POTRET KESENJANGAN PERLINDUNGAN ANAK DARI REGULASI HINGGA IMPLEMENTASI

Problematika Regulasi Pengasuhan
Anak adalah amanah dan karunia dari Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa. Dalam diri anak melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Disamping itu anak sebagai tunas, potensi dan generasi penerus cita-cita perjuangan bangsa memiliki peran strategis dalam upaya menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan. Agar setiap anak kelak mampu memikul tanggung jawab maka perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial dan berakhlak mulia. Untuk itu perlu dilakukan upaya perlindungan untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya guna mendapat perlindungan dari kekerasan dan eksploitasi berdasarkan prinsip-prinsip non diskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, hak hidup dan kelangsungan hidup, dan penghargaan terhadap pendapat anak.

Lingkungan keluarga merupakan basis awal kehidupan bagi setiap insan dan menjadi tempat pertama dan utama bagi anak untuk memperoleh hak mempertahankan kelangsungan hidup (survival), hak untuk tumbuh kembang secara wajar (deverlopmental), hak untuk mendapatkan perlindungan (protection), dan hak untuk ikut berpartisipasi membangun masa depannya (participation).

Selama tahun 2013, terdapat indikasi yang menunjukkan bahwa lingkungan keluarga Indonesia masih cenderung diwarnai oleh sejumlah problematika keluarga yang sangat tidak kondusif terhadap masa depan anak Indonesia. Beragam kasus yang melibatkan keluarga masih belum terselesaikan.

Disamping itu masih ada sejumlah Undang-Undang yang memberi arahan untuk pembangunan anak. Sebagaimana diamanatkan dalam UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, bahwa penjaminan dan pemenuhan hak-hak anak di bidang keluarga dan pengasuhan alternatif menjadi tanggung jawab bersama orang tua, keluarga, masyarakat, dan Negara. Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perlindungan anak jumlahnya cukup banyak. Sebagian merupakan peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur tentang anak baik secara umum maupun aspek tertentu.

Keluarga dan Pengasuhan alternatif adalah salah satu dari klaster Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) yang merupakan hak dasar anak di samping hak-hak dasar lainnya yaitu hak sipil, hak pendidikan dan kesehatan yang kesemuanya harus dihormati, dijamin dan dipenuhi oleh negara. Pengasuhan tidak lepas pada ruang lingkup domestik tetapi juga tempat-tempat pengasuhan alternatif lainnya seperti tempat tahanan, panti asuhan dsb. KPAI dalam menjalankan mandatnya memberi prioritas pada pengasuhan di wilayah domestik yang mana wilayah tersebut membutuhkan pengkajian yang mendalam. Berdasarkan pengamatan KPAI pengasuhan alternatif sangat berdampak bagi kehidupan anak-anak, yang pada kepanjangannya dapat berpotensi menghambat tumbuhkembang anak dan Negara secara umum.

Konsep dasar pengasuhan anak menitik beratkan pada kemampuan lingkungan untuk menjaga tumbuh kembang anak secara optimal melalui pendekatan asah, asih dan asuh. Anak membutuhkan stimulasi mental (asah) yang menjadi cikal bakal dalam proses belajar (pendidikan dan pelatihan), perkembangan psikososial, kecerdasan, keterampilan, kemandirian, kreativitas, moral, kepribadian dan produktivitas. Kebutuhan akan kasih sayang (asih) dari orang tua akan menciptakan ikatan yang erat (bounding) dan kepercayaan dasar (basic trust) antara anak dan orang tua. Kebutuhan fisik biomedis (asuh) meliputi pangan, gizi dan pemenuhan kebutuhan dasar anak.

Keluarga sebagai lingkungan terdekat bagi anak sangat menentukan masa depan anak, kerapuhan keluarga menjadi faktor yang dominan terhadap kompleksitas permasalahan anak. Anak berada di jalanan, anak diekploitasi, anak ditelantarkan, anak diperdagangkan, anak terlibat pornografi dan anak berhadapan dengan hukum terjadi karena rapuhnya pondasi keluarga. Perlindungan anak sudah semestinya dilakukan secara sistematis dari hulu sampai hilir dengan basis utama pada penguatan ketahanan keluarga. Masalah pokok perlindungan anak bidang keluarga dan pengasuhan alternatif di dominasi oleh kasus-kasus yang berakar dari kerentanan keluarga baik rentan secara ekonomi, sosial, kemasyarakatan dan religiusitas keagamaan.

Problematika Implementasi
Perlindungan anak bidang Keluarga dan Pengasuhan Alternatif, difokuskan pada isu-isu ketahanan keluarga. Kerentanan keluarga diyakini sebagai akar masalah perlindungan anak, sehingga Pemerintah harus menjadikan program ketahanan keluarga sebagai program prioritas. Menurut Undang-Undang Nomor : 10 Tahun 1992 Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami, isteri atau suami isteri dan anaknya atau ayah dan anaknya atau ibu dan anaknya. Keluarga merupakan tongak kekokohan bangsa, jika keluarga kuat maka kehidupan berbangsa tentu juga akan lebih kuat.

Program penguatan dan pengembangan ketahanan keluarga dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan keluarga agar mempunyai ketangguhan dan keuletan, menjadi sumberdaya manusia yang mandiri, tangguh, bermoral, potensial dan berkualitas. Melalui kebijakan peningkatan konseling keluarga, peningkatan kualitas pengasuhan anak, pembinaan remaja dan peningkatan kualitas hidup lansia, pengembangan kuantitas dan kualitas bina keluarga dan meningkatkan kepedulian serta peran serta keluarga.

Strategi pengembangan keluarga difokuskan upaya mewujudkan kemandirian keluarga, sehingga keluarga terhindar dari kerentanan, melalui program pemberdayaan dan peningkatan partisipasi serta kepedulian masyarakat. Penguatan keluarga mendorong terbentuknya sistem pendukung pemenuhan hak dasar anak seperti pengasuhan, kesehatan, pendidikan, sandang, pangan, dan papan yang akan berkontribusi terhadap terhindarnya anak dari penelantaran, ekploitasi, kekerasan, pornografi anak dan perlakuan salah lainnya karena anak adalah pewaris, penerus dan calon pengemban bangsa, anak merupakan modal sosial ekonomi suatu bangsa. sehingga diharapkan anak dapat tumbuh kembang secara sempurna baik fisik, mental dan psikososial sehingga menjadi sumber daya manusia yang berkualitas.

Konsep dasar pengasuhan anak menitik beratkan pada kemampuan lingkungan untuk menjaga tumbuh kembang anak secara optimal melalui pendekatan asah, asih dan asuh. Anak membutuhkan stimulasi mental (asah) yang menjadi cikal bakal dalam proses belajar (pendidikan dan pelatihan), perkembangan psikososial, kecerdasan, keterampilan, kemandirian, kreativitas, moral, kepribadian dan produktivitas. Kebutuhan akan kasih sayang (asih) dari orang tua akan menciptakan ikatan yang erat (bounding) dan kepercayaan dasar (basic trust) antara anak dan orang tua. Kebutuhan fisik biomedis (asuh) meliputi pangan, gizi dan pemenuhan kebutuhan dasar anak.

Keluarga sebagai lingkungan terdekat bagi anak sangat menentukan masa depan anak, kerapuhan keluarga menjadi faktor yang dominan terhadap kompleksitas permasalahan anak. Anak berada di jalanan, anak diekploitasi, anak ditelantarkan, anak diperdagangkan, anak terlibat pornografi dan anak berhadapan dengan hukum terjadi karena rapuhnya pondasi keluarga. Perlindungan anak sudah semestinya dilakukan secara sistematis dari hulu sampai hilir dengan basis utama pada penguatan ketahanan keluarga. Masalah pokok perlindungan anak bidang keluarga dan pengasuhan alternatif di dominasi oleh kasus-kasus yang berakar dari kerentanan keluarga baik rentan secara ekonomi, sosial, kemasyarakatan dan religiusitas keagamaan.

Kasus Penelantaran Anak menjadi masalah serius dan seperti fonomena gunung es, yang terus menunjukan tren peningkatan. Kasus-kasus penelantaran anak memiliki motif yang sangat beragam, kasus yang dominan adalah kasus anak jalanan, pembuangan dan penelantaran bayi serta anak telantar karena orang tua bekerja.

Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia pada tahun 2010 menunjukan jumlah anak terlantar Indonesia mencapai 5,4 juta orang, sebanyak 232 ribu orang merupakan anak jalanan. Gelombang migrasi masyarakat dari desa ke kota ikut berkontribusi terhadap pertumbuhan anak jalanan, kota dianggap sebagai tempat yang menjanjikan keberuntungan, desakan ekonomi karena kemiskinan dan rendahnya kualitas pendidikan orang tua menyebabkan anak turun ke jalan dengan berbagai kecenderungan aktivitas seperti berjualan, mengemis dan mengamen.

Pendekatan penanganan anak jalanan seharusnya bersifat komprehensif dan universal melalui pendekatan family base, institutional base dan multy system base. Pendekatan family base di fokuskan pada pemberdayaan dan peningkatan kapasitas ekonomi keluarga baik melalui bantuan modal dan pelatihan wirausaha, institutional base di fokuskan pada pemberdayaan organ-organ sosisal masyarakat pada tingkat akar rumput dan pendekatan multy system base dengan menggerakan seluruh komponen yang bersentuhan anak jalanan itu sendiri, orang tua, keluarga, organ-organ masyarakat, civil society, swasta dan pemerintah.

Pembuangan dan penelantaran bayi juga menjadi masalah serius pengasuhan anak, kelahiran yang tidak diinginkan karena kehamilan di luar nikah, pernikahan di usia dini dan kasus bayi yang di trafficking menjadi motif kasus pembuangan dan penelantaran bayi. Penanganan kasus penelantaran bayi memerlukan keahlian kusus, cepat dan efektif. Lembaga rujukan yang memiliki spesifikasi pengasuhan bayi di Indonesia masih sangat terbatas baik yang dimiliki oleh pemerintah maupun masyarakat. Peningkatan kapasitas dan kualitas lembaga rujukan pengasuhan bayi harus di tingkatkan. Pemerintah khususnya dinas sosial harus membuat daftar orang tua asuh yang mapan dan siap untuk mengasuh bayi yang ditelantarkan, sehingga sewaktu-waktu ditemukan kasus penelantaran bayi maka sudah dapat dicarikan rujukannya secara cepat dan tepat.

Pada saat orang tua bekerja anak juga sering menjadi telantar, bahkan anak tidak mendapatkan hak pengasuhan, hak mendapatkan asi dan hak untuk bermain. Keharusan orang tua bekerja dan ketidakmampuan orang tua membayar jasa pembantu menyebabkan hak-hak anak terabaikan. Keberadaan taman penitipan anak di tempat kerja menjadi program yang harus di prioritaskan oleh Pemerintah khususnya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Institusi yang bergerak pada sektor formal dan non formal harus menyediakan jasa penitipan anak agar orang tua dapat memberikan hak pengasuhan terhadap anaknya.

Kasus Perebutan Hak Kuasa Asuh Anak, perceraian orang tua adalah sumber dari masalah perebutan hak kuasa asuh anak. Perceraian orang tua menjadi momok bagi anak karena anak dihadapkan pada pilihan dan situasi yang sangat sulit. Data pengaduan Komisi Perlindungan Anak Indonesia pada tahun 2010 menunjukan bahwa 42,5% kasus pengaduan masyarakat merupakan kasus perebutan hak kuasa asuh anak. Data Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama Republik Indonesia mengungkapkan bahwa kasus perceraian dari tahun ke tahun semakin meningkat. Berdasarkan data tahun 2010 terjadi 200.000 kasus perceraian setiap tahun dari asumsi 2 juta perkawinan, setara dengan 10% dari jumlah perkawinan dalam setahun.

Kasus perceraian tidak lepas dari rendahnya kualitas perkawinan, maraknya perkawinan siri, kawin kontrak, perkawinan campuran dan perkawinan di usia dini menjadi sumber masalah perceraian, pada hal semestinya perkawinan adalah sebuah perjanjian luhur antara dua insan yang salah satu fungsinya merupakan lembaga reproduksi untuk mempertahankan dan melanjutkan keberlangsungan kehidupan yakni lahirnya keturunan (anak).

Angka perkawinan dini di Indonesia secara nasional sangat tinggi, yakni mencapai 34,5 %. Dengan jumlah angka perkawinan mencapai 2,5 juta pasangan pertahun, berarti ada sekitar 600 pasangan perkawinan dini. Tinginya angka perkawinan di usia dini sangat memprihatinkan dan mengkawatirkan karena perkawinan dini diduga menjadi salah satu penyebab tinginya angka kematian bayi di Indonesia yakni 34/1000 perkawinan. Banyak perkawinan dini dilakukan pada usia 11-13 tahun, yang secara fisik belum siap untuk reproduksi. Perkawinan dini sebagian besar dilakukan tanpa pencatatan oleh negara ( nikah siri) karena petugas pencatat perkawinan (penghulu) tidak bersedia mencatat karena tidak sesuai dengan UU Perkawinan.

Pernikahan siri menimbulkan efek pengabaian hak – hak hukum dikemudian hari baik terhadap istri maupun anak yang dilahirkan. Hal tersebut tentu sangat merugikan masa depan anak. KPAI mencatat setiap tahun dari 600 pengaduan yang masuk, 255 pengaduan merupakan kasus perebutan hak kuasa asuh anak. Anak menjadi perebutan dua belah pihak pasangan yang bercerai, yang diakibatkan oleh konflik pasangan perkawinan yang tidak bisa diselesaikan secara hukum, karena berasal dari pasangan nikah siri (70%).

Sesuai temuan KPAI pada beberapa Kabupaten di Pantura menunjukkan, anak–anak obyek kawin siri rentan atas eksploitasi untuk pelacuran anak dan perdagangan anak, karena pada umumnya kawin siri hanya bertahan 2-3 tahun. Kemudian anak-anak korban kawin siri ini menjadi tenaga kerja wanita (TKW) atau bahkan korban traffiking, sementara anak-anak yang dilahirkan dititipkan kepada orang tuanya (nenek) dengan jaminan kesehatan yang sangat minim sehingga mengakibatkan anak-anak menderita gizi buruk.

Pendekatan yang harus digunakan dalam penyelesaian masalah perebutan hak kuasa asuh anak harus menggunakan pendekatan dari hulu dan hilir. Hulu dari masalah ini adalah pra perkawinan dimana perkawinan dilandaskan pada pondasi yang sangat rapuh, orang tua belum siap menikah baik secara sosiologis, psikologis dan ekonomi. Sosialisasi dan pencegahan perkawinan usia dini harus dimaksimakan. Pendekatan hilir terletak pada upaya penegakan hukum, pelaku perkawinan siri, perkawinan kontrak dan perkawinan yang melanggar aturan perundang-undangan harus mendapatkan hukuman berat agar memiliki efek jera terhadap pelaku.

Kasus Perwalian dan Pengangkatan Anak, Praktek perwalian dan pengangkatan anak mayoritas dilakukan secara adat, sehingga proses pengangkatan anak tidak diputuskan melalui putusan pengadilan dan mayoritas tidak tercatat di dinas sosial, sehingga berakibat pada kaburnya silsilah keluarga anak dan juga berpengaruh terhadap hak kewarisan anak. Perkawinan campuran berbeda kewarganegaraan juga memunculkan masalah perwalian, karena menyangkut keabsahan kewarganegaraan anak yang dilahirkan, maka diperlukan kejelian hakim dalam memutuskan perwalian anak dengan mengedepankan kepentingan terbaik bagi anak.

Sosialiasi peraturan terkait pengangkatan anak harus dimaksimalkan karena payung hukum terkait pengangkatan anak belum secara masif diketahui oleh masyarakat, pelibatan organ-organ masyarakat pada tingkat akar rumput dalam mensosialisasikan peraturan tersebut mutlak diperlukan. Peningkatan peran, kapasitas, kualitas dan jaringan tim Pertimbangan Perizinan Pengangkatan Anak (PIPA) yang sudah dibentuk oleh Kementerian Sosial harus dimaksimalkan, agar proses pengangkatan anak dapat dilaksanakan secara legal sesuai dengan aturan perundang-undangan.

Kasus Rendahnya Kualitas Lembaga Pengasuhan Alternatif, Berdasarkan penelitian Save The Children, Unicef dan Kementerian Sosial Republik Indonesia pada tahun 2007 terdapat 5.000-8.000 lembaga pengasuhan alternatif di Indonesia dalam bentuk Panti Asuhan Anak. Penyelenggara panti asuhan anak ini mayoritas dimiliki oleh masyarakat yakni sebesar 99% dan hanya 40 panti asuhan anak yang dimiliki oleh pemerintah. Anak-anak ditempatkan di Panti asuhan didasarkan atas alasan kemiskinan yakni sebesar 90% dan karena alasan yatim piatu sebesar 6%. Kualitas panti asuhan masih sangat rendah, rasio perbandingan pengasuh dengan anak yang di asuh tidak se imbang, kualitas pengasuh panti tidak sesuai standar, bahkan kasus kekerasan anak dengan dalil penegakan disiplin dan agama juga ditemui dalam sistem pengasuhan berbasis panti. Sarana prasarana yang terbatas menyebabkan anak tidak dalam situasi yang lebih baik berada di panti asuhan.

Pembukaan Konvensi Hak-Hak Anak menyebutkan bahwa anak, untuk perkembangan kepribadianya secara sepenuhnya dan serasi, harus tumbuh berkembang dalam lingkungan keluarganya dalam suasana kebahagiaan, cinta dan pengertian. Sedangkan pasal 14 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002, tentang perlindungan anak dengan tegas menyebutkan setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir. Namun pada prakteknya anak berbondong-bondong masuk ke panti dan lembaga pengasuhan alternatif lainnya tanpa memperhatikan hak anak untuk diasuh dalam lingkungan keluarganya, pada hal semestinya panti menjadi pilihan terakhir dalam sistem pengasuhan anak.

Penerapan standar pengasuhan pada lembaga pengasuhan alternatif menjadi keharusan yang tidak dapat di tunda. Melalui pemberlakuan standar tersebut dapat di ukur kualitas pengasuhan yang diberikan oleh panti dan lembaga pengasuhan sejenis. Panti asuhan anak dan lembaga pengasuhan sejenis perlu di akreditasi agar kebijakan reward dan funishment terhadap lembaga pengasuhan tersebut dapat diterapkan.

Telaah Kitis :
1. Pengasuhan anak merupakan satu kontinum dari pengasuhan keluarga sampai dengan pengasuhan yang dilakukan oleh pihak lain di luar keluarga atau disebut dengan pengasuhan alternatif.
2. Keluarga bertanggungjawab untuk mengasuh, membesarkanmembimbing dan melindungi anak. Setiap anak berhak untuk mengetahui dan diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pilihan terakhir.
3. Prinsip utama pengasuhan adalah anak berada dalam lingkungan keluarga. Oleh karena itu, prioritas layanan adalah untuk memperkuat peran keluarga dalam mengasuh dan melindungi anak.
4. Jika berdasarkan hasil asesmen oleh instansi Sosial/Pekerja Sosial ditemukan bahwa pengasuhan di dalam keluarga tidak dimungkinkan atau tidak sesuai dengan kepentingan terbaik anak, maka pengasuhan anak dilakukan berbasis keluarga pengganti melalui orang tua asuh (fostering), perwalian, dan pengangkatan anak. Selanjutnya, jika pengasuhan alternative berbasis keluarga tidak dimungkinkan, maka pengasuhan anak dapat dilakukan melalui LKSA sebagai alternative terakhir.
5. Perlu diingat bahwa semakin tinggi resiko yang dialami anak dalam pengasuhan keluarga maka intervensi yang dibutuhkan semakin membutuhkan pendekatan khusus dan individual. Pelayanan ini harus diberikan oleh petugas yang memiliki mandat khusus seperti Pekerja Sosial, atau Profesi lain.
6. Negara berkewajiban melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk memperkuat kemampuan keluarga-keluarga yang membutuhkan agar dapat melaksanakan tanggung jawabnya melalui intervensi-intervensi yang bersifat memberdayakan keluarga tersebut.
7. Jika anak tidak dimungkinkan untuk tinggal dalam keluarganya karena kekerasan, eksploitasi, perlakuan salah dan penelantaran yang mengancam keselamatan anak maka Negara berkewajiban untuk melakukan langkah-langkah penyelamatan melalui pengasuhan alternatif, hal itu merupakan bagian dari rangkaian pengasuhan (continuum of care).

Berdasarkan paparan diatas dapat disimpulkan bahwa Indonesia, belum memiliki perangkat peraturan perundang-undangan yang secara khusus dan terintegratif menetapkan norma, standar, prosedur, dan ketentuan tentang pengasuhan alternatif. Pengasuhan altenatif; dalam arti merespon kebutuhan anak terhadap pengasuhan yang tepat bilamana didalam keluarga/orang tua biologis atau alamiahnya terindikasi tindakan kekerasan, penelantaran, eksploitasi, dan bentuk-bentuk perlakuan salah lainnya. Saat ini, Pemerintah melalui Kementerian Sosial Republik Indonesia dengan dukungan berbagai pihak sedang menyusun regulasi yang komprehensif mengenai Pengasuhan Alternatif: pengasuhan oleh orang tua asuh, pengasuhan oleh wali, pengasuhan oleh orang tua angkat, dan pengasuhan residensial oleh LKSA (lembaga kesejahteraan sosial anak).

Rekomendasi:
1. Untuk memperkuat kualitas dan kapasitas serta keutuhan keluarga dengan anak, Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib/bertanggung jawab dalam mewujudkan pelayanan, diantaranya:
– Pelatihan bagi orang tua, promosi relasi (yang positif) orang tua dan anak, keterampilan resolusi dan mediasi konflik, kesempatan kerja dan peningkatan penghasilan serta bantuan sosial.
– Pendukung seperti pelayanan harian untuk anak, penanganan penyalahgunaan obat, dukungan finansial/modal usaha, dan pelayanan untuk orang tua dan anak dengan kecacatan.
2. Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib/bertanggung jawab melahirkan dan menjamin kebijakan, antara lain:
– Bersifat integratif dan harus secara langsung diakses di tingkat komunitas serta secara aktif melibatkan partisipasi keluarga dengan mendayagunakan sumber-sumber di lingkungannya.
– Berorientasi mengantisipasi dan mengatasi penyebab pengabaian dan pemisahan anak dari keluarganya (didalamnya menjamin hak terhadap akta kelahiran, akses terhadap kesehatan, pendidikan, perumahan dan pelayanan kesejahteraan sosial) melalui pengentasan kemiskinan; penghapusan diskriminasi, marginalisasi, stigmatisasi, kekerasan, perlakuan salah dan penyalahgunaan obat.
– Memberdayakan keluarga dengan sikap, keterampilan, kapasitas dan perangkat untuk menyediakan perlindungan yang layak, pengasuhan dan perkembangan anak-anaknya.
– Untuk menghadapi situasi anak-anak yang diabaikan tanpa kejelasan status pengasuhan, yang mengindikasikan bagaimana penelusuran keluarga akan dilakukan, reunifikasi atau penempatan dalam keluarga besar akan dilakukan. juga memungkinkan pengambilan keputusan sesuai dengan eligibilitas anak untuk penempatan.
– Untuk pekerja sosial atau profesi lain dalam rangka melakukan asesmen untuk menentukan pengasuhan anak oleh anggota keluarga lainnya yang sedarah; dan bilamana gagal serta demi kepentingan terbaik bagi anak maka harus dilakukan upaya untuk mencari keluarga pengganti dalam jangka waktu rasional-kondisional.
– Khusus yang ditujukan bagi para guru, tokoh agama, dokter dan pihak lainnya yang bekerja serta secara intensif berelasi dengan anak dalam rangka membantu mengidentifikasi situasi perlakuan salah, penelantaran, eksploitasi, atau resiko pengabaian dan mampu melakukan rujukan pada lembaga-lembaga yang berkompeten atau pihak yang diberikan mandat/berwenang.
 Pemantauan (monitoring) termasuk ruang lingkup monitoring dan pengendalian (supervisi) secara periodik sesuai ketetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria mengenai pengasuhan oleh keluarga pengganti yang dilakukan lembaga/pihak berwenang (diberikan mandat).

Exit mobile version