Selamatkan Anak dari Perundungan SARA

JAKARTA – Kasus perundungan di kalangan remaja dan anak-anak kembali terjadi. Kali ini korbannya menimpa seorang siswa sekolah dasar  di Jakarta Timur berinisial JSZ. Anak laki-laki dari suku Nias tersebut, memang berkulit putih dan bermata sipit. Oleh teman-temannya, sejak masuk kelas 1 SD, JSZ kerap dipanggil “Ahok”.

Kasus ini mencuat ketika seorang pengguna jejaring sosial Facebook, dengan nama akun Bearo Zalukhu mengunggah tulisan pada 30 Oktober 2017 lalu. Dalam tulisan tersebut, Bearo mengisahkan kejadian yang menimpa JSZ.

Selain sering diolok-olok dengan panggilan “Ahok”, JSZ juga dilukai dengan pulpen di telapak tangannya. Alhasil, JSZ menjadi enggan ke sekolah dan orang tuanya pun bermaksud memindahkan JSZ yang mengalami perundungan karena mirip “Ahok” tersebut.

Postingan itu sontak mengundang perhatian warganet. Apalagi, pasca-Pilkada DKI Jakarta, masih banyak warganet yang memperdebatkan situasi Pilkada tersebut. KPAI pun turun tangan dengan menggandeng Dinas Pendidikan DKI Jakarta.

Menurut Komisioner KPAI Retno Listyarti, pada awalnya julukan tersebut memang berkonotasi positif. Tepatnya pada 2015 dimana Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau yang akrab disapa Ahok itu, mendapatkan banyak pujian.

“Kondisi tersebut memang dibiarkan oleh guru kelas dan guru agama karena menganggap panggilan tersebut bukan perundungan,” papar Retno.

Hal itu berubah semenjak Pilkada DKI Jakarta, bila JSZ menggoda temannya, saat itu lah terlontar kata “dasar Ahok” terhadap JSZ.

“KPAI menilai bahwa disinilah letak bully tadi. Dimana makna nama ‘Ahok’ yang sebelumnya positif, kemudian bergeser menjadi negatif. Hal ini juga yang diduga kuat menjadi alasan bagi orang tua JSZ yang berencana memindahkannya ke sekolah lain setelah pembagian rapor semester ganjil,” ujar Retno.

Meski kasus ini akhirnya berakhir dengan dipindahkannya JSZ ke sekolah lain, namun perundungan dikhawatirkan akan kembali terulang.

Apalagi perundungan memang kerap terjadi pada remaja karena pencarian jati diri di kalangan remaja, tidak disikapi dengan positif, sehingga cenderung menjadi alasan terjadinya perundungan di kalangan remaja.

Ditambah jika pola asuh orang tua otoriter dan permisif serta lingkungan yang mendukung perundungan itu terjadi.

Menurut Sosilog dari Universitas Nasional (UNAS) Sigit Rochadi, struktur masyarakat Indonesia yang majemuk memerlukan pengelolaan yang hati-hati.

Kasus perundungan SARA, menurutnya, sangat membahayakan kohesivitas masyarakat seperti yang terjadi di beberapa daerah belakangan ini. Elit yang mengeksploitasi perbedaan demi kekuasaan, berdampak suburnya kebencian karena perbedaan.

Sekolah-sekolah seolah menjadi perpanjangan tangan kekuasaan lokal, karena konflik elit yang terbuka diikuti kelompok-kelompok di masyarakat. Jadi, menurut Sigit, perundungan terhadap keluarga minoritas hasil eksploitasi SARA oleh elit sekali terjadi sulit untuk memulihkannya.

Seharusnya, sambung Sigit, lembaga pendidikan menjadi kekuatan yang mampu menetralisisasi kasus-kasus perundungan SARA. Karena lembaga pendidikan tempat untuk menanamkan moralitas, kebenaran, gagasan dan etika pada anak-anak usia sekolah.

Kasus ini, selain menunjukkan lemahnya solidaritas, etika dan moral, juga menunjukkan kegagalan lembaga pendidikan dalam menangkal perundungan SARA.

Kita tentu berharap, kasus perundungan apalagi yang berunsur SARA tidak pernah terjadi lagi. Dukungan dari semua pihak, baik elit politik, pengajar, orang tua dan masyarakat untuk memberikan edukasi positif kepada anak-anak tentang keragaman Indonesia diharapkan terus bertumbuh, dengan begitu kehidupan di masyarakat tanpa sekat sehingga harmonisasi dapat terwujud.

Exit mobile version