Bom Surabaya ‘Gandeng’ Anak, KPAI Soroti Pola Terorisme

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menilai gerakan terorisme di Indonesia terus mengalami pergeseran dari tahun ke tahun.

Ketua KPAI Susanto menyebut masyarakat perlu mengetahui soal pergeseran modus tersebut, termasuk pola rekrutmen menjadi “pengantin” bom agar upaya pencegahan bisa dilakukan sedini mungkin.

Menurutnya, saat ini rekrutmen pelaku jaringan terorisme telah menggunakan berbagai pola. Salah satunya melalui peran keluarga sebagaimana serangan bom di Surabaya, dua hari terakhir.

“Infiltrasi terorisme melalui institusi keluarga. Modus melalui proses pengasuhan tidak mudah dideteksi karena terjadi pada ruang-ruang tak terpantau oleh orang sekitar,” ujarnya saat konferensi pers di Kantor KPAI, Jakarta, Selasa (15/5).

Selain modus keluarga, terdapat tiga modus lainnya yang secara umum digunakan teroris untuk melancarkan aksinya.

Pertama, modus perkawinan. Sebagaimana kasus temuan bom di Bekasi, Jawa Barat tahun 2016 silam. Saat itu, pelaku pria berinisial MNS menikahi wanita berinisial DYN yang baru dikenal tiga bulan lewat media sosial.

Kedua, modus indoktrinasi melalui media sosial. Pola itu, kata Susanto, seringkali dipilih oleh para mentor jaringan teroris, termasuk dengan sasaran usia dan remaja yang akan dilibatkan dalam aksi terorisme.

“Melalui media sosial, injeksi radikalisme bisa tumbuh dan berkembang,” ujarnya.

Ketiga, modus patronase guru. Susanto mengingatkan penyusupan melalui guru untuk melakukan rekrutmen pelaku teror perlu diwaspadai.

“Karena mentoring menjadi radikalis, apalagi teroris cukup efektif melalui patronase guru. Anak sangat mudah terpengaruh untuk mengikuti, mengingat guru sebagai sosok yang diyakini pembawa kebenaran,” katanya.

Pola Pelibatan Anak

Susanto menuturkan pola pelibatan anak dalam jaringan terorisme terjadi di berbagai level. Jika dikategorisasikan, jaringan terorisme dapat dikelompokkan ke dalam lima grup.

Pertama, kelompok eksekutor yaitu mereka yang terlibat aktif melakukan aksi teror di lapangan. Artinya, anak dilibatkan dalam aksi teror di sejumlah titik daerah.

Kedua, kelompok perencana dan pengatur lapangan. Kelompok ini memilih waktu, lokasi dan momentum yang dianggap tepat dalam melakukan aksinya. Dalam sejumlah kasus, anak juga dilibatkan dalam perencanaan sebelum melakukan aksinya.

Ketiga, kelompok mentor.

“Dia berperan mencari dan melakukan pembibitan kader teroris. Infiltrasi yang dilakukan biasanya melalui berbagai pendekatan, termasuk juga infiltrasi melalui satuan pendidikan, jaringan organisasi tertentu dan pertemuan rutin atas nama agama,” kata Susanto.

Mentor utama juga seringkali memanfaatkan anak dan remaja untuk melakukan mentoring kelompok sebaya.

Keempat, kelompok penyandang dana.

“Ini seringkali tak terdeteksi, tetapi berkontribusi besar terhadap kesuksesan aksi teror yang dilakukan,” ujar Susanto.

Kelima, kelompok simpatisan.

“Kelompok ini tidak terlibat aktif melakukan aksi teror, tetapi memberikan dukungan moral terhadap aktifitas yang dilakukan oleh jaringan terorisme,” ujarnya.

Tidak Mengarah ke Kekerasan Langsung

Kendati demikian, Susanto menyebut indoktrinasi jaringan teroris dengan sasaran usia anak biasanya tidak langsung mengarah pada kekerasan langsung atau direct violence agar anak terlibat dalam aksi bom.

“Pada tahap tertentu, anak terlibat menebarkan ekspresi kebencian, seperti kebencian terhadap pemerintah, terhadap aparat negara, terhadap sistem negara serta terhadap kelompok lain yang tidak sepaham,” kata Susanto.

Sistem itu menyebar secara personal ke personal lain secara masif. Sehingga, pola geraknya sulit dilacak. Dengan demikian, Susanto mengimbau agar deteksi dini harus dilakukan oleh berbagai pihak, baik pihak sekolah, keluarga, guru ngaji, dan masyarakat.

Exit mobile version