Dari Tarakan ke Nunukan: Potret Ancaman Perdagangan Anak di Wilayah Perbatasan

Foto: KPAI, 2025

Kalimantan Utara, – Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyatakan bahwa anak-anak di wilayah perbatasan Kalimantan Utara terancam menjadi korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), eksploitasi seksual, hingga kehilangan akses terhadap hak dasar seperti pendidikan dan kesehatan. 

Hal ini terungkap dalam kegiatan pengawasan KPAI ke Kota Tarakan dan Kabupaten Nunukan pada Rabu (14/05/2025), dua wilayah strategis berbatasan langsung  dengan Malaysia. Ai Maryati Solihah, Ketua KPAI, mengungkapkan bahwa  jalur ilegal menuju Malaysia kerap dimanfaatkan untuk menyelundupkan pekerja migran tanpa dokumen, termasuk anak-anak yang menyusul orang tua mereka dan berisiko turut dieksploitasi.

“Minimnya pemahaman masyarakat tentang TPPO serta lemahnya pengawasan dermaga lokal menjadi celah serius yang membahayakan anak-anak,” tegas Ai Maryati.

Selain itu, KPAI menyoroti praktik pemberian dokumen ilegal oleh pihak konsulat dan majikan di Malaysia yang mengakibatkan anak-anak pekerja migran Indonesia kehilangan akses terhadap hak dasarnya. Ai Maryati menekankan pentingnya pengawasan ketat dan edukasi yang masif kepada komunitas PMI, keluarga hingga masyarakat.

Dalam tiga tahun terakhir, Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) KPAI telah mencatat 168 laporan pengaduan kasus anak dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, serta 127 laporan pengaduan kasus anak korban penculikan, penjualan dan/atau perdagangan. Dalam pantauan media tercatat angka TPPO sepanjang Tahun 2024 Polda Kaltara melindungi sekitar 419 korban , sedangkan di Nunukan pada awal mei polisi menggagalkan sekitar 82 korban yang akan diberangkatkan ke Malaysia dan 10 diantaranya usia anak.

Sementara itu, Kombes Pol Yudhistira Midyahwan, Ditreskrimum Polda Kalimantan Utara mengungkapkan bahwa Kota Tarakan dan Kabupaten Nunukan mencatat angka tertinggi untuk kasus TPPO dan kekerasan terhadap anak. Ia juga mengungkapkan keberadaan “kampung narkoba” di Tarakan yang membahayakan anak-anak—baik dari risiko eksploitasi seksual maupun menjadi kurir narkoba.

“Baru-baru ini kami telah berhasil menggagalkan keberangkatan dua anak laki-laki yang akan bekerja secara ilegal di perkebunan sawit Malaysia. Kasus seperti ini umumnya terjadi karena anak-anak ingin menyusul orang tuanya, namun mereka tidak memiliki dokumen lengkap ” lanjutnya.

Di Kabupaten Nunukan, hambatan perlindungan anak juga diperburuk oleh minimnya SDM, seperti ketiadaan psikolog, pekerja sosial, dan Unit Pelayanan Teknis Daerah (UPTD). Anak-anak PMI di Sabah dan Sarawak sulit mengakses layanan pendidikan dan layanan kesehatan karena. karena tidak adanya kerja sama formal antara Indonesia dan Malaysia.

“Kami ataupun otoritas kesehatan Malaysia tidak bisa memberikan layanan imunisasi karena tidak ada kerjasama, sehingga selama ini berpengaruh terhadap perkembangan anak yang menjadi stunting,” ungkap Miskiah, Kepala Dinas Kesehatan, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DinkesP2KB) Kabupaten Nunukan.

Kondisi pendidikan pun menghadapi tantangan. Meski terdapat 390 titik pendidikan untuk Anak Tidak Sekolah (ATS) dan ada Community Learning Center (CLC) yang menjadi pusat pendidikan bagi anak-anak PMI di Malaysia. Namun kebutuhan masih jauh dari cukup, menurut Akhmad, Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Nunukan. 

Menutup pernyataannya, Ai Maryati menegaskan bahwa perlindungan anak di perbatasan adalah tanggung jawab negara yang harus dilaksanakan secara lintas sektor, tidak hanya oleh lembaga negara, tetapi juga aparat penegak hukum, kementerian teknis, dan komunitas lokal

Negara harus hadir dan tidak boleh membiarkan satu anak pun menjadi korban eksploitasi, tutup Ai Maryati. (Ed:Kn)

Media Kontak Humas KPAI,
Email : humas@kpai.go.id
WA. 0811 1002 7727

Exit mobile version