HASIL PENGAWASAN KPAI TENTANG PERLINDUNGAN ANAK KORBAN EKSPLOITASI SEKSUAL DAN PEKERJA ANAK BULAN JANUARI S.D APRIL : DARI 35 KASUS YANG DIMONITOR KPAI, 83% KASUS PROSTITUSI, JUMLAH KORBAN MENCAPAI 234 ANAK

DOK : HUMAS KPAI

Jakarta (05/05) – Salah satu tugas KPAI berdasarkan Undang-Undang No. 35 tahun 2014 Tentang Perubahan Undang-Undang No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak pasal 76 adalah Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan perlindungan dan pemenuhan anak.

Walaupun masa pandemic, namun tidak menyurutkan semangat KPAI untuk tetap melakukan Pengawasan terhadap titik rentan korban eksploitasi seksual anak dan pekerja anak. Untuk itu, KPAI menyelenggarakan konferensi pers terkait hasil pengawasan tersebut periode Bulan Januari s.d. April, dengan menghadirkan narasumber dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Polda Metro Jaya. Konferensi pers tersebut dilaksanakan melalui daring, dihadiri peserta dari beberapa media nasional.

Dalam sambutannya, Ketua KPAI, Susanto menyampaikan bahwa pengawasan KPAI periode Bulan Januari s.d. april menemukan 35 kasus yang jumlah anaknya mencapai 234 anak sebagai korban yang masih berusia sekolah dasar juga banyak menjadi sasaran kasus. Tentunya ini menjadi perhatian serius bagi kita, KPAI ingin memastikan komitmen semua pihak kementerian terkait, pemda dan pihak-pihak terkait. Tak kalah penting juga KPAI meminta korporasi yang memiliki peran besar seperti hotel dll yang rentan dalam situasi ini.

Mari bersama-sama masyarakat dan orang tua agar memastikan anak-anak kita terpantau dengan baik, dan tentu terjamin keselamatannya dalam kerentanan kasus eksploitasi baik seksual maupun ekonomi. Pada masa pandemic ini kelekatan anak-anak kita dengan dunia digital sangat tinggi, berdasarkan survey KPAI 2020, 42% diluar belajar anak intensif menggunakan medsos. Terkonfirmasi 60% kasus yang terungkap menggunakan media sosial. Tentu situasi ini membutuhkan komitmen penyedia media platform agar kedepan memberikan proteksi yang intensif bagi anak-anak kita agar tidak menjadi korban, pungkas Ketua KPAI, Susanto dalam sambutan konferensi pers tersebut.

Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Yunus Yusri juga membenarkan terkait modus-modus eksploitasi anak melalui media sosial. Hal itu terungkap dari berbagai penindakan yang dilakukan aparat.

“Biasanya juga mereka ini merekrut melalui media sosial. Ada iming-iming yang menjadi awal dari prostutusi anak,” ujarnya. Beliau juga menerangkan bahwa di Kepolisian memang ada patroli cyber. Pihaknya berkoordinasi dengan Kementerian Kominfo untuk menindak jejaring eksploitasi anak yang ada di media sosial.

Dalam paparannya, anggota KPAI, Ai Maryati solihah menyampaikan Hasil pengawasan perlindungan anak tahun 2020 mengenai anak korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dan eksploitasi mencapai 149 kasus dengan rincian anak korban perdagangan 28 kasus, anak korban prostitusi 29 kasus, anak korban ESKA 23 orang, anak korban pekerja anak 54, anak korban adopsi illegal 11 kasus dan anak menjadi mucikari (terlibat dalam pelaku jaringan TPPO) 4 Kasus. Masalah pekerjaan terburuk anak (PBTA) juga menjadi laporan yang memprihatinkan, seperti meningkatnya anak pemulung, anak yang dilacurkan, pekerjaan anak dijalanan, ART dan anak yang bekerja di sektor pertanian. Masalah krisis pengasuhan keluarga, semakin tingginya penyalahgunaan teknologi berbasis elektronik dan media sosial hingga anak rentan dimobilisasi, dimanfaatkan dan dieksploitasi secara seksual menjadi sorotan utama KPAI.

Kini sejak bulan Januari sd April 2021, angka TPPO dan Eksploitasi melalui prostitusi pada anak belum menunjukkan penurunan. Dari 35 kasus yang dimonitor KPAI, 83% merupakan kasus prostitusi, 11% eksploitasi ekonomi dan 6% perdagangan anak. Dari kasus-kasus tersebut jumlah korban mencapai 234 anak. Selain itu kasus pekerja anak di pabrik juga terlaporkan ke KPAI, hingga penjualan bayi. Sebut saja beberapa kasus yang mewarnai pemberitaan dan dalam pengawasan KPAI tahun ini :

  1. Di Mojokerto anak-anak dibawah umur dijual melalui modus membuka sewa rumah kos harian, dibantu oleh reseller dibawah umur.
  2. Kasus prostitusi online karena adanya laporan dari masyarakat terkait kegiatan prostitusi disalah satu hotel di Pontianak, terdapat 41 anak di bawah umur yang terlibat prostitusi
  3. Polda Metro Jaya mengungkapHotel Alona milik artis Cynthiara Alona dijadikan sebagai tempat praktik prostitusi. Modusnya adalah menawarkan anak di bawah umur di media sosial.
  4. Kasus di Tebet Jakarta Selatan, Pelaku menawarkan layanan Booking Out (BO) ke lelaki hidung belang dengan menggunakan aplikasi media social dan ditampung di sebuah Hotel. Terdapat 15 orang yang diamankan yang terdiri dari joki, pelanggan, dan Pekerja Seks Komersial (PSK) yang melibatkan anak.
  5. Di Kota Bogor, Pelaku berinisial DAP berusia 17 tahun dan tersangka lainnya sebagai penyedia tempat buat PSK menjajakan perempuan dibawah umur melalui jejaring social
  6. Penjualan bayi di Medan terungkap pada Jumat tanggal 12 Februari 2021
  7. Pengawas norma ketenagakerjaan Perempuan dan anak Dinas Ketenagakerjaan Jawa Barat menarik 7 anak yang dipekerjakan di sebuah pabrik rambut palsu di Kab Bogor yang mempekerjakan anak usia 16 sd 17 yang menyalahi aturan ketenagakerjaan.

Dalam penelaahan KPAI atas 35 kasus eksploitasi seksual dan ekonomi serta pekerja anak di Indonesia dalam rentang waktu Januari sd April sebagai berikut :

  1. Profil Anak Korban. Usia anak korban prostitusi disebutkan paling rendah adalah 12 tahun sd 17 tahun 98%, dan sisanya di bawah umur itu artinya di bawah 18 tahun. Sedangkan eksploitasi ekonomi mereka sejak usia 16 sd 17 tahun, dan perdagangan anak merupakan bayi. Hal ini menjadi warning pada peran orang tua bahwa usia rentan anak masuk dan terlibat dalam jaringan prostitusi bukan lagi usia remaja akhir jelang 18 tahun, melainkan fase remaja awal, dengan kapasitas siswa Sekolah Dasar.
  2. Pendidikan Anak. Prosentase status korban yang masuk dalam eksploitasi dan pekerja anak adalah 67% mereka tercatat sebagai siswa yang masih aktif bersekolah dan 33 % mereka putus sekolah. Hal ini menunjukkan pintu kontrol dan pengawasan Pendidikan harus ditingkatkan, baik pencegahan dalam hal edukasi kespro dan internet sehat, serta kuratif adanya monitoring, penjangkauan dan perindungan yang terhubung dengan lokus-lokus penanganan perlindungan anak serta bekerja sama dengan pihak orang tua. KPAI menekankan kepada Kemendikbud untuk mendorong Dinas Pendidikan Provinsi hingga Kota dan Kabupaten untuk pro aktif menjamin tetap terpenuhinya Pendidikan korban.
  3. Medium yang digunakan. Melihat trend kasus, medium anak menjadi korban eksploitasi seksual dijelaskan 60 % menggunakan jejaring media social dan 40% secara konvensional didatangkan, diajak dan direkrut secara fisik. Dalam aksinya, pelaku (mucikari/germo) memasang iklan anak, menjajakan layanan hubungan intim disertai harga, diantaranya memanipulasi usia, dan ajakan-ajakan yang sifatnya open booking (istilah prostitusi online) seluruhnya difasilitasi dan berinteraksi menggunakan transaksi elektronik dan aplikasi media social. Hal ini secara efektif memudahkan proses rekruitmen hingga eksekusi yang dilakukan jaringan dalam menyasar anak-anak di bawah umur. Dalam konteks penegakkan hukum KPAI mendorong kepolisian dan unit cyber untuk menindak maraknya cyber crime pada anak, deteksi dini operasi, tindak lanjut dan proses hukum. Kemudian menggunakan aturan perundangan sesuai aturan yang berlaku.
  4. Apa saja medium online yang paling sering digunakan. Para pelaku menggunakan aplikasi Michat 41%, Whatsapp 21%, Facebook 17%, tidak diketahui 17% dan hotel yang dipesan secara virtual nama Reddoorz 4%. Terkait Michat sebagai aplikasi yang banyak disalahgunakan pemerintah diharapkan menaruh perhatian serius dalam mengevaluasi. KPAI mendorong peran Kemkominfo untuk pro aktif pada penyedia aplikasi agar mempersulit penyalahgunaan, dan menindak untuk tidak segan mentakedown serta mencabut izin beroperasi di Indonesia.
  5. Lokasi Kejadian. Presentasi lokasi kejadian yang paling sering digunakan saat ini di hotel-hotel sebanyak 41%, 23% Apartemen masih dijadikan tempat prostitusi, selanjutnya indekos menempati 18% dan di wisma 18 %. Selanjutnya munculnya hotel yang secara virtual menyediakan bisnis perhotelan namun sering kali digunakan untuk kegiatan prostitusi, bahkan dijadikan penampuangan dan prostitusi terhadap anak, hendaknya Kementerian Pariwisata dan keratif menindak termasuk mencabut izin usaha serta diproses secara hukum. Dalam pelibatan Apartemen baik broker ataupun penyewa yang memberikan kemudahan pada pelaku untuk menjadikan tempat prostitusi pada anak, KPAI terus mendorong Kemenpupera dan Pemerintah Daerah berkomitmen, menindak tegas dan memberikan sanksi.
  6. Undang-Undang yang digunakan. Pada kasus prostitusi dan eksploitasi anak Aparat Penegak Hukum, menggunakan peraturan 27% UU No 35/2014 tentang Perlindungan Anak, 25% menggunakan UU No 21/2007 tentang TPPO, Kemudian 11 % menggunakan UU No 19/2016 tentang ITE dan 10% UU No 17/2016 tentang PA atas revisi kedua UU Perlindungan Anak (pemberatan hukuman), 10% menggunakan KUHAP dan 17% tidak disebutkan secara jelas UU yang dikenakan. Untuk itu KPAI terus memonitor dan mendorong implementasi aturan perundangan terutama UU TPPO yang memberikan daya dorong perlindungan korban melalui rehabilitasi psiko-sosial (anak TIDAK langsung dipulangkan kepada orang tua, namun perlu diasessment dan direhab oleh lembaga berwenang), serta kewajiban pelaku memberikan restitusi terhadap korban. Kemudian UU Perlindungan Anak yang secara komprehenship memberikan perlindungan, rehabilitasi dan efek jera pada pelaku. Untuk itu hendaknya sudah tidak menggunakan KUHAP dalam perkara anak.
  7. Hasil pengawasan 7 pekerja anak di Kab. Bogor. Anak bekerja 8 jam sehari di Pabrik rambut palsu Kabupaten Bogor menjadi temuan bahwa program pemerintah terkait menurunkan pekerja anak dimasa pandemi mendapat banyak tantangan. Peningkatan angka kemiskinan dan banyak orang tua terkena PHK menjadi pemicu anak memilih kerja ketimbang melanjutkan Pendidikan. KPAI menyambut baik program Presiden RI untuk menurunkan angka pekerja anak dengan melakukan pengawasan, mendorong Kemenaker dan KPPPA sebagai leading sector secara komprehenshif.

Hasil koordinasi KPAI dengan para pemangku kepentingan di Jawa Barat dalam pengawasan pekerja anak (1) mendorong adanya sanksi dan pembinaan Perusahaan yang mempekerjakan anak sesuai dengan UU dan peraturan yang berlaku, (2) Mendorong penarikan pekerja anak dengan serta merta memberikan perlindungan jaminan sosial dan akses rehabilitasi psiko-social pada anak. Kolaborasi Kemenaker dengan KPPPA, begitu pula DP3AKB Jabar dengan Disnaker Jabar harus memberikan layanan program sosial kepada 7 anak tersebut , intervensi PPA-PKH dan pemenuhan kebutuhan dasar pekerja anak, selanjutnya mengadvokasi keluarganya dan mencegah anak memasuki pasar kerja sejak dini (3) Mendorong Penanganan pekerja anak berbasis keluarga dan komunitas, berlandaskan pemberdayaan dan kepentingan terbaik bagi anak. Pemberdayaan keluarga tentang edukasi pengasuhan positif, Kesehatan reproduksi, kecakapan hidup, bekerja aman tanpa eksploitasi dan penguatan ekonomi keluarga, pungkas Anggota KPAI, Ai Maryati Solihah.

Terkait medium tersebut memang di masa pandemi penggunaan media sosial sangat tinggi. Pasalnya, kebijakan pembatasan telah mendorong adanya aktivitas virtual. Dari laporan kasus kekerasan terhadap anak yang masuk melalui aplikasi Simfoni PPA untuk periode Bulan Januari s.d. Maret tercatat sangat tinggi. Bulan Januari ada 1.166 kasus yang dilaporakn dengan jumlah korban anak 1.286, ungkap narasumber dari KemenPPPA yaitu Asisten Deputi Perlindungan Anak dalam Situasi Darurat dan Pornografi, Ciput Eka Purwianti.

Dari kasus yang ada, lanjutnya di Bulan Maret tercatat 35% pelakunya adalah anak. Angka tersebut sangat tinggi, tentunya ini sudah tidak bisa ditolerir. Pada Bulan April mencapai 24% kasus yang pelakunya anak. Tentu Ini sebuah alarm bagi kita semua ada kesalahan dalam pangsuhan dan ini jadi PR kita bersama. Pengasuhan di era digital ini diperlukan tingkat literasi digital yang sama antara anak dengan orang tua. Agar orang tua mampu mendampingi anaknya. Sejalan dengan fokus pemerintah pada literasi digital, KPPPA juga turut membahas Peta Jalan yang sedang di draft untuk mempertimbangkan upaya-upaya perlindungan anak. pungkasnya.

Menurut wakil ketua KPAI, Rita Pranawati, bahwa kata kunci dari situasi ini adalah “kecakapan pengasuhan”. Negara punya PR bagaimana memampukan orang tua cakap mengasuh. Sebenarnya usaha itu sudah ada, yaitu sejak taun 2016, Kemen PPPA menginisiasi dibentuknya layanan untuk meningkatkan kualitas keluarga. Layanan tersebut dinamakan Pusat Pembelajaran Keluarga (PUSPAGA). PUSPAGA merupakan layanan yang dapat memberikan informasi, edukasi, konseling, konsultasi, rujukan, sosialisasi, dan penjangkauan yang dilakukan oleh tenaga profesional secara gratis. Namun jumlah PUSPAGA sampai saat ini baru 150 kab/kota. Itu artinya PR di hulu yaitu pengasuhan menjadi PR besar yang harus diperhatikan.

KPAI merekomendasikan kemendikbud dan kemenag untuk melakukan literasi digital kepada siswa, itu pilihan rasional karena hari ini anak belajar melalui daring, lanjutnya.

Menurut hasil survey KPAI 79% orang tua tidak memiliki perjanjian dengan anak ketika menggunakan gawai. Ini menunjukan bahwa orang tua tidak berhasil dan belum mempunyai kapasitas untuk itu. Sehingga kemudian kepedulian agar anak tidak terlibat dalam prostitusi online belum maksimal , pungkas Wakil Ketua KPAI, Rita Pranawati.

Media Kontak : Humas KPAI, Email : humas@kpai.go.id,Telepon : 081380890405

 

Exit mobile version