Hanya 8% Guru yang Paham Gawai untuk Pembelajaran Daring

Seorang ibu merekam video anaknya ujian hapalan sekolah untuk dikirim ke guru dengan gawai dari rumah, karena sekolah diliburkan selama Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Kota Pekanbaru, Riau, Selasa (28/4/2020). (Foto: Antara Foto)

Jakarta – Satu bulan lebih menerapkan pendidikan jarak jauh (PJJ) demi memutus mata rantai penyebaran virus Covid-19, Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menemukan beberapa masalah di lapangan.

Berdasarkan survei kepada 602 guru (responden) di 14 provinsi ditemukan fakta hanya 8% guru yang mengerti memakai gawai untuk belajar daring. Sementara ada 82,4% yang minim memakai gawai untuk belajar daring, dan 9,6% sama sekali tidak pernah memakai gawai untuk belajar daring.

Ditegaskan Wasekjen FSGI Satriwan Salim, guru yang piawai memakai gawai untuk belajar daring, biasanya berasal dari kota besar. Guru tersebut cenderung memiliki akses yang luas terhadap gawai atau laptop dan akses internet.

“Ada guru yang sama sekali belum pernah melakukan pembelajaran daring, hingga akhirnya pandemi Covid-19 terjadi di Indonesia. Kenyataan inilah yang membuat PJJ menjadi model pembelajaran yang tidak menarik bagi siswa. Mayoritas guru dalam PJJ hanya memahami penggunaan media teknologi digital dalam pembelajaran sebatas menggunakan WhatsApp, Line, Instagram, dan Facebook,” kata Satriwan dalam paparan hasil survei “Persepsi dan Evaluasi Guru terhadap Pelaksanaan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ)” secara daring di Jakarta, Selasa (28/4/2020).

Guru yang tidak paham pembelajaran daring akibatnya lebih berorientasi pada kegiatan penilaian atau aspek standar pelaksanaan PJJ. Bahkan masih ada beberapa guru yang menerapkan PJJ seperti jadwal sekolah normal.

“Masih ada sekolah yang melaksanakan PJJ sesuai dengan jadwal sekolah normal. Terbayang, beratnya beban yang harus ditanggung oleh siswa di masa sulit seperti sekarang,” ujarnya.

Pada masa PJJ ini, Satriwan menyebutkan, guru masih mengejar ketercapaian kurikulum. Hal itu bertolak-belakang dengan semangat dan aturan dari Kemdikbud yang tertuang dalam Surat Edaran Mendikbud Nomor 4 Tahun 2020. Dalam surat edaran, sekolah tidak harus mengejar ketercapaian kurikulum.

“Pada saat bencana nasional Covid-19 ini, sekolah fleksibel. Kelonggaran kurikulum adalah kunci agar anak dan guru tetap merdeka dalam belajar,” ujarnya.

 

Exit mobile version