SEKOLAH RAMAH ANAK BAGIAN KOMITMEN MEMBANGUN DUNIA RAMAH ANAK

Trend meningkatnya kekerasan di Sekolah menyulut kegelisahan para penggiat perlindungan anak baik secara personal maupun secara kelembagaan. Tidak terkecuali Komisi Perlidungan Anak Indonesia (KPAI). Lembaga Negara independent yang memeiliki tugas pokok mengefektifkan perlindungan anak ini terus berupaya agar kekerasan anak di sekolah dapat dieliminer, diantaranya mendorong terwujudnya Sekolah Ramah Anak (SRA) yang telah digagas oleh berbagai pihak.

Sebagai salah satu upaya mendorong Sekolah Ramah Anak itu, pada Kamis 23 Januari 2014 KPAI kembali menggelar Fokus Group Diskusi dengan tema “ Pendisilpilinan Di Sekolah tanpa Kekerasan “. Acara yang digelar di lt 3 KPAI yang berlokasi di area ring satu ( Jl. Teuku Umur No. 10-12) Menteng Jakarta Pusat itu dihadiri oleh berbagai pihak terkait Perlindungan Anak. Diantaranya Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI), Sekjen Federasi Guru Seluruh Indonesia (FGSI), Perwakilan Guru dan Siswa SMKN 36 Jakarta Utara, Perwakilan Guru dan Siswa SMAN 32, Aliansi Orang Tua Peduli Pendidikan, Gugah Nurani Indonesia (GNI) UNICEF, Plan Indonesia, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPP-PA), Kementerian Agama RI, Dinas Pendididkan Kota Depok, Dinas Pendidikan Kab. Bogor, Ecpat Indonesia dan New Indonesia.

Pada kesempatan itu KPAI melalui Pokja Manajemen Luthfie Chumaidi memaparkan materi “ Pendisiplinan Tanpa Kekerasan “. Dalam paparannya disebutkan bahwa tujuan dari FGD tersebut adalah : Menyediakan ruang bagi guru, siswa dan praktisi untuk berbagi pengalaman bagaimana menyelenggarakan sekolah ramah anak, Mendapatkan masukan-masukan untuk optimalisasi pengembangan program sekolah ramah anak, Mendorong pemerintah untuk melakukan replikasi model pembelajaran ramah anak dalam upaya memenuhi dan melindungi hak-hak anak dan mencari serta menggali bentuk-bentuk pendisiplinan tanpa kekerasan. Adapun output dari acara tersebut menurut Luthfie diharapkan menghasilkan model/bentuk-bentuk pendisiplinan tanpa kekerasan. Selain itu dari FGD tersebut dapat diterbitkan buku panduan Sekolah Ramah Anak sebagai media sosialisasi untuk mewujudkan pendidikan nasional yang melindungi anak dari kekerasan, diskriminasi dan eksploitasi.
Sementara itu Ketua KPAI, Badriyah Fayumi, menuturkan “Diskusi ini merupakan bentuk komitmen untuk menjadikan dunia ramah anak, yang turunannya berupa, Kota Ramah Anak, Mudik Ramah Anak, Kampanye Ramah Anak dan Sekolah Ramah Anak“. Oleh karenannya ia berharap diskusi ini mampu memberikan kontribusi bagi anak-anak Indonesia. Ketua KPAI juga menegaskan, amandemen UUD 1945 begitu memberikan peluang terhadap Perlindungan Anak yang sangat luas, akan tetapi dalam implementasinya masih sangat kurang maksimal, ujarnya. Pada kesempatan itu, Ketua KPAI mengatakan bahwa hampir semua aduan ke KPAI terkait dengan Sekolah. Banyak sekali persoalan – persoalan yang dapat disisir dari berbagai persoalan di sekolah imbuhnya. Mbak Bad, panggilan akrab Badriyah Fayumi, mengingatkan bahwa guru dan orang tua adalah orang yang berada di garda paling depan untuk melindungi anak, pesannya.

Fokus Grop Diskusi (FGD) yang memakan waktu hampir tiga jam itu, berlangsung dengan sangat dinamis dan solutif. Hampir semua peserta diskusi menyampaikan pendapatnya terkait dengan kebijakan dan problematika yang dihadapi. Misalnya saja Ali dari Unicef, mengatakan bahwa perasoalan kekerasan di sekolah bukan karena pendisiplinan. Seringkali hukuman tidak memberi alternative lain kata Ali. Menurutnya UNICEF sudah membuat panduan model SRA bersama dengan Kemendikbud dan Unesco. Lain lagi pendapat Sekretaris Jenderal FGSI, Retno. Perempuan yang mengkritisi pelaksanaan UN ini meyakini bahwa UU PA mengamanatkan bahwa kekerasan tidak boleh dilakukan dengan alasan apapun.Problemnya menurut dia minimnya sosialisasi UU PA di lingkungan sekolah. Ia menegaskan FGsI clear, tidak boleh ada kekerasan yang dilakukan oleh guru dengan alasan apapun. Retno menuturkan“ menurut hemat kami selama ini peraturan sekolah tidak partisipatif, ujarnya. Sebagai contoh ungkapnya lebih lanjut, sekolah Negeri, kebijakannya terkesan diskriminatif (mono kebijakan) sehingga terjadi perlakuan diskriminaf bagi minoritas. Padahal bangsa ini sangat beragam imbuh Retno. Sebenarnya, menurut Sekretaris FGSI ini, banyak guru yang ingin membantu siswa yang mendapat tekanan, akan tetapi si guru tersebut takut dengan kepala Sekolah. Ia menambahkan, ketika guru – guru yang tergabung dalam FSGI akan melaksanakan konsep Sekolah Ramah Anak, dianggap guru abnormal.

Tak kalah menarik pendapat delegasi dari KPP-PA, menurutnya Sekolah Ramah Anak (SRA) harus dibangun disemua sektor, oleh karenanya menurut dia harus digalakkan pelatihan KHA disemua sektor. DIa juga berpandangan membangun SRA harus melibatkan semua pihak. Karena SRA menyakngkut berbagai hal; sarana / prasarana harus ramah anak, mendengarkan suara anak dan lain-lain. Bebas dari kekerasan di Sekolah, hanyalah salah satu dari indicator SRA urainya. Lain lagi utusan dari Yayasan Gugah Nurani Indonesia (GNI), pada kesempatan itu GNI menyampaikan hasil survaynya terkait pemahaman guru terhadap Undang – Undang Perlindungan Anak. Berdasarkan hasil penelitiannya disampaikan; banyak guru yang tidak memahami apa itu SRA, 58 % guru tidak mengetahui hak anak, 83 % Guru menganggap bahwa hukuman adalah bentuk pendisiplinan di Sekolah. Dan uniknya menurut hasil penelitian GNI 91 % siswa menginginkan tetap ada hukuman, akan tetapi tidak bersifat kekerasan fisik.

Expat Indonenesia menilai bahwa pemberian Pekerjaan Rumah (PR) juga merupakan bentuk kekerasan, alasannya dengan adanya PR maka hak bermain anak jadi berkurang. Hal tersebut senada dengan apa yang dilontarkan oleh Aliansi Orang Tua Peduli Pendidikan. Namun demikian Expat Indonesia optimis bahwa Sekolah Ramah Anak dapat diwujudkan di Indonesia, walau juga terkadang pesimis jika melihat meninghkatnya tingkat kekerasan terhadap anak di Indonesia. Lebih jauh Ahmad Ikrom dari New Indonesia, berpandangan bahwa New Indonesia ( Ahmad Ikrom Wajib Belajar 9 ( Sembilan ) tahun belum ramah anak. Ia berpendapat Wajib belajar atau wajar 12 ( dua belas ) tahun, baru menuju sekolah ramah anak. Ia beralasan Ijazah SMP belum bisa untuk melamar pekerjaan. Selain itu Ikrom juga berpandangan, penyeragaman keramahan harus memperhatikan atau disesuaikan dengan kondisi daerah masing–masing. Karena justru konsep penyeragaman itu bisa menimbulkan prilaku tidak ramah, tegas Ikrom.

Sementara itu FGD memberikan kesimpulan diantaranya; Sekolah Ramah Anak (SRA) adalah sebuah kebutuhan agar anak bisa belajar dengan nyaman, senang, tentram, tidak terancam, menumbuhkan karakter dan mandiri; SRA harus mengintegrasikan prinsip-prinsip perlindungan anak ke dalam penyelenggaraan pendidikan, yang melibatkan Manajemen Sekolah yang tidak mengecilkan partisipasi anak-anak dalam pengambilan keputusan, pembelajaran yang aktif, menyenangkan dan interaksi yang positif antara guru dan siswa di sekolah, serta keterlibatan langsung orang tua dan masyarakat; Peran sekolah, terutama Kepala Sekolah dan Guru, sangat penting untuk menerapkan SRA. Namun demikian, rancangan SRA harus berangkat dari kebutuhan anak (siswa-siswi). Peserta didik bukan obyek, melainkan menjadi subyek pendidikan, yang akan mendapat pelayanan SRA. Kendalanya belum semua Sekolah/guru bisa melakukan itu, karena dianggap bisa mengurangi kewibawaan guru; Belum ada pemetaan yang komprehenshif masalah anak di sekolah dan juga guru dalam menghadapi permasalahan anak. Pemetaan tersebut menjadi bahan Kepala Sekolah melakukan sesuatu; Praktik SRA nyata-nyata memberikan hasil yang baik bagi siswa-siswi, mereka lebih riang dan nyaman dalam belajar, prestasi naik, dan sekaligus mendidik bagi orang tua agar bersikap serupa, yakni menyenangkan anak dan menghilangkan kekerasan di rumah; Alternatif pendisiplinan terhadap anak tanpa kekerasan belum diketahui dan dilakukan secara masif dan nasional.

Selain menghasilkan beberapa kesimpulan, FGD juga menerbitkan beberapa rekomendasi; Mendorong SRA agar menjadi kebijakan nasional dan langsung diadopsi di semua sekolah. Semua pihak harus bersinergi untuk mendorong kebijakan tersebut; Konsep SRA perlu dirumuskan dengan bahasa yang sederhana dan mudah dilaksanakan oleh setiap sekolah; Perlu dilakukan pemetaan secara komprehenshif permasalahan anak di sekolah dan guru dalam menghadapi atau menangani permasalahan anak. Pemetaan tersebut menjadi bahan Kepala Sekolah melakukan sesuatu; Perlu penyebarluaskan praktik-praktik SRA yang nyata-nyata dapat memberikan hasil yang baik bagi siswa-siswi, mereka lebih riang dan nyaman dalam belajar, prestasi naik, dan sekaligus mendidik bagi orang tua agar bersikap serupa, yakni menyenangkan anak dan menghilangkan kekerasan di rumah. Perlu disusun bentuk-bentuk pendisiplinan terhadap anak tanpa kekerasan secara komprehenshif sehingga dapat dijadikan acuan secara nasional.
Dalam kata akhirnya Ketua KPAI Badriyah Fayumi menyampaikan, KPAI menyambut dengan sangat positip terhadap mitra-mitra yang memiliki gagasan SRA. Selain itu ia mengingatkan pembuatan kebijkan di sekolah harus bersifat partisipatif. Pendisiplinan tanpa kekerasan harus bersifat komprehensif menyangkut sarana / prasarana dan lain-lain, lanjunya. Ketua KPAI, yang tinggal menunggu masa akhir jabatannya itu juga mengajak kepada seluruh pemangku kepentingan Perlindungan Anak, untuk melakukan pendisiplinan tanpa kekerasan sesuai dengan tupoksi masing –masing dengan tetap melakukan koordinasi.

Exit mobile version