UJIAN NASIONAL DALAM PERSPEKTIF PERLINDUNGAN ANAK

Walaupun penolakan terhadap Ujian Nasional (UN) begitu massif, dari kalangan akademisi, pendidik, politisi dan masyarakat luas dengan sejumlah argumentasi rasional, namun Pemerintah tetap pada pendiriannya (mbegugug nguthowaton), tak bergeming dari niatan semula yakni menyelenggarakan Ujinan Nasional sebagai metode evaluasi pendidikan persekolahan di Indonesia. Bahkan Putusan Mahkamah Agung tanggal 14 September 2009 yang menolak kasasi pemerintah tetap dianggap angin lalu. “Sekali UN tetap UN. Lanjutkan!” begitulah kira-kira pendapat pemerintah.

Pada tahun 2008, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) melakukan serangkaian kajian dengan melakukan temu pakar, debat publik, pertemuan dengan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), diskusi dengan Menteri Pendidikan Nasional, dan sebagainya, yang akhirnya menyimpulkan, KPAI menolak pelaksanaan Ujian Nasional selama tidak ada perubahan yang significant atas pelaksanaan evaluasi akhir pendidikan tersebut.

Alasan Penolakan
Mengapa KPAI sebagai lembaga Negara justeru melakukan penolakan terhadap Ujian Nasional? Dengan pisau analisa dan atau perspektif perlindungan anak, Ujian Nasional memiliki kelemahan-kelemahan sebagai berikut:

Pertama, Ujian nasional bertentangan dengan “prinsip-prinsip perlindungan anak” yaitu: Non diskriminasi; kepentinagn terbaik bagi anak; hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan penghargaan terhadap pendapat anak. Ujian Nasional memuat praktek diskriminasi karena memperlakukan tuntutan yang sama terhadap semua anak peserta UN, padahal lingkungan geografi-sosial-ekonomi-dan kondisi sekolah tidak sama, bahkan sangat mencolok perbedaannya antara sekolah-sekolah di Jawa dan Luar Jawa, wilayah Indonesia Barat dengan Indonesia Timur, dan sebagainya. UN lebih untuk memenuhi kepentingan citra birokrasi pemerintahan daripada kehendak untuk memenuhi kepentingan anak. Dalam beberapa aspek praktek UN bisa mengganggu perkembangan mental moral anak karena prosesnya yang mekanis (unhuman), tanpa mempertimbangkan kemampuan dan kondisi masing-masing individu anak. Sementara itu, anak sebagai subyek pendidikan tidak pernah diberikan kesempatan untuk menyampaikan pendapatnya, kecualu melaksanakan kegiatan yang sudah deprogram oleh orang dewasa.

Kedua, Ujian Nasional menghambat pencapaian tujuan pendidikan nasional yaitu mengembangkan kemampuan spiritual, emosional, dan intelektual serta etos kerja dan pengendalian diri. UU Sistem Pendidikan Nasional merumuskan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Sedangkan UU Perlindungan Anak menyebutkan bahwa setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya. Praktek UN tidak akan memenuhi tujuan tersebut karena UN dilaksanakan secara massal dan serentak harus dialaksanakan “tes obyektif dalam bentuk pilihan ganda”.

Menurut penelitian, tingkah laku dalam belajar siswa dipengaruhi oleh perkiraan tentang apa yang akan diujikan (Sudijarto,2010). Dampaknya adalah: (1) peserta didik akan mempelajari, umumnya menghapal, tentang apa yang diujikan; (2) guru akan membantu melatih peserta didik cara menjawab soal-soal ujian; (3) sekolah akan berusaha keras menyusun program pelajaran tambahan pagi jam nol dan sore jam ekstra tanpa mempedulikan kondisi fisik siswa, serta membentuk “Tim Sukses”; (4) bimbingan belajar atau bimbingan tes akan bermunculan ikut mendriil siswa; (5) orang tua akan mendorong anak-anaknya untuk persiapan mengikuti UN;(6) Pemerintah Daerah dan pejabat pendidikan akan menekan sekolah agar para peserta UN bisa lulus semua, (7) penerbit buku berlomba menerbitkan buku kumpulan soal-soal UN dan jawabannya; dan (8) polisi ikut sibuk mengamankan naskah soal ujian dan menjaganya selama ujian berlangsung. Kondisi demikian tidak relevan dengan fungsi, tujuan dan prinsip pendidikan sebagaimana penulis kutip di atas.

Ketiga, sampai saat ini tidak ada bukti bahwa UN berhasil meningkatkan mutu pendidikan. Bahwa UN berhasil menaikkan nilai-nilai mata pelajaran yang di UN kan iya, tetapi tidak dengan mutu pendidikan. Kita sepakat bahwa pendidikan meliputi ranah kognitif, afektif, dan psikomotor. UN hanya membuat terampil dalam hal menghapal, tetapi tidak mengembangkan kemampuan analitik, pengembangan kepribadian siswa dan apalagi kemandirian dalam menghadapi kehidupan. Banyaknya siswa yang mengikuti bimbingan tes juga menunjukkan bahwa sekolah sebagai lembaga pendidikan utama telah gagal memenuhi harapan sebagai agen untuk meningkatkan mutu pendidikan.

Keempat, UN telah melahirkan tekanan dan rasa takut pada para siswa, bahkan diam-diam merasa terancam. Pendidikan yang semestinya penuh keramahtamahan, kenyamanan, rasa aman, penuh cinta kasih, justeru berubah menjadi suasana yang menegangkan dan menakutkan, sehingga tidak sedikit para siswa yang mengalami stress pada saat menghadapi UN, bahkan ada yang melakukan bunuh diri. Suasana tekan menekan sangat terasa. Pemerintah Daerah menekan Sekolah, pihak sekolah menekan guru, dan guru menekan siswa. Dalam konteks ini, pendidikan telah melahirkan kekerasan, atau setidak-tidaknya ancaman kekerasan terhadap anak. Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 B ayat (2) menyatakan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta dilindungi dari kekerasan dan diskriminasi. Dari sini sangat jelas, UN bukan turunan dari mandat konstitusi dasar.

Kelima, UN telah mendegradasi mental moral siswa dan komponen pendidikan lainnya karena berbagai kecurangan yang dilakukan secara sistematis. Akibat tekanan “politis”, menjaga citra dan mengamankan promosi karier Kepala sekolah, sekolah membentuk “Tim sukses” yang diberi tugas dengan segala cara membantu kelulusan siswa. Tim sukses akan berusaha mencari bocoran soal, atau bocoran jawaban soal, untuk kemudian mendistribusikannya kepada para siswa dengan segala cara; seperti memasang jawaban soal di toilet, mengirimkan via short massage service (SMS), sampai mengganti lembar jawab siswa oleh guru-guru yang ditunjuk. Praktek kotor seperti ini sudah menjadi rahasia umum di kalangan para jajaran Dinas Pendidikan, Kepala sekolah, dan guru. Jadi kebohongan, kecurangan, dan sifat-sifat koruptif-kolutif justru dipertontonkan kepada para siswa, sehingga yang terjadi out put pendidikan tidak melahirkan anak-anak dengan kepribadian tangguh dan sportif, melainkan kepribadian yang rapuh, berlomba melakukan kecurangan dalam mencapai tujuan hidup. Artinya, hasil UN tidak menggambarkan kemampuan siswa yang sesungguhnya karena banyak variabel yang turut bermain dalam kemunculan nilai-nilai UN. Beberapa kasus di lapangan, di antaranya menyampaikan testimoni ke KPAI, banyak juara kelas atau pemegang ranking atas pada buku raport semester sebelumnya, tetapi justeru tidak lulus. Sebaliknya tidak sdikit seorang anak pemalas, tetapi punya akses pada banyak sumber, ia dinyatakan lulus.

Keenam, faktanya UN dianggap sebagai segala-galanya/didewakan. Sejak akhir tahun, semua energi sekolah diperuntukkan bagi sukses UN. Mata pelajaran UN ditambah, mata pelajaran lainnya dikurangi bahkan ada sekolah-sekolah yang sejak bulan Januari meniadakan pelajaran non-UN. Guru-guru pengampu mata pelajaran UN menjadi guru “kelas satu”, sementara guru non-UN adalah “guru kelas dua”. Siswa akan berbeda dalam memandang dan memberikan apresiasi antara guru satu dengan guru lainnya, antara mata pelajaran satu dengan mata pelajaran lainnya. Dalam konteks pengembangan pribadi dan tingkat kecerdasan sesuai dengan minat dan bakatnya, UN sangat tidak nyambung.

Ketujuh, walaupun Pemerintah menyatakan bahwa UN bukan untuk menentukan kelulusan, hanya untuk pemetaan, dalam kenyataannya tidak ada follow up yang nyata untuk memperbaiki kondisi pendidikan di Indonesia berdasarkan hasil pemetaan tersebut. Setiap tahun sangat jelas hasil UN menunjukkan sekolah-sekolah di pedesaan, daerah pinggiran, atau kawasan Indonesia Timur jauh lebih rendah dibandingkan dengan anak-anak di Jakarta atau Jogjakarta, namun tidak ada langkah konkret kebijakan perlakuan istimewa bagi sekolah-sekolah yang terbelakang tersebut.

Serahkan ke sekolah
Pertanyaanya, jika UN yang ada sekarang ditolak, bagaimana evaluasi pendidikan persekolahan dilaksanakan?

Pertama, konsolidasikan kembali sistem pendidikan nasional sesuai amanat UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, yang menempatkan prinsip-prinsip holistik dalam memandang manusia, dan menjadikan pendidikan sebagai alat untuk membangun karakter bangsa, bukan sekedar media untuk mencapai target-target politik.

Kedua, kembalikan evaluasi pendidikan kepada lembaga penyelenggara pendidikan. Saya tetap yakin, bahwa yang paling tahu seperti apa kondisi siswa, yang bisa mengukur seorang siswa lulus atau tidaknya dari sebuah lembaga pendidikan adalah para guru, bukan lembar soal dan jawaban jawaban yang diritualkan sebagai penentu kelulusan. UN juga tidak sejalan dengan otonomi sekolah, di mana guru sebagai profesi melekat di dalamnya tanggung jwab keilmuan atas lulus tidaknya seorang anak didik.

Ketiga, bila UN dipandang sebagai sebuah imperative dalam rangka standarisasi pencapaian target kurikulum, maka tata kembali 8 (delapan) komponen standarisasi pendidikan berdasarkan UU Sisdiknas secara simultan dan komprehensif bukan hanya standarisasi evaluasi saja yang dilakukan, sementara standarisasi komponen lainnya terabaikan . Kunci utama pada guru, maka lakukanlah rekruitmen guru yang benar, dipersiapkan dan dikelola secara professional sehingga lahir guru professional. Bila guru professional (baik kapasitas keilmuan, integritas kepribadian, dan komunikasi sosial), maka evaluasi pendidikan akan menggunakan model apapun bisamenghasilkan out put yang terukur dan akurat. Selama ini guru selalu ditampilkan sebagai tertuduh dalam konteks keruwetan UN, padahal sejatinya ia produk sistem yang ruwet dan kedodoran.

Akhirnya ingin saya kemukakan, bahwa pendidikan adalah proses panjang dari sebuah interaksi dan kemunikasi antara anak didik dengan pendidik dan lingkungan sekitar, eksplorasi alam, serta daya juang penyerapan pengetahuan dan pengalaman untuk memperoleh perubahan perilaku. Untuk mencapai hal itu bukan hasil kerja instan, atau meringkas pengetahuan hanya menjadi lembar soal pilihan ganda. Penyederhanaan persoalan seperti itu sangat tidak manusiawi dan dijawab tidak akan mampu menjawab persoalan-persoalan kehidupan individu, masyarakat, bangsa, dan Negara.

Tantangan terbesar bangsa ini adalah bagaimana melahirkan manusia yang jujur, adil, demokratis, sehingga mampu menghentikan praktek korupsi dan kolusi. Selama korupsi masih merajalela, jangan sekali-kali mengklaim bahwa telah terjadi peningkatan mutu. Apalagi bila praktek korupsi berlangsung dalam dunia pendidikan itu sendiri. Inilah persoalan riil yang wajib dijawab oleh semua pihak, terutama otoritas penyelenggaraan pendidikan nasional.

Exit mobile version