Gagasan Full Day School, Ini yang Dikhawatirkan

JAKARTA – Sejumlah pihak meminta Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy mempertimbangkan kembali rencananya untuk memperpanjang jam sekolah pelajar atau full day school bagi para pelajar SD dan SMP, baik negeri maupun swasta. Faktor kesiapan dari sekolah, siswa, orang tua, dan biaya menjadi pertimbangan sebelum rencana itu diwujudkan.

Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Asrorun Ni’am Sholeh menilai, rencana Menteri Muhadjir mesti didahului dengan kajian yang utuh. Menurut dia, tanpa perbaikan sistem pendidikan dengan spirit menjadikan lingkungan sekolah ramah bagi anak, memanjangkan waktu sekolah malah akan menyebabkan potensi timbulnya kekerasan di sekolah.

Selain itu, Asrorun mengatakan, menghabiskan waktu dengan durasi panjang di sekolah dapat mengganggu intensitas interaksi anak. Padahal, ujar dia, anak-anak butuh interaksi dengan teman sebaya di sekolah, teman di lingkungan tempat tinggal, dan keluarga di rumah. “Dengan kebijakan full day school, pasti intensitas pertemuan anak dan orang tua juga akan berkurang,” ujar Asrorun, Selasa, 9 Agustus 2016.

Tidak semua orang tua, kata dia, bekerja di luar rumah. Penerapan full day school bisa mengganggu proses tumbuh kembang anak. Ia mengingatkan bahwa masing-masing keluarga memiliki kondisi berbeda, sehingga tidak bisa digeneralisasi full day school akan menyelesaikan semua masalah.

Ketua Dewan Pembina Komisi Nasional Perlindungan Anak Seto Mulyadi, atau akrab disapa Kak Seto, mengingatkan pentingnya pendidikan keluarga bagi anak. Sehingga, menurut dia, para orang tua perlu diberdayakan untuk melakukannya.

“Orang tua yang dua-duanya bekerja memang ada, tapi yang banyak kan ayah saja, masih ada ibu di rumah,” ujar Kak Seto, Senin, 8 Agustus 2016. Untuk itu, Seto mengingatkan agar jangan sampai full day school menggantikan pendidikan orang tua kepada anaknya.

Menurut dia, pendidikan keluarga juga sangat penting bagi anak, tidak hanya urusan sekolah saja. Ia juga menilai anak-anak perlu mendapat pendidikan nonformal agar bisa belajar hal lain. “Belajar tentang kehidupan, seperti bertani dan lain-lain,” ujarnya. Pendidikan seperti itu juga diperlukan untuk anak-anak sebelum mereka terjun ke masyarakat.

Dari segi pendidikan, Seto menilai konsep tersebut tidak efektif. Sebab, masih sedikit guru yang mampu mengajar secara interaktif di kelas, sehingga bisa menimbulkan kebosanan pada anak-anak. Padahal ini penting agar anak-anak memiliki motivasi dari dalam dirinya untuk belajar di sekolah.

Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi menilai, konsep sekolah sehari hanya cocok diterapkan pada sekolah-sekolah yang berada di perkotaan dengan dukungan fasilitas belajar-mengajar dan ekstrakurikuler yang lengkap. “Tanpa fasilitas yang lengkap, hasilnya nol,” ujarnya, Selasa, 9 Agustus 2016.

Dedi mengingatkan agar Mendikbud tidak hanya melihat Jakarta sebagai pijakan pengambilan keputusan terkait pendidikan sekolah. “Tapi lihat juga Papua, Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, termasuk Jawa Barat. Tentu tidak akan semuanya cocok,” katanya.

Ia mengatakan tetap akan memegang konsep pendidikan berkarakter yang sudah dijalankannya sejak 2008, yang menitikberatkan anak-anak belajar sambil berdikari di bidang pertanian dan peternakan.

Sepulang sekolah, anak-anak membantu orang tuanya di sawah, belajar bercocok tanam, berladang, beternak, dan berkegiatan lain yang sifatnya mengasah kemandirian mereka kelak. “Ini juga solusi kami di Purwakarta untuk generasi mendatang yang mampu menciptakan ketahanan pangan,” tuturnya.

Wakil Gubernur Jawa Barat Deddy Mizwar mengingatkan, setiap daerah mempunyai kultur yang berbeda-beda. “Di Jawa Barat itu jam sekolah SD dan SMP sampai sore karena dipakai diniyah, buat belajar mengaji. Ini ada pengaruh kultur,” ujarnya, Selasa, 9 Agustus 2016.

Petisi menolak rencana full day school pun dibuat. Salah satu orang tua murid bernama Deddy Mahyarto Kresnoputro menjadi penggagasnya. “Semoga dengan petisi ini kita bisa membuat para pembuat kebijakan sadar bahwa pilihan ini justru berbahaya,” ujar Deddy.

Petisi tersebut total membutuhkan 25 ribu tanda tangan untuk mencapai target dukungan yang dibutuhkan. Hingga sore kemarin, lebih dari 21 ribu telah membubuhkan tanda tangan.

Lewat petisi tersebut, Deddy berharap dapat mendorong orang tua dan praktisi pendidikan agar mencari solusi terbaik bagi kemajuan anak-anak Indonesia. Nantinya, kata dia, petisi itu akan dikirimkan langsung kepada Presiden Joko Widodo dan Muhadjir Effendy.

Exit mobile version