PERUBAHAN IDENTITAS ANAK: BENTUK PEMALSUAN IDENTITAS ANAK UNTUK MENGHILANGKAN JEJAK SALAH SATU ORANG TUA

Anak dalam Pasal 1 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, didefinisikan sebagai seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Pada Pasal 7 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dikatakan bahwa,” Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri.”Salah satu kasus yang mungkin muncul ialah ketika satu orang tua yang tidak mendapatkan hak asuh (Ayah) tidak mendapatkan ijin untuk bertemu dengan anaknya yang berada di bawah hak kuasa asuh Ibu. Meskipun Pengadilan menetapkan bahwa hak asuh memang berada di bawah kuasa Ibu mengingat anak korban cerai itu masih di bawah 12 tahun, dan menetapkan Ayah hanya boleh bertemu dalam jangka waktu tertentu, si Ayah tetap berhak bertemu anak itu namun tidak digubris oleh si Ibu.

Syarat untuk Ibu mendapatkan hak asuh ialah si Ibu memiliki penghasilan namun hal ini masih ada alternatif lain yakni jika Ibu tidak bekerja, masih ada kerabat dekat Ibu seperti orang tua, adik, atau kakak pihak Ibu yang dapat mendukung finansial Ibu dan anak yang akan diasuhnya kelak; kedua, Ibu tidak dalam keadaan sakit atau cacat tubuh atau hal-hal lain yang mengakibatkan Ibu tidak dapat melakukan perannya sebagai Ibu seperti mengasuh, merawat, dan lainnya, namun hal ini masih dapat dialternatifkan dengan adanya kerabat dekat yang dapat membantu Ibu merawat anak disamping anak juga dapat dirawat oleh suster; ketiga, Ibu tidak memiliki perangai atau tingkah laku buruk seperti minum-minuman keras, berjudi, melakukan kekerasan pada anak, atau bahkan pernah dipidana. Jika Ibu memenuhi ketiga syarat ini, maka layaklah ia mendapatkan hak asuh pada anak. Namun, selain ketiga syarat itu, ada hal lain yang perlu diperhatikan yakni apabila anak masih di bawah 12 tahun, maka hak asuh akan jatuh ke tangan Ibu.

Ketika anak sudah beranjak 12 tahun lebih, maka anak dapat ditanyakan kembali keinginannya untuk tinggal dengan siapa apakah dengan pihak Ayah atau Ibu atau bahkan dengan pihak lainnya yang ia kehendaki. Apabila anak menghendaki tinggal dengan Ayah, maka yang tadinya berada di bawah hak kuasa Ibu, maka Ayah harus mengajukan penetapan ke pengadilan dimana hak asuh dijatuhkan, agar ditetapkan bahwa anak tersebut mau tinggal dengan Ayah. Hal ini didasarkan adanya penghargaan terhadap pendapat anak yang dilindungi oleh Negara yang dimuat dalam Pasal 2 huruf (d) UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Jika diasumsikan bahwa Ibu berusaha mencoba menghilangkan jejak ayahnya. Seperti mengatakan bahwa ayahnya sudah meninggal kepada anaknya yang apalagi masih batita. Batita yang masih tidak mengerti apa-apa akan menjadi korban dalam keluarganya yang aman akan kehilangan peran ayah. Dengan menyatakan hal demikian agar anak menganggap ayahnya sudah meninggal, tentu Ibu telah melanggar Pasal 7 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Penunjukkan Ibu sebagai pemegang hak kuasa asuh terhadap anak tersebut berdasarkan Pasal 32 huruf (a) UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa penetapan pengadilan tidak memutuskan hubungan darah antara anak dan orang tuanya. Sehingga, tidak seharusnya Ibu memutuskan hubungan darah anak dengan ayahnya dengan mendoktrinasi anak bahwa ayahnya sudah meninggal dunia. Selain itu, jika Ibu merasa terpojok karena tidak memegang identitas anak seperti akta kelahiran, dan lainnya, maka Ibu akan mencari cara untuk mendapatkan identitas anak kembali dengan berbagai cara termasuk mengaburkan identitas anak yang sebenarnya.

Dapat dimungkinkan Ibu akan mengubah identitas anak kandungnya seolah-olah anak adopsi dari pihak lain. Hal ini dapat membuat Ibu dipidanakan karena dapat dianggap pemalsuan data. Hal ini diatur dengan Pasal 39 ayat (2) UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak bahwasanya pengangkatan anak tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dan orang tua kandungnya. Hal ini didukung juga Pasal 59 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia bahwa, “Setiap anak berhak untuk tidak dipisahkan dari orang tuanya secara bertentangan dengan kehendak anak sendiri, kecuali jika ada alasan dan aturan hukum yang sah yang menunjukan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak.”

Apabila seolah-olah Ibu mengangkat anak yang sebenarnya merupakan anak kandungnya untuk menutupi jejak Ayahnya, maka dengan kata lain Ibu memalsukan identitas anak agar tidak dapat mengetahu Ayahnya dan berusaha memutuskan hubungan darah dengan Ayah, maka Ibu telah melanggar ketentuan pasal ini. Oleh karenanya, menurut Pasal 79 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yakni, ”Setiap orang yang melakukan pengangkatan anak bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam…Pasal 39 ayat (2)…, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).” Hal ini dapat diperberat dengan ketentuan Pasal Pasal 277 ayat (1) KUHP yakni,”Barang siapa dengan salah satu perbuatan sengaja menggelapkan asal-usul orang, diancam karena penggelapan asal-usul, dengan pidana penjara paling lama enam tahun.”

Unsur perbuatan sengaja menggelapkan asal-usul orang ini termasuk juga asal-usul anaknya sendiri. Kemudian, bagi pihak yang seolah-olah menjadi orang tua kandung anak tersebut, maka dapat dikenakan Pasal 278 KUHP yakni,”Barang siapa mengakui seorang anak sebagai anaknya menurut peraturan Kitab Undang- undang Hukum Perdata, padahal diketahuinya bahwa dia bukan ayah dari anak tersebut, diancam karena melakukan pengakuan anak palsu dengan pidana penjara paling lama tiga tahun.”

Apabila benar-benar dapat dibuktikan bahwa Ibu berlaku demikian guna menghapus jejak Ayahnya, maka Ibu dapat langsung ditindak pidana. Hal ini akan mengakibatkan hak asuh kepada Ayah dengan mengajukan ke pengadilan bahwa Ibu telah melakukan perbuatan pidana dan pengadilan akan langsung dapat menjatuhkan hak asuh ada di tangan Ayah. Karena pada dasarnya yang berhak atas anak tersebut ialah Ayah dan ibu yang bersangkutan. Jika kedua orang tua meninggal dunia, barulah kakek atau nenek yang mendapatkan hak asuh, begitu seterusnya hingga derajat ketiga. Namun, jika tidak ada yang layak diberikan hak asuh, maka akan diserahkan pada Negara yang pada umumnya akan dirawat pada Yayasan Sayap Ibu sebagai tempat pengangkatan anak yang direkomendasi oleh Negara.

Oleh karenanya, sangat diharapkan baik Ibu maupun Ayah atau siapapun yang mendapatkan hak asuh kelak terhadap anak, tidak menghapus atau memutus hubungan darah antara anak dengan orang tua kandungnya. Jika salah satu pihak belum nekat hingga demikian, maka masih dapat dilakukan mediasi agar timbul kesepakatan antar kedua belah pihak demi kepentingan terbaik anak. Namun, jika mediasi tidak mampu menyelesaikan, maka upaya akhir yakni upaya hukum harus ditempuh. Namun, jika salah satu pihak atau siapapun yang memalsukan identitas anak itu, maka karena sudah ranah pidana, mediasi tidak diperlukan lagi melainnkan proses hukumlah yang akan dilakukan.

Hal terpenting yang harus diperhatikan oleh orang tua yang menjadi inti dari hak asuh anak sebagai bentuk perlindungan terhadap anak ialah bahwa berdasarkan Pasal 3 ayat (1) Konvensi Hak Anak yang mana hal ini didukung juga dalam Pasal 2 huruf (b), bahwa:

“Penyelenggaran perlindungan anak berasaskan pancasila dan berlandaskan Undang-undang Dasar Negara Rrepublik Indonesia Tahun 1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-Hak Anak, meliputi:

a. Non diskriminasi;
b. Kepentingan terbaik bagi anak;
c. Hak hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan; dan
d. Penghargaan terhadap pendapat anak.

Semoga dengan tulisan ini, dapat memberikan informasi singkat pada masyarakat bahwasanya tidak seharusnya perceraian orang tua, anak yang menjadi korban untuk tidak mendapatkan kasih sayang dari salah satu pihak apalagi hingga menghapus identitasnya untuk mengetahui Ayah atau Ibu kandungnya.

Exit mobile version