Cegah perkawinan anak, KPAI melaporkan WO yang berindikasi melanggar hak anak

Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Rita Pranawati, MA menjelaskan KPAI menerima laporan masyarakat terkait WO yang mempromosikan perkawinan usia anak yaitu 12 sampai 21 tahun pada tanggal 9 Februari 2021, kemudian KPAI melakukan penelaahan terhadap laporan tersebut. Sesuai dengan tugas KPAI yang tercantum dalam UU Perlindungan Anak Pasal 76 ayat g yaitu “memberikan laporan kepada pihak berwajib tentang adanya dugaan pelanggaran terhadap Undang-Undang ini”, kemudian KPAI mengambil langkah yaitu memberikan laporan kepada Bareskrim Mabes Polri  khususnya Kanit PPA untuk lebih lanjut melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap dugaan pelanggaran terhadap 3 Undang-Undang yaitu pertama Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2014, Undang-Undang Perkawinan Nomor 16 Tahun 2019 dan yang ketiga Undang-Undang No 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan TPPO jika terbukti ada dugaan tindak pidana perdagangan orang dan jika ada unsur transaksi di dalam kasus ini.

KPAI juga terus berkoordinasi untuk proses penyelidikan yang sedang dilakukan oleh Bareskrim Mabes Polri. Dalam penelaaahan terkait kasus WO ini, KPAI melihat didalam website tersebut mempromosikan perkawinan usia muda tetapi usianya 12 -21 tahun yang didalamnya ada usia anak. Kalimat dalam website tersebut menggunakan “anda harus” yang bermakna mengharuskan sebagai bentuk ketaatan kepada Allah dan suami. Aisha Wedding ini juga menggunakan gambar-gambar anak. Pada laman Facebook dijawab oleh pemilik WO bahwa “Kalau orang tuanya sudah mau, mau apa, kalau KUAnya menyetujui mau apa daripada miskin”. Apa yang tercantum dalam Aisha WO tersebut sangat tidak sesuai dengan hak anak. Kepentingan terbaik bagi anak harus menjadi prioritas. Adanya kasus Aisha WO menjadi keprihatinan KPAI.

Dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 16 Tahun 2019 disebutkan bahwa perkawinan ideal adalah 21 tahun kemudian dibawah 21 tahun sampai dengan 19 tahun dimintakan ijin orang tua. Usia minimal bagi laki-laki dan perempuan menikah adalah 19 tahun. Jika dibawah 19 tahun maka dimintakan dispensasi. Dispensasi kawin itu tidak dikeluarkan oleh KUA tetapi dimintakan ke Pengadian Agama atau Pengadilan Negeri. Ketika kemudian ada promosi perkawinan usia 12 tahun hal ini melanggar hak anak dan mencederai kehadiran UU Perkawinan.

Kemudian kenapa perkawinan anak itu harus kita cegah? Karena pada prinsipnya ketika anak menikah di usia yang sangat belia akan terganggu hak-haknya, hak pendidikannya, hak bermain, hak kesehatan yang baik juga akan terganggu karena organ reproduksinya belum siap kemudian dipaksa untuk hamil. Tentu semuanya akan berdampak pada psikologis anak karena anak belum cukup siap untuk memasuki dunia perkawinan tetapi kemudian dipaksa untuk memasuki dunia perkawinan. Dampak jangka panjangnya yaitu anak akan berhenti sekolah, kemiskinan yang berulang, stunting, serta mengganggu tumbuh kembang anak. Bagaimana kemudian seorang anak harus mengasuh anak, hal ini tentu akan berdampak pada optimalnya tumbuh kembang anak itu sendiri. Secara fisik dan psikologis usia anak tidak siap untuk menikah. Indonesia terus menggerakkan kampanye mencegah perkawinan anak karena sesungguhnya dengan mencegah perkawinan anak kita juga sedang menyiapkan SDM Indonesia yang unggul.

Tujuan perkawinan itu untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. “Kalau kemudian perkawinan dipaksakan dan yang menjalani tidak siap maka dampak jangka panjangnya adalah ketidakbahagiaan dalam keluarga dan efek dominonya adalah kesejahteraan  anak terganggu”, tegas Wakil Ketua KPAI, Rita Pranawati, MA (11/02).

Exit mobile version