EXPOSE HASIL PENGAWASAN PEKERJA ANAK TA 2020 DI 9 PROV, 20 KOTA/KAB

Siaran Pers

Jakarta (25/11) – KPAI Menyelenggarakan konferensi pers dengan tema expose hasil pengawasan pekerja anak TA 2020 di 9 Prov, 20 Kota/Kab. 

Dalam konferensi pers yang digelar secara virtual, Ketua KPAI, Dr. Susanto, MA menyampaikan bahwa Situasi pekerja anak dalam 5 tahun terakhir belum menunjukkan penurunan signifikan. Penarikan pekerja anak dianggap berhasil pada tahun 2015, namun meningkat kembali pada tahun 2016 hingga kini. Persoalan pekerja anak terkonfirmasi oleh meluasnya varian pekerja anak, jangkauan peningkatan pekerja anak dan kasus demi kasus yang terlaporkan kepada Lembaga mengenai jumlah eksploitasi dan tindak pidana perdagangan orang. Angka eksploitasi dan TPPO pada anak dalam data di KPAI menunjukan data dinamis mencapai 2.474 kasus sejak tahun 2011 sd 2020.

Memasuki tahun 2020, persoalan pekerja anak semakin kompleks manakala wabah pandemi covid-19 berdampak signifikan terhadap ekonomi dan social. Terutama bagi mereka yang rentan secara ekonomi. Hal ini menimbulkan dampak domino pada pekerja anak dan keluarganya. Beragam kebijakan protocol kesehatan untuk memutus mata rantai penyebaran covid-19 salah satunya menuntut anak-anak belajar dari rumah (BDR). Namun di sisi lain kondisi tersebut dimanfaatkan oleh keluarga menjadi peluang anak dapat dipekerjakan untuk menambah penghasilan keluarga. Bukan hal mudah melewatinya, anak menjadi kelompok rentan yang kemudian menjalani kehidupan sebagai pekerja anak hingga masuk dalam bentuk-bentuk pekerjaan terburuk bagi anak (PBTA). Dalam penelitian ILO, dampak dan resiko bagi anak dimasa pandemik diramalkan telah mengakibatkan kemunduran bertahun-tahun. Salah satunya adalah mungkin akan melihat peningkatan pekerja anak untuk pertama kalinya dalam 20 tahun terakhir. Pandemi bukan saja membalik keberhasilan penarikan pekerja anak yang selama ini dilakukan, sekarang bahkan jutaan anak beresiko kembali bekerja di usia dini atau dalam kondisi yang membahayakan (ILO 4th Monitoring, 27 Mei ).

Komisioner KPAI Bidang Traficking dan Eksploitasi, Ai Maryati Solihah menyampaikan bahwa Biro Pusat Statisik (BPS) tahun 2009 meyatakan bahwa jumlah anak di Indonesia dengan kelompok umur 5-17 tahun sebesar 58,8 juta anak dengan 4,05 juta atau 6,9% diantaranya dianggap sebagai anak-anak yang bekerja. Dari jumlah total tersebut sejumlah 1,76 juta anak atau 43,3 % adalah pekerja anak dan 20,7% bekerja pada bentuk-bentuk pekerjaan terburuk anak (PBTA ) Beragam kebijakan merespon situasi tersebut, salah satunya melalui rapat terbatas dengan Presiden, Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) yang menangani urusan perempuan dan anak memperoleh mandate yakni program prioritas nasional meliputi (1) Mengefektifkan Peran keluarga dalam Pengasuhan Anak, (2)Menurunkan Tingkat Kekerasan Pada Anak (3) Menekan angka pekerja anak (4) Mencegah Perkawinan Usia Anak Dengan Tanpa Mengurangi Perhatian Pada Kebutuhan Perlindungan Khusus Lainnya (5) Meningkatkan Pemberdayaan Perempuan Di Bidang Kewirausahaan. Sehingga KPAI sebagai Lembaga negara yang bertugas melakukan pengawasan mengambil andil dalam turut serta menekan angka pekerja anak. Sejatinya anak tidak boleh bekerja, anak tidak tidak boleh bertanggungjawab atas kebutuhan dan ekonomi keluarga. Namun situasi dan latar belakang mereka bekerja dan masuk dalam katagori pekerja anak tidak lepas dari peran orang tua, keluarga dan orang dewasa/lingkungan yang melekat di sekitarnya. Keragaman situasi tersebut melahirkan pengelompokan anak bekerja dan pekerja anak, serta pekerjaan terburuk pada anak/PBTA, yang memiliki karakteristik khusus saat anak berinteraksi dan beraktivitas dalam dunia pekerjaan. Untuk itu, KPAI melakukan kerja sama dengan IOM, Sekertariat Jarak dan para pegiat TPPO dan pegiat anak dalam menyelenggarakan survey pekerja anak yang menyasar observasi pada anak, yakni komunitas anak-anak yang bekerja pada bentuk pekerjaan terburuk, terdiri dari 5 sektor; (1) anak yang dilacurkan (2) anak Pemulung (3) anak Jalanan (4) anak yang bekerja di sector pertanian dan (5) pekerja rumah tangga anak. Kemudian wawancara terhadap orangtua, Pemerintah Daerah, Lembaga penyedia layanan dan masyarakat pendamping pekerja anak. Survey dilakukan pada 9 provinsi meliputi 20 kota dan kabupaten selama dua bulan yakni September-Oktober. Berbagai temuan dalam survey tersebut sebagai berikut :

OBSERVASI PADA ANAK

  1. Anak-anak dalam PBTA berada di berbagai kantong pekerja anak. Secara umum PA bekerja di daerah Perkotaan, sebanyak 14 lokus (85%) yang diobservasi, berdasarkan jenis PA yakni Anak Jalanan, Anak Pemulung, Anak Yang Dilacurkan, dan sebagian Pekerja Rumah Tangga Anak bekerja di daerah perkotaan. PA yang berkerja di daerah perdesaan yaitu Jenis PA yang dipekerjakan di Pertanian (Lokus NTB, Jawa Barat dan Jawa Timur). PA yang bekerja di perdesaan dan perkotaan yakni Jenis PA yang dipekerjakan di Pertanian (Lokus Sumatera Utara), hal ini karena tempat kerja PA sangat luas sekali.
  2. Jenis Pekerja Anak yang terobservasi ada 5 sektor, yakni Anak Jalanan sebanyak 15,8%, Anak yang dilacurkan sebanyak 31,6%, Anak Pemulung sebanyak 15,8%, Anak yang dipekerjakan di Pertanian sebanyak 21,1% dan Pekerja Rumah Tangga Anak sebanyak 15,8%. Adapun Jenis Pekerja Anak sebagai Anak Jalanan, Anak Pemulung dan Pekerja Rumah Tangga Anak, masing-masing ada 3 lokus yang diobsevasi, Sedangkan Anak yang dilacurkan ada 6 lokus dan anak yang dipekerjakan di pertanian ada 4 lokus.
  3. Kondisi kerja PA rata-rata bekerja dalam situasi pelacuran, kemudian pada suhu panas yang ekstrim dan bekerja di jalanan. Jenis PA yang dilacurkan (lokus Bogor) mengalami kondisi kerja terbanyak, yaitu dalam situasi pelacuran, bekerja di bawah tanah, bekerja dengan ventilasi terbatas serta rawan tertular Covid-19 (lainnya). Jenis PA pemulung dan anak jalanan semuanya bekerja di jalanan. Jenis PA pemulung lokus Medan ada yang bekerja di rumah untuk membersihkan dan mengolah sampah yang akan dijual.
  4. Fenomena kuantitas jumlah PA terdampak Covid-19 terjadi 75% pada lokus atau 12 lokus. Hanya 7 lokus atau 25% lokus yang tidak ada gambaran fenomena kuantitas PA terdampak Covid-19. Penambahan Jumlah PA yang terdampak Covid-19 banyak terjadi pada anak yang dilacurkan dan anak pemulung.
  5. Gambaran ruang lingkup fenomena jumlah PA terdampak Covid-19 sebagian besar adalah terjadi penambahan jumlah PA di masa pandemi Covid-19, hanya jenis PA jalanan yang ada fenomena penurunan anak bekerja sebagai pengamen karena tempat kerja sepi. Jenis PA yang dilacurkan dan anak pemulung pada setiap lokus mengalami penambahan jumlah PA. Jenis PA pemulung lokus Medan ada banyak ruang lingkup fenomena jumlah PA terdampak Covid-19 dibanding jenis PA pada lokus yang lain. Adapun gambaran fenomena dari jenis PA tersebut yaitu penambahan jumlah PA, perluasan lokus anak bekerja, penambahan jam kerja anak, munculnya berbagai jenis pekerjaan lainnya yang hampir sama, anak keluar sangat pagi (subuh) berharap mendapat banyak yang bisa dipungut.
  6. Berdasarkan data dari 19 lokus, ada 78% atau 12 lokus jenis PA yang rentan TPPO. Hanya anak yang dipekerjakan dipertanian dan pekerja rumah tangga anak untuk setiap lokus tidak rentan TPPO.

Alasan kerentanan TPPO :

  1. Sebagian besar PA yang masih sekolah melaksanakan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) atau 8 lokus dengan berbagai jenis PA melaksanakan PJJ. Empat lokus PA yang tidak melaksanakan PJJ, sebagai berikut:
  2. Lokus Kep. Riau (anak jalanan: pengamen);
  3. Lokus Jawa Barat (anak yang di lacurkan);
  4. Lokus Sumatera Utara (anak yang dipekerjakan di pertanian); dan
  5. Lokus Jawa Barat (anak jalanan).

Kesimpulan :

Rekomendasi :

WAWANCANA DENGAN PEMERINTAH DAERAH

  1. Survey Pemerintah Daerah dilakukan pada bulan Oktober 2020 pada 20 lokus wilayah. Data yang sudah terkumpul ada 15 lokus yang terdiri dari 19 wilayah. Pada 1 lokus umumnya terdiri dari 1 lembaga, namun ada beberapa lokus yang terdiri dari 2 lembaga berbeda.
  2. Hasil wawancara mengemukanakan 63% Pemerintah daerah tidak memiliki regulasi khusus mengenai kebijakan pengurangan dan penghapusan pekerja anak di daerahnya, dan 37% memiliki. Serta 63% tidak memiliki regulasi teknis mengenai perlindungan anak korban perdagangan orang . Hanya 37 % yang memiliki. Berbeda dengan Program dan Kegiatan untuk perlindungan terhadap pekerja anak dalam rangka upaya pengurangan pekerja anak dan penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk anak, Pemda 63% melaksanakan program tersebut dan 37% mengatakan tidak ada program.
  3. Berdasarkan grafik, ada dua PEMDA yang menerima laporan peningkatan jumlah pekerjaan yang melibatkan anak di masa pandemi adalah tinggi sebanyak 33,3%. Sedangkan sisanya, 66,7 % tidak ada laporan peningkatan jumlah PA di masa pandemi.
  4. Sebanyak 63% lebih modus eksploitasi/TPPO anak adalah Memanfaatkan Posisi Rentan (termasuk kondisi ekonomi).

Sedangkan tantangan dan hambatan dari pemerintah daerah meliputi :

a). Anak Jalanan :

      Sulit merubah pola pikir, inkonsistensi perusahaan dalam menjalankan MOU, budaya membeli dan memberi di jalanan yang tinggi, Ekonomi keluarga anak dan pendidikan anak yang terabaikan dan kurangnya ketahanan keluarga anak, data bias orang tua menganggap bahwa tidak masalah anak bekerja.

  1. b) Anak Pemulung:

      Kekurangan anggaran karena pembinaan terhadap anak pemulung ataupun pekerja anak membutuhkan anggaran besar, anak tidak memiliki orang tua, anak mendapatkan tindakan bulliying dari sesama pekerja anak, dan data ada didisnaker.

  1. c) Anak yang dilacurkan:

      Antar OPD masih saling ego sektoral, terbatasnya SDM yang memahami perlindungan anak, situasi covid-19, kasus tidak terlaporkan, terbatasnya anggaran dan sarana prasarana, selain itu data reguler ada namun tentang pekerja anak belum ada.

  1. d) Anak yang dipekerjakan di pertanian:

      Orang tua anak dan perusahaan belum mengetahui aturan yang ada, Anak berminat sedangkan orang tua tidak, orang tua bersedia anak menolak, Anak tidak memiliki motivasi, Faktor ekonomi, Lingkungan tidak mendukung, Kurangnya data dan belum menjadi prioritas utama, kesadaran masyarakat masih kurang dalam melaporkan kasus pekerja anak.

  1. e) Pekerja Rumah Tangga (PRT) Anak:

      Belum ada kesamaan persepsi antara DPMP3AKB dan Disnaker terkait Pekerja Rumah Tangga Anak, Belum ada batasan mana pekerja anak dan mana yang membantu orang tua, Kasus masih banyak tidak terlaporkan, Tidak ada anggaran untuk rehabsos anak dan minimnya SDM, serta Perda yang baru terbentuk di tahun 2020 sehingga UPT masih terbatas karena anggaran tidak ada.

Kesimpulan :

Rekomendasi :

WAWANCARA DENGAN ORANG TUA          

Kesimpulan :

Rekomendasi :

WAWANCARA DENGAN LEMBAGA PENYEDIA LAYANAN

  1. Pada hasil survei mengenai pekerja anak pada lembaga pengada layanan rehabilitasi sosial, diperoleh sebanyak 18 responden/lembaga, Berdasarkan grafik, persebaran provinsi dari lembaga pengada layanan rehabilitasi sosial didominasi di Jawa Barat sebanyak 5 lembaga, kemudian di Sumatera Utara sebanyak 3, serta tersebar juga beberapa provinsi di Pulau Jawa dan di luar Pulau Jawa.
  2. Berdasarkan grafik di atas, sebanyak 33% responden/lembaga yang mengatakan bahwa mereka mendapat pengaduan tentang Pekerja Anak selama masa Pandemi Covid-19, sedangkan sisanya sebanyak 67% mengatakan bahwa mereka tidak mendapat pengaduan tentang Pekerja Anak selama masa Pandemi Covid-19.
  3. Berdasarkan grafik di atas, jenis layanan yang diberikan oleh responden/lembaga didominasi dengan Konseling, kemudian konsultasi serta pendampingan. Layanan yang paling sedikit diberikan oleh responden/lembaga adalah permodalan serta pelatihan soft skill.
  4. Berdasarkan grafik di atas, jenis kasus paling banyak yang Pekerja Anak alami yang membutuhkan layanan adalah kasus anak yang dilacurkan, kemudian anak Jalanan, dan anak yang dipekerja di tempat hiburan. Sedangkan jenis kasus paling sedikit adalah anak yang dilibatkan dalam produksi dan kegiatan yang menggunakan bahan peledak dan anak pedagang cilok.
  5. Berdasarkan grafik di atas, sebanyak 53% responden mengatakan bahwa jenis eksploitasi yang paling banyak dialami oleh Pekerja Anak (PA) adalah eksploitasi seksual. Sebanyak 18% responden mengatakan bahwa tidak ada jenis eksploitasi yang dialami oleh Pekerja Anak. Jenis eksploitasi anak yang sering dialami oleh Pekerja Anak selain eksploitasi seksuald dan eksploitasi ekonomi adalah korban TPPO.
  6. Berdasarkan grafik di atas, sebanyak 47% responden mengatakan lembaga memberikan tindakan memberikan pendampingan dan penguatan psikologis kepada Pekerja Anak yang mengalami eksploitasi. Sebanyak 25% responden mengatakan lembaga memberikan tindakan pendampingan hukum. Sebanyak 19% responden mengatakan lembaga memberikan tindakan merujuk kembali ke Lembaga lainnya, dan sisanya sebanyak 9% responden mengatakan lembaga tidak memberikan tindakan apapun kepada Pekerja Anak yang mengalami eksploitasi.
  7. Berdasarkan grafik di atas, kasus terbanyak selama Pandemi Covid-19 adalah kekerasan seksual. Terdapat 1 responden yang mengatakan kasus lainnya yaitu Pendidikan dan Pengasuhan.
  8. Berdasarkan grafik di atas, sebanyak 44% responden mengatakan bahwa SDM memahami tentang persoalan Pekerja Anak. Sebanyak 28% responden mengatakan bahwa SDM cukup memahami tentang persoalan Pekerja Anak. Sebanyak 17% responden mengatakan bahwa SDM sangat memahami tentang persoalan Pekerja Anak. Sebanyak 11% responden mengatakan bahwa SDM kurang memahami persoalan Pekerja Anak.

Kesimpulan :

Rekomendasi :

WAWANCARA DENGAN MASYARAKAT PENDAMPING

  1. Pada hasil survei mengenai pekerja anak pada lembaga pendamping PA, diperoleh sebanyak 18 responden/lembaga , bahwa fokus isu dari lembaga pengada layanan rehabilitasi sosial didominasi untuk isu Anak dan Perempuan sebesar 66.7%, kemudian isu Anak sebesar 27.8%.
  2. Berdasarkan grafik, pekerja anak yang didampingan didominasi oleh usia 11 hingga 15 tahun, kemudian usia 16 hingga 18 tahun. Ada tujuh Lembaga yang mendampingi anak mulai dari usia di bawah 7 tahun sampai 18 tahun
  3. Berdasarkan grafik, dari laporan lembaga sebagian besar orang tua anak bekerja ada sebanyak 55.5%. Sedangkan sisanya 44.4%, terkadang orang tua anak bekerja dan terkadang tidak bekerja.
  4. Pendapatan PA sebelum dan saat pandemi covid-19 terjadi perbedaan yang cukup besar. Pendapatan PA sebelum Covid-19 sebagaian besar di atas Rp. 31.000/hari, namun saat pandemi covid-19 terjadi penurunan pendapatan perhari.
  5. Menurut pendamping akses anak-anak pada pemenuhan hak pendidikan : Sebagian besar PA mendapatkan pendidikan berdasarkan laporan responden.Pendikan PA didominasi pendidikan jenjang SMP, yaitu sebesar 83.3%, SD sebesar 77.8% dan SMK/SMA sebesar 72.2%. pendidikan jenjang lainnya memiliki presentase yang sangat kecil, yaitu 5.6%. Namun ada juga anak yang tidak sekolah di salah satu lembaga pendamping
  6. Menurut pendamping akses anak-anak pada pemenuhan hak kesehatan : PA sebagain besar mendapat hak pemenuhan kesehatan dari Pemerintah Daerah, yaitu sebesar 66.7%. Adapun PA yang tidak mendapatkan hak tersebut dijelaskan seperti di surabaya dikarenakan tidak ada akses ke pemda
  7. Berdasarkan grafik di atas, 50% lembaga menerima laporan adanya kekerasan pada PA, 44.4% lembaga lain tidak ada laporan tersebut. Sedangkan ada 1 lembaga yang tidak tahu apakah ada/tidak tentang laporan korban kekerasan pada PA.
  8. Berdasarkan grafik, sebagaian besar (72.2%) lembaga memberikan pendampingan pada korban pekerja anak untuk mendapatkan rehabilitasi anak korban kekerasan melalui Perawatan Kesehatan (Fisik & Psikis). Siasanya, sebesar 27.8% lembaga pendamping yang tidak memberikan dampingan tersebut.
  9. Berdasarkan grafik di atas, hampir semua lembaga memberikan dampingan pada anak korban eksploitasi. Siasanya, ada 1 lembaga pendamping yang tidak menyelenggarakan kegiatan tersebut.
  10. Berdasarkan grafik, sebagaian besar (61.1%) lembaga melaporkan terjadi peningkatan PA yang didampingi selama masa pandemi Covid-19. 38.9% lainnya tidak ada laporan hal terkain peningkatan PA di masa pandemi.
  11. Berdasarkan grafik, sebagaian besar (55.6%) lembaga terdapat program baru yang dilakukan selama masa pandemic covid-19. Sedangkan sisanya, 44.4% Lembaga tidak ada program baru selama pandemic.
  12. Ada sebesar 83% Lembaga Pendamping yang menerima laporan kasus Eksploitasi Anak/TPPO pada PA, sisanya hanya ada 17% atau 3 lembaga yang tidak ada/tidak menerima laporan tersebut. Berikut data eksploitasi anak dan TPPO pada setiap lembaga pendamping.

Kesimpulan :

  1. Profile masyarakat pendamping Pekerja anak diperoleh sebanyak 18 responden/lembaga , bahwa fokus isu dari lembaga pengada layanan rehabilitasi sosial didominasi untuk isu Anak dan Perempuan
  2. Menurut pendamping anak-anak Pekerja anak berada dalam keluarga yang sebagian besar orang tua anak bekerja
  3. Menurut para pendamping penghasilan pendapatan orang tua dan anak sangat menurun drastis.
  4. Terkait peningkatan jumlah Pekerja anak terdapat GAP signifikan antara Pemerintah daerah dan Lembaga layanan. Bahwa Lembaga pendamping menyampaikan sebagaian besar (61.1%) lembaga melaporkan terjadi peningkatan PA yang didampingi selama masa pandemi Covid-19. 38.9% lainnya tidak ada laporan hal terkain peningkatan PA di masa pandemi. Dan membangun program baru Berdasarkan grafik, sebagaian besar (55.6%) lembaga terdapat program baru yang dilakukan selama masa pandemic covid-19.
  5. Dalam setahun ini Lembaga pendamping mengatakan mayoritas menerima laporan kasus Eksploitasi Anak/TPPO pada Pekerja Anak

Rekomendasi :

 

HUMAS KOMISI PERLINDUNGAN ANAK INDONESIA
Telp.& Fax (021) 31901446
e-mail: humas@kpai.go.id
www.kpai.go.id

Exit mobile version