DISIPLINKAN PESERTA DIDIK DENGAN HUKUMAN FISIK WAJIB DIHENTIKAN

Jakarta – Dunia pendidikan kembali berduka, kali ini seorang peserta didik FL (14 tahun), siswa salah satu SMP swasta di Manado, Sulawesi Utara diduga meninggal dunia saat menjalani hukum fisik karena datang terlambat ke sekolah. Anak korban dan 7 siswa lain yang terlambat mulanya dijemur di halaman sekolah selama 15 menit di bawah terik matahari. Setelah itu, guru memerintahkan para siswa yang terlambat untuk lari keliling lapangan halaman sekolah sebanyak 20 kali putaran, baru putaran ke-4, FL ambruk tersungkur ke depan dan tak sadarkan diri. Korban segera dilarikan ke rumah sakit AURI, kemudian di rujuk ke RS lain, namun nyawanya tidak dapat ditolong. Ananda menghembuskan nafas terakhirnya di RS Malalayang.

Atas peristiwa tersebut, Retno Listyarti, Komisioner KPAI bidang Pendidikan bereaksi dan menyampaikan sikap sebagai berikut :

Pertama, KPAI mengecam sekolah-sekolah yang diduga masih menerapkan hukuman fisik atas nama mendisiplinkan siswa. Padahal, hukuman fisik selain tidak menimbulkan efek jera, juga akan berdampak buruk pada tumbuh kembang seorang anak. Sementara masih banyak orang dewasa, baik orangtua maupun guru yang beranggapan bahwa kekerasan dan hukuman fisik adalah cara paling ampuh mendisiplinkan anak. Ini cara pandang keliru dan berpotensi kuat melanggar Undang-Undang Perlindungan Anak.

Kepala SMP tempat anak korban bersekolah membenarkan bahwa korban dan 7 anak lainnya hari itu mendapatkan hukuman fisik di jemur dan lari keliling lapangan sekolah karena terlambat hadir di sekolah. Dari penjelasan Kepala Sekolah, diduga kuat hukuman fisik bagi anak yang terlambat biasa dilakukan pihaknya, alasannya pasti mendisiplinkan siswa agar memiliki efek jera. Padahal, banyak cara mendisiplinkan peserta didik tanpa harus melakukan kekerasan dan hukuman fisik lain, yaitu dengan membangun disiplin positif sebagaimana di terapkan sekolah-sekolah ramah anak.

Kedua, Hukuman fisik yang tidak mempertimbangkan kondisi anak kerap dilakukan oleh orang dewasa di sekitar anak, meskipun korban sudah banyak berjatuhan. Dari olah tempat kejadian perkara (TKP), polisi menyebut ukuran lapangan yang diputari 68 meter persegi, kalau perintahnya harus 20 kali putaran maka semua anak dihukum berlari sejauh 1360 meter persegi (68 M x 20). Saat mengelilingi lapangan, FL sempat bicara ke temannya sudah dalam kondisi tidak lagi kuat berlari, namun korban maupun temannya pastilah takut menyatakan hal tersebut kepada sang oknum guru yang memberikan hukuman.

Ketiga, KPAI menyayangkan sikap Kepala Dinas Pendidikan dan kebudayaan setempat yang menyatakan akan melakukan pendampingan pada semua, baik oknum guru maupun sekolah karena merupakan keluarga. Jika pernyataan yang dikutip media online itu benar, maka KPAI sangat mengingatkan bahwa sikap tersebut tidak sesuai dengan amanat Pasal 39 UU No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen, yang prinsipnya menyatakan bahwa pemerintah pusat dan pemerintah daerah wajib memberikan perlindungan hukum kepada guru ketika guru menjadi KORBAN bukan sebagai PELAKU pidana.

Kadisdik seharusnya melakukan pemeriksaan kepada pihak sekolah dan menonaktifkan oknum guru terduga pelaku selama proses penyelidikan oleh pihak kepolisian. Hal ini bertujuan untuk menimbulkan efek jera dan shock therapy bagi sekolah lain yang mungkin juga menerapkan pendisiplinan dengan hukuman fisik, maka pihak sekolah anak korban seharusnya mendapatkan teguran keras,bahkan sanksi atas peristiwa ini karena diduga kuat telah menerapkan disiplin dengan pendekatan hukuman fisik yang membahayakan keselamatan anak-anak.

Sekolah seharusnya menjadi tempat yang aman dan nyaman buat peserta didik sebagaimana diamanatkan dalam pasal 54 UU No. 35/2014 tentang Perlindungan Anak, bahwa selama berada di sekolah anak-anak harus dilindungi dari berbagai kekerasan. Membangun sekolah ramah anak tanpa kekerasan adalah tugas dan tanggungjawab pihak sekolah maupun Dinas Pendidikan setempat.

Keempat, KPAI mengapresiasi pihak kepolisian yang bertindak cepat tanpa menunggu laporan keluarga korban. Polisi juga yang mengarahkan keluarga korban untuk membuat laporan dan mengijinkan visum serta otopsi. Olah TKP sudah dilakukan, meminta keterangan para saksi termasuk 7 siswa lain yang juga dihukum bersama korban juga sudah dilakukan. Para saksi, yang masih usia anak harus mendapatkan perlindungan dan perlakuan sebagaimana amanat UU No. 11/2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA), apalagi mereka bersaksi untuk guru dan sekolahnya sendiri. (RP)

 

Sumber : https://www.beritatanahair.com

Exit mobile version