Catatan Akhir Tahun-KPAI Meneropong Persoalan Anak

JAKARTA Komisi Perlindungan Anak Indonesia mencatat pengaduan terkait dengan persoalan anak sebanyak 3.849 kasus pada tahun 2017, atau mengalami penurunan dari data pada tahun sebelumnya.

Hal ini juga terbantu oleh banyaknya bantuan perlindungan anak dari lembaga lain. Dari situasi ini dapat dilihat bahwa mulai tumbuhnya lembaga-lembaga layanan perlindungan anak di daerah. Dengan demikian, pengaduan kasus pelanggaran anak, cukup diadukan ke lembaga terdekat dan tidak melakukan pengaduan ke KPAI, kata Ketua KPAI Susanto.

 

Singkat kata, terjadi masifnya advokasi perlindungan anak. Terkait dengan itu, Susanto mengatakan bahwa perilaku masyarakat terkait dengan perlindungan anak juga mulai membaik. Kasus pelanggaran terhadap hak anak mulai berkurang meski kasus-kasus ekstrem masih terus terungkap.

Ia mengatakan bahwa model-model pengarusutamaan perlindungan anak pada lembaga penyelenggaraan perlindungan anak juga mulai bertumbuh. Begitu pula, dengan sekolah ramah anak, puskesmas ramah anak, dan lain sebagainya.

Meskipun demikian, kualitas dan kerumitan kasus kekerasan terhadap anak makin meningkat. Hal itu dapat dilihat misalnya kasus video pornografi yang korbannya lebih dari 750.000 anak serta kasus-kasus perundungan (bullying) yang masih terjadi di sekolah-sekolah di Tanah Air.

Kasus-kasus pornografi dan kejahatan seksual terhadap anak di dunia maya menjadi problem era digital. Pada satu kasus pornografi dan kejahatan terhadap anak di dunia maya bisa jadi tindakan kriminalitasnya sedikit. Namun, korbannya bisa ratusan bahkan ribuan, katanya.

Diperlukan upaya maksimal untuk melakukan identifikasi korban kekerasan seksual terhadap anak di dunia maya agar mereka mendapatkan rehabilitasi optimal. Selain itu, literasi internet sehat kepada anak-anak sudah harus menjadi keharusan pada era globalisasi yang perlu diikuti dengan kebijakan informatika yang ramah anak.

Dunia internet yang menawarkan banyak manfaat, nyatanya juga memiliki dampak lain. Seperti pisau, internet mampu bermanfaat. Akan tetapi, jika tidak dengan baik, justru dapat membahayakan. Menguatnya radikalisme di kalangan anak sedikit banyak juga dipengaruhi oleh internet yang menjadi surga informasi, hampir untuk segala hal.

Berdasarkan kajian KPAI, keterpaparan anak pada paham radikal didapatkan dari akses internet, bahan bacaan, keluarga, hingga di ruang sekolah. Tanpa dampingan orang tua, sekolah, dan masyarakat sebagai satu kesatuan fungsi saling kontrol, anak memiliki kerentanan yang tinggi menjadi korban paham radikal.

Sementara itu, selama 7 tahun terakhir, berdasarkan laporan pengaduan KPAI jumlah korban dan pelaku kekerasan usia anak mencapai 28.284 orang dengan jumlah korban dan pelaku berjenis kelamin laki-laki.

Menurut Wakil Ketua KPAI Rita Pranawati, hal itu mengkonfirmasi berbagai temuan kementerian dan lembaga bahwa anak laki-laki memiliki kerentanan yang tinggi, baik sebagai pelaku maupun korban. Pada tahun 2017, anak laki-laki sebanyak 1.234 atau 54 persen dan anak perempuan sebanyak 1064 (46 persen) sebagai korban dan pelaku.

Maka dari itu, dia mengajak orang tua dan lingkungan sekitar untuk turut memperhatikan perkembangan dari anak laki-laki karena golongan tersebut adalah kalangan rentan menjadi pelaku dan korban kekerasan.

Rita yang merupakan Komisioner Bidang Pengasuhan KPAI mengatakan bahwa peran ibu dalam pengasuhan anak sangat penting. Akan tetapi, dalam pengasuhan kehadiran seorang ayah juga tidak bisa disepelekan.

“Ayah tidak hanya diharapkan memenuhi pemenuhan kebutuhan fisik sebagaimana gambaran profil ayah hari-hari ini. Namun, anak-anak juga sangat menanti kasih sayang dan perhatian ayah,” katanya.

Ayah di Indonesia, kata dia, sering berposisi sebagai pahlawan ekonomi keluarga. Akan tetapi, dalam banyak hal peran ayah untuk tumbuh kembang anak justru kurang. Dengan kata lain, figur ayah belum hadir secara optimal pada pengasuhan buah hatinya.

Anak yang mendapatkan kasih sayang dari ayah, lanjut dia, akan tumbuh lebih percaya diri, berani mengambil risiko, dan memiliki daya juang yang baik. Anak yang tumbuh tanpa kehadiran ayah cenderung akan tumbuh menjadi pribadi yang rapuh, sulit mengambil keputusan hingga mengalami keterlambatan perkembangan psikologis.

“Fatherless atau ketidakhadiran ayah secara umum akan berdampak bagi kepercayaan diri, kemampuan, beradaptasi, mengambil keputusan dan mengambil risiko, kematangan emosi dan psikososial,” katanya.

Mengutip Survei Indeks Nasional Pengasuhan Anak di Indonesia tahun 2015 oleh KPAI, Rita mengatakan bahwa peran ayah dibandingkan ibu, hanya sedikit lebih baik dalam hal mengetahui dampak teknologi informasi, pemenuhan nafkah, dan menguruskan akta kelahiran.

Secara umum, kata dia, peran ibu masih dominan pada semua indeks pengasuhan dibandingkan peran ayah, mulai dari pengasuhan fase awal, pemenuhan hak dasar, penanaman nilai dasar, pola komunikasi orang tua dan anak, akses dan alat media digital, pencegahan kekerasan serta partisipasi anak.

Dari sisi hukum, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia Putu Elvina mengatakan bahwa kasus anak berhadapan dengan hukum (ABH) masih menjadi kasus tertinggi di KPAI dengan kasus sebanyak 1.209 kasus.

Angka itu diikuti dengan kasus bidang keluarga dan pengasuhan alternatif sebanyak 593 kasus dan kasus pornografi dan kriminal siber sebanyak 514 kasus. Sejak 2016, kasus bidang pornografi dan kriminal siber jumlah kasus bertambah dan menggantikan posisi bidang pendidikan.

Pada kasus anak berhadapan dengan hukum, anak sebagai pelaku kekerasan sebanyak 530, sedangkan anak sebagai korban 477. Dari data tersebut, KPAI berpandangan bahwa kerentanan anak saat ini tidak lagi hanya menjadi korban, tetapi juga menjadi pelaku meskipun anak pelaku tersebut juga merupakan “korban” dari persoalan pengasuhan di keluarga maupun situasi lingkungan yang kurang mendukung.

Putu yang merupakan Komisioner KPAI bidang Anak berhadapan Hukum menyoroti ada kecenderungan perlindungan korban dan upaya penegakan hukum terhadap pelaku kejahatan seksual terhadap anak belum menjadi isu prioritas. Bila itu terjadi, akan menambah terjalnya jalan menuju proses hukum yang berkeadilan.

Ia mencontohkan terjadi pembatalan tersangka Y yang diduga mencabuli anak bawah umur dalam gugatan praperadilannya di Pengadilan Negeri Bandung merupakan bentuk kemunduran perlindungan anak.

Putu mengatakan bahwa KPAI menyayangkan putusan PN Bandung tersebut. Anak korban pencabulan kebanyakannya adalah korban diam atau “silent victim” atas derita yang mereka alami. Untuk menceritakan yang mereka alami, korban membutuhkan kekuatan yang luar biasa.

Terlebih, kata dia, bila anak mendapat tekanan atau ancaman terhadap dirinya sehingga tidak jarang dia dipaksa membuat pengakuan yang berbeda saat dalam persidangan. Padahal, kasus tersebut bermula dari laporan orang tua karena pengakuan anak atas peristiwa pencabulan yang dilakukan terlapor. Persetubuhan dan pencabulan terhadap anak merupakan delik biasa, bukan delik aduan.

Dalam delik biasa, pencabutan laporan baik oleh pelapor atau terlapor tidak bisa menghentikan proses hukum yang sedang berjalan. Tersangka dalam gugatannya menyatakan bahwa pihaknya sudah melakukan perdamaian dengan korban.

Exit mobile version