PETA PERMASALAHAN PERLINDUNGAN ANAK DI INDONESIA

Berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan perlindungan anak telah diterbitkan. Bahkan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak telah diatur dengan jelas tentang perlindungan anak sampai kepada aturan sanksi pidana bagi yang melanggar hak anak. Dalam Undang-Undang tersebut juga dijelaskan bahwa penyelenggaraan perlindungan anak adalah orang tua, keluarga, pemerintah dan negara.

Merebaknya berbagai kasus perlindungan anak tentu saja memprihatinkan kita semua. Keluarga sebagai institusi utama dalam perlindungan anak ternyata belum sepenuhnya mampu menjalankan peranannya dengan baik. Kasus perceraian, disharmoni keluarga, keluarga miskin, perilaku ayah atau ibu yang salah, pernikahan sirri, dan berbagai permasalahan lainnya menjadi salah satu pemicu terabaikannya hak-hak anak dalam keluarga.

Ironisnya lagi, dalam institusi sekolah juga kerap terjadi tindak kekerasan maupun diskriminasi pendidikan pada anak. Demikian pula pada institusi sosial lainnya seperti yayasan/panti, nampak masih belum sama dalam memaknai kepentingan terbaik bagi anak. Bahkan pada penanganan anak yang berhadapan hukum, hak-hak anak masih perlu terus mendapatkan perhatian.

Pada kenyataannya, berbagai persoalan pelanggaran hak anak kerap masih terjadi dan dianggap biasa oleh masyarakat kita, bahkan kalau diperkirakan cenderung meningkat seiring dengan meningkatnya masalah kritis seperti kemiskinan, ketidakadilan, kerawanan bencana baik bencana alam maupun bencana sosial, akses pornografi dan pornoaksi, disintegrasi bangsa, sindikat perdagangan narkoba dan sebagainya. Berita dari berbagai media baik media cetak, online maupun elektronik terhadap amaraknya kasus tindakan kekerasan pada anak maupun anak yang berhadapan hukum merupakan informasi yang tidak dapat disangkal bahwa kasus-kasus tersebut sering menghiasi pemberitaan di media massa. Belum lagi kasus yang tidak terungkap, karena luput dari pemberitaan media atau memang sama sekali tidak ada yang mengetahui maupun melaporkan tentang pelanggaran terhadap hak anak tersebut.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), seperti yang diamanatkan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, juga bertugas menerima pengaduan masyarakat yang berkaitan dengan perlindungan anak. Melalui Bidang Data dan Pengaduan yang dibentuk oleh KPAI, berbagai macam kasus–kasus perlindungan anak terus mengalir datang dan diadukan kepada KPAI.

Pada sisi lain, perlindungan terhadap anak yang terlibat tindak pidana pelanggaran hukum sering diperlakukan seperti orang dewasa. Hal ini juga merupakan pelanggaran terhadap hak anak. Tindak kekerasan terhadap anak semakin bervariasi ragam, bentuk, dan tempatnya, mulai terjadi dari lingkungan rumah tangga, yayasan/panti asuhan, sekolah, pondok pesantren, dan tempat umum lainnya (jalanan, terminal, stasiun), yang tidak banyak diketahui kejadiannya, karena kurangnya kepedulian masyarakat terhadap perlindungan anak.

Berbagai permasalahan perlindungan anak yang terjadi di Indonesia dapat dilihat dari berbagai bidang perlindungan anak, diantaranya :

BIDANG HAK SIPIL DAN KEBEBASAN
a. Akta kelahiran merupakan hak dasar setiap anak yaitu hak atas pengakuan sah suatu negara terhadap keberadaannya. Basis hak ini tidak hanya berdasarkan pertimbangan status kewarganegaraan, tetapi terkait erat dengan aspek proteksi berlangsungnya tumbuh kembang anak dalam setiap fase perkembangan. Menurut UUD 1945, Pasal 28B ayat (2) : “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Dalam beberapa kasus, anak yang tidak memiliki akte kelahiran sering memunculkan perlakukan salah seperti; pemalsuan identitas, dan semacamnya. Kondisi ini semakin meneguhkan pihak negara dan pemerintah perlunya political will terhadap pemenuhan akte kelahiran.

b. Di pihak lain, UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, Pasal 27 ayat (1) menegaskan “Setiap kelahiran wajib dilaporkan oleh Penduduk kepada instansi pelaksana ditempat terjadinya peristiwa kelahiran paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak kelahiran. Pasal 32 ayat (2) : “Pencatatan kelahiran yang melampaui batas waktu 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan berdasarkan penetapan Pengadilan Negeri”. Sementara, menurut UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Pasal 27 ayat (1) : “Identitas diri setiap anak harus diberikan sejak kelahirannya”. Sementara Pasal 28 ayat (1) menegaskan “Pembuatan akta kelahiran menjadi tanggung jawab Pemerintah yang dalam pelaksanaannya di selenggarakan serendah–rendahnya pada tingkat kelurahan/desa. Kemudian, pada Pasal 28 ayat (3) : “Pembuatan akta Kelahiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dikenai biaya. Dengan demikian jika mengintegrasikan dua pasal tersebut, makna yang terkandung di dalamnya adalah posisi pemerintah menjadi “pemenuh”, dan bukan “sekedar membuat atau mencetak akte kelahiran”. Perspektifnya adalah pendekatan “right” bukan “need”. Karena, jika akte kelahiran menjadi “right” anak, maka dalam kondisi apapun, tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu, negara dan pemerintah wajib memenuhi akte kelahiran anak, tanpa pungutan biaya. Dengan demikian, klausul “tidak dikenai biaya” dalam pasal tersebut di atas secara substantif telah menanggalkan “perilaku liar” yang dilakukan oleh pihak ketiga dalam proses penerbitan akte kelahiran dengan dalih “uang administrasi”. Karena “tafsir yuridis tidak dipungut biaya”, itu sama dengan “gratis”, dan tak ada makna lain selain itu. Meskipun istilah “gratis” sendiri sebenarnya dapat pula dipahami negatif, seolah-olah “pemerintah sebagai dewa bagi warganya”, padahal sejatinya bukan itu, “pemerintah hanyalah sebagai eksekutor dari konstitusi untuk memenuhi hak warganya”.

c. Meski demikian, pada level operasional, pemerintah terhambat oleh kendala ketidakharmonisan konstitusi. Jika berkaca pada UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Pasal 28 intinya “Pembuatan akta kelahiran gratis dan menjadi tanggungjawab pemerintah”. Sementara dalam UU No. 18 tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang kemudian diubah dengan UU No. 34 tahun 2000 dan ditindaklanjuti dengan PP 66/2001 : Daerah diberi kewenangan memungut retribusi penggantian biaya cetak KTP dan akta Capil (termasuk akta kelahiran). Dalam konteks ini menandakan adanya kelemahan pada level konstitusi yang inkonsisten.

d. Selain itu, masalah inkonsistensi dengan semangat pemenuhan akte kelahiran gratis yang diamanatkan undang-undang terjadi di beberapa daerah. Dengan dalih lebih dari 60 hari, kemudian alasan urutan anak ke dua, ketiga, dan seterusnya. Dalam beberapa kasus daerah yang memiliki Peraturan Daerah (Perda) Gratis, tetapi di dalamnya terdapat klausul kebijakan mengikat bahwa untuk anak kedua dan ketiga penerbitan akta kelahiran dipungut biaya. Apakah kebijakan demikian senafas dengan Undang-undang?. Bukankah suatu Perda seharusnya tidak bertentangan dengan undang-undang?. Bagaimana sesungguhnya konsistensi kebijakan pemenuhan akta kelahiran gratis yang menjadi mandat konstitusi?.

e. Di pihak lain, pada level kelompok kebijakan, hasil monitoring dan evaluasi, tergambar bahwa banyak persoalan yang terkait dengan masalah pelaksanaan prinsip Pendaftaran Penduduk (Population Administration) yang tidak sejalan dengan prinsip Pencatatan Sipil, khususnya mengenai makna pemberian status hukum otentik kepada anak yang juga merupakan bagian tidak terpisahkan dari Perlindungan Anak (baik ditegaskan oleh KHA maupun UU PA). Jalan keluar untuk mengatasi kerumitan tersebut kelihatannya hanya bisa dicarikan melalui revisi berbagai Peraturan Perundang-undangan yang berlawanan dengan semangat Perlindungan Anak. Salah satu ganjalan utama adalah interpretasi yang seringkali sepihak oleh pihak Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil dengan mendasarkan diri kepada UU Adminduk (UU No. 23 Tahun 2006) dan peraturan turunannya (seperti PP No. 37 Tahun 2007, Perpres No. 25 Tahun 2008 dan berbagai Peraturan Menteri Dalam Negeri). Meskipun sudah ada upaya untuk mencari jalan keluar atas berbagai hambatan yang terjadi selama ini, misalnya melalui Nota Kesepahaman 8 Menteri, namun di lapangan Nota Kesepahaman ini belum tersosialisasi dengan baik, bahkan ada juga daerah yang memilih jalan aman dengan tetap mengacu kepada prosedur standar yang banyak hambatannya kepada anak tersebut. Dengan demikian, upaya terpenting yang perlu dilakukan adalah merevisi Peraturan Perundang-undangan yang ada sebagai prioritas, mengingat pelaksana di lapangan cenderung menerapkan aturan secara kaku sesuai dengan bidang masing-masing tanpa mengacu kepada peraturan perundang-undangan yang bersifat prinsip, seperti misalnya kepada masalah Perlindungan Anak yang seharusnya menjadi butir yang masuk ke semua (cross-cutting) permasalahan yang ada.

BIDANG KELUARGA DAN PENGASUHAN ALTERNATIF
Masalah pokok perlindungan anak bidang keluarga dan pengasuhan alternatif di dominasi oleh kasus-kasus yang berakar dari kerentanan keluarga baik rentan secara ekonomi, sosial, kemasyarakatan dan religiusitas keagamaan, diantaranya :

a. Penelantaran Anak menjadi masalah serius dan seperti fonomena gunung es, yang terus menunjukan tren peningkatan. Kasus-kasus penelantaran anak memiliki motif yang sangat beragam, kasus yang dominan adalah kasus anak jalanan, pembuangan dan penelantaran bayi serta anak telantar karena orang tua bekerja.

b. Perebutan Hak Kuasa Asuh Anak, perceraian orang tua adalah sumber dari masalah perebutan hak kuasa asuh anak. Kasus perceraian tidak lepas dari rendahnya kualitas perkawinan, maraknya perkawinan siri, kawin kontrak, perkawinan campuran dan perkawinan di usia dini menjadi sumber masalah perceraian, pada hal semestinya perkawinan adalah sebuah perjanjian luhur antara dua insan yang salah satu fungsinya merupakan lembaga reproduksi untuk mempertahankan dan melanjutkan keberlangsungan kehidupan yakni lahirnya keturunan (anak).

c. Angka perkawinan dini, di Indonesia secara nasional sangat tinggi, yakni mencapai 34,5 %. Dengan jumlah angka perkawinan mencapai 2,5 juta pasangan pertahun, berarti ada sekitar 600 pasangan perkawinan dini. Tinginya angka perkawinan di usia dini sangat memprihatinkan dan mengkawatirkan karena perkawinan dini diduga menjadi salah satu penyebab tinginya angka kematian bayi di Indonesia yakni 34/1000 perkawinan. Banyak perkawinan dini dilakukan pada usia 11-13 tahun, yang secara fisik belum siap untuk reproduksi. Perkawinan dini sebagian besar dilakukan tanpa pencatatan oleh negara (nikah siri) karena petugas pencatat perkawinan (penghulu) tidak bersedia mencatat karena tidak sesuai dengan UU Perkawinan.

d. Perwalian dan Pengangkatan Anak, Praktek perwalian dan pengangkatan anak mayoritas dilakukan secara adat, sehingga proses pengangkatan anak tidak diputuskan melalui putusan pengadilan dan mayoritas tidak tercatat di dinas sosial, sehingga berakibat pada kaburnya silsilah keluarga anak dan juga berpengaruh terhadap hak kewarisan anak. Perkawinan campuran berbeda kewarganegaraan juga memunculkan masalah perwalian, karena menyangkut keabsahan kewarganegaraan anak yang dilahirkan, maka diperlukan kejelian hakim dalam memutuskan perwalian anak dengan mengedepankan kepentingan terbaik bagi anak.

e. Rendahnya Kualitas Lembaga Pengasuhan Alternatif, Berdasarkan penelitian Save The Children, Unicef dan Kementerian Sosial Republik Indonesia pada tahun 2007 terdapat 5.000-8.000 lembaga pengasuhan alternatif di Indonesia dalam bentuk Panti Asuhan Anak. Penyelenggara panti asuhan anak ini mayoritas dimiliki oleh masyarakat yakni sebesar 99% dan hanya 40 panti asuhan anak yang dimiliki oleh pemerintah. Anak-anak ditempatkan di Panti asuhan didasarkan atas alasan kemiskinan yakni sebesar 90% dan karena alasan yatim piatu sebesar 6%. Kualitas panti asuhan masih sangat rendah, rasio perbandingan pengasuh dengan anak yang di asuh tidak se imbang, kualitas pengasuh panti tidak sesuai standar, bahkan kasus kekerasan anak dengan dalil penegakan disiplin dan agama juga ditemui dalam sistem pengasuhan berbasis panti. Sarana prasarana yang terbatas menyebabkan anak tidak dalam situasi yang lebih baik berada di panti asuhan.

BIDANG KESEHATAN DAN KESEJAHTERAAN DASAR
a. Gizi Buruk, Gizi buruk merupakan masalah yang perlu mendapat perhatian dan penanganan cepat dan menjadi pekerjaan utama bagi Pemerintah dan Negara. Saat ini belum adanya suatu penanganan gizi buruk yang holistik menyebabkan kasus gizi buruk dikalangan balita semakin meningkat. Berdasarkan data Prevalensi Balita kurang gizi dan buruk menurut indicator berat badan di Indonesia tahun 2010 menunjukkan 4,9 balita Indonesia kurang gizi dari jumlah populasi anak usia 0-4 tahun sebesar 21.571.500.

b. Pelayanan kesehatan, pelayanan kesehatan yang masih rendah perlu mendapatkan perhatian lebih, karena masih ada pelayanan kesehatan yang mengabaikan hak anak. Setiap anak berhak mendapatkan pelayanan kesehatan karena mnerupakan hak asasi anak. Sering kali rumah sakit maupun kilinik pegobatan yang masih mengabaikan pelayanan kepada keluarga yang tidak mampu seperti keluarga yang memiliki Jamkesmas muapun Jampersal. Tidak jarang anak yang kurang mendapatkan pelayanan yang diakibatkan karena tidak memilki uang jaminan di rumah sakit. Disisi lain ada juga anak yang kehilangan nyawa karena kelalaian dan terlambat dalam penanganan.

c. Anak korban Narkoba dan HIV/AIDS, masalah narkoba merupakan masalah yang tidak saja terjadi dikalangan orang dewasa saja, tetapi juga dialami oleh anak-anak. Berbagai hasil penelitian menunjukkan angka penggunaan narkoba di Indonesia semakin meningkat, serta penyalahgunaan banyak terjadi pada anak dan remaja. Data BNN 2010 menyebutkan, pengguna narkoba mencapai 3,6 juta orang. Rinciannya generasi muda dan usia produktif adalah pengguna narkoba terbanyak. Mereka terdiri dari mahasiswa dan pelajar berjumlah 921.695. Sementara sebanyak 17.734 pengguna narkoba mendapat terapi dan rehabilitasi pada 2010.

d. Rokok, jumlah perokok pada kalangan anak dan remaja meningkat terus setiap tahunnya. Komisi Perlindungan Anak Indonesia memperkirakan ada 21 juta anak Indonesia menjadi perokok dan meningkat setiap tahunnya.Jumlah anak merokok mulai meningkat mulai 2001. Tahun ini diperkirakan ada kenaikkan hingga 38 persen dari jumlah anak yang merokok di Indonesia, tingkatnya diperkirakan mencapai 80 persen. Prevalensi anak merokok di Indonesia sudah pada tingkat sangat memprihatinkan. Kini usia prevalensi anak merokok bergeser hingga usia tujuh tahun. Karena itu, harus segera dikeluarkan larangan merokok bagi anak-anak.

e. Pemberian ASI dan Susu Formula, Target MDG4 adalah menurunkan angka kematian bayi dan balita menjadi 2/3 dalam kurun waktu 1990 – 2015. Penyebab utama kematian bayi dan balita adalah diare dan pneumonia dan lebih dari 50% kematian balita didasari oleh kurang gizi. Pemberian ASI secara eklusif selama 6 bulan dan diteruskan sampai usia 2 tahun disamping pemberian makanan pendamping ASI (MP ASI) secara adekuat terbukti merupakan salah satu intervensi efektif dapat menurunkan AKB. Dalam pelaksanaannya tidak semua aktor melaksanakan kebijakan tersebut dengan bukti cakupan pemberian ASI eklusif masih rendah dibawah target nasional (80%).

BIDANG PENDIDIKAN, REKREASI DAN AKTIVITAS BUDAYA
a. Masalah Ujian Nasional (UN). Posisi KPAI dalam menyikapi UN tetap memberikan suara kritus, karena banyaknya pengaduan masyarakatkan yang mengeluhkan UN yang telah menjelma menjadi bentuk kekerasan psikis terhadap anak. Tidak sedikit anak yang stress, jatuh sakit, bahkan bunuh diri saat menghadapi UN. Oleh karena itu KPAI akan terus berada pada posisi kritis agar evaluasi pendidikan lebih kredibel dan akuntabel. Dalam pandangan KPAI, UN akan memiliki nilai akuntabilitas tinggi apabila dilaksanakan oleh sekolah sesuai dengan semangat otonomi sekolah, sementara Pemerintah bertindak sebagai pengawas dan membuat rambu-rambu standar kualitas. UN yang dipaksakan bertentangan dengan perspektif “Sekolah Ramah” anak, di mana sejak dari masuk pertama, proses belajar mengajar, hingga evaluasi anak harus mengikuti dengan rasa gembira.

b. Minimnya sarana dan prasarana pendidikan, penyediaan anggaran 20% dari APBN dan APBD untuk pendidikan juga belum sepenuhnya terealisasi. Terlebih khusus alookasi anggaran untuk sarana dan prasarana yang sangat minim. Sehingga masih banyak ditemukan sekolah dengan kondisi bangunan tidak layak pakai dan minim sarana serta prasarana pendukung lainnya. Terlebih untuk sekolah non formal yang kurang mendapat perhatian dari pemerintah. Akhir-akhir ini sering kita jumpai gedung sekolah yang roboh atau mengalami kerusakan yang parah. Berdasarkan investigasi yang dilakukan terhadap banyanknya sekolah rusak, 80% diantarnya karena kondisi fisik bangunan yang sudah tua. Sementara sisanya diakubatkan kondisi konntruksi dan faktor alam.

c. Diskriminasi Pendidikan, Hak anak untuk mengakses pendidikan sering tidak didapat diantaranya akibat adanya sistem penerimaan siswa berbasis nilai dan mekanisme seleksi yang penyebarannya tidak berdasar Rayon. Hal ini menyebabkan calon siswa yang tidak memenuhi kualifikasi tidak bisa diterima di sekolah yang diharapkan. Pemberlakuan mekanisme seleksi siswa baru yang ketat ini juga terjadi pada sekolah negeri. sehingga calon siswa dari kalangan miskin yang tidak memenuhi kualifikasi terpaksa harus sekolah di sekolah swasta yang biaya pendidikannya lebih mahal dibanding sekolah negeri. Akibat lain mekanisme seleksi ini menyebabkan ada beberapa sekolah yang terkesan menerima siswa kelas buangan.

d. Kekerasan dilingkungan pendidikan, lingkungan pendidikan yang seharusnya bisa memberikan kenyamanan bagi seorang anak ternyata belum sepenuhnya benar. Salah satu kasus yang pernah ada yaitu terjadinya kekeran psikis yang dilakukan oleh seorang oknum guru kepada muridnya di salah satu sekolah dasar swasta di Depok. Dimana karena kesalan kecil seorang murid yang sedang saling ejek dengan murid lainnya dihukum dengan mengambil beberapa butir kotoran kambing dan harus dating ke tiap-tiap kelas dari kelas 1 sampai dengan kelas 6 sambil minta maaf di depan kelas. Sementara kasus kekerasan fisik juga banyak terjadi di lingkungan sekolah. Baik kekerasan tersebut melibatkan antara penyelenggara pendidikan dengan anak didik, ataupun kekerasan antar anak didik itu sendiri. Masih banyak ditemukan kekerasan psikis dan fisik dalam penyelengggaraan MOS. Kekerasan ini seakan-akan telah menjadi tradisi turun menurun sebagai warisan budaya negative. Salah satu pemicu terjadinya kekerasan disekolah karena lemahnya unsur moralitas, keagamaan dan karakter dalam kurikulum pendidikan ataupun lemahnya pengawasan di lingkungan Keluarga.

e. Kesadaran orang tua yang rendah, hingga saat ini WAJARDIKDAS 9 tahun belum tercapai secara maksimal sesuai dengan prioritas pemerintah. Hal ini disebabkan oleh Rendahnya tingkat pendidikan orangtua dan rendahnya kesadaran orang tua terhadap pendidikan anaknya tanpa memberikan alternative bentuk pendidikan atau ketermapilan lain. Tuntutan ekonomi menjadikan orang tua lebih senang jika anaknya ikut membantu menopang kebutuhan ekonomi keluarga disbanding harus duduk manis di sekolah.

f. Akses pendidikan dan kualitas SDM yang tidak merata, akses pendidikan yang tidak merata pada setiap daerah masih menjadi kendala dalam mewujudkan pendidikan yang berkualitas. Faktor geografis menjadi sebab sulitnya penyebaran layanan pendidikan. Daerah terpencil dan pedalaman memiliki akses yang rendah terhadap pendidikan, sehingga menyebabkan terbatasnya guru, buku penunjang dan sarana dan prasarana lainnya. Di samping itu SDM Pendidik dan Tenaga Kependidikan yang tidak memenuhi kualifikasi juga menjadi pemicu siswa tidak mendapatkan pendidikan yang layak sebagaimana di sekolah lain.

g. Tawuran antar pelajar, dimana tawuran antar pelajar masih sering terjadi di beberapa titik, khususnya di Jakarta. Tawuran antar pelajar ini biasanya melibatkan tawuran antar sekolah satu dengan sekolah lainnya. Hampir setiap hari kita disuguhi tontonan tawuran antar pelajar.

BIDANG PERLINDUNGAN KHUSUS
a. Program Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH), KPAI menyerukan wacana penghapusan pemenjaraan anak. Program ini selain dilakukan dengan mengajukan permohonan uji materi (judicial review) atas UU Nomor 3 tahun 1997 tentang pengadilan Anak di Mahkamah Konstitusi, juga mengawal proses penyusunan RUU Revisi/Pengganti UU Pengadilan Anak. Menurut KPAI, yang harus dibangun ke depan adalah UU Peradilan Anak yang mandiri, yang bukan berada di bawah sistem peradilan umum, melainkan sistem peradilan tersendiri. Filosofis peradilan anak bukanlah pembalasan sebagaimana filosofis peradilan orang dewasa, melainkan dalam kerangka mencapai kesejahteraan anak. Oleh sebab itu, hukuman terhadap anak yang melanggar hukum bukanlah berupa pemidanaan tetapi cukup tindakan, yang tidak dilakukan pada lembaga-lembaga di bawah Kemenhukham, melainkan lembaga-lembaga pendidikan di bawah Kementerian Sosial atau bahkan di bawah Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Sampai hari ini, kami masih menunggu putusan Mahkamah Konstitusi untuk uji materiil UU Nomor 3 Tahun 1997 Pengadilan Anak setelah melalui beberapa kali persidangan. Putusan Mahkamah Konsitusi diharapkan akan menjadi rujukan di dalam menyusun UU Sistem Peradilan Anak.

b. Pornografi. KPAI begitu gencarnya melawan pornografi karena dalam perspektif perlindungan anak, pornografi adalah sebuah kejahatan yang sangat berbahaya bagi anak, di antaranya;
1) Pornografi memiliki tingkat ketergantungan yang sangat tinggi dan sulit dihapus dari memori anak;
2) Mengganggu tumbuh kembang anak, khususnya perusakan terhadap sistem hormonal dalam tubuh anak;
3) Penonton pornografi berminat melakukan acting out atau menirukan adegan yang ada dalam gambar/video tersebut.
4) Pornografi berkaitan erat dengan tindak kriminalitas dalam masyarakat, termasuk delikuensi remaja.

c. Trafficking (Perdagangan Manusia)
– Kerja Paksa Seks & Eksploitasi seks, baik di luar negeri maupun di wilayah Indonesia. Dalam banyak kasus, perempuan dan anak-anak dijanjikan bekerja sebagai buruh migran, PRT, pekerja restoran, penjaga toko, atau pekerjaan-pekerjaan tanpa keahlian tetapi kemudian dipaksa bekerja pada industri seks saat mereka tiba di daerah tujuan. Dalam kasus lain, berapa perempuan tahu bahwa mereka akan memasuki industri seks tetapi mereka ditipu dengan kondisi-kondisi kerja dan mereka dikekang di bawah paksaan dan tidak diperbolehkan menolak bekerja.

– Pembantu Rumah Tangga (PRT), baik di luar ataupun di wilayah Indonesia. PRT baik yang di luar negeri maupun yang di Indonesia di trafik ke dalam kondisi kerja yang sewenang-wenang termasuk: jam kerja wajib yang sangat panjang, penyekapan ilegal, upah yang tidak dibayar atau yang dikurangi, kerja karena jeratan hutang, penyiksaan fisik ataupun psikologis, penyerangan seksual, tidak diberi makan atau kurang makanan, dan tidak boleh menjalankan agamanya atau diperintah untuk melanggar agamanya. Beberapa majikan dan agen menyita paspor dan dokumen lain untuk memastikan para pembantu tersebut tidak mencoba melarikan diri.

– Bentuk Lain dari Kerja Migran, baik di luar ataupun di wilayah Indonesia. Meskipun banyak orang Indonesia yang bermigrasi sebagai PRT, yang lainnnya dijanjikan mendapatkan pekerjaan yang tidak memerlukan keahlian di pabrik, restoran, industri cottage, atau toko kecil. Beberapa dari buruh migran ini ditrafik ke dalam kondisi kerja yang sewenang-wenang dan berbahaya dengan bayaran sedikit atau bahkan tidak dibayar sama sekali. Banyak juga yang dijebak di tempat kerja seperti itu melalui jeratan hutang, paksaan, atau kekerasan.

– Penari, Penghibur & Pertukaran Budaya, terutama di luar negeri. Perempuan dan anak perempuan dijanjikan bekerja sebagai penari duta budaya, penyanyi, atau penghibur di negara asing. Pada saat kedatangannya, banyak dari perempuan ini dipaksa untuk bekerja di industri seks atau pada pekerjaan dengan kondisi mirip perbudakan.

– Pengantin Pesanan, terutama di luar negeri. Beberapa perempuan dan anak perempuan yang bermigrasi sebagai istri dari orang berkebangsaan asing, telah ditipu dengan perkawinan. Dalam kasus semacam itu, para suami mereka memaksa istri-istri baru ini untuk bekerja untuk keluarga mereka dengan kondisi mirip perbudakan atau menjual mereka ke industri seks.

– Beberapa Bentuk Buruh/Pekerja Anak, terutama di Indonesia. Beberapa (tidak semua) anak yang berada di jalanan untuk mengemis, mencari ikan di lepas pantai seperti jermal, dan bekerja di perkebunan telah ditrafik ke dalam situasi yang mereka hadapi saat ini.

– Trafficking/penjualan Bayi, baik di luar negeri ataupun di Indonesia. Beberapa buruh migran Indonesia (TKI) ditipu dengan perkawinan palsu saat di luar negeri dan kemudian mereka dipaksa untuk menyerahkan bayinya untuk diadopsi ilegal. Dalam kasus yang lain, ibu rumah tangga Indonesia ditipu oleh PRT kepercayaannya yang melarikan bayi ibu tersebut dan kemudian menjual bayi tersebut ke pasar gelap.

– Eksploitasi Organ Tubuh, Pengambilan nagian organ tubuh untuk anak di jual. Di indonesia belum terdeteksi secara penuh tapi harus di antisipasi semaksimal mungkin perlu agar peluang kejahatan tersebut tidak terjadi.

d. Kekerasan Seksual terhadap Anak
Kekerasan seksual terhadap anak menjadi salah satu program subtantif selama tahun 2011 karena kecenderungan kasus kekerasan seks terhadap anak makin meningkat. Tahun 2011 misalnya, dari 2266 pengaduan, 28 % berupa kasus kekerasan seksual seperti pelecehan seks, perkosaan, maupun eksploitasi seks bermotifkan ekonomi. Pelaku kekerasan seks tidak sebatas masyarakat awam tetapi juga kaum terpelajar, bahkan beberapa di antaranya adalah pejabat publik.

… TERIMA KASIH …

Exit mobile version