TEMUAN DAN REKOMENDASI KPAI TENTANG PERLINDUNGAN ANAK DI BIDANG PERDAGANGAN ANAK (TRAFFICKING) DAN EKSPLOITASI TERHADAP ANAK

Gambaran Umum Permasalahan
Perlindungan terhadap hak anak merupakan hak asasi manusia yang dijamin oleh konsitusi negara Undang-Undang Dasar Republik Indonesia yaitu pada pasal 28b. Dalam hal ini anak perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial. Dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan AnakPasal 59 menyebutkan bahwa Pemerintah dan Lembaga Negara berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang tereksplotasi secara ekonomi dan/ atau seksual serta anak yang diperdagangkan.

Menurut Undang-Undang RI Nomor 21 tahun 2007 tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriam, pemindahan atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan. Kemudian, pemalsuan, penipuan dan penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan uang atau memberikan bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang terekploitasi. Pengertian eksploitasi adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindakan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi atau secara melawan hukum memindahkan Atau mentransplantasi organ dan atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materiil maupun immateriil

Anak-anak dan perempuan merupakan pihak yang rentan menjadi korban trafficking dan eksploitasi. Mereka yang menjadi korban sebagian besar berasal dari kelompok masyarakat yang rentan. Faktor-faktor yang melatarbelakangi Kasus Perdagangan Anak (Child Trafficking) antara lain:
1. Kurangnya Kesadaran: Banyak anak dibawah umur yang bermigrasi untuk mencari kerja baik di Indonesia ataupun di luar negeri tidak mengetahui adanya bahaya child trafiking dan tidak mengetahui cara-cara yang dipakai untuk menipu atau menjebak mereka dalam pekerjaan yang disewenang-wenangkan atau pekerjaan yang mirip perbudakan.
2. Kemiskinan: Kemiskinan telah memaksa banyak keluarga untuk merencakanan strategi penopang kehidupan mereka termasuk memperkerjakan anak-anaknya karena jeratan hutang.
3. Keinginan Cepat Kaya: Keinginan untuk memiliki materi dan standar hidup yang lebih tinggi memicu terjadinya migrasi dan membuat keluarga anak yang bermigrasi rentan terhadap child trafiking.
4. Faktor Budaya: Faktor-faktor budaya berikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya child trafiking:
a) Peran Anak dalam Keluarga: Kepatuhan terhadap orang tua dan kewajiban untuk membantu keluarga membuat anak-anak rentan terhadap trafiking. Buruh/pekerja anak, anak bermigrasi untuk bekerja, dan buruh anak karena jeratan hutang dianggap sebagai strategi-strategi keuangan keluarga yang dapat diterima untuk dapat menopang kehidupan keuangan keluarga.
b) Perkawinan Dini: Perkawinan dini mempunyai implikasi yang serius bagi para anak perempuan termasuk bahaya kesehatan, putus sekolah, kesempatan ekonomi yang terbatas, gangguan perkembangan pribadi, dan seringkali, juga perceraian dini. Anak-anak perempuan yang sudah bercerai secara sah dianggap sebagai orang dewasa dan rentan terhadap trafiking disebabkan oleh kerapuhan ekonomi mereka.
c) Jeratan Hutang: Praktek menyewakan tenaga anggota keluarga untuk melunasi pinjaman merupakan strategi penopang kehidupan keluarga yang dapat diterima oleh masyarakat. Anak yang ditempatkan sebagai buruh karena jeratan hutang khususnya, rentan terhadap kondisi-kondisi yang sewenang-wenang dan kondisi yang mirip dengan perbudakan.
5. Kurangnya Pencatatan Kelahiran: Orang tanpa pengenal yang memadai lebih mudah menjadi mangsa trafiking karena usia dan kewarganegaraan mereka tidak terdokumentasi. Anak-anak yang ditrafik, misalnya, lebih mudah diwalikan ke orang dewasa manapun yang memintanya.
6. Kurangnya Pendidikan: Orang dengan pendidikan yang terbatas memiliki lebih sedikit keahlian/skill dan kesempatan kerja dan mereka lebih mudah ditrafik karena mereka bermigrasi mencari pekerjaan yang tidak membutuhkan keahlian.
7. Korupsi & Lemahnya Penegakan Hukum: Pejabat penegak hukum dan imigrasi yang korup dapat disuap oleh pelaku trafiking untuk tidak mempedulikan kegiatan-kegiatan yang bersifat kriminal. Para pejabat pemerintah dapat juga disuap agar memberikan informasi yang tidak benar pada kartu tanda pengenal (KTP), akte kelahiran, dan paspor yang membuat buruh migran lebih rentan terhadap trafiking karena migrasi ilegal. Kurangnya budget/anggaran dana negara untuk menanggulangi usaha-usaha trafiking menghalangi kemampuan para penegak hukum untuk secara efektif menjerakan dan menuntut pelaku trafiking.

Maraknya kasus kekerasan terhadap anak dan perdagangan anak (child trafficking) belum optimalnya upaya perlindungan anak dilakukan. Kasus perdagangan anak juga cenderung mengalami peningkatan pada kurun waktu 3(tiga) tahun terakhir dari 410 kasus pada tahun 2010 meningkat menjadi 480 kasus di tahun 2011 dan menjadi 673 kasus pada tahun 2012. Indonesia merupakan negara sumber, transit dan tujuan dari perdagangan orang terhadap perempuan dan anak, terutama untuk tujuan prostitusi dan ekpolitasi terhadap anak. Fenomena perdagangan orang dewasa ini semakin beragam bentuk dan modusnya. Banyak pelacuran baik di area lokalisasi maupun ditempat-tempat pelacuran terselubung seperti di kafe, panti pijat, salon kecantikan plus-plus, hotel dan lain-lain mulai menjamur, baik di kota besar maupun di pedesaan.
Upaya Perlindungan terhadap korban trafficking dan eksploitasi anak merupakan hal yang kompleks karena beirisan dengan berbagai aspek kehidupan, maka diperlukan kesadaran dan peran serta seluruh masyarakat, penyelenggara negara dan aparat penegak hukum.Selama ini masalah trafficking dan eksploitasi anak hanya berfokus pada masalah yang sudah terjadi dan penyelesaian terhadap penanganan kasus. Sementara upaya pencegahan dan pemenuhan terhadap hak anak kurang menjadi perhatian.

Melihat seriusnya persolan trafiking dan eksploitasi anak pemerintah telah melakukan berbagai upaya. Di antaranya adalah:
1. Pemerintah telah menyusun Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Anak (Kepres No. 88/2002).
2. Berpedoman pada UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO).
3. Pembentukkan Pusat Pelayanan Terpadu (PP No. 9 Tahun 2008 tentang tata cara dan mekanisme pelayanan terpadu bagi saksi atau korban Tindak Pidana Perdagangan Orang).
4. Pembentukkan Gugus Tugas PTPPO terdiri dari berbagai elemen pemerintah dan masyarakat (PERPRES No. 69 Tahun 2008 tentang Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan TPPO).
5. Peraturan Menteri Negara pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 10 Tahun 2012 Tentang Panduan Pembentukan dan Penguatan Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Anak
6. Peraturan Menteri Negara pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 11 Tahun 2012 tentang Panduan Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang Berbasis Masyarakat dan Komunitas

Persoalannya adalah, ketersediaan regulasi tersebut belum diikuti dengan penegakkan hukum yang sesuai dengan Undang-Undang, Selama ini aparat penegak hukum lebih banyak menggunakan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) untuk menjerat pelaku perdagangan manusia (trafficking) yang jaringannya semakin mengguritayang hukumannya sangat ringan dan tidak membuat efek jera bagi para pelaku.Data Bareskrim POLRI yang berasal dari seluruh Polda di Indonesia pada tahun 2007-2013 tercatat ada 267 kasus perdagangan orang yang di proses sebanyak 137 kasus, P21 sebanyak 120 dan yang di SP3 sebanyak 10 kasus. Sebagian kasus trafficking hanya 50 % (persen) kasusnya yang diproses jaksa penuntut umum (JPU),

Lemahnya Penegak Hukum terhadap para pelaku tindak pidana perdagangan orang diantaranya adalah melibatkan banyak pihak seperti pihak kepolisian di lokasi korban ditemukan, proses Berita Acara Pemeriksaannya (BAP) memerlukan waktu yang cukup panjang dan rata-rata korbannya berpendidikan rendah, sehingga dalam pemeriksaannya harus berulang-ulang dan banyaknya kasus trafficking yang belum tersentuh hukum karena keluarga korban tidak kooperatif dalam memberikan informasi mengenai pelaku, bahkan mereka cenderung melindungi pelaku.

Peran serta masyarakat sangat di butuhkan baik secara kelembagaan maupun perserorangan yang dapat di mulai dari orangtua, guru, tokoh agama, tokoh masyarakat, pejabat pemerintah, harus bahu membahu menyadarkan para pihak yang berpotensi terjadinya tindak pidanaperdagangan orang. Pentingnya tugas Pemerintah Pusat dan Daerah untuk mensejahterakan warganya, untuk bisa memperdayakan masyarakat dan menyediakan pekerjaan yang layak dengan penghasilan yang mencukupi dan Sosialisasi tentang trafficking harus di berikan secara intensif khususnya bagi masyarakat yang berpendidikan rendah dan masyarakat yang bertaraf ekonomi rendah untuk mengingatkan agar tidak mudah menerima bujuk rayu dan iming-iming kehidupan mudah mewah tanpa pekerjaan yang jelas karena seungguhnya hal tersebut akan menjerumuskan.

Temuan KPAI
KPAI mencatat tahun 2012 jumlah pengaduan kasus trafficking dan eksploitasi anak yang masuk ke KPAI melalui pelapor datang langsung, surat dan telepon sebanyak 19 kasus.Sedangkan berdasarkan pemantauan di media cetak, elektronik maupun online yang di lakukan KPAI terdapat 125 kasus trafficking dan eksploitasi anak. Berdasarkan hasil Monitoring dan Evaluasi (Monev) KPAI, ada 2 (dua) faktor yang mempengaruhi terjadinya trafficking dan eksploitasi diantaranya:

1. Faktor internal
A. Geografis
1) Bentuk Kepulauan, Banyak Celah Keluar Masuk
2) Indonesia terletak dekat dengan negara pengguna jasa TKI
B. Ekonomi
1) Kemiskinan, Lapangan Kerja Terbatas, Pertambahan Pengangguran
2) Penyediaan Lapangan Kerja terbatas &minimnya Jaminan Sosial
C. Sosial dan Budaya
1) Kualitas SDM yang rendah
D. Keamanan
1) Lemahnya pengawasan terhadap PJTKI
2) Keterbatasan Aparat Keamanan
3) Lemahnya Koordinasi Instansi Terkait

2. Faktor Eksternal
A. Kemajuan Teknologi Informasi, Transportasi
B. Meningkatnya Kebutuhan Tki di Luar Negeri
C. Agen Tki Di Negara Asing Yg Tdk Terjangkau Pengawasan
D. Nilai Kompetitif TKI Indonesia lebih rendah di bandingkan dengan TKI dari negara lain
E. Kesewenangan Majikan Kerja Diluar Jangkauan Pengawasan
F. Kelemahan Diplomasi / Promosi Upaya Indonesia

Data BARESKRIM POLRI mencatat bahwa selama tahun 2010 s/d 2013 terdapat 467 kasus trafficking. Jumlah anak yang menjadi korban trafficking dan eksploitasi sebanyak 197 orang sebagian besar adalah anak perempuan.

Eksploitasi anak dapat terjadi di daerah berbahaya bagi keselamatan jiwanya. berdasarkan data dari BARESKRIM Polri tahun 2011 s/d 2013 jenis pekerjaan yang mengeksploitasi anak terbesar adalah Ekspoitasi Seks Komersial Anak (ESKA)sebanyak 205 kasus, Ekspoitasi Ekonomi (Pekerja Anak) sebanyak 213 kasus, Untuk lebih rinci dapat di lihat pada tabel di bawah ini:

Jenis Eksploitasi dalam Trafficking

Posisi Indonesia sebagai negara yang memiliki jumlah penduduk yang relatif besar dan ketersedian lapangan pekerjaan yang minim di tambah dengan kualitas SDM yang terbatas, banyak korban memilih untuk bekerja di luar negeri yang janjikan bergaji sangat besar oleh para pelaku (trafiker) untuk mengeksploitasi korban. Berikut ini negara tujuaan dari para korban trafficking

Negara Tujuan Trafficking

RESPON DAN LANGKAH KPAI
1. Melakukan Monitoring dan Pemantauan ke daerah yang menjadi tujuan trafficking terutama daerah perbatasan dengan negara tetangga.
2. Melakukan advokasi kepada para pemangku kebijakan terutama kepada daerah yang di duga sebagai daerah asal korban trafficking.
3. Memperbaiki kualitas pendidikan dan mendorong pendidikan gratis Wajib Belajar (wajar) 12 (dua belas) tahun di semua provinsi dan Kabupaten Kota.
4. Mendorong Pemerintah Pusat dan Pemerintah daerah menyediakan pelatihan keterampilan dasar melalui program pemberdayaan masyarakat melalui pelatihan kewirausahaan.
5. Sosialisasi UU No. 21 Tahun 2007 tentang PTPPO dan Undang-Undang No,23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
6. Pembentukkan Pusat Pelayanan Terpadu disetiap Kabupaten Kota (PP No. 9 Tahun 2008 tentang tata cara dan mekanisme pelayanan terpadu bagi saksi atau korban TPPO).
7. Agar di bentuk payung hukum berupa Perda Pencegahan Trafficking di semua provinsi dan Kabiupaten-Kota.
8. Adanya lembaga pengawas perlindungan anak di setiap provinsi dan Kabupaten-Kota.

KESIMPULAN
Perdagangan orang khususnya child trafficking di Indonesia merupakan masalah yang sangat kompleks. Mengatasi permasalahan perdagangan orang tidak hanya melibatkan satu lembaga, akan tetapi harus melibatkan semua pihak yaitu: Negara, Pemerintah, Masyarakat, Keluarga dan Orangtua. Faktor pendorong terjadinya perdagangan orang adalah ketidakmampuan sistem yang ada dalam melindungi anak dari korban trafficking dan eksploitasi diantaranya:
1. Kemiskinan telah mendorong anak-anak tidak sekolah sehingga kesempatan untuk memiliki keterampilan kejujuran serta kesempatan kerja menyusut. Seks komersial kemudian menjadi sumber nafkah yang mudah untuk mengatasi masalah pembiayaan hidup.
2. Kesulitan dalam mencari lapangan pekerjaan, tetapi dengan kemampuan skill yang minim dan kurang mengetahui informasi pasar kerja, menyebabkan mereka terjebak dalam lilitan hutang para penyalur kerja dan mendorong mereka masuk dalam dunia portitusi.
3. Pengaruh Sosial Budaya seperti pernikahan di usia muda yang rentan dengan perceraian, yang mendorong anak memasuki eksploitasi seksual komersial.
4. Lemahnay penegakan hukum kepada para pelaku perdagangan orang (trafiker).

REKOMENDASI
Sejumlah cara yang dapat dilakukan untuk memecahkan masalah yang amat pelik ini. Pencegahan trafiking (perdagangan orang) dan eksploitasi dapat dilakukan melalui beberapa cara, yaitu:
1. Penyusunan, harmonisasi dan penerapan berbagai peraturan perundang-undangan dan kebijakan terkait pencegahan dan penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) . Upaya ini terutama ditujukan bagi provinsi dan kabupaten/kota yang belum memiliki peraturan daerah sebagai landasan hukumyang kuat untuk pelaksanaan pencegahan dan penanganan TPPO.
2. Bagi Kementerian/Lembaga: perlu menyusun peraturan pelaksanaan pencegahan dan penanganan TPPO dalam bentuk Peraturan Menteri dalam rangka optimalisasi implementasi UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang PTPPO; menyediakan pelayanan bagi korban TPPO sesuaitugas dan fungsinyaserta mengintegrasikan target/sasaran korban TPPO ke dalam program/kegiatan “pencegahan, pelayanan dan pemberdayaan” yang sudah ada.
3. Bagi Pemerintahan Daerah Provinsi: perlu menyusun peraturan pelaksanaan dalam bentuk Peraturan Daerah (PERDA), agar memperoleh dukungan pembiayaan untuk pelaksanaan kebijakan/program/ kegiatan pencegahan, pelayanan dan pemberdayaan. Bagi daerah yang belum memiliki kemampuan untuk menyusun Peraturan Daerah, diharapkan untuk menetapkan kebijakan daerah dalam bentuk Peraturan Gubernur.
4. Bagi Pemerintahan Kabupaten/Kota: perlu menyusun peraturan pelaksanaan dalam bentuk Peraturan Daerah (PERDA) agar memperoleh dukungan pembiayaan untuk pelaksanaan kebijakan/program/ kegiatan pencegahan, pelayanan dan pemberdayaan. Bagi daerah yang belum memiliki kemampuan untuk menyusun Peraturan Daerah, diharapkan untuk menetapkan kebijakan daerah dalam bentuk Peraturan Bupati/Walikota.
5. Kepolisian dan TNI perlumemperketat pengawasan di titik-titik rawan terjadinya penyelundupanorang untuk di jadikan trafficking terutama di pelabuhan ilegal.
6. Mendorong Aparat Penegak Hukum (Kepolisian, Jaksa dan Hakim) untuk menghukum berat para pelaku trafficking dan ekspoitasi terhadap anak dengan menggunakan Undang–Undang TPPO dan Perlindungan Anak.
7. Membangun kerjasama hukum antara negara-negara tujuan guna menghentikandan memutus rantai trafiicking anak.
8. Dirjen Imigrasi agar memperketat pemberian passport dan mengecek dokumen calon tenaga kerja yang masih di bawah umur agar tidak dapat bekerja di luar negeri
9. BNP2TKI agar memperketat dan menyeleksi PJTKI yang berkedok sebagai agen trafficker yang mempekerjakan anak sebagai TKI/TKW di Luar negeri
10. Memberdayakan perangkat RT/RW/Desa untuk melakukan soasialisasi kepada masyarakatnya atas adanya bahaya trafiking dengan berbagai modus sehingga tidak mudah terbujuk olehagen trafiking serta melakukan pengawasan dan tindakan pencegahan.

Exit mobile version