Bocah lima tahun dianiaya ibu: Mengapa para tetangga ‘mengabaikan’?

Kematian bocah lima tahun akibat dianiaya ibunya di Jakarta Barat, Sabtu (11/11), memunculkan lagi persoalan lama yang belum tertangani yaitu ketidakpedulian tetangga atau masyarakat yang tinggal di dekat rumah anak korban kekerasan.

Kasus kekerasan terhadap anak -yang berujung pada kematian- seharusnya dapat dicegah apabila warga sekitarnya yang mengetahuinya lebih dini dan segera melaporkan kepada otoritas terkait, demikian Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).

“Andaikan orang-orang ini (para tetangga korban) tidak cuek, tidak abai, maka sebenarnya anak ini bisa kita tolong,” kata komisioner KPAI, Retno Listyarti, kepada BBC Indonesia, Senin (13/11).

Temuan awal kepolisian mengungkapkan tersangka NW, 26 tahun, menganiaya anaknya GW, yang berusia lima tahun, karena sang anak sering mengompol setidaknya sejak dua bulan belakangan.

Penganiayaan terjadi di kamar kos yang disewa NW di kawasan Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Foto dan tayangan televisi menunjukkan kamar kos mereka berdempetan dengan ruangan lainnya.

Dari kenyataan itu, seharusnya, menurut Retno, orang-orang yang tinggal di dekat kamar kos NW dapat ‘mendengar’ atau ‘melihat’ kekerasan yang dilakukan NW terhadap anaknya.

“Tinggal di tempat kos, hanya berbatas tembok, seharusnya (kekerasan) ini bisa dicegah, andai orang di sekeliling tidak abai, tetapi mau melakukan perlindungan terhadap anak,” kata Retno.

Kepedulian masyarakat ini, sambungnya, sangat dibutuhkan untuk menyelamatkan anak-anak yang riskan mengalami kekerasan oleh orang-orang terdekat di sekelilingnya.

Anak-anak, apalagi masih berusia lima tahun, tentu tidak bisa melindungi dirinya sendiri. “Dia berada di kekuasaan ibunya, dan tidak mungkin melaporkan kekerasan yang dia alami. Jadi di sinilah sebetulnya butuh bantuan orang di sekelilingnya,” tandasny.

“Kalau ibunya tidak bisa ditegur, ya mestinya bisa dilaporkan ke RT/RW setempat. Dan, karena ini merupakan delik pidana, sebenarnya bisa melapor ke polisi,” tegasnya.

Diancam hukuman pidana

Direktur Rehabilitasi Sosial Anak Kementerian Sosial, Nahar, mengatakan, orang-orang yang mengetahui praktik kekerasan terhadap anak dan kemudian membiarkannya, dapat diancam hukuman pidana.

“Kalau orang-orang mengetahui, misalnya, penelantaran seorang anak, kalau dia mendiamkan, itu bisa dihukum,” kata Nahar kepada BBC Indonesia, Senin (13/11).

Dia kemudian merujuk pada 59 ayat 2 dalam Undang-undang Perlindungan anak nomor 35 tahun 2014. “Diingatkan di situ, lantaran membiarkan seorang anak menjadi korban kekerasan, dia juga bisa dikenai pidana.”

Namun masalahnya -seperti diakui Nahar dan komisioner KPAI Retno Listyarti- masyarakat kebanyakan sepertinya tidak mengetahui bahwa sikap abai masuk dalam kategori pelanggaran hukum.

Retno kemudian mencontohkan kasus pembunuhan bocah Angeline di Provinsi Bali dua tahun lalu yang pelakunya adalah ibu angkatnya,.

“Dalam kasus Angeline, tidak ada orang di sekitarnya yang mengetahui kondisi Angeline cukup lama, itu sama-sekali tidak terkena hukuman,” kata Retno.

Laporkan ke hotline 1500771

Sementara Nahar menduga mungkin saja masyarakat kebanyakan tidak mengetahui adanya aturan hukum seperti itu, atau sikap kebanyakan masyarakat yang memang semakin mementingkan diri sendiri.

“Tetapi, apapun, kalau regulasi dibuat berdasarkan prinsip hukum, tahu atau tidak tahu hukumnya sudah ada dan itu harus dipatuhi,” kata Nahar.

Karena itulah Nahar dan Retno mengharapkan kasus kekerasan yang menimpa bocah GW di Jakarta Barat dapat dijadikan pengingat agar masyarakat segera melaporkan apabila mengetahui ‘sinyal-sinyal kekerasan’ terhadap anak.

Kementerian Sosial sudah membuka saluran hotline 1500771 kepada masyarakat yang ingin melaporkan kasus kekerasan terhadap anak.

Sejauh ini, menurut Kemensos, laporan aduan yang paling banyak adalah kekerasan seksual terhadap anak dan disusul kasus kekerasan dalam rumah tangga dengan korban anak-anak

Exit mobile version