HAM LGBT Berbeda Versi

MASA transisi remaja menuju dewasa sangat riskan.” Begitu kira-kira pesan dari Sosiolog Universitas Nasional, Sigit Rochadi, saat ditanya soal perkembangan LGBT belakangan ini.

Berangkat dari pengalamannya, ia sudah akrab dengan fenomena komunitas tersebut, bahkan hingga ke tingkat sekolah. Pun mereka sudah tak malu untuk menunjukkan “identitas”-nya.

“Mereka kian berani karena memang sekarang sudah semakin bebas. Kalau dulu itu era otoriter, berbeda di masa sekarang, belum lagi masuknya teknologi,” tambah Sigit.

Berangkat dari pengalaman itu, Sigit menaruh khawatir jika masa transisi mereka minim pengawasan. Lingkungan berpengaruh untuk menularkan orientasi seksual sampai pada penyimpangannya. 

Komisioner Bidang Pendidikan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Retno Listyarti mewanti-wanti lingkungan pergaulan. Karena, sangat berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak. 

Jika anak-anak, sudah terkontaminasi dengan prilaku Lesbi, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT), itu besar kemungkinannya berasal dari lingkungan. Kampanye yang menjadi masalah. 

“Mengampanyekan LGBT, kepada anak tentu harus dilarang,” kata dia
 
Belum lagi, kampanye tersebut, digencarkan lewat media sosial. Tentu saja, orang tua harus berperan dalam mengontrol penggunaan gadget anak-anak. 

Mantan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) itu menjelaskan, posisi LGBT di Indonesia dalam HAM dapat dilihat dari dua aspek. Pertama, LGBT memeroleh hak asasi seperti pendidikan, pelayanan kesehatan juga pekerjaan harus dilindungi sebagaimana layaknya warga negara Indonesia.

Namun, yang kedua, legalitas mereka tidak memungkinkan untuk kondisi masyarakat di Indonesia. Mereka tidak diperkenankan untuk sampai pada perkawinan sejenis. 

 

Negara membatasi persoalan moralitas dan etika. Perilaku seks bebas, transaksi seksual, dan membiarkan mereka berhubungan layaknya suami istri.

“Itulah yang patut dibatasi,” kata Pigai.

Direktur Lembaga Konsultasi & Bantuan Hukum (LKBH) Universitas Sahid Jakarta, Wahyu Nugroho, menilik arah perjuangan HAM LGBT. Dia mengatakan perjuangan mereka berada di tataran hak sipil. 

Artinya, mereka ingin diberlakukan sama seperti warga negara biasa, sampai pada perkawinanya. “Berlindung di payung konstitusi,” kata dia. 

Konstitusi, tertulis bahwa setiap warga negara diberikan hak untuk membentuk keluarga. Namun, perlu diingat bahwa konstitusi itu muatannya tak seperti itu. Jangan dimanfaatkan sebebas-bebasnya dalam moralitas yang menyimpang.

“Negara, tetap memiliki batasan. Karenanya, HAM di Indonesia tidak sepenuhnya absolut, sesuai dengan karakter dan kultur di negara liberal. Tetapi, bersifat relatif partikular,” ujar dia.

Artinya, negara memiliki dimensi nilai ketuhanan, etika dan moralitas. Ini yang dijunjung tinggi. Ketika bertentangan dengan itu, maka dianggap juga bertentangan dengan UUD 1945 dan Pancasila, pungkas Wahyu.

Exit mobile version