiil maupun inmmateriil terhadap pasien. Dalam perkembangannya malpraktek medis harus dibedakan dengan kecelakaan medis. Hal ini oleh karena keduanya sepintas tampak sama, walaupun sebenarnya mempunyai unsur yang berbeda sehingga mempengaruhi pertanggungjawaban pidananya.

Dalam malpraktek medis, dokter yang melakukannya telah memenuhi unsur-unsur kesalahan, seperti adanya kesengajaan dan kelalaian, kecerobohan serta tidak melakukan kewajibannya (omissi) sebagaimana ditentukan dalam standar pelayanan medis dan standar prosedur operasional dalam menangani penyakit pasien, sehingga peristiwa malpraktek dapat dituntut pertanggungjawaban pidana. Sementara itu kecelakaan medis merupakan sesuatu yang dapat dimengerti, dimaafkan dan tidak dipersalahkan, karena dalam kecelakaan medis dokter sudah bersikap hati-hati, teliti dengan melakukan antisipasi terhadap kemungkinan timbulnya akibat-akibat pada pasien sesuai dengan standar pelayanan medis dan standar prosedur operasional, namun kecelakaan (akibat yang tidak diharapkan) timbul juga. Hal ini mengingat setiap tindakan medis sekecil apapun selalu mengandung risiko, dan dalam kecelakaan medis dokter tidak dapat dituntut pertanggungjawabannya karena risiko yang terjadi merupakan risiko yang ditanggung oleh pasien (inherent risk) seperti reaksi alergik, shock anafilatik, hipersensitif terhadap obat yang sukar diduga sebelumnya yang dapat berakibat fatal seperti kematian, cardilac arrest, kerusakan otak, koma, lumpuh, dan sebagainya.

Tinjauan Umum Tentang Perlindungan terhadap Korban
Menurut Andi Matalatta, pengertian korban yang mendasari lahirnya kajian viktimologi, pada awalnya hanya terbatas pada korban kejahatan, yaitu korban yang timbul sebagai akibat dari pelanggaran terhadap ketentuan hukum pidana materiil . Kebijakan terhadap perlindungan kepentingan korban merupakan bagian yang integral dari usaha meningkatkan kesejahteraan sosial yang tidak dapat dilepaskan dari tujuan negara, yaitu untuk “melindungi segenap bangsa Indonesia” dan “untuk memajukan kesejahteraan umum”, atau dengan kata lain bahwa kebijakan terhadap perlindungan korban pada hakikatnya merupakan bagian yang integral dari kebijakan perlindungan masyarakat secara keseluruhan, yaitu dalam rangka mencapai kesejahteraan sosial. Oleh sebab itu memberikan perlindungan kepada individu korban malpraktek sekaligus juga mengandung pengertian memberikan pula perlindungan kepada masyarakat, karena eksistensi individu dalam hal ini adalah sebagai unsur bagi pembentukan suatu masyarakat, atau dengan kata lain, bahwa masyarakat adalah terdiri dari individu-individu, oleh karena itu, antara masyarakat dan individu saling tali-menali. Konsekuensinya adalah, bahwa antara individu dan masyarakat saling mempunyai hak dan kewajiban. Walaupun disadari bahwa antara masyarakat dan individu, dalam banyak hal mempunyai kepentingan yang berbeda, akan tetapi harus terdapat “keseimbangan” pengaturan antara hak dan kewajiban di antara keduanya itu.

Dilakukannya kejahatan terhadap seseorang anggota masyarakat, akan menghancurkan sistem kepercayaan yang telah melembaga dan pengaturan hukum pidana dan lain-lain berfungsi untuk mengembalikan kepercayaan tersebut karena masyarakat dipandang sebagai sistem kepercayaan yang melembaga (system of institutionalized trust). Tanpa kepercayaan ini maka kehidupan sosial tidak mungkin berjalan dengan baik. Agar peraturan-peraturan hukum ini dapat berlangsung terus dan diterimanya oleh seluruh anggota masyarakat, maka peraturan-peraturan hukum yang ada harus sesuai dan tidak lebih bertentangan dengan asas-asas keadilan dari masyarakat tersebut.
Sebagaimana diketahui, bahwa sistem hukum pidana yang selama ini diikuti berorientasi pada si pembuat kejahatan saja (criminal oriented). Hal ini tampak pada unsur-unsur hukum pidana terdiri atas perbuatan melawan hukum, pembuat, dan pidana. Hukum Pidana yang demikian itu mengakibatkan ketidakpuasan bagi anggota masyarakat, terutama yang menjadi korban dan keluarganya.

Sistem hukum pidana yang sekarang diikuti masih berat sebelah yaitu hanya memikirkan pembuat kejahatan dengan melupakan korban. Padahal, unsur pembuat dan unsur korban bagaikan satu mata uang, pasti terdapat dua sisi yang tidak dapat dipisahkan. Suatu tindak pidana terjadi karena antar hubungan korban-pembuat. Hubungan pembuat kejahatan dengan korban adalah sebagai dua subyek yang berhadapan, sehingga unsur-unsur hukum pidana terdiri atas perbuatan melawan hukum, pembuat, korban, dan pidana.

Argumen untuk mengedepankan perlindungan hukum terhadap korban malpraktek adalah berdasarkan argumen kontrak sosial (social contract argument) dan argumen solidaritas sosial (social solidarity argument). Adapun yang pertama menyatakan, negara boleh dikatakan memonopoli seluruh reaksi sosial terhadap kejahatan dan melarang tindakan-tindakan yang bersifat pribadi (eigenrichting).

Oleh karena itu, bilamana terjadi kejahatan dan membawa korban, maka negara juga harus bertanggungjawab untuk memperhatikan kebutuhan para korban tersebut. Argumen yang kedua menyatakan bahwa, negara harus menjaga warga negaranya dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya atau apabila warga negaranya mengalami kesukaran, melalui kerjasama dalam masyarakat berdasarkan atau menggunakan sarana-sarana yang disediakan oleh negara. Hal ini dapat dilakukan melalui peningkatan pelayanan dari pengaturan hak.

Berdasarkan pemikiran ini, dapat dikatakan perlindungan terhadap korban merupakan wujud salah satu kewaijban pemerintah kepada warganya, karena korban mempunyai hak untuk itu. Perlindungan korban dapat berupa perlindungan korban secara langsung dalam bentuk pemberian ganti rugi oleh si pelaku tindak pidana kepada korban, yang disebut sebagai “restitusi”; dan ganti kerugian yang diberikan oleh negara kepada korban sebagai tersangka, terdakwa, terpidana atau pihak lain yang mendapat perlakuan/tindakan tanpa alasan yang berdasarkan peraturan.

Perundang-undangan yang berlaku yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. Ganti kerugian seperti ini disebut sebagai “kompensasi”. Restitusi dan kompensasi merupakan bagian atas kebijakan dalam upaya mengurangi penderitaan korban. Tujuan membuat kebijakan guna mengurangi penderitaan bagi korban dikatakan sebagai tujuan yang terpenting, karena dengan demikian akan dapat lebih memberdayakan masyarakat serta menjamin kehidupannya. Jenis kerugian yang diderita oleh korban, bukan saja dalam bentuk fisik seperti biaya-biaya yang telah dikeluarkan untuk penyembuhan luka fisik serta kemungkinan hilangnya pendapatan ataupun keuntungan yang mungkin akan diperoleh, tetapi juga kerugian yang bersifat nonfisik yang sukar bahkan mungkin tidak dapat dinilai dengan uang.

Menurut Barda Nawawi Arief, pengertian “perlindungan korban” dapat dilihat dari dua makna yaitu :
1. dapat diartikan sebagai perlindungan hukum untuk tidak menjadi korban tindak pidana” (berarti perlindungan HAM atau untuk kepentingan hukum seseorang);

2. dapat diartikan sebagai “perlindungan untuk memperoleh jaminan/santunan hukum atas penderitaan/kerugian orang yang telah menjadi korban tidak pidana” (Identik dengan penyantunan korban). Bentuk santunan itu dapat berupa pemulihan nama baik (rehabilitasi), pemulihan keseimbangan batin (antara lain, dengan permaafan), pemberian ganti rugi (restitusi, kompensasi, jaminan/santunan kesejahteraan sosial), dan sebagainya.

Dari dua makna perlindungan korban tersebut, maka pada dasarnya ada dua sifaf perlindungan yang dapat diberikan secara langsung oleh hukum, yaitu bersifat preventif berupa perlindungan hukum untuk tidak menjadi korban tindak pidana dan represif berupa perlindungan untuk memperoleh jaminan/santunan hukum atas penderitaan/kerugian orang yang telah menjadi korban tidak pidana Terkait dua sifat perlindungan korban yang dapat diberikan oleh hukum tersebut, maka pada hakikatnya perlindungan yang bersifat preventif dan represif memegang peranan yang sama pentingnya dalam memberikan perlindungan terhadap masyarakat mengingat masyarakat yang telah menjadi korban tidak boleh begitu saja dibiarkan menderita tanpa ada upaya perlindungan apapun dari negara dan sebaliknya mencegah masyarakat menjadi korban juga merupakan titik tekan yang utama.

Konsep perlindungan korban selama ini dipandang sebagai hak hukum pada hakikatnya adalah bagian dari masalah perlindungan hak asasi mahusia, sehingga pada dasarnya konsep hak asasi manusia dapat di pandang sebagai hak hukum. Apabila konsep hak asasi manusia di pandang sebagai hak hukum, maka mempunyai dua konsekuensi normatif, yaitu :

1. kewajiban bagi penanggung jawab (pihak yang dibebani kewajiban) untuk menghormati/tidak melanggar hak atau
2. memenuhi klaim yang timbul dari hak;
3. dan reparasi jika kewajiban tersebut dilanggar/tidak dipenuhi.

Dengan mengacu pada penerapan perlindungan hak-hak korban kejahatan sebagai akibat dari terlanggamya hak asasi yang bersangkutan, maka dasar dari perlindungan korban kejahatan dapat dilihat dari beberapa teori, di antaranya sebagai berikut :

1. Teori utilitas
Teori ini menitikberatkan pada kemanfaatan yang terbesar bagi jumlah yang terbesar. Konsep pemberian perlindungan pada korban kejahatan dapat diterapkan sepanjang memberikan kemanfaatan yang lebih besar dibandingkan dengan tidak diterapkannya konsep tersebut, tidak saja bagi korban kejahatan, tetapi juga bagi sistem penegakan hukum pidana secara keseluruhan.

2. Teori tanggung jawab
Pada hakikatnya subjek hukum (orang maupun kelompok) bertanggung jawab terhadap segala perbuatan hukum yang dilakukannya sehingga apabila seseorang melakukan suatu tindak pidana yang mengakibatkan orang lain tenderita kerugian (dalam arti luas), orang tersebut harus bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkannya, kecuali ada alasan yang membebaskannya.

3. Teori ganti kerugian
Sebagai perwujudan tanggung jawab karena kesalahnya terhadap orang lain, pelaku tindak pidana dibebani kewajiban untuk memberikan ganti kerugian pada korban atau ahli warisnya.

Konsep perlindungan terhadap korban secara teoritis dapat dilakukan berbagai cara, yaitu baik melalui langkah-langkah yuridis yang diiringi juga dengan langkah non-yuridis dalam bentuk tindakan-tindakan pencegahan. Konsep perlindungan terhadap korban kejahatan diberikan tergantung pada jenis penderitaan/kerugian yang diderita oleh korban. Sebagai contoh, untuk kerugian yang sifatnya mental/psikis tentunya bentuk ganti rugi dalam bentuk materi/uang tidaklah memadai apabila tidak disertai upaya pemulihan mental korban. Sebaliknya, apabila korban hanya menderita kerugian secara material (seperti, harta bendanya hilang) pelayanan yang sifatnya psikis terkesan terlalu berlebihan. Konsep perlindungan korban melalui langkah-Iangkah yuridis salah satunya melalui kebijakan hukum pidana baik dari segi hukum materiial maupun dari segi hukum formil.

Bertolak dari uraian di atas, maka kerugian/penderitaan yang dialami korban dapat dibedakan antara yang bersifat fisik/materiil (dapat diperhitungkan- dengan uang) dan yang sifatnya immaterial (misalnya berupa perasaan takut, sedih, sakit, kejutan psikis, dan lain-lain). Arif Gosita telah berusaha merumuskan secara rinci hak-hak dan kewajiban korban yang seharusnya melekat pada korban antara lain adalah sebagai berikut :
1. Hak Korban
a. Si korban berhak mendapatkan kompensasi atas penderitaannya, sesuai dengan taraf kererlibatan korban itu sendiri dalam terjadinya kejahatan tersebut.
b. Berhak menolak, kompensasi untuk kepentingan pembuat korban (tidak mau diberikan kompensasi) karena tidak memerlukannya.
c. Berhak mendapatkan kompensasi untuk ahli warisnya bila si korban meninggal dunia karena tindakan tersebut.
d. Berhak mendapat pembinaan dan rehabilitasi.
e. Berhak mendapat kembali hak miliknya.
f. Berhak menolak menjadi saksi bila hal itu akan membahayakan dirinya.
g. Berhak mendapat perlindungan dari ancaman pihak pembuat korban bila melapor atau menjadi saksi.
h. Berhak mendapat bantuan penasehat hukum.
i. Berhak mempergunakan upaya hukum (rechtmiddelen).

2. Kewajiban Korban
a. Tidak sendiri membuat korban dengan mengadakan pembalasan (main hakim sendiri).
b. Berpartisipasi dengan masyarakat mencegah pembuatan korban lebih banyak lagi.
c. Mencegah kehancuran si pembuat korban baik oleh diri sendiri maupun oleh orang lain.
d. Ikut serta membina pembuat korban.
e. Bersedia dibina atau membina diri sendiri untuk tidak menjadi korban lagi.
f. Tidak menuntut restitusi yang tidak sesuai dengan kemampuan pembuat korban.
g. Memberikan kesempatan kepada pembuat korban untuk membayarkan restitusi pada pihak korban sesuai dengan kemampuannya (mencicil bertahap/imbalan jasa).
h. Menjadi saksi bila tidak membahayakan diri sendiri dan ada jaminan.

Dalam kaitan ini, peranan korban perlu dikaji agar dalam mempertimbangkan tingkat kesalahan pembuat kejahatan benar-benar sesuai dengan derajat kesalahan yang dilakukan, agar pembuat, dan korban masing-masing diberi tanggung jawab atas terjadinya suatu tindak pidana secara adil. Peranan korban akan menentukan hak untuk memperoleh jumlah restitusi, tergantung pada tingkat peranannya terhadap terjadinya tindak pidana yang bersangkutan, dan demikian juga dalam proses peradilan pidana.

Pengaturan Perlindungan Korban Malpraktik Anak
Beberapa tahun terakhir ini ada banyak sekali kasus malpraktik yang terjadi, seperti kasus pemotongan usus yang tadinya 7 cm kemudian menjadi 20cm (2008), kemudian malpraktik yang mengakibatkan kebutaan pada anak pada saat di inkubator (2009), selain itu juga masih banyak kasus-kasus yang terjadi. Upaya hukum untuk melindungi anak sebagai korban malpraktik yakni melalui Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan juga berdasarkan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

Pada dasarnya, berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, anak didefinisikan sebagai seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Pada kasus-kasus malpraktik terhadap anak, pada dasarnya berdasarkan Pasal 8 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak bahwa, ”Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial.”

Ketika adanya malpraktik pun yang mengakibatkan cacat pada anak tersebut, maka anak pun masih memiliki hak yang berdasarkan Pasal 12 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak bahwa,”Setiap anak yang menyandang cacat berhak memperoleh rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial.”

Pemenuhan hak-hak ini didukung juga oleh Pasal 5 ayat (2) Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan bahwa,”Setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau.” Namun, jika adanya malpraktik yang dilakukan oleh tenaga medis, maka berdasarkan Pasal 58 ayat (1) Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan bahwa,”Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya.”

Oleh karena korban dapat meminta ganti rugi, maka dapat didasarkan pada Pasal 77 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yakni bagi tenaga medis yang melakukan tindakan malpraktik ini dapat dikenakan Pasal 77 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak bahwa, “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan tindakan:

a. Diskriminasi terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami kerugian, baik materiil maupun moril sehingga menghambat fungsi sosialnya; atau

b. Penelantaran terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami sakit atau penderitaan, baik fisik, mental, maupun sosial, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).”

Referensi :

Arief, Barda Nawawi. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007. Hal. 61.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Depdikbud,1990 Cetakan ke- 3. Hal. 551.

Dikdik, M Arief Mansur dan Elisatris Gultom. Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan (Antara Norma dan Realita). Jakarta: PT. Radja Grafindo Persada, 2006. Hal 162.

Guwandi, J. Dokter, Pasien dan Hukum. Jakarta: Fakultas Kedokteran UI, 1996. Hal 11.

Guwandi, J. Hukum Medik (Medical Law). Jakarta: Fakultas Kedokteran UI, 2004. Hal. 24.

Sahetapy, JE. Karya Ilmiah Para Pakar Hukum, Bunga Rampai. Bandung: Viktimasi, 1995. Hal. 65.

Exit mobile version