Awasi Anak Terindikasi Paham Radikal

JAKARTA – Ada dampak lain dari buruknya pengawasan pada pemanfaatan teknologi. Anak mudah terindoktrinasi radikalisme dan terpapar faham ekstrimis.  Dari laporan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), angka kasus menyangkut agama dan budaya tahun ini meningkat tajam. Ada sekitar 219 kasus, naik 82 persen dari tahun sebelumnya. ”Saat ini, radikalisme sangat berkembang biak di media sosial (medsos),” tutur Asrorun.

KPAI sendiri saat ini tengah fokus mengawasi gerak-gerik empat anak yang terindikasi paham radikal ini. Pengawasan secara intensif sejatinya telah dilakukan sejak 2013 lalu. Dimulai dari mencuatnya kasus di Cirebon. Sebuah lembaga pendidikan terendus menyisipkan paham radikal pada anak didik mereka.

Kemudian, adanya kasus terorisme yang dilakukan oleh pelaku usia anak. Kasus terjadi pada 2014 lalu di Klaten, Jawa tengah. ”Prosesnya (radikalisasi, Red) tidak dilakukan dalam waktu pendek. Proses dilakukan jauh sebelumnya,” ungkapnya.

Komisioner Penanggung Jawab Bidang Hak Sipil dan Partisipasi Anak KPAI Rita Pranawati menuturkan, anak-anak ini terjerat paham radikal setelah mempelajarinya melalui internet. Tanpa pengawasan, mereka cenderung salah menafsirkan apa itu arti jihad dan lainnya. ”Jihad di Suriah diposisikan sama seperti di Indonesia. seharusnya ada pendampingan yang bisa menjelaskan hal itu,” ungkapnya.

Dari empat anak yang tengah diawasi intensif oleh KPAI, satu anak saat ini sedang berada di penjara atas kasus percobaan pengeboman di salah satu tempat ibadah. Satu orang lainnya, karena mengancam peledakan salah satu kantor berita asing. ”Dua lainnya ini sedang dalam rehabilitasi dan pengawasan intensif kami. Mereka memang belum tersangkut kasus, tapi sempat ada keinginan untuk melakukannya,” jelasnya.

Banyak pihak yang mengira keempatnya berasal dari keluarga dengan paham garis keras. Nyatanya tidak, mereka tumbuh di tengah keluarga normal biasa. Sayangnya, lagi-lagi pola asuh yang kurang. Pasalnya, indikasi anak mengalami perubahan nyata dalam pola pikir dan tindakan sudah terjadi sejak lama, sekitar lima sampai enam tahun sebelumnya. Namun, orang tua mendiamkan karena tidak mampu mengatasi.

”Cirinya mudah. Anak tidak mau lagi berkumpul dengan sekitar. Lalu, tidak lagi menghormati para ulama yang ada, tidak mau lagi salat di masjid yang biasanya. Cenderung pendiam. Ini harus segera ditindaklanjuti,” ungkapnya.

Selain melalui internet, radikalisasi ini ternyata sangat dekat dengan kehidupan di penjara. Dari pengawasan yang dilakukan KPAI, anak-anak yang berhadapan dengan hukum sangat rawan terpapar. Pasalnya, mereka ditempatkan bersama dengan terpidana dewasa. Lebih parahnya, mereka merupakan terpidana atas kasus terorisme. ”Ada salah satu anak yang cerita. Dia didekati (terpidana terorisme, Red),” ungkapnya.

Karenanya, KPAI mendesak aparat untuk memisahkan terpidana anak dengan dewasa segera. Selain itu, aparat diminta menerapkan pendekatan restorative justice atau pendekatan pemulihan bagi anak-anak yg terpapar terorisme. Sesuai dengan UU 12/2012 tentang  Sistem  Peradilan Pidana Anak, mereka perlu diarahkan untuk memulihkan bukan penghukuman (punitif), membuat anak memiliki masa depan yang lebih baik

Exit mobile version