PERNIKAHAN DINI dan PENJUALAN ANAK

Sebelum tahun 1974, pernikahan di Indonesia dilakukan dalam dua cara: menurut hukum Islam untuk kaum Muslim, dan menurut budaya atau adat setempat, untuk penduduk lainnya. Masing-masing adat mempunyai perlakuan yang berbeda terhadap perempuan dalam pernikahan, dengan sebagian hukum adat menunjukkan tingkat kesetaraan yang tinggi bagi perempuan dan yang lainnya tidak. Pada masa ini, perjodohan dan pernikahan dini lazim dialami perempuan (Berninghausen & Kerstan, 1991).

Undang-undang (UU) Perkawinan No. 1/1974 menyatukan seluruh peraturan yang mengatur pernikahan dan perceraian. Dalam UU ini lelaki didefinisikan sebagai kepala rumah tangga dan pemberi nafkah bagi keluarga; peran seorang perempuan adalah sebagai istri dan ibu. Kendati demikian UU 1974 tersebut memberikan perempuan hak yang sama dalam pengambilan keputusan menyangkut hak milik bersama, hak yang sama untuk menggugat cerai, dan hak yang sama untuk membuat keputusan yang mengikat secara hukum. UU tersebut juga berperan besar dalam menaikkan usia perempuan pada pernikahan pertama, yang secara umum berfungsi meningkatkan posisi perempuan dalam pernikahan (Berninghausen & Kerstan, 1991: 107-108). Namun perbudakan berkedok pernikahan masih terus berlangsung di Indonesia. Berdasarkan UU Perkawinan No.1/1974, perempuan Indonesia diizinkan untuk menikah pada usia 16 tahun atau lebih muda jika mendapat izin dari pengadilan.

Alasan-alasan yang diberikan untuk pernikahan dini antara lain:
1) Kepercayaan di banyak komunitas bahwa perempuan mencapai kedewasaan setelah mengalami menstruasi pertamanya dan karena itu harus dinikahkan. Praktik ini rupanya masih umum dilakukan di kalangan keluarga Jawa dan Sunda (Anwar et al., 1999: 47);

2) Ketakutan bahwa jika seorang perempuan tidak menikah, berarti ia tidak laku (Oey-Gardiner, 1999: 5). Menjadi ‘perawan tua’ dikatakan membawa aib bagi nama baik orang tua perempuan itu. Mengingat pentingnya peran sosial perempuan sebagai istri dan ibu, jika seorang perempuan tidak menikah, ia akan menderita stigma sosial (Niehof, 1992: 168; ESCAP, 1998: 39);

3) Kekhawatiran terhadap keperawanan anak perempuan. Mengingat kehormatan keluarga berhubungan dengan keperawanan dan kesucian seorang perempuan, hal ini mempunyai arti yang sangat penting (Niehof, 1992: 168);

4) Kemiskinan. Lebih cepat seorang gadis menikah, lebih cepat pula orang tuanya akan terlepas dari beban untuk menghidupinya (ESCAP, 1998: 39), meskipun alasan ini hanya berlaku dalam kelompok-kelompok di mana perempuan akan keluar dari rumah setelah menikah (yaitu, pola tempat tinggal patrilokal dan neolokal).

Tradisi budaya pernikahan dini menciptakan masalah sosio-ekonomi untuk pihak lelaki maupun perempuan.dalam perkawinan tersebut. Tetapi implikasinya terutama terlihat jelas bagi gadis/perempuan. Masalah-masalah yang mungkin akan muncul bagi perempuan dan gadis yang diketahui melakukan pernikahan dini antara lain adalah:

1. Dampak buruk pada kesehatan. Kehamilan prematur menyebabkan tingkat kematian ibu yang lebih tinggi dan perempuan muda pada khususnya rawan terhadap infeksi yang menular dari hubungan seksual, antara lain HIV/AIDS.

2. Pendidikan terhenti. Anak perempuan biasanya akan berhenti sekolah setelah menikah dan jarang kembali ke sekolah (atau diizinkan untuk kembali), walaupun sudah bercerai.

3. Kesempatan ekonomi terbatas. Karena mereka mempunyai tingkat pendidikan dan tingkat melek huruf yang rendah, serta pengalaman kerja yang terbatas, anak perempuan menghadapi keterbatasan pilihan pekerjaan dan umumnya kondisi kerja dan gaji yang buruk.

4. Perkembangan pribadi terhambat. Anak perempuan, secara emosional, sosial atau ekonomi tidak diberi bekal untuk hidup mandiri, suatu isu yang semakin menonjol ketika pernikahan dini kemudian disusul oleh perceraian dini.

5. Tingkat perceraian yang tinggi. Di Indonesia ada korelasi yang kuat antara pernikahan dini dan perceraian. Melalui pernikahan dini yang karena mental baik suami maupun istri masih anak-anak yang belum dewasa sehingga kurang mampu menyelesaikan masalah, maka rentan sekali timbulnya perceraian dengan menghasilkan banyak anak atau mungkin tidak sama sekali. Timbul permasalahan ketika perceraian dengan membawa anak yang banyak tetapi pihak suami tidak mau memberikan nafkah, maka dengan kondisi demikian sang Ibu muda ini akan rentang sekali menjadi Pekerja Seks Komersial (PSK) karena ketiadaan pendidikan yang memadai namun dengan keadaan terhimpit ekonomi, harus tetap membiayai anaknya yang masih kecil tanpa bantuan pihak suami. Menjadi PSK merupakan jalan pintas bagi Ibu muda tanpa pendidikan untuk mendapatkan banyak uang. Sehingga, dari pernikahan dini, sama saja orang tua menjual anak secara tidak langsung ke dalam dunia eksploitasi seksual.

Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, anak didefinisikan sebagai seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Terkait pernikahan dini, walaupun Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan mengarur bahwa usia minimum anak perempuan untuk menikah ialah 16 tahun, karena masih di bawah 18 tahun, maka ia tetaplah anak yang harus dilindungi oleh keluarganya.

Terkait pernikahan dini, Pasal 26 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak bahwa, ”Orang tua berkewajiban dan bertanggung jaab untuk:

a. Mengasuh, memelihara, mendidik dan melindungi anak;
b. Menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya; dan
c. Mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.”

Namun, ketika pernikahan dini sebagaimana telah disebutkan di atas adalah untuk mendapatkan uang dari mas kawin dan untuk melepaskan tanggung jawab ekonomi, dapat dikatakan bahwa anak tersebut dijual oleh orang tuanya karena orang tua akan mendapatlan mas kawin sesuai dengan permintaan kepada pihak calon suami. Atas tindakan ini, orang tua seperti itu dapat dipidana berdasarkan Pasal 83 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak bahwa:

”Setiap orang yang memperdagangkan, menjual, menculik anak untuk diri sendiri atau untuk dijual, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).” Bahkan tindakan orang tua ini dapat ditambah ketentuan pidana dengan diperberat 1/3 dari pidana yang telah dijatuhkan padanya.

Adanya pernikahan dini ini membuat anak menjadi putus sekolah, padahal pada Pasal 49 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak bahwa,”Negara, pemerintah, keluarga, dan orang tua wajib memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada anak untuk memperoleh pendidikan.” Hal ini juga didukung Pasal 60 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 bahwa:

(1) Setiap anak berhak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya sesuai dengan minat, bakal, dan tingkat kecerdasannya.

(2) Setiap anak berhak mencari, menerima, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat intelektualilas dan usianya demi pengembangan dirinya sepanjang sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan.

Dengan ketentuan pasal tersebut, tidak seharusnya orang tua memutuskan pendidikan anak dengan alasan ekonomi. Pernikahan dini juga dapat dijadikan kedok dari pihak suami yang dapat saja terjadi di kemudian hari, ia menjual istrinya pada pihak lain atau juga memanfaatkan istrinya sebagai PSK agar pihak suami mendapatkan uang tanpa perlu bersusah payah. Jadi, paradigma yang harus diubah dari pandangan orang tua ialah tradisi tidak menikah muda sam dengan tidak laku, karne bukan berarti anak perempuan tidak menikah dini dicap tidak laku, karena banyak waktu yang dapat digunakan oleh anak tersebut untuk meraih masa depan yang lebih baik.

Selain itu, alasan ekonomi dan kemiskinan yang mengakibatkan orang tua menikahkan anaknya, sama saja dengan tindakan menjual anak mereka ke pihak suami yang dapat menjerumuskan anaknya sendiri kelak. Oleh karenanya, perlu diperhatikan kepentingan terbaik bagi anak, hak untuk berpendapat oleh anak khususnya memilih pasangan hidup, hak untuk mendapatkan pendidikan serta hak untuk tidak diekspliotasi secara ekonomi maupun seksual.

Exit mobile version